webnovel

Galau

"Hap.. Hap... Apa? Aku belum pernah denger nama penyakit itu, Nad. " ujar Sinta yang merebahkan dirinya di tempat tidur Nadya.

"Haphephobia. Aku baca di google, itu nama penyakit untuk orang yang takut akan sentuhan. " ujar Nadya sembari membaca sebuah artikel di ponselnya.

"Oh... Aku malah baru tahu itu ada." ujar Sinta.

"Aku juga. Eh, tunggu dulu, kenapa dia bisa pegang aku, ya? " gumam Nadya.

"Apa? Pegang kamu? Kalian udah ngapain aja? " tanya Nadya yang langsung mendekat ke arah Nadya.

"Hah? Enggak.. Enggak.. Kami enggak macem-macem, kok? " bela Nadya.

"Kenapa kamu panik banget? Denger, ya, kamu harus hati-hati. Kai itu tunangan orang lain. Jangan sampe deh kamu jadi orang ketiga. Kayak di sinetron-sinetron aja. " ujar Sinta kembali merebahkan tubuhnya.

Nadya terdiam mendengar ucapan Sinta. Sinta memutuskan untuk menginap malam itu. Nadya mematikan lampu kamarnya dan bergegas untuk tidur. Matanya tak dapat terpejam mengingat apa yang ia rasakan terhadap Kai.

Pagi harinya Nadya bergegas menuju hotel untuk menjenguk Kai. Sinta terus-menerus mengingatkan dirinya untuk menjauh dari Kai karena status Kai yang sudah bertunangan tetapi Nadya berkilah bahwa dirinya hanya menganggap Kai. Hanya Nadya dan Tuhan yang tahu apa yang Nadya rasakan dan ia merasa bersalah karenanya. Seperti biasa, Fian sudah berada di kamar hotel Kai untuk mengecek keadaan Kai. Fian berdiri di depan kamar Kai sambil meminum kopi hangatnya. Fian tersenyum dan melambaikan tangan ketika Nadya berjalan memghampirinya.

"Wah, kamu pagi-pagi sekali ke sini. " ujar Fian.

Nadya tersenyum.

"Gimana keadaan Kai? " tanya Nadya.

"Kebetulan ada Siska di dalam, sedang mengecek Kai. Kamu mau masuk? Aku temani. " ujar Fian yang lalu menenggak sisa kopinya.

Fian berjalan mendahului Nadya masuk ke dalam kamar Kai. Sekilas ia melihat Kai yang sudah terbangun dan duduk di atas tempat tidur. Kai tampak sedang berbincang-bincang dengan seorang wanita yang duduk di tepi tempat tidur. Nadya menebak wanita itu adalah Siska. Siska sedang mengajukan beberapa pertanyaan tentang perasaan Kai saat ini setelah kejadian tempo lalu. Fian dan Nadya berdiri tak jauh dari tempat tidur Kai. Fian meminta Nadya untuk menunggu Siska selesai dengan Kai dan ia pun mengerti. Nadya tampak lega ketika melihat wajah Kai yang mulai tampak cerah dan segar seperti biasanya. Ia sengaja datang untuk bertemu Kai sekaligus bertanya tentang penyakitnya.

Siska bangkit dari duduknya dan memberikan beberapa obat pada Kai. Siska menoleh ke arah Fian dan Nadya yang menunggu untuk bertemu Kai.

"Sudah selesai? " tanya Fian.

"Sudah. Ngomong-ngomong, siapa ini? " tanya Siska sambil menghampiri Fian dan Nadya.

"Kenalkan, Siska, ini Nadya. Nadya, ini Siska. " ujar Fian memperkenalkan.

Nadya menjabat tangan Siska yang masih menggunakan sarung tangan silikon.

"Oh, sorry. " ujarnya mencopot sarung tangannya, " Kai tidak bisa terkena sentuhan lawan jenis jadi aku harus menggunakan sarung tangan ini untuk memeriksa Kai. "

"Aku pikir Kai bisa kompromi dengan sentuhanmu. " tanya Fian.

"Iya. Tapi serangan kemarin membuat fobianya bertambah parah, bahkan dengan sentuhanku. " ujar Siska.

Nadya tahu bukan salahnya dengan keadaan Kai saat ini tapi entah kenapa ia merasa bersalah dan tak bisa melindungi Kai.

"Aku baru ingat, Kai dan Fian cerita kalau cuma kamu yang bisa disentuh Kai. " ujar Siska pada Nadya.

"Iya, aku... "

Ucapan Nadya terputus ketika seorang wanita masuk ke dalam kamar tiba-tiba. Wanita itu menggunakan dress panjang berwarna merah muda. Rambutnya yang panjang tergerai. Nadya seorang wanita juga tapi ia terpana melihat pesona wanita itu. Tubuhnya ramping dengan wajah tirusnya yang cantik. Kulitnya putih dengan kaki jenjangnya. Wanita itu menghampiri Kai tanpa menghiraukan orang-orang yang berada di dalam kamar itu selain Kai.

"Gimana kabarmu? " tanya wanita itu pada Kai.

"Kenapa kamu ada di sini? " tanya Kai.

"Aku tahu kabarmu dari Siska dan langsung ke sini. " ujar wanita itu sembari duduk di tepi ranjang.

Tangannya berusaha menggapai wajah Kai namun Kai menghindar. Wanita itu menarik tangannya kembali.

"Kamu tahu, kan, kamu enggak bisa pegang dia, Alexa. " ujar Siska pada wanita yang bernama Alexa.

"Hmm... Aku pikir kamu sudah sembuh Kai. " ujar Alexa.

"Aku, psikolog pribadinya saja, tidak bisa menyentuhnya. Apalagi kamu. " ujar Siska yang duduk di sofa tak jauh dari ranjang.

"Kamu itu psikolognya. Aku? Aku tunangannya. Bagaimana nanti kalau kami menikah? " ujar Alexa.

"Aku tidak ada niatan menikah denganmu, Alexa. " ujar Kai sinis.

"Heh? Kamu pikir semudah itu memutuskan. " ujar Alexa dingin.

Nadya yang berdiri menyaksikan perdebatan Kai dengan Alexa hanya terdiam. Diam-diam ia melangkah mundur menuju pintu yang ternyata disadari oleh Fian. Fian menarik tangan Nadya dan bertanya padanya namun Nadya tak menjawab. Alexa menoleh ke arah Nadya dan Fian.

"Fian, siapa dia? " tanya Alexa.

"Ini Nadya. Dia ingin... "

"Aku pacarnya Fian. " ujar Nadya tiba-tiba memotong ucapan Fian.

Nadya menarik tangan Fian dan merangkul lengannya. Kai yang bersandar di kepala tempat tidur langsung melotot ke arah Fian yang tampak panik. Nadya tak melepaskan lengan tangan Fian yang berusaha menarik tangannya.

"Oh, begitu. Fian, bawa pacarmu pergi dari sini. Aku ingin berdua dengan Kai. " perintah Alexa.

"Iya, aku akan pergi. Ayo, Fian. " ujar Nadya sambil menarik tangan Fian keluar kamar.

"Hei, Nadya! Nadya! " panggil Kai.

Nadya tidak menoleh dan terus menarik Fian keluar kamar. Siska menoleh ke arah Nadya dan Kai secara bergantian. Begitu pula Alexa, ia menyadari Kai sepertinya peduli tentang Nadya. Nadya melepaskan tangan Fian ketika berada di luar kamar dan mengalihkan pandangannya.

"Fian, aku pamit dulu. Maaf, aku enggak bisa lama-lama di sini. " ujar Nadya sambil berbalik.

"Nad, kamu mau aku antar? " tanya Fian.

"Enggak usah, makasih. " ujar Nadya tanpa menatap Fian.

Nadya terus berjalan menjauh dari Fian yang masih menatapnya. Fian tahu apa yang dirasakan Nadya saat ini namun ia tak berani bertanya dan membiarkan Nadya pergi. Fian kembali masuk ke dalam kamar Kai. Kai yang tengah tergesa-gesa keluar kamar hampir menabrak Fian.

"Mana Nadya? " tanya Kai.

"Dia pergi. " ujar Fian.

Kai hendak mengejar Nadya yang belum terlalu jauh darinya namun Fian menghentikannya.

"Biarkan dia pergi. Kau kembalilah ke dalam, Alexa menunggu. " ujar Fian yang memegang erat pundak Kai yang berusaha melepaskan diri.

Kai menatap ke arah koridor hotel yang kosong, berharap matanya dapat menjangkau Nadya yang pergi. Kai kembali menatap Fian dengan tajam lalu menepis tangan Fian di pundaknya. Kai kembali ke tempat tidurnya dan duduk dengan perasaan kesal. Alexa tahu bahwa Kai saat ini dalam keadaan marah dan tak bisa didekati. Alexa bangkit dari duduknya dan memutuskan untuk keluar meninggalkan Kai.

***

Aryo tengah sibuk membalikan kursi-kursi di restonya ketika Alexa masuk ke dalam resto. Beberapa kali Alexa mengecek ponselnya dan memastikan alamat yang ia tuju benar. Aryo menoleh ke arah Alexa yang tampak kebingungan.

"Maaf, kami sudah tutup. Anda bisa datang lagi ke sini besok jam 09.00." ujar Aryo sambil menghampiri Alexa.

"Aku cari alamat ini tapi malah berakhir di dalam restoran ini. Apa aku salah? " tanya Alexa.

"Coba saya lihat. " ujar Aryo.

Aryo mendekat ke arah Alexa yang hanya menatap Aryo. Alexa memberikan ponselnya pada Aryo yang berdiri terlalu dekat dengannya. Alexa tak biza mengalihkan pandangannya pada Aryo.

"Alamat ini benar. Anda ke tempat yang benar. " ujar Aryo.

"Oh, iya? Tapi aku datang ke sini untuk mencari Nadya. " ujar Alexa.

"Oh, Nadya. Rumah kami ada di belakang restoran ini jadi kamu enggak salah alamat. " ujar Aryo berbicara informal pada Alexa sambil tersenyum.

"Rumah kami? " tanya Alexa.

"Iya, aku kakaknya. Kamu teman Nadya, ya? Sayangnya Nadya belum pulang. Mau menunggunya? " tanya Aryo.

"Oh, enggak usah. Kapan-kapan aku akan ke sini lagi. " ujar Alexa.

Alexa berpamitan pada Aryo dan memutuskan untuk pergi. Setidaknya Alexa tahu di mana ia harus mencari Nadya. Aryo menatap kepergian Alexa yang berjalan memasuki mobil berwarna hitam. Sekilas Alexa menoleh pada Aryo yang tersenyum padanya. Aryo berbalik masuk ke dalam restonya sedangkan Alexa tak berhenti menatap Aryo.

Waktu mulai senja dan Nadya baru saja tiba di rumah ketika Aryo menikmati teh hangatnya di ruang tamu. Nadya masuk ke dalam rumah dengan wajah lusuh. Dia melempar tas ke kursi dan duduk di sebelah Aryo.

"Kenapa jam seginih baru pulang? Dari mana aja? " tanya Aryo sedikit kesal.

"Aku habis cari kerjaan, Kak. " ujar Nadya sambil menyeruput teh hangat milik Aryo.

"Terus dapet? " tanyanya.

"Dapet lah. Besok aku mulai kerja di toko bukunya Didit. Kakak inget Didit, kan? Temen SMP aku yang dulu badannya kesil itu? " ujar Nadya.

"Oh, iya. Inget, kok. Ya udah, bagus deh kalau gitu. Kakak baru inget, tadi ada temen kamu ke sini. " ujar Aryo.

"Siapa? Sinta? " tanya Nadya.

"Bukan. Kakak juga baru lihat. Cewek, cantik, tinggi, putih, badannya ramping. " ujar Aryo sambil tersenyum.

"Siapa, ya? Rasa-rasanya aku enggak punya temen yang cantik banget. Sinta aja mukanya standar. " ejek Nadya sambil tertawa.

"Enggak tahu, dia bilang mau ketemu kamu. Tapi kamu belum pulang. Ngomong-ngomong, kamu beneran pulang jam seginih cari kerjaan? " tanya Aryo serius.

"Iya, Kak. Beneran, kok. Emang kenapa? " tanya Nadya.

"Kakak cuma enggak mau kamu ketemuan terus sama pemilik hotel itu. " ujar Aryo tegas.

"Kakak tahu dari mana? " tanya Nadya.

Ah, pasti si Sinta udah cerita macem-macem nih sama Kak Aryo. Batinnya.

"Emangnya kenapa, Kak? " tanya Nadya lagi.

"Pertama, status sosial kamu sama dia jauh berbeda. Kedua, Kakak dengar dia udah punya tunangan. Apapun alasannya kamu enggak boleh ambil milik orang lain. Kamu itu bukan pencuri, jadi jangan ambil sesuatu yang bukan hak kamu. Ngerti? " ujar Aryo dengan wajah serius.

Nadya hanya mengangguk tanpa bisa berkata-kata. Ucapan Aryo memang benar dan entah kenapa Nadya merasa bersalah karena jatuh cinta pada lelaki yang sudah bertunangan. Nadya memutuskan untuk masuk ke dalam kamarnya. Ia merebahkan tubuhnya di tempat tidur dan menatap langit-langit kamar. Nadya memejamkan matanya dan memutuskan untuk beristirahat meski belum mengganti pakaiannya. Ia merasa lelah. Bukan hanya tubuhnya, tapi batinnya pun merasakan hal yang sama.