webnovel

Drake, si Rupawan yang Misterius

Marion bersyukur, ia akhirnya bisa pulang lebih awal setelah merayu bosnya. Jika boleh diralat, Marion lebih suka menyebutnya sebagai memohon dan memelas. Karena begitu sulitnya meminta izin pada William agar ia diperbolehkan pulang dan tentu saja ini menjadi kesempatan baginya untuk bertemu dengan Shana.

Shana yang telah menunggu sejak tadi, langsung menghambur ke arah Marion saat melihat kedatangan sahabatnya itu.

"Marionkuuuu ... bagaimana kabarmu setelah beberapa hari bekerja pada pria itu? Apakah kepalamu masih di tempatnya? Oh, atau apakah kau masih hidup? Masih suka makan spageti?" tanya Shana, sembari menelisik Marion mulai dari ujung kepala hingga kaki.

"Please, Shana ... jika boleh aku ingin meminta pekerjaan lain saja. Pekerjaan ini aneh! Aku sudah katakan padamu, bukan? Pria itu sangat aneh."

"Okay, okay ... kau sudah mengatakannya ratusan kali. Tapi, bisakah kau katakan padaku, apa yang aneh darinya? Yang aku tahu, ia sangat tampan, Marion, apa kau buta?! Ia bahkan bisa membuat wanita mana pun menahan napas, setiap kali berpapasan dengannya."

Marion hanya memutar maniknya, kala mendengar komentar Shana mengenai bosnya yang misterius itu. "Baiklah, aku akui ia memang memesona, tapi please, Shana. Kukatakan padamu, dia aneh dan misterius."

Shana hanya mengedikkan bahu menanggapi perkataan Marion.

"Baiklah ... anggap saja pembicaraan ini selesai. Aku sangat mengenalmu, kau pasti akan tetap bersikukuh dengan pendapatmu mengenai tuan Reynz, maka kita sudahi saja. Apakah kau sudah memesan makanan?" tanya Shana, melirik jam tangannya. "Oh, sudah pukul lima. Kenapa aku tidak sadar sama sekali? Aku harus segera meminum obatku, atau aku akan menjadi vampire lagi."

Marion hanya terkekeh mendengar kelakar Shana.

Gadis itu menderita anemia dan terlambat meminum obat akan membuatnya pucat bahkan pingsan. Dan ia pada akhirnya lagi-lagi harus menjalani transfusi darah. Itu sebabnya Shana sering menyebut dirinya vampire.

"Tolong pesankan aku makanan, aku akan ke toilet sebentar," pamit Marion, kemudian bangkit dari kursinya.

Ia berjalan tergesa karena sudah menahan sejak tadi. Hingga tanpa sadar Marion menabrak seseorang yang membuatnya limbung dan nyaris jatuh. Beruntung sepasang lengan kokoh dengan sigap menangkapnya yang refleks membawa tubuh Marion masuk ke dalam dekapannya.

"I got you!" ucap pria itu, nyaris lirih di telinga Marion. Ia membantu Marion agar bisa berdiri tegak di atas kakinya. Sedikit kesulitan karena stilettonya yang sepertinya patah ditambah kaki yang terkilir.

"Aw, kakiku! Oh, tidak ... sepatu kesayanganku ...." Marion melepaskan sepatunya dan menatap sedih ke arah benda yang kini terbagi menjadi dua, hak sepatunya terlepas dan terjatuh ke lantai. "Oke, ini sempurna!"

"Oh, maafkan aku. Andaikan aku lebih berhati-hati—"

"Ah, tidak apa-apa, hari ini memang hari sialku karena sejak pagi—" Belum sempat menyelesaikan gerutuannya, Marion mengangkat wajah, yang tentu saja membuat maniknya menangkap iris kebiruan yang sempat memukaunya entah berapa kali. "Tuan Wilmer? Sedang apa Anda di sini?"

Rona tak terdefinisi tergambar di wajah Drake kala menyadari siapa gadis yang bertabrakan dengannya. Gadis menawan itu lagi, yang membuatnya tak bisa mengalihkan pandangan darinya.

Gadis yang membuatnya menoleh lagi dan lagi, tak cukup hanya sekedar mencuri pandang, ia bahkan ingin memandanginya terus-menerus.

"Kau? Uhm ... maaf, siapa namamu tadi? Marion Alsen, benar?"

"Ya, itu dia! Ingatan Anda cukup baik ternyata. Maaf, apa yang Anda lakukan di sini?" ulang Marion, karena pertanyaan pertama tak mendapat jawaban sama sekali. Namun, ia akhirnya menyesal telah bertanya demikian.

Tentu saja pria ini datang untuk makan, Marion ... yang benar saja!

"Oh, maaf, tentu saja kau ke sini untuk makan, bukan? Maksudku ... apakah kau kemari bersama—"

"Tidak," jawab pria itu, cepat. Kedipan mata yang tidak disengaja itu saja sudah berhasil membuat Marion menghela napas dalam-dalam, dan diam-diam, agar pria itu tidak tau betapa terbatasnya pasokan oksigen di dalam rongga paru-parunya saat ini.

"Jika maksudmu William, aku tidak bersamanya. Aku datang seorang diri," imbuhnya.

Demi Poseidon yang menguasai lautan, Marion ingin sekali pingsan saat ini. Pria di hadapannya ini ... luar biasa memesona.

"Kau datang dengan siapa? Apakah aku ... uhm, jika kau tidak keberatan, aku ingin bergabung denganmu," ucap Drake, lagi, yang langsung dijawab dengan anggukan oleh Marion.

Sungguh memalukan!

"T-tentu saja. Uhm, tapi ... apakah kau tidak keberatan jika aku ke toilet dulu? Aku menahannya sejak tadi, Tuan Wilmer. Maaf, aku masuk dulu."

Marion masuk ke toilet wanita dengan terburu-buru, dan keluar dari sana tak lama kemudian.

Mereka kemudian berjalan beriringan menuju ke meja di mana Shana menunggu cukup lama dengan sajian lengkap di hadapannya.

Melihat sahabatnya bersama seorang pria yang tak kalah rupawan dibanding William, Shana memberi kode pada Marion sebagai bentuk rasa ingin tahunya akan pria yang datang bersamanya.

"Shana, ini Tuan Drake Wilmer, sahabat Tuan William Reynz. Kami baru saja bertemu di kantor Tuan Reynz dan ... di toilet."

"Hmm ... what a coincidence ... hai, Tuan Wilmer. Aku Shana Andreaz, sahabat Marion. Senang berkenalan denganmu. Mari bergabung bersama kami. Kau ingin memesan apa? Biar aku pesankan," tawar Shana, ramah. Ia sejak dulu memang sangat pandai berkomunikasi dengan orang.

"Ah, tidak ... tidak perlu. Aku akan mengambil kopi di mejaku. Permisi sebentar," pamitnya sebelum menuju ke mejanya seperti yang telah ia katakan. Dan tak berapa lama, ia sudah kembali dengan cangkir di tangannya.

"Terima kasih atas ajakan kalian. Aku baru saja tiba dari London untuk menemui William, dan tak mengenal siapa pun di kota ini. Beruntung aku bertemu bidadari cantik ini. Aku percaya sekarang, kalau dongeng itu nyata. Bidadari itu benar-benar ada," ucap Drake sembari menatap Marion tanpa berkedip.

Melihat adegan yang bermain di hadapannya, Shana justru tersenyum lebar. Ingin sekali ia menggoda Marion, tetapi dengan keberadaan Drake di sana, sama saja ia mencari masalah dengan gadis itu. Marion pasti akan memberengut dan enggan menyapa atau bicara dengannya.

Marion yang sejak tadi mendapat pujian setinggi langit, kini kebingungan menyembunyikan wajahnya yang sudah sewarna buah plum. Drake pun sepertinya bisa melihat perubahan rona itu.

Pria itu juga merasa canggung berada di dekat Marion. Untuk menyamarkan itu, ia menyeruput kopinya beberapa kali. Kemudian kembali melempar pandangan ke arah gadis yang kini tengah menikmati makanannya.

Obrolan mereka mulai akrab, dan intens terlebih Marion dan Drake. Hingga kemudian saatnya mereka berpisah dan menutup hari yang cukup menyenangkan bagi Marion dan Drake.

"Apakah kau membawa kendaraan?" tanya pria itu, "jika tidak, aku bisa mengantar kalian."

"Sebenarnya aku membawa mobil, tapi tampaknya aku harus mampir ke kantor terlebih dahulu. Tuan Wilmer, apakah kau tidak keberatan jika aku meminta tolong padamu untuk mengantar Marion?" tanya Shana, yang bahkan tidak memberi kode apa pun pada Marion, membuat gadis itu membulatkan maniknya dan bertanya-tanya dalam hati.

Drake mengulas senyum lebar. "Tentu saja Nona Andreaz, aku akan mengantar sahabatmu sampai di tempat tujuan dengan aman."

"Baguslah kalau begitu. Oke, aku pergi dulu. Bye, sayang." Shana mencium pipi Marion sebelum pergi dan membiarkan sahabatnya bersenang-senang sekali lagi. Mungkin itu juga yang dipikirkan oleh Drake, yang tampak semringah karena mobilnya akan menerima satu penumpang spesial, untuk pertama kali setelah bertahun-tahun berlalu.

Drake berjalan di depan, bergegas membukakan pintu untuk Marion, kemudian bersiap untuk masuk ke mobil menyusul gadis itu di dalam.

"Selamat datang kembali Eleanor," gumamnya, lirih sembari mengulas senyum lembut menatap ke dalam, di mana Marion duduk. Ia kemudian menyusul dan duduk di depan kemudi, membawa Marion menuju ke kediamannya.

Next chapter