webnovel

Menyempurnakan kekuatan (A)

"Bangun!"

Gadis itu tak mengindahkan. Masih bergelung nyaman di atas bulu-bulu halus bagai permadani mahal.

"Bangun!" Sekali lagi Ludra mengguncang tubuhnya. Gadis itu hanya menggeliat, tersenyum damai dengan mata masih terpejam. Tubuhnya malah semakin meringkuk mencari kehangatan ke dalam lekukan sayap Zie.

Ludra mendengus, "Zie."

Satu panggilan itu seketika membuat elang raksasa membuka mata. Ia mengembangkan sayap. Bersiap terbang.

Suwa tersentak. Gerakan tiba - tiba itu membuat gadis bersurai hitam kaget setengah mati. Mengerjap panik ketika elang putih tersebut mulai melayang.

"Ehh.... Ti... Tidak. Jangan terbang dulu!" Kedua tangan Suwa refleks mencengkeram erat bulu Zie. Menunduk ke bawah dilihatnya Ludra memandangnya tenang.

"Tolong lakukan sesuatu!" Teriak Suwa berharap Ludra menolongnya.

Zie melayang semakin menjauh dari tanah. Mengepak - ngepakkan sayap kian lebar. Membuat Suwa semakin bergerak panik. Tubuhnya terguncang hingga pegangan tangannya terlepas. Tubuhnya pun terjungkal.

Suwa menjerit, memejamkan mata rapat bersiap merasakan kerasnya tanah.

Namun sebelum itu terjadi, Ludra dengan sigap menangkapnya. Membuat tubuh gadis itu berada dalam gendongannya.

Perlahan Suwa membuka mata. Ada rasa lega saat tahu sesuatu menopangnya. Kemudian kedua matanya bertemu pandang dengan manik secerah langit milik makhluk itu. Dengan jarak sedekat ini Suwa bisa melihat dengan jelas keindahan mata milik sang Falcon terakhir. Suwa bahkan hampir tak berkedip saking takjubnya.

Sepersekian detik mereka bertatapan tetapi Suwa langsung memalingkan muka. Wajahnya mendadak bersemu merah. Tidak tahan bertatapan sedekat ini.

"Dasar kerbau."

Refleks Suwa kembali mendongak. Memberi tatapan nyalang. Makhluk ini barusan mengejeknya, "Apa?"

Ludra tak menjawab ia hanya menarik sudut bibirnya kemudian menurunkan tubuh mungil Suwa. Sikap pria itu membuatnya benar-benar kesal.

Ini memang salahnya, tertidur terlalu lama sampai tak merasakan sinar matahari sudah berpendar sedari tadi. Tetapi ia tak menyangka bakal mendapat ledekan dari si makhluk legendaris ini.

Tapi.... Tunggu!

Makhluk ini bahkan memecahkan rekor tertidur begitu lama bukan?

Suwa berdecak. Balik membalas ejekan Ludra, "Tidurku itu tak seberapa. Aku bahkan pernah membangunkan makhluk yang berhibernasi selama beratus-ratus tahun. Ohh... Menakjubkan bukan?"

"Ya... Dan orang yang membangunkan makhluk itu ditakdirkan menjadi pelayannya. Sungguh sial."

Suwa sontak menegang. Berharap ia bisa tersenyum puas membalas ejekan Ludra tetapi malah dirinya yang terpojok. Suwa tersadar kembali bahwa dia tengah berada dalam cengkeraman makhluk yang sewaktu-waktu akan memakannya. Seharusnya dia tak membalas ucapan makhluk yang telah menjadi tuannya ini.

"Ya... I... Itu benar." Suwa tergeragap setengah takut ia memberanikan diri untuk menimpali perkataan Ludra, "Tapi itu di luar kehendakku."

Penuh tekad Suwa menatap lurus Ludra, "Aku memang bersedia menjadi pelayanmu. Tetapi aku tak mau bicara formal pada anda tuan. Karena aku bukan budak."

Ludra hanya terdiam.

Meneguk ludah Suwa kembali melanjutkan kalimatnya, "I... Itu satu permintaanku. A... Aku hanya tak mau dikekang.  Meskipun begitu aku akan melakukan pekerjaan dengan baik."

"Ya.. Terserah kau." Jawab Ludra tak keberatan. Membuat Suwa menghela nafas lega. Sejujurnya ia begitu takut jika permintaannya membuat makhluk itu marah besar.

Ludra memberi kode agar Zie kembali dalam ukuran kecilnya. Mengingat mereka sekarang berada di dunia manusia.

"Waktunya kau melakukan tugasmu Suwa!"

****

Suwa bergerak waspada saat tatapan Ludra terasa begitu mengintimidasi. Tetapi ia tetap memberi anggukan kecil  "Lalu apa yang harus aku lakukan?"

Ludra berdiri tenang. Wajah nyaris tanpa ekspresi itu terlihat menimbang-nimbang sesuatu. Sebelum akhirnya membuka suara, "Kau adalah pelayanku kan? Dan bersiap untuk melaksanakan perintah majikanmu?"

Suwa mengangguk.

"Bagus." Ludra kemudian berjalan mendekati Suwa. Entah kenapa saat ini cara berjalan makhluk itu terkesan menakutkan. Suwa semakin was-was.

Apakah ini saatnya aku menjadi santapannya? Apakah dia akan memerintahkan aku untuk memotong bagian tubuhku sendiri sebagai menu paginya?

Peluh Suwa mendadak bercucuran. Jantungnya berdegup tak karuan. Ingin sekali dia mencelos kabur. Tetapi pasti makhluk sakti ini bisa menangkapnya dengan mudah. Suwa hanya bisa berdoa bahwa pikirannya itu tidak terjadi.

Kini, Ludra sudah berdiri tetap di hadapannya. Sedikit berjongkok dia berbisik, "Rekomendasikan padaku orang yang pantas mati!"

Mata Suwa melebar, "A... Apa?"

"Aku perlu beberapa nyawa untuk menyempurnakan kekuatanku." Ludra menjawab datar.

"Tidak." Suwa menggeleng, "Kau kan sudah mempunyai kekuatan luar biasa."

"Ini hanya kekuatan kecil. Aku butuh lebih banyak kekuatan lagi."

Suwa menggeleng tak habis pikir. Kekuatan Ludra yang selama ini Suwa lihat hanya sebagian kecil. Lalu bagaimana yang dimaksud kekuatan sempurna itu? Jika kekuatan kecil Ludra saja begitu mencengangkan.

"Kenapa harus membunuh?"

"Sudah ku bilang aku perlu menuai nyawa guna memulihkan kekuatanku yang terbengkalai selama aku tertidur."

Suwa jadi teringat saat pertemuan pertamanya dengan sang Falcon. Saat itu ia tak sengaja membangunkan makhluk ini. Dan kemudian tiba-tiba Ludra menghabisi ke-lima manusia yang hendak membawa Suwa. Ternyata hal itu bukan tanpa sebab. Makhluk itu rupanya tengah memulihkan kekuatannya dengan membunuh.

"Semakin banyak aku menghilangkan nyawa maka semakin bertambah pula kekuatanku, Suwa." Jelas Ludra seakan tahu apa yang ada di pikiran gadis ini.

"Dan sebelum sang kegelapan menemukanku. Aku harus cukup mempunyai kekuatan untuk menghadapinya." Imbuh Ludra.

Suwa membeku. Ia tak tahu lagi harus bagaimana. Bagaimana bisa makhluk ini meminta pendapatnya untuk mencari orang yang akan ia bunuh.

"Tidak.... Aku tidak ingin merekomendasikan siapapun. Membunuh bukanlah tindakan manusiawi." Tolak Suwa dengan mantab.

Ludra menegakkan badan. Menyilangkan kedua tangan di dada, "Dan aku bukanlah manusia."

"Ya itu benar. Tapi aku-." Suwa menunjuk dirinya, "Aku ini manusia. Membunuh itu tindakan kejam." Suwa masih ingat betul bagaimana dulu keluarganya dibunuh dengan kejam dan semua itu menimbulkan rasa perih. Kehilangan yang begitu dalam. Suwa tidak mau hal itu menimpa pada orang lain. Cukup dirinya dan keluarganya.

"Bagaimana kalau aku menolak tugas ini tuan?"

"Ya, tidak masalah." Ludra berkata tenang. Kakinya berjalan ke atas bukit tak jauh dari tempatnya singgah.

Suwa begitu lega. Konsekuensi dirinya menolak perintah Ludra ternyata tidak berdampak apapun. Suwa sempat mengira dia akan mendapat hukuman dari tuannya itu.

Suwa berjalan mengikuti Ludra ke atas bukit. Dari sini Suwa dapat melihat pemukiman penduduk. Meski jauh, Suwa bisa melihat beberapa penduduk berlalu lalang melakukan aktivitas mereka di pagi hari. Begitu damai. Suwa jadi ingin ke sana.

"Desa itu terlihat padat penduduk." Gumam Ludra.

Suwa mengangguk, "Ya." Dia lantas mengukir senyum, "Sangat makmur."

"Hmmm... Satu desa cukup untuk menyempurnakan kekuatanku."

Spontan Suwa menoleh ke arah Ludra. Matanya terbelalak tak percaya, "Maksudmu?"

"Mencabut nyawa semua penduduk itu." Ludra bergerak turun dari bukit.

"Tidak... Tidak kau tidak boleh melakukan itu!" Suwa berseru panik. Berusaha mencegah tindakan buruk Ludra.

"Kenapa tidak? Bukankah kau menolak perintahku Suwa. Jadi aku yang memutuskan sendiri siapa yang harus mati."

Suwa tercenung. Ludra memang bisa memilih sendiri siapa yang harus ia habisi. Tanpa harus meminta pendapat padanya. Tidak... Ini tak boleh terjadi. Makhluk legendaris ini tak boleh melenyapkan seluruh penduduk. Itu sangatlah keji. Desa itu pasti berisi anak-anak, wanita-wanita tak berdaya, orang tua renta. Dan masih banyak makhluk tak berdosa lainnya. Suwa harus mencegah hal itu terjadi.

"Jangan.... Jangan bantai mereka semua!" Suwa mencekal pergelangan tangan Ludra. Memohon pada makhluk itu agar mengurungkan niatnya.

Ludra mengangkat sebelah alis, "Aku tetap akan menuai nyawa."

"Tapi tidak dengan membantai seluruh penduduk. Mereka tidak berdosa."

"Lalu?" Ludra bersendekap, menunggu solusi dari Suwa.

Gadis itu meneguk ludah. Dengan ragu ia berkata, "Aku akan melakukan perintahmu."

****

Naga merah bertengger di atas tebing. Manik seterik matahari itu mengamati setiap pergerakan anak buahnya. Dia mengawasi bagaimana prajuritnya mengendus jejak sang Falcon. Tetapi tetap saja sampai sekarang penciuman siluman serigala yang terkenal ampuh sama sekali tak membuahkan hasil.

"Ke mana Falcon itu?" Heise bergumam dalam hati dia jadi ragu bahwa masih ada satu Falcon yang hidup. Tetapi bagaimana pun juga ia tetap harus melaksanakan perintah sang kegelapan.

Heise mengepakkan sayap lebar. Terbang ke langit menuju suatu tempat.

Wilayah para penyihir.

Tempat ini begitu gelap. Suram nyaris tak terlihat adanya kehidupan. Dan semua itu tidak lain karena ulah sang kegelapan. Dahulu tempat ini begitu subur, dipenuhi pepohonan hijau yang rindang banyak hewan-hewan legendaris yang berlalu lalang. Tempat ini dulunya bagaikan margasatwa yang dijaga oleh para penyihir.

Dan semua musnah seperti halnya bagian dari wilayah Legendari Land lainnya. Itu sebabnya banyak sekali makhluk legendaris yang mengungsi mencari tempat sumber kehidupan mereka.

Heise turun. Seiring dirinya mengijak tanah. Tubuhnya berangsur-angsur berubah ke dalam bentuk manusia. Pria berahang tegas dengan wajah rupawan itu menapaki tanah tandus dengan tenang. Meski terlihat sepi namun beberapa bayangan hitam terlihat beringsut menyembunyikan diri dari anak buah sang kegelapan. Mereka sangat tahu adanya alarm bahaya.

Mata merah Heise menyala. Begitu jeli menangkap sebuah sosok yang mengendap-endap di sisi batu. Ia mengangkat telapak tangan memunculkan api di baliknya.

SPLASHH!!!

Semburat api ia tembakan ke arah sosok itu. Hingga makhluk tersebut hangus terbakar. Sontak beberapa makhluk lain di wilayah tersebut menegang takut.

"Keluarlah Momoru! Jika tidak aku akan membakar seluruh makhluk di wilayah ini!"

"Tidak cukupkah kalian menghancurkan wilayah ini?" Sosok makhluk bertudung hitam melangkah di balik kegelapan. Mendekati Heise.

"Aku hanya butuh satu informasi saja. Dan aku akan pergi dengan damai." Ucap Heise tak mau berbasa-basi.

Momoru terkekeh, "Untuk apa naga merah yang hebat ini memerlukan informasi dari penyihir rendah sepertiku?"

Heise berdecak, "Jangan mencoba bermajas Momoru. Penyihir langka seperti mu pasti tahu sesuatu."

Ya penyihir putih layaknya seorang pendeta di dunia manusia. Mereka dianggap makhluk suci. Sumber spiritual bagi kaum legendari land.

Heise mendekat menatap pria bertundung dengan tajam, "Katakan di mana Falcon terakhir berada?"

"Bangsa Falcon hanyalah mitos. Mereka sudah lama musnah."

"Hahahaha aku tahu kau berbohong." Cebik Heise dengan sinis.

"Kenapa? Apa sang kegelapan yang hebat itu mulai risau?" Momoru balik bertanya penuh ejekan.

Heise terdiam. Menatap penuh penilaian. Sebelum kemudian dia menarik sudut bibirnya, "Dari pertanyaanmu aku simpulkan bahwa memang masih ada satu Falcon yang hidup." Heise mundur,  "Aku ke sini hanya butuh kejelasan saja." Imbuhnya kemudian merubah dirinya dalam wujud naga sebelum akhirnya terbang meninggalkan wilayah itu.

Heise tidak butuh informasi di mana Falcon berada. Yang ia butuhkan hanya kepastian bahwa memang masih ada satu Falcon yang hidup. Dengan begitu pencariannya tidak akan sia-sia.

Penyihir Momoru hanya menatap naga terbang itu dengan pandangan tak terbaca. Sebelum akhirnya dia pun juga ikut menghilang.

****