webnovel

Selesai?

Dalam semalam, seluruh kota dalam wilayah kerajaan Ousbundle diratakan dengan tanah. Tak ada satupun orang yang selamat. Para pedagang yang masih lama datang akan membuat kerajaan itu tidak diketahui kabarnya selama beberapa waktu. Secara ajaib, hujan turun sangat deras setelah kota terakhir dihancurkan pada waktu subuh. Lautan api dan genangan darah dibersihkan oleh badai yang berlangsung selama beberapa jam itu.

Rikka terbangun pada pagi hari yang cerah di perkemahan mereka. Burung-burung berkicauan di atas pohon yang daunnya masih basah. Tempat terbuka di tengah hutan itu terlihat sangat hijau. Udara segar yang dingin bertiup melewati tubuhnya ketika ia keluar tenda. Ia berjalan menuju perapian yang telah mati, lalu menyentuh beberapa kayunya.

"Basah kuyub. Harus menunggu Ash untuk menyalakannya."

"Memanggilku?" tanya Ashborn dari belakang. Ia juga baru saja bangun dan keluar dari tenda.

Mereka berdua kemudian menyalakan api setelah mengeringkan kayu bakar dengan sihir. Rikka menyeduh teh, sedangkan Ashborn menyeduh kopi. Mereka berdua hanya sekedar menghangatkan tubuh setelah melewati malam yang dingin.

Rikka berdiri dan meregangkan tubuhnya. "Hah ... Saatnya masak sebelum mereka bangun."

"Mau kubantu?" tanya Ashborn.

"Ambilkan saja semua bahan makanan yang ada."

"Baiklah."

Rikka kembali membuat sup andalannya setelah beberapa minggu tidak memasaknya. Ketika sudah matang, Rikka sengaja membiarkan tutupnya terbuka agar aroma supnya keluar. Aromanya sangat menggoda, bahkan hingga membangunkan semua orang yang sedang tidur.

"Sarapan?!" tanya Cherry dengan penuh semangat.

Ia menggoyangkan tenda Yuika dan Reina yang ada di sebelahnya. "Kalian berdua. Ayo bangun!"

"Lezat sekali ..." Yuika mengusap matanya sambil keluar tenda.

Karena tak mendengar suara Reina, Cherry membuka tendanya dan masuk. "Yuhuu, Reina!"

Ia melihat Reina yang masih tertidur dengan kantung tidurnya. Semakin diperhatikan, Cherry menjadi semakin tertarik untuk mendekat. Setelah cukup dekat, ia menyentuh pipi Reina dengan jari telunjuknya.

Seketika, mata Reina terbuka. "Cherry?!"

Cherry tertawa. "Haha. Pagi ini manis sekali, tuan putri."

Reina mengelus pipinya yang disentuh oleh Cherry. "Ayolah, bangunkan aku dengan cara yang lebih benar."

"Hehe, maaf! Melihatmu tidur, rasanya aku tak tahan ingin menarik pipi itu."

Reina memalingkan wajahnya. "A-Akan kuizinkan jika caramu lebih lembut."

Tak lama kemudian, Wei pun bangun setelah tendanya digoyangkan oleh Cherry dan Yuika. Mereka berenam menikmati sarapan di pagi yang cerah itu, seakan tak terjadi apapun semalam.

Rikka menghela nafas. "Hah ... Kuharap Army dan yang lain baik-baik saja."

"Tentu saja," sahur Ashborn. "Mereka pasti akan kembali."

Beberapa jam sebelumnya, disaat hujan badai terjadi. Ada seekor naga yang membawa dua penumpangnya terbang di atas awan, membuat mereka terhindar dari hujan.

"Fori, berapa lama lagi kita akan sampai?" tanya Army.

"Masih jauh, tapi kalau kita terus terbang seperti ini seharusnya lebih cepat."

"Syuku-"

Tiba-tiba, wujud Divine Dragon menghilang, mengembalikan Shiro ke wujud manusianya.

Mereka bertiga berteriak sambil terjun bebas. "AAAHHH!!!"

"SHIRO!" teriak Army. "KENAPA TIBA-TIBA?"

"MAAF, AKU TAK SANGGUP MENAHANNYA! TANGKAP SAJA DENGAN TANGAN RAKSASA NANTI!"

Mereka harus berteriak keras untuk berbicara karena angin menghalangi pendengaran serta ucapan mereka.

"BODOH! KITA BISA HANCUR KALAU JATUHNYA SECEPAT INI! TANGAN ITU TIDAK EMPUK!"

"LALU APA YANG HARUS KITA LAKUKAN?!"

Mereka mulai jatuh menembus awan hujan. Kini, mereka jatuh bebas ditengah badai yang sangat kencang.

"FORI, SHIRO!" Army menarik tangan mereka agar tidak terbawa angin kencang.

Petir menyambar di sekitar, tapi beruntung tak satupun yang mengenai mereka.

"G-OUT! GUNAKAN G-OUT!" ucap Shiro yang panik melihat daratan semakin dekat dengan mereka.

Fori menjawab, "MAAF TUAN, TAPI G-OUT TIDAK MENGURANGI GAYA TARIK GRAVITASI!"

"MAKSUDNYA?" tanya Shiro.

"MAKSUDNYA KITA AKAN TETAP REMUK!" sahut Army.

"JANGAN KHAWATIR, AKU PUNYA INI!" Fori meraih tas kecilnya di pinggang dan mengeluarkan gulungan sihir.

"APA ITU?" tanya Shiro kembali.

"PAKAI SAJA!" suruh Army. "TIDAK ADA WAKTU LAGI!"

Tanpa aba-aba, Fori langsung mengaktifkan gulungan sihir tersebut. Muncul kabut besar yang padat dan empuk seperti kasur di bawah. Kabut itu menghentikan mereka tepat sebelum jatuh ke tanah. Meski selamat, kabut tersebut bolong dan menguap secara perlahan. Ia telah rusak akibat menerima benturan yang sangat keras dari mereka bertiga.

"Eh? Ini seperti yang kita naiki bersama Ardent di dunia Toram."

Army mengangkat tubuh Shiro agar bangun lebih cepat. "Ayo, kita harus berteduh!"

"Kenapa buru-buru? Santai saja nikmati hujannya." Shiro berdiri lalu berlari di belakang Army dan Fori.

Mereka jatuh di salah satu kota yang telah hancur. Seluruh api dan darah yang menggenang disana sudah disapu bersih oleh badai. Karena tidak ada rumah yang tersisa, mereka berteduh dalam pos di bawah gerbang masuk.

"Padahal tak perlu berlari," ucap Shiro. "Kenapa kau sebegitu takutnya dengan hujan?"

Saat melihat Army, ia menyadari sebuah keanehan padanya.

"Army? Kau baik-baik saja?"

Ia melihat Army berjalan sangat lambat sambil memegang tembok. Jalannya seperti orang pincang. Secara perlahan, ia kehilangan kekuatan pada kakinya untuk tetap berdiri.

"Tuan Army!" Fori berlari menuju Army dan menahan tubuhnya agar tidak terjatuh. Ia kemudian menyandarkan tubuh Army di tembok.

Nafas Army terengah-engah, seolah ia baru saja lari berkilo-kilo meter. Tubuhnya berkeringat meski keadan sekitar sedang dingin. Jubah yang ia dapat dari Devil's Incarnation perlahan menguap dan terbawa angin, mengembalikan pakaiannya ke semula. Mata ungu yang ia miliki juga ikut hilang bersama jubah itu.

"Kenapa tiba-tiba begitu?!" tanya Shiro yang panik. Ia memeriksa tasnya dan mendapatkan obat penghilang rasa sakit.

Army mengambil obat yang diberikan oleh Shiro dan meminumnya. "Terimakasih ..."

Nafasnya semakin tidak terkendali. Jantungnya berdebar dengan sangat cepat. Fori yang memegang tangannya bisa merasakan betapa cepatnya darah mengalir dalam pembuluh darah.

Ia hanya menatap langit-langit dengan tatapan kosong. "Perutku ..."

Tiba-tiba, ia batuk dengan sangat keras keras beberapa kali. Ia menutup mulutnya selama beberapa saat, lalu memuntahkan lebih banyak darah. Ia terbaring lemas disamping genangan darah yang ia muntahkan.

"Oi, Army!"

Shiro mengangkat tubuh Army dan menyenderkannya. Ia menatap mata kiri Army untuk memeriksa kesadarannya. Mata itu bergerak mengikuti pergerakannya, menandakan kalau Army masih sadar, tapi kondisinya sedang kritis. Tubuhnya juga mengalami demam secara mendadak, meningkatkan suhu tubuhnya secara drastis.

"Ini bukan efek samping skill itu ..." ucap Army dengan sangat lemah.

Shiro menjadi heran. "Lalu? Kau ini seperti orang sekarat loh!"

Army menjawab dengan suara yang sangat pelan sambil menunduk. "Karena terlalu lama memakainya, tubuh fisikku tidak bisa menahan segala gerakan yang kulakukan sebelumnya."

Army memegangi kepalanya yang tiba-tiba berdenyut hebat ."Ini sama seperti efek Regretlessmu, sebelum kau menguasai Bloodbath."

"Ah ... Begitu ya." Shiro langsung paham apa yang dimaksud Army. Ia dulu juga merasakan efek kelelahan yang luar biasa setelah Regretless dihentikan secara paksa oleh Akane, karena tubuh aslinya hanyalah tubuh manusia biasa. "Kau butuh sesuatu untuk itu? Kondisimu saat ini mengkhawatirkan."

Shiro melihat genangan darah akibat muntahan Army. Ia dan Fori kemudian memindahkan Army ke sisi lain tembok dan menyenderkannya disana.

"Terimakasih lagi ... Aku akan beristirahat sebentar."

"Kau yakin Tuan?" tanya Fori dengan murung. Ia sangat sedih melihat Army tanpa tahu harus berbuat apa. Ia berusaha menahan air matanya karena tahu bahwa air mata tidak menyembuhkan Army.

Army tersenyum pada Fori. "Ya, aku baik-baik saja."

Fori meraih tas kecil Army dan mengambil obat penambah darah khususnya. "Setidaknya Tuan harus meminum ini. Wajah Tuan sudah memucat."

Sambil menyeka air mata, Fori membantu Army meminum penambah darahnya.

Shiro dan Fori kemudian membiarkan Army beristirahat. Ia tidur bersandar di tembok dengan penuh kegelisahan, sementara Shiro dan Fori mengawasi keadaan sekitar. Mereka berdua juga ikut gelisah dengan kondisi Army yang mengkhawatirkan, tapi tidak ada yang tahu harus berbuat apa.

Fori menatap Shiro dengan penuh harapan. "Tuan Shiro, apa yang harus kita lakukan?"

Shiro menengok ke arah Army yang terus gelisah dalam tidurnya. "Tak satupun dari kita yang bisa sihir penyembuhan. Tak ada juga orang yang bisa membantu di sekitar sini."

Ia menatap ke luar jendela, melihat badai yang tak kunjung mereda. "Army sendiri bilang bahwa ia tidak membutuhkan apapun selain istirahat. Kurasa kita hanya bisa percaya padanya saat ini."

Seiring waktu, gelisah yang dialami oleh Army selama tidur mulai berkurang. Efek obat penghilang rasa sakitnya semakin terasa. Fori dan Shiro akhirnya memutuskan untuk ikut beristirahat, memanfaatkan waktu yang ada karena tidak ada tanda bahwa badai akan berhenti. Shiro tidur di sebelah kanan Army, dan Fori bersandar di bahu kiri Army. Mereka tidur bersama-sama setelah menjalani malam yang melelahkan.

Kembali ke saat ini. Rikka, Ashborn, dan yang lainnya menunggu mereka pulang. Hari sudah semakin sore, tapi tak ada tanda-tanda bawa mereka akan pulang. Hal itu mengkhawatirkan, tapi semua hanya bisa berharap bawa mereka baik-baik saja dan kembali dengan selamat.

Tiba-tiba, terdengar suara Army yang memanggil dari belakang.

"Oiii!"

Saat menengok, mereka bisa melihat Army, Shiro, dan Fori yang berjalan sambil melambai menuju mereka. Army sudah kembali normal dengan matanya yang tertutup kain. Senyumnya khasnya juga bisa terlihat dengan jelas. Senyum yang biasa, tapi terasa tulus.

Rikka tertawa kecil. "Naga, Iblis, dan Ninja. Siapa sangka kalau mereka akan cocok jika digabung."

Army, Shiro, dan Fori langsung disambut oleh sup buatan Rikka. Mereka yang kelaparan langsung segar kembali hanya dengan satu suapan makanan enak. Setelah selesai makan, semua orang berkumpul mengitari api unggun untuk mengobrol.

"Jadi, tadi malam kalian melakukan apa saja?" tanya Rikka.

Shiro rebahan menyamping sambil menopang wajah dengan tangan kirinya. "Menghancurkan 3 kota lainnya. Dengan ini, kerajaan Ousbundle resmi menghilang dari peta."

"Kau mengatakannya dengan santai, seolah itu adalah hal kecil," ucap Ashborn.

"Yah, siapa yang peduli juga dengan mereka. Aku tidak mengenalnya. Mereka juga tidak ada kontribusi apapun terhadap kerajaan Falorin kita."

Ashborn menghela nafas. "Hah ... Kau benar juga sih."

Army tertawa. "Haha. Tak boleh begitu, Shiro. Mau bagaimanapun, mereka tetaplah manusia. Kita tetap harus menghargainya."

Shiro menengok ke arah Army. "Dikatakan oleh ia yang paling semangat membunuh."

"Ahaha ..." Army hanya tertawa, tak bisa membalas ucapan Shiro.

"Kak," panggil Cherry. "Yang semalam itu apa?"

"Yang mana?" Army mencoba mengingat seluruh kejadian semalam. Terlalu banyak hal terjadi untuk bisa ia ingat secara langsung.

"Skill yang katanya hanya bisa digunakan oleh Kakak."

Shiro berpikir sebentar. "Benar juga. Aku belum menanyakan hal itu. Sampai bisa membangkitkan Divine Dragonku begitu, pasti itu bukanlah skill biasa."

Army menarik nafas dan mulai menceritakannya pada mereka.

"Devil's Incarnation adalah penyatuan tubuhku dengan iblis."

Army membuka penutup mata dan membuka matanya yang buta. Hanya ada lubang kosong tanpa apapun disana.

"Mata yang kemarin muncul adalah matanya. Karena tubuh kami menyatu, ia mengisi kekurangan yang ada dalam tubuhku untuk menyempurnakannya."

"Bukannya penggabungan itu sering terjadi?" tanya Ashborn.

Army menutup matanya kembali menggunakan penutup mata. "Ya, tapi kasusku berbeda. Umumnya, penggabungan terjadi atas paksaan satu pihak. Antara manusia yang menguasai, atau ibis yang menguasai."

Rikka memangku wajahnya. "Lalu, apa yang beda padamu?"

"Kami berbagi tubuh, bukan saling menguasai. Ia bisa saja mengambil alih tubuhku kapan saja, tapi ia tak melakukannya. Aku juga dapat mengakses semua kekuatannya, seperti tangan raksasa yang sempat kalian lihat kemarin. Aku bisa membangkitkan Shiro juga karena itu. Kekuatannya lah yang membangunkan Divine Dragon."

"Itu tangan iblis dalam tubuhmu Kak?" tanya Wei.

"Aku juga kurang tau. Yang aku tahu hanyalah itu bisa kugunakan setelah bergabung dengan Tofu."

"Tofu?" tanya Wei kembali dengan heran.

Cherry menepuk bahu Wei sambil tersenyum. "Nama iblisnya itu Tofu!"

"Sekarang aku jadi ingin memasak tahu," sahut Rikka.

"Bagaimana dengan baju kemarin?" tanya Yuika. "Baju itu sangat keren loh!"

"Itu adalah desain yang dibuat oleh Tofu. Selain mengisi mata, ia juga mengganti pakaianku menjadi seleranya."

"Wah ..." Reina melipat tangannya. "Seleranya keren!"

"Yah, ia sudah sering mengobrol bersamaku, jadi ia menyesuaikan desainnya agar disukai oleh kami berdua."

Shiro menghela nafas. "Hah ... Kau dan Tofu sudah seperti dua orang sahabat, sementara aku harus membuatnya babak belur dulu saat pertama kali meminta kekuatan."

"Mau bagaimana lagi?" sahut Ashborn. "Kau dan Army sudah beda kontrak."

Yuika menengok ke arah Ashborn. "Kontrak?"

Ashborn mengangguk. "Ya. Kekuatan kegelapan umumnya didapat dengan memanggil iblis, lalu memenjarakannya ke dalam tubuh seseorang. Orang yang dimasukan iblis kemudian akan menjalin kontrak dengannya. Biasanya, si iblis akan memberi kekuatan dengan imbalan energi kehidupan, tapi imbalannya bisa berbeda tergantung orangnya. Jumlah energi yang diminta pun tidak sama di setiap kontrak."

Yuika menatap Army. "Kalau begitu, bagaimana dengan Kak Army?"

Army tersenyum. "Aku tak memiliki kontrak apapun. Kami adalah dua teman yang berbagi ruangan. Jika aku butuh, ia memberikannya, begitu juga sebaliknya."

Yuika memangku pipinya. "Eh ... Bisa begitu ya? Berarti Kakak tak perlu membayar energi kehidupan?"

Army menggelengkan kepalanya. "Tidak seperti itu. Iblis membutuhkan energi kehidupan untuk bertahan, jadi aku tetap harus memberikan itu padanya. Hanya saja, jumlah yang kuberikan tidak terikat pada kontrak."

"Omong-omong." Shiro kembali duduk. "Jika kau bisa melakukan itu, kenapa tidak dilakukan sejak lama?"

"Ahaha ..." Army menggaruk kepalanya. "Skill itu hanya bisa digunakan jika aku merasakan sebuah emosi yang sangat kuat, seperti saat aku marah."

Shiro menatap Army dengan heran. "Lalu kenapa?"

Rikka menyela pembicaraan mereka. "Sebagai yang paling dekat, kau harusnya sudah sadar kan?"

Shiro memperhatikan Army dari atas kebawah, sambil mengingat setiap hal yang pernah Army lakukan. Setelah beberapa saat mencoba mengingat, ia baru saja sadar kenapa Devil's Incarnation hampir tak bisa digunakan oleh Army.

"OOOHHH!" Shiro menunjuk Army. "KAU TAK PERNAH MARAH!"

Ashborn tertawa kecil. "Haha, jangankan marah, berpikir negatif sekalipun sepertinya ia tidak pernah."

Army ikut tertawa. "Hahaha. Sebenarnya aku sering marah, tapi amarah itu langsung reda dalam beberapa detik. Pikiranku secara otomatis menghilangkan rasa marah ketika ia muncul. Untuk berpikir negatif, aku hanya tidak menunjukkannya saja pada orang lain."

"Yah, sulit membaca pikiran orang yang sebagian wajahnya tertutup," ucap Rikka.

Reina menatap Army. "Berarti kemarin itu Kakak sangat sangat sangat sangat sangat marah?"

Army mengangkat bahu dan kedua tangannya. "Sepertinya."

Reina kemudian menatap Cherry tanpa berkata apapun.

Cherry kebingungan karena ditatap oleh Reina. "Eh, kenapa?"

Yang lainnya juga ikut menatap Cherry. Semua mata tertuju kepadanya.

Reina terus menatap Cherry lalu berkata, "Kurasa aku tahu penyebabnya."

Rikka mengangguk. "Tidak salah lagi."

Semua orang disana tertawa. Mereka tahu bahwa Army sangat menyayangi Cherry, jadi itulah satu-satunya alasan Army bisa menggunakan Devil's Incarnation. Amarah seorang Kakak yang adiknya disandera dan hendak dieksekusi sangatlah besar. Pembicaraan mereka selesai tak lama setelahnya. Karena semua misi sudah selesai, mereka memutuskan untuk berberes dan pulang hari itu juga.

Setelah selesai berberes, Rikka menatap langit sore yang semakin gelap. "Anak-anak apakah sanggup berlari tanpa henti?"

"Fori!" panggil Army.

"Siap Tuan!" Fori meraih tasnya dan mengambil sebuah gulungan. "Kabut terakhir siap digunakan!"

Saat dibuka, muncul gumpalan kabut padat yang sangat besar di hadapan mereka. Itu adalah kabut sama yang digunakan oleh Fori sebelumnya. Ardent mempersiapkan hal tersebut untuk mereka pulang. Meski tidak secepat berlari menggunakan G-Out bersama Fori, tapi perjalanan pulang dengan kabut itu tidak melelahkan. Mereka juga bisa menikmati perjalanan pulangnya jika menggunakan itu.

Fori naik dan duduk di atas kabut. "Ayo, tuan dan nyonya sekalian!"