3 Asisten Pribadi, Disetujui!

Shana menyimak dengan saksama apa yang diceritakan oleh Marion. Hal yang bahkan ia tak sadari dan tak ingat detailnya. Terlebih selama ini ia tak pernah biarkan dirinya tidur dengan pria mana pun, lalu semudah itu hal yang ia jaga selama ini terenggut dalam satu malam, rasanya sungguh sulit dipercaya.

"Apakah kau sama sekali tidak merasakan sesuatu, Marion? Uhm ... maksudku, saat pria itu menancapkan ... kau tahu maksudku, kan?" Shana sejujurnya canggung membicarakan tentang ini dengan sahabatnya itu, karena ia sangat mengenal Marion. Gadis gua yang seolah tak pernah mengenal hal lain selain bekerja, makan, tidur, buang air ... yang pasti hanya berkutat pada hal-hal pada umumnya.

Memang, bercinta adalah hal umum yang mustahil tidak diketahui oleh kebanyakan orang. Terlebih ketika kau masuk usia belasan, pasti sudah ada keinginan dan hasrat yang meronta untuk disalurkan. Namun, percayalah, Marion bahkan sepertinya tidak memahami tentang itu semua.

"Apa? Menusukkan apa? Bicaralah yang jelas, Shana, kau membuatku semakin pusing."

Shana menepuk dahinya, menyadari bahwa mungkin ia membayangkan terlalu jauh, atau menjelaskan dengan bahasa yang kurang bisa dimengerti oleh gadis baik-baik seperti Marion.

"Astaga! Oke, begini ... aku akan menjelaskan padamu secara detail dan gamblang. Namun, berjanji padaku kau tidak akan muntah, oke. Karena itu hal yang wajar terjadi ketika gadis sepertimu dijelaskan mengenai hal berbau sensual seperti ini, maka akan ada sensasi seperti mual dan lainnya. Oke, here we go!"

Shana membenarkan tubuhnya, kemudian menatap mata Marion secara intens, memastikan bahwa gadis itu memerhatikan sungguh-sungguh apa yang akan ia sampaikan.

"Kau tahu, kita para wanita pasti memiliki ... uhm ...." Shana menggerakkan tangannya mengikuti sebuah bentuk abstrak yang membuat Marion mengerutkan kening.

"Apa, sih, yang ingin kau sampaikan sebenarnya? Katakan saja, Shana, aku wanita dewasa, aku pasti mengerti." Marion mulai tak sabar menunggu penjelasan sahabatnya.

"Tapi nyatanya kau tidak mengerti. Itu, lihatlah! Kau masih membulatkan mata saat aku menyebut kata 'tusuk' dan ... ah sudahlah. Ini sudah kepalang tanggung. Jadi, Marion, apakah kau tidak merasakan sakit ketika ada benda tumpul yang menerobos masuk ke dalam 'itu'-mu?"

"Ya, Tuhan! Maksudmu jika kita melakukan itu?"

Shana mengangguk-angguk. "YA! KAU BENAR! Itu yang kumaksudkan sejak tadi. Apakah kau benar-benar sudah mengerti maksudku? Syukurlah ...," erang Shana, lega.

Marion tampak tertegun sejenak, seolah berusaha mengingat apa saja yang ia rasakan saat kejadian tersebut terjadi. Dari yang ia ingat, itu merupakan kejadian sukarela, atau suka sama suka—bolehkah jika ia katakan demikian?

"Aku ... merasakan nyeri, tapi ... tidak, Shana. Aku tidak bisa mengatakan kalau ini adalah perbuatan atau tindakan pemaksaan. Ini ... jelas bukan pemerkosaan, kau tahu maksudku, kan? Mungkin karena aku mabuk, jadi aku tidak terlalu mengingat dan merasakan sesuatu."

Shana mengedikkan bahu.

"Syukurlah jika kau sadar bahwa ini juga keinginanmu. Karena jika memang ini tindakan pemerkosaan, kita harus melaporkan pelakunya. Dan ... itu, jas itu. Kurasa itu bisa menjadi barang bukti agar kau bisa mencari tahu siapa pria beruntung yang berhasil mendapat kehormatan membuka segel keramatmu," kelakar Shana yang disusul tawa menggemanya.

Namun, langsung dibalas tepukan kesal dari Marion.

"Sialan, kau! Baiklah, anggap saja aku sekarang sudah keluar dari gua dan menikmati hidup. Tapi, tentu saja hal ini sangat aneh." Marion kemudian membuka kemejanya, menunjukkan beberapa bekas cakar dan luka aneh lain yang tertinggal di beberapa bagian tubuhnya. "Menurutmu, apakah ini juga wajar?"

Shana tercengang melihat apa yang ada di hadapannya. "Oh, no. Ini tidak wajar. Sepertinya kau sedang ada dalam masalah, Marion."

***

Marion sudah bersiap dengan pakaian kerja terbaik miliknya. Beruntung ia tidak mengikuti hal gila yang disarankan oleh Shana, jika tidak, sudah pasti saat ini ia akan tampak seperti orang bodoh, meski beberapa pegawai lain yang juga tengah menunggu seperti dirinya memakai pakaian minim dan bahkan beberapa lainnya terkesan nyaris tak berbusana.

Marion hanya mengernyit ketika memindai wanita-wanita tersebut satu per satu. Namun, dalam hati ia justru bersyukur, karena mungkin saja ia tak akan lolos seleksi untuk menjadi asisten William Reynz.

Itu akan lebih baik.

Tengah menanti dengan hati gelisah, sesekali ia mengetuk-ketukkan sepatu flatnya di lantai berbahan marmer di bawahnya, salah seorang pegawai pria yang penampilannya tampak seperti bodyguard akhirnya memanggil nama Marion.

"Nona Marionette Alsen."

Sialan! Mengapa ia beruntung sekali mendapatkan urutan pertama? Mimpi apa ia semalam?

Tidak, tidak! Sepertinya bukan mimpi yang membawa kesialan baginya hari ini, melainkan apa yang telah ia lakukan dengan pria misterius yang ia temui di pesta. Apakah ia sekarang tengah menikmati karma, karena sumpahnya untuk menjaga diri justru ia langgar dan ia berikan mahkotanya pada pria asing yang tak akan pernah ia temui lagi?

Marion menggeleng keras, berusaha mengusir pikiran apa pun yang saat ini muncul di rongga kepalanya, berusaha menetralkan pikiran karena takut kalau atasannya nanti persis seperti apa yang digambarkan orang-orang—bisa membaca pikiran orang lain.

Gadis itu lalu bangkit, kemudian melangkah ragu, mengetuk pintu ruangan calon bosnya tiga kali, kemudian mengayun langkah memasuki ruangan super luas itu dengan rahang ternganga.

"Silakan duduk, Nona Alsen," perintah pria itu, tanpa memutar tubuhnya yang tengah menghadap ke jendela besar yang memberi pemandangan kota dari atas. Menampakkan gedung-gedung megah yang pada akhirnya hanya terlihat sebesar kuku saja.

Marion duduk di seberang kursi kerja milik calon bosnya. Jika ia beruntung, pria itu akan langsung menolaknya tanpa basa-basi. Namun, jika sampai dirinya yang menjadi kandidat terpilih, maka habislah ia!

Karenanya, dalam hati Marion tak henti menggumamkan doa-doa atau mantra yang pernah diajarkan mendiang neneknya untuk mengusir hantu dan kesialan. Meski ayahnya pernah berkata bahwa itu hanyalah mitos, tetapi anehnya Marion masih terus melakukan itu, seolah akan berhasil.

Pria bertubuh tinggi tegap itu berbalik. Hanya memandang bagian sisi rahangnya saja sudah sukses membuat Marion menahan helaan napasnya agar tak bersuara dan berubah menjadi desah yang memalukan. Ia tak asing dengan pria di hadapannya, meski tak begitu jelas tampilan wajahnya, tetapi ia yakin pernah bertemu dengan pria itu.

Pria itu kini telah berhadapan dengannya, membuat jantung Marion nyaris mencelus. Kilas balik kejadian di malam pesta kembali bermunculan secara liar, layaknya tampilan slide yang tak mampu ia kendalikan. Anehnya, kejadian itu hanya berhenti sampai di mana dirinya memuntahkan isi perutnya, selanjutnya, hanyalah layar hitam yang tak menampilkan gambar apa pun.

Pria itu mengulas senyum dingin, duduk di kursi agungnya sembari tak lepaskan tatapan yang mengunci manik hazel milik gadis berambut coklat di hadapannya.

"K-kau ...." Marion tak mampu berkata hal lain, selain hanya gumam tak percaya. Sementara pria itu dengan wajah tanpa ekspresi, tetap tenang dan seolah menghipnotis Marion hingga dirinya hanya mematung tanpa berkedip.

"Selamat pagi, Nona Alsen. Aku William Reynz. Mulai saat ini kau adalah asisten pribadiku yang akan mengatur segalanya, mulai di kantor hingga ketika aku berada di rumah."

"No way!"

avataravatar
Next chapter