webnovel

Gozen

Perjalanan panjang melewati beberapa kota Union telah membawa Kumine, Fori, dan Shougo sampai di tujuan pertama mereka. Seperti biasa, mereka kembali terdampar selama beberapa saat di pintu masuk untuk menyelesaikan administrasi. Akan tetapi, semua waktu yang terbuang dalam melakukan administrasi terbayar dengan sempurna. Mereka menyaksikan bagaimana uniknya kota Gozen dibandingkan dengan Falorin.

Kumine melebarkan kedua tangannya. "Semua, selamat datang di Gozen!"

Desain arsitektur bangunan di Gozen memiliki bentuk yang sama dengan kebanyakan kota, tapi Gozen seakan berada jauh di masa depan. Kendaraan bermesin melintas dimana-mana, listrik tersebar secara merata, bahkan berbagai hal sudah mengalami otomatisasi karena mesin sudah menggantikan tugas manusia. Penggunaan sihir hampir tidak terlihat, tidak seperti kebanyakan kota yang bergantung pada sihir dalam kehidupan sehari-harinya. Mereka seakan berada di dunia yang berbeda dari yang selama ini mereka tinggali.

Fori membuka peta kerajaan Gozen yang ada di tangannya. Peta tersebut memperlihatkan bagaimana kerajaan Gozen terdiri atas berbagai kota kecil yang tersebar luas di sekeliling wilayahnya.

"Jadi, kita akan menuju stasiun?" tanya Fori.

"Stasiun?" tanya Shougo balik.

Fori mengangguk sambil menunjuk nama tempat yang ada di peta. "Ya. Dari sini, kita akan menggunakan kendaraan khas Gozen, kereta."

Shougo mengintip peta yang dipegang Fori. "Kendaraan apa itu?"

"Sebaiknya kita lihat saja nanti, ayo," jawab Kumine sambil terus berjalan.

Sepanjang jalan, tak terdengar adanya suara tapak kuda dan kereta yang memiliki ciri khasnya sendiri saat berjalan. Hanya terdengar deru mesin yang melintas dari depan dan belakang. Semakin terasa bahwa mereka sedang berada di dunia lain ketika kiri dan kanan ditengok. Perlahan muncul rasa tak percaya akan adanya perbedaan kehidupan yang sangat signifikan, padahal mereka masih tinggal dalam benua yang sama.

Setelah sampai di stasiun, Shougo kebingungan bukan main melihat segala hal baru. Ada banyak gerbong kereta yang semuanya berada di atas rel. Orang-orang berjalan keluar masuk dari gerbong dengan sangat teratur, seakan mereka semua sudah mengetahui isi pikiran satu sama lain. Seluruh hal disana seperti dijalankan dengan sihir karena pergerakannya sangat harmonis.

"Aku dapat tiketnya," ucap Kumine sambil menghampiri Fori dan Shougo. "Ayo cari tempat duduk."

Fori mengambil tiket dari tangan Kumine. "Nona sepertinya sudah terbiasa dengan sistem disini. Apa Nona pernah kesini?"

"Haha, tentu tidak," jawab Kumine sambil tertawa kecil. "Tapi aku sering berpergian, jadi beradaptasi dengan tempat baru itu mudah bagiku."

Tak lama menunggu, Kumine melihat papan pengumuman menandakan kalau kereta mereka telah tiba. Terlebih dulu, mereka mengantar Tan ke gerbong hewan. Setelahnya, mereka segera pergi menuju gerbong penumpang. Tempat duduk yang ada di dalam berada di kiri dan kanan, serta berposisi saling berhadapan antar 2 kursi, dengan masing-masing kursi berkapasitas dua orang.

Shougo mengamati setiap sudut dalam gerbong dengan sangat serius, sampai tiba-tiba seorang Pria tua yang duduk di seberang berkontak mata dengannya.

"Pertama kalinya kau naik kereta, anak muda?" tanya Pria tua itu.

Shougo mengangguk. "Ya. Ini bahkan pertama kalinya aku keluar kota."

Pria tua itu tertawa. "Hohoho, bagus bagus. Aku senang melihat anak muda yang penuh semangat."

Kereta kemudian mulai berjalan, meninggalkan stasiun tempat mereka menunggu. Shougo bergeser ke jendela dan menyaksikan bagaimana stasiun perlahan-lahan menghilang dari pandangan mereka, selagi kereta bergerak semakin cepat.

Shougo tidak bisa melepaskan pandangannya dari jendela. "Cepat sekali ..."

Tak berapa lama, mereka sudah berada di luar tembok kota. Pemandangan yang sebelumnya menampilkan bangunan kota kini telah berubah menjadi hamparan padang rumput yang luas serta hutan di ujung mata.

Tiba-tiba, Shougo menatap sang Pria tua yang sedang menikmati keheningan dalam kereta.

"Tuan, bagaimana kendaraan ini bisa bergerak cepat sambil membawa banyak beban?"

"Tentu saja dengan mesin," jawab Pria tua tersebut.

"Mesin apa?"

"Kereta menggunakan mesin khusus yang bergerak dengan membakar bahan bakar."

Shougo menjadi semakin tertarik. Ia kembali bertanya dengan semangat. "Bahan bakar? Apa itu?"

"Itu adalah sejenis minyak yang dibakar dalam mesin. Saat terbakar, ia akan menghasilkan gas yang banyak. Gas itu kemudian diubah menjadi gas bertekanan tinggi, yang digunakan untuk memutar mesin. Karena gerakannya sangat cepat, maka mesin menjadi cukup kuat untuk menarik beban yang berarti."

Pria itu mengangkat jari telunjuk kanannya. "Untuk membuat gerakannya semakin cepat, gas itu diberi tambahan baterai sihir, sehingga kereta bisa melaju lebih cepat meski membawa lebih banyak barang."

"Baterai sihir?" tanya Shougo kembali. Ia menjadi sangat kebingungan akibat banyaknya informasi yang dijabarkan oleh Pria tua itu dalam waktu singkat.

"Itu adalah benda yang dapat menampung banyak sihir," jawab Kumine.

Pria tua itu terkejut dengan jawaban Kumine. "Oh, Nona tau tentang baterai sihir?"

Kumine tertawa kecil. "Ahaha, tidak terlalu banyak. Hanya pernah mendengarnya saat berpergian."

Ia memperhatikan Pria tua itu dari atas hingga kebawah. "Tetapi, Tuan sepertinya sangat memahami bagaimana cara kerja kereta hingga ke mesinnya."

Pria tua itu tertawa lagi. "Hohoho. Dulunya, aku bekerja dalam dunia permesinan. Meski telah ada beberapa perubahan, aku tetap memahami bagaimana prinsip kerja mesin-mesin yang ada saat ini."

Fori memajukan posisi duduknya agar bisa melihat si Pria tua dengan lebih jelas. "Ah, begitu rupanya. Pantas saja Tuan bisa menjelaskan cara kerja mesin itu dengan mudah."

Kumine bersandar kembali di kursinya. "Yah, meski begitu, apa yang dijelaskan tadi hanya dasarnya saja. Akan sangat rumit jika kita mau mendalaminya lebih jauh."

Pria tua itu hanya tersenyum. Ia tahu bahwa ilmu tentang permesinan sangatlah rumit untuk dijelaskan pada orang awam, sehingga hanya itu saja yang bisa ia sampaikan pada Shougo.

Si Pria tua melipat tangannya. "Meski rumit, mesin yang kami saat ini tidak sebanding dengan apa yang dimiliki oleh Crysta Horde dan Babur."

"Kenapa begitu?" tanya Shougo.

"Mereka berdua adalah pemiliki tanah yang kaya akan tambang bahan bakar. Batu bara dan minyak bumi kami bahkan bersumber dari sana."

Ia tersenyum kecil. "Meski sama-sama kerajaan terpinggir, tapi mereka berdua itu benar-benar gila dalam bidang teknologi."

Mendengar tentang kerajaan terpinggir membuat Kumine mengingat masa dimana ia masih belajar di akademi. Ia teringat kembali akan sejarah terbentuknya kerajaan-kerajaan yang berada di pinggir benua.

Ratusan tahun yang lalu, pertempuran terjadi hampir setiap hari antara manusia melawan manusia atau manusia melawan monster. Korban terus berjatuhan setiap harinya. Tak ada satupun orang yang bisa tidur dengan nyaman. Bahkan para Raja yang tidur di istana megah beserta penjaganya juga hidup dalam kecemasan. Hal ini membuat kebutuhan akan kekuatan sihir meningkat secara signifikan, agar bisa mempertahankan diri dari segala serangan yang datang.

Mereka yang lemah atau tidak bisa sihir akhirnya menjadi orang buangan yang ditindas bahkan terusir. Keberadaan mereka dinilai menjadi beban karena tidak berguna dalam pertempuran. Orang-orang buangan itu terus hidup dengan berpindah tempat tinggal. Sampai pada akhirnya, mereka tiba di ujung benua yang menjadi batas akhir perjalanannya. Karena tak bisa kemana-mana lagi, akhirnya mereka menetap di pinggir benua itu. Bersama-sama, mereka membangun sebuah peradaban baru di ujung benua.

Peradaban yang dibangun terus berkembang menjadi semakin besar dan padat. Tetapi karena mereka merupakan orang yang lemah dalam sihir, maka keturunan mereka pun mengalami hal yang sama. Meski lemah dalam sihir, ilmu sains melaju sangat pesat sebagai cara alternatif mereka bertahan hidup. Berbagai teknologi seperti mesin, peralatan sehari-hari, hingga listrik yang menjadi tulang punggung peradaban manusia, merupakan sesuatu yang berasal dari kota-kota pinggiran tersebut.

Shougo mengingat kedua nama kerajaan yang sempat disebut oleh Pria tua itu. Ia menatap Kumine dengan penuh antusiasme. "Babur dan Crysta Horde adalah tujuan kita selanjutnya kan?!"

Kumine mengangguk. "Jadi tidak sabar ke sana ya?"

Tak terasa setengah jam telah berlalu semenjak naik kereta. Kini mereka telah sampai di tujuannya, yaitu ibukota kerajaan Gozen. Setelah berpamitan pada Pria tua yang senantiasa bercerita sepanjang jalan, mereka turun dari gerbong kereta. Tujuan mereka selanjutnya tidaklah jauh dari stasiun, jadi mereka memutuskan untuk berjalan kaki daripada menaiki kendaraan umum lainnya.

Fori menengok ke kiri dan kanan, menyaksikan bagaimana ramainya kondisi jalan di ibukota. "Mesin-mesin mobil ini sama seperti kereta yang tadi kita naiki kan?"

"Sedikit mirip," jawab Kumine. "Selain beda pada tenaga mesinnya, kendaraan umum tidak memiliki batrai sihir."

Shougo berpikir sesaat, lalu bertanya, "Kenapa kota-kota lain tidak ikut menggunakannya? Sepertinya menggunakan mesin itu sangat efisien."

Melintas sebuah kendaraan dari belakang mereka di tengah pembicaraan tersebut. Suara bisingnya sempat mengalihkan pikiran Kumine selama sesaat, sebelum akhirnya ia sadar kembali setelah dipanggil namanya oleh Shougo.

Kumine tertawa sambil memandangi kendaraan yang telah lewat. "Haha, tentu saja. Tetapi, mesin-mesin itu dijual dengan harga yang sangat amat mahal oleh mereka."

"Eh, kenapa begitu?" tanya Shougo kembali.

"Kondisi kerajaan terpinggir sudah dirugikan karena tidak memiliki sihir kuat, jadi mereka tidak boleh menyebarkan teknologi andalannya semudah itu."

Sebuah kendaraan kembali melintas dari arah yang berlawanan. "Anggap saja mesin-mesin ini adalah nilai tukar yang membuat mereka berharga. Dengan itu, kerajaan lain mungkin memilih untuk bekerjasama daripada menyerang mereka."

Kumine kembali tertawa, tapi kali ini dengan suara yang lebih kecil dan halus. "Tetapi meski sudah tau akan itu semua, aku tetap harus mengakui bahwa segalanya berada diluar ekspektasi."

Sepanjang jalan, Kumine menjelaskan apa yang ia ketahui tentang kerajaan pinggiran pada Shougo. Berbagai budaya serta kerajaan telah dikunjungi olehnya, membuat ia cukup percaya diri dalam menjelaskan hal tersebut. Shougo mengangguk berulang kali, menyimak dengan antusiasme penuh. Segala hal yang keluar dari mulut Kumine adalah hal baru baginya. Tak ada yang lebih menarik bagi anak-anak dalam usia berkembang selain penjelasan akan segala hal untuk memenuhi rasa keingintahuannya.

Tak lama berjalan, mereka akhirnya tiba di sebuah toko bahan yang dituju. Saat membuka pintunya, terdengar suara bel yang dilanjutkan dengan sambutan dari penjaganya.

"Selamat datang Tuan dan Nyonya, ada yang bisa kami bantu?"

Kumine tersenyum lebar sambil melipat kedua tangannya. "Berikan aku bahan-bahan termahal kalian!"