webnovel

Pembantaian

Meski sangat mengejutkan, tapi Army sepertinya tidak bercanda. Ekspresinya tidak memperlihatkan sama sekali niat untuk berpura-pura. Ia serius dengan ucapannya.

"Papa, kumohon dengarkan aku. Kau adalah mahluk abadi. Mengotori tanganmu sendiri bukanlah sebuah pilihan yang bagus. Mungkin sekarang kau tidak merasakan apa-apa karena emosi dan adrenalin, tapi ..."

"Tapi?" tanya Ardent.

"10 tahun ..." Army menggelengkan kepalanya. "Tidak, mungkin 100 tahun lagi. Semua hal tersebut akan datang kembali dan menghantuimu. Ketika itu sudah terjadi, maka kau akan mendapat mimpi buruk untuk selamanya. Aku tidak akan membiarkan kau membawa beban itu di sepanjang hidupmu."

"Abadi?" Fori menatap Rikka, mengharapkan jawaban darinya.

"Apa maksudnya itu?" tanya Ashborn.

"Ahaha ..." Rikka menggaruk kepalanya, tak tahu harus mengatakan apa pada Fori dan Ashborn. "Untuk saat ini, lebih baik kita diam saja dulu."

Ardent memahami maksud Army. Saat ini ia tidak merasa apa-apa hanya karena terbawa suasana dan emosi negatif. Tetapi, suatu saat nanti, ia mungkin akan menyesali perbuatannya meski itu adalah pilihan yang tepat. Disaat itu telah terjadi, sudah mustahil untuk mengembalikan semuanya seperti dulu lagi.

Ardent menghela nafas. "Hah ... Aku mengerti maksudmu, tapi kenapa kau mau melakukannya? Padahal kau sendiri tau bahwa itu akan mendatangkan mimpi buruk."

Army tersenyum dan berjalan mundur beberapa langkah ke belakang. "Tentu saja kan? Serahkan tugas kotor pada mereka yang tangannya telah kotor."

"Kotor?" tanya Fori lagi.

Rikka balik menatap Fori sambil mengangkat kedua bahunya. "Untuk yang ini aku benar-benar tidak tahu."

Ardent melipat tangannya sambil memejamkan mata. Ia berpikir sesaat dan meyakinkan dirinya sebelum menentukan pilihan terbaik yang akan ia pilih.

"Baiklah," ucap Ardent. "Aku dan Fori akan mengejar The Angel yang sudah pergi. Aku serahkan urusan ini pada kalian."

Army mengacungkan jempolnya. "Serahkan pada kami!"

Sebelum Ardent pergi bersama Fori, ia teringat kembali tentang sesuatu.

"Ah!" Ia berbalik badan menatap Army, Shiro, Rikka, dan Ashborn. "Setelah ini, aku ada tugas lagi untuk kalian. Nanti Fori akan menjemput kalian dan menjelaskan rinciannya, jadi tunggu saja di area luar sekitar sini."

Ardent menatap Fori. "Kita menuju Gozen!"

Setelah itu, Ardent langsung pergi bersama Fori untuk mengejar The Angel yang pertama ke arah barat laut.

Rikka menghela nafasnya. Ia terlihat tidak senang mendengar kabar tersebut. "Hah ... Tugas lagi ..."

Army tertawa melihat Rikka. "Mau bagaimana lagi?"

Ia berjalan menuju Shiro. "Kau siap?"

Shiro melirik Army sesaat dan kembali menatap orang-orang di bawah yang masih melempari mereka dengan berbagai benda. Beruntungnya barrier yang Ardent ciptakan masih ada, sehingga seluruh benda itu tertahan olehnya.

"Menyerahkan tugas kotor pada mereka yang tangannya telah kotor?" tanya Shiro. "Apa maksudnya itu?"

Army tertawa kecil. "Tentu saja kau tau maksudnya kan?"

"Bagiku sendiri, ya. Tetapi, bagaimana denganmu? Bukankah kau masih bersih?"

Army mengeluarkan sabit Soul Hunternya. "Tentu saja tidak."

"Eh?" Shiro cukup terkejut mendengarnya. Ia tidak pernah menyangka bahwa Army pernah melakukan hal "jahat" sebelumnya.

"Akan kuceritakan nanti," ucap Army.

Ia melompat dari atap hingga ke bawah, tepat ke hadapan para biarawan dan biarawati yang ketakutan.

Shiro tersenyum sinis. "Heh, menarik."

Ia ikut turun dan bertanya, "Anak-anak juga?"

Army menengok ke arahnya. "Kau pikir mahluk apa yang memanggil pasukan monster, lalu menghancurkan kerajaan asalku dan Cherry?"

Shiro menurunkan tubuhnya, bersiap menggunakan Dragonic Charge. "Bocah tengil yang menyimpan dendam!"

Di atas, Ashborn menggunakan sihir angin untuk menerbangkan dirinya dan Rikka. "Ayo kita ke tempat lain."

Bersamaan dengan terbangnya Rikka dan Ashborn, kubah Paradiso menutupi seluruh kota sebagai tanda pembantaian massal akan segera dilakukan.

"Kau tak ikut?" tanya Rikka sambil menatap Ashborn.

Ashborn memalingkan pandangannya dan terus menerbangkan mereka ke tempat yang jauh dari keramaian. "Biarkan saja para iblis bersenang-senang."

Setelah Shiro melepaskan Dragonic Chargenya pada para biarawan dan biarawati, pembantaian pun dimulai. Mereka berdua berlari mengelilingi kota dan membunuh semua orang yang bisa mereka lihat. Pria, wanita, anak-anak, selama mereka masih bernafas, mereka adalah sasarannya. Orang-orang bersembunyi di rumah masing-masing, mengunci pintu, dan menahannya dengan apapun yang ada. Tetapi, pada akhirnya Army dan Shiro bisa menjebol masuk dengan mudah. Mulut mereka komat-kamit membaca doa meminta mukjizat untuk diselamatkan, tapi Army dan Shiro membunuh mereka lebih dulu sebelum menyelesaikan doanya.

Teriakan dan berbagai suara langkah kaki dari mereka yang berusaha kabur terdengar sangat jelas. Beberapa orang yang telah sampai di ujung kubah Paradiso hanya bisa menggedor-gedor sambil menangis dan meminta bantuan. Mereka menginjak-injak satu sama lain di tengah keputusasaannya. Sosok yang selama ini disembah sembah tak kunjung turun untuk menyelamatkan mereka. Tuhan mereka telah lama "mati" karena mereka telah menciptakan tuhan-tuhan baru atas kepentingannya sendiri.

Meski terlihat sangat mengerikan, Army dan Shiro membunuh semua orang dengan cara tercepat yang mereka bisa. Tak ada satupun korban merasakan penderitaan yang panjang karena mati seketika karena. Mereka mengincar bagian kepalanya agar bisa membunuh dengan cepat. Kebanyakan dari korban terpenggal atau memiliki luka pada bagian kepala yang menjadi penyebab kematiannya. Hanya ada sedikit korban yang mati dengan penuh kesakitan akibat serangan yang meleset atau mereka yang gagal bertahan ketika berusaha melindungi diri.

"Ar!" panggil Shiro sambil menarik salah satu warga.

Army menengok. "Ya?"

Shiro menjatuhkan orang itu ke tanah dan menebas lehernya dengan tombak. "Kenapa tidak memakai Purgatorio saja? Dengan malaikat itu, tugas ini pasti jadi lebih mudah"

Army tertawa kecil. "Haha, maaf Shiro. Purgatorio hanya bisa memiliki satu target dalam satu waktu. Mereka tidak bisa digunakan untuk menyerang banyak target sekaligus."

"Ah ... Begitu ya."

"Begitulah," ucap Army sambil memiringkan kepalanya sesaat. "Aku akan menggunakannya nanti hanya untuk mencari orang yang bersembunyi."

Sementara itu, di atas tembok kota. Rikka dan Ashborn sedang bersandar di sana sambil menyaksikan pembantaian yang terjadi. Meski sedang melihat hal yang mengerikan, mereka telihat biasa saja. Profesionalisme mereka dalam menjalankan pekerjaan memang sudah sangat tinggi.

"Jika menggunakan sihirmu, pasti ini bisa selesai dengan cepat," ucap Rikka.

Ashborn mengangguk. "Ya, tapi mimpi buruknya akan pindah ke aku."

Rikka meletakkan wajahnya di atas tembok. "Benar juga. Maaf."

"Dimaafkan," jawab Ashborn.

Mayat bergelimpangan di jalanan. Darah menggenang dan terciprat dimana-mana. Tembok, papan nama jalan, lantai, dan seluruh hal yang ada di kota itu sekarang tertutupi oleh darah. Bunker perlindungan juga dijebol, dan orang yang bersembunyi di dalamnya langsung dibunuh. Tidak ada satupun tempat yang aman di kota. Semua bagian hingga ke yang terkecil sekalipun bisa dimasuki oleh Army dan Shiro. Hanya dalam beberapa jam, tak lagi terlihat tanda-tanda kehidupan di kota Saint Athaelai. Mereka berdua berjalan mengelilingi kota, tapi tak ada jejak manusia satupun yang bisa mereka temukan.

Shiro berjalan menginjak genangan darah di kakinya seperti berjalan melewati genangan air biasa. "Omong-omong, Ar."

"Ya?"

"Sebenarnya aku ingin menanyakannya sejak tadi, tapi aku terlalu sibuk dengan tugas ini."

"Tanyakan saja padaku."

Shiro menatap tumpukan mayat di sebelah kirinya. "Kenapa kau mau berbuat sejauh ini?"

Army terlihat bingung. Ia merasa kalau Shiro sudah mendengar penjelasannya ketika ia berbicara dengan Ardent. "Tentu saja untuk Papa Ardent."

"Aku mengerti soal itu." Shiro menatap Army. "Tapi kenapa kau mau melakukan ini untuknya?"

Ia menatapnya dengan lebih serius. "Kau mengerti maksud pertanyaanku kan?"

Army menundukkan pandangannya dan berpikir sesaat. "Jujur saja, aku juga belum memahaminya. Ketika aku melihat wajah Papa yang seperti itu, aku seketika tersadar akan sesuatu. Selain ia adalah mahluk abadi, memiliki pengalaman hidup ribuan tahun, dan menjadi yang terkuat, ia tetaplah seorang manusia biasa. Ia bisa sedih, marah, kecewa, dan mungkin putus asa."

Shiro hanya melirik Army tanpa berkata-kata. Ia mulai memahami alasan Army yang agak rumit untuk dijelaskan dengan kata-kata.

Army tersenyum. "Setelah mengingat itu, entah kenapa aku jadi ingin mengurangi bebannya. Setidaknya, kita akan mati suatu hari nanti meski hidup dalam mimpi buruk. Hal itu sangat berbeda dengan Papa Ardent. Ia selalu memperdulikan orang lain terutama warga sipil, tidak seperti kita. Ia akan terus berjalan bersama dengan mimpi itu untuk selamanya."

Army menarik nafas dan menghembuskannya kembali. "Kita berdua tahu bagaimana rasanya mimpi itu kan?"

"Seperti yang kubilang tadi, aku tahu itu," jawab Shiro. "Tapi aku tak pernah tahu kalau kau juga pernah merasakannya."

Army tertawa kecil. "Akan kuceritakan setelah tugas selanjutnya selesai. Aku merasa tidak adil karena belum menceritakannya padamu."

"Begitu ya," ucap Shiro. "Tak masalah. Aku mengerti sekarang. Intinya adalah selama masih ada kita, jangan sampai Papa Sarden mengotori tangannya sendiri kan?

Army mengangguk. "Ya. Oleh karena itu, kita harus membantu Papa mewujudkan impiannya, sebelum kita mati duluan. "

Shiro tertawa. "Hahaha! Kata-katamu memang selalu bagus Ar!"

Ia memberikan kepalan tangan kanannya pada Army untuk melakukan tos. "Waktu kita masih banyak. Bersama-sama, kita akan menjadi pedang yang berlumuran darah, agar bukan Papa Sarden yang berkarat."

"Banyak waktu ya ..." Army tersenyum kecil dan menatap Shiro. "Ya, bersama-sama!"

Mereka berdua melakukan tos. Shiro agak bingung dengan respon Army yang sedikit lambat. Tetapi, ia mencoba berpikir positif dengan menganggap Army hanya sekedar memiliki banyak pikiran, dan tidak mengambil pusing. Setelah percakapan itu, Army menggunkan Purgatorio di dalan kubah untuk menciptakan void tembus pandang, melihat orang-orang hidup yang masih bersembunyi. Perburuan mereka pun dimulai dalam mencari mereka yang masih selamat. Berbagai tempat didobrak dan dihancurkan untuk menemukannya. Tak satupun orang yang bisa lolos dari perburuan tersebut, hingga akhirnya semua warga kota telah dipastikan mati.

Kubah Paradiso dihilangkan. Dengan tubuh yang dipenuhi cipratan darah, Army dan Shiro melambai pada Rikka dan Ashborn di atas tembok gerbang utama kota.

"Selesai!" teriak Army sambil terus melambai.

Shiro juga melambai pada mereka dan berteriak. "Ayo kita cari tempat istirahat sebelum melanjutkan misi!"

Ashborn menjadi sedikit ngeri ketika melihat mereka. Tubuhnya merinding, tapi ia sendiri tidak begitu tahu apa yang sebenarnya ia takutkan. Pemandangan yang ia lihat sangatlah tidak nyaman untuk dilihat siapapun. Dua orang berlumuran darah melambai pada mereka sambil tersenyum setelah melakukan pembantaian besar-besaran. Kedua orang itu bersikap seperti tidak ada yang terjadi beberapa saat sebelumnya.

Ashborn membersihkan baju mereka berdua dengan sihirnya. Darah yang menempel mulai mengalir jatuh ke tanah secara perlahan. Setelah seluruh darahnya bersih, ia menggunakan sihir angin untuk membersihkan semua debu yang menempel. Hasilnya baju mereka menjadi seperti baru saja dicuci setelah sebelumnya sangat kotor.

"Luar biasa!" Army memperhatikan lengan bajunya yang berkilauan kembali.

Shiro tertawa. "Ahahaha, terimakasih banyak Ash!"

Ashborn membentuk huruf "O" dengan jarinya, menandakan kalau ia tidak masalah melakukan hal itu. "Mereka tetap Army dan Shiro yang biasanya ya."

Rikka tertawa kecil. "Haha, itulah dua iblis kita."

Ia menatap senyum lebar penuh keceriaan milik Shiro yang seperti anak kecil. "Iblis yang telah menaklukkan kegelapan dan menjadi cahaya terang ..."

Ia lanjut menatap senyum biasa Army yang terasa sangat tulus. "... Serta iblis yang telah memeluk kegelapan tapi jiwanya tetap bersinar terang."