31 Bab 30

"Kau sangat ingin Brian memakai lingerie?" Tanya Elise. Elena menatap Elise menoleh sekilas pada Brian di depannya lalu kembali menatap Elise.

Lalu Elena mengangguk.

"Brian, Elena sangat mengidam kau memakai lingerie. Lihat! Karena penolakanmu Elena jadi menangis. Apa kau lupa nasihat Diana? Ibu hamil tak boleh stress dan menangis, itu bisa menimbulkan berefek buruk pada janin."

Brian menghela napasnya dan menatap Elena.

"Kau sangat ingin aku memakai lingerie?" Elena langsung mengangguk.

"Baiklah." Dan seketika airmata Elena berhenti.

"Sungguh?" Tanya Elena seperti seorang anak kecil yang berhenti menangis karena dijanjikan akan dibelikan balon.

"Iya, jangan menangis lagi," ucap Brian lembut. Entah mengapa ada hati Elise yang tak nyaman melihat pemandangan di depannya. Mata Brian yang menatap Elena lekat membuat hatinya gelisah, tak suka dan perlahan terbakar api.

"Ayo, cepat pakai Brian. Kami sudah tak sabar ingin melihat," ucap Elise antusias menghentikan acara pandang-pandangan Brian dan Elena.

Dengan pundak yang menurun lemah dan jalan yang lunglai Brian berjalan menuju lemari.

"Brian, jika kau tak ikhlas lebih baik tidak usah," ucap Elena yang membuat Brian menoleh dan melihat mata wanita itu yang kembali berkaca-kaca ingin menangis kembali.

Brian memaksakan senyumannya.

"Aku ikhlas, sungguh," jawab Brian padahal di dalam dirinya tengah meraung frustasi. Hancur kemaskulinannya malam ini. Jika ada yang melihatnya mengenakan dress biru ini pasti Brian sudah tak memiliki muka untuk keluar rumah lagi. Apalagi jika harus mengenakan lingerie. OH MY GOD!

Dua menit kemudian Brian keluar dengan mengenakan lingerie putih. Wanita kembar itu kembali tertawa terpingkal-pingkal. Bahkan wajah Elena begitu cerah seakan wanita itu tak pernah menangis sebelumnya.

Brian lagi-lagi terpana oleh tawa, senyuman dan keceriaan yang ada di hadapannya. Dia seakan melihat bidadari yang tengah tertawa. Begitu indah, menyilauikan dan menggetarkan hatinya.

....

Malam ini Elena terbangun dari tidurnya di tengah malam. Jam di dinding sudah menunjukkan pukul dua dini hari, tapi Elena malah terbangun akibat perutnya yang meminta jatah makan. Elena memang melewatkan makan malamnya. Karena dia mual dan tak bisa memakan masakan yang dibuat Bi Yanti.

Elena menuruni tangga dengan langkah pelan, tak ingin menimbulkan suara yang bisa membangunkan penghuni lainnya. Dia terus berjalan mengendap ke arah dapur. Namun tiba-tiba sesosok bayang muncul tepat di hadapannya. Elena memekik kaget dengan jantung yang berdegup kencang. Di tengah malam seperti ini, di saat semua orang tengah tertidur dan dalam keadaan remang tanpa pencahayaan tentu saja sosok bayangan itu sangat menakutkan. Hingga Elena refleks berbalik dan berlari secepat yang dia bisa. Namun naas efek ruangan gelap yang hanya disinari sedikit cahaya membuat Elena menabrak meja. Elena kehilangan keseimbangannya dan terhunyung ke belakang. Matanya terpejam erat siap merasakan benturan apapun yang akan dia rasakan.

Dan semuanya terjadi begitu cepat. Elena jatuh, namun tubuhnya tak langsung membentur lantai. Ada sesuatu di belakangnya. Lengan kekar yang melingkar di perutnya dan dada bidang nan hangat yang menempel di punggung membuat Elena yakin jika yang ada di belakangnya adalah seorang pria. Dan pria yang ada di mansion ini tak lain adalah Brian. Elena menoleh ke belakang. Tepat seperti dugaannya. Brian terlentang di belakang Elena dengan tatapan tajam terhunus ke matanya langsung.

Menyadari kemarahan di mata Brian Elena dengan cepat bangkit berdiri dan menundukkan kepalanya.

"Apa yang kau lakukan Elena? Mengapa kau berlari? Apa kau sudah gila? Kau itu sedang hamil! Hamil anakku!" sembur Brian penuh emosi setelah berdiri di hadapan Elena.

"Ma—maaf," cicit Elena dengan suara serak. Bahunya bergetar dan air mata sudah menetes. Kehamilan membuat dia begitu mudah menangis.

Brian mengepalkan tangannya, menarik napas lalu menahannya sebelum menghembuskan perlahan untuk menekan emosinya. Diana selalu mengingatkannya agar tidak membuat Elena tertekan dan stres.

"Sudah, jangan menangis. Aku hanya mengkhawatirkanmu. Maafkan aku yang sudah membentakmu."

"Ak—aku memang wanita gila yang tak berpikir panjang. Maaf—kan a—aku," ucap Elena di sela isak tangisnya. Brian merasa bersalah dan tak tega Elena menangis karena bentakkannya. Tangannya terulur mengusap kepala Elena. Tapi wanita itu masih saja menangis. Tak tahan melihat Elena seperti itu, Brian menarik wanita itu ke dalam pelukannya mengusap punggung Elena lembut.

"Maafkan aku yang membentakmu." Tak berapa lama tangis Elena berhenti hanya tersisa napasnya yang masih tersengal akibat habis menangis."Mengapa kau berlari?"

Elena perlahan melepaskan pelukan, dengan canggung berdiri dengan menundukkan kepalanya. Dia malu. Malu karena dengan mudahnya menangis hanya karena hal sepele.

"Kau tiba-tiba muncul dan mengagetkanku. Aku pikir tadi hantu. Itu sebabnya aku berlari." Brian tersenyum dengan terus menatap elana yang tak mau memandangnya.

Tangan Brian terulur dan jemarinya mendongakkan dagu Elena agar menghadap ke arahnya. Matanya terkunci pada mata Elena yang indah. Kedua jemari Brian mengusap pipi Elena. Menghapus jejak airmata di sana.

"Jangan pernah berlari lagi ya. Kau sedang hamil. Aku tak ingin sesuatu yang buruk terjadi padamu dan baby." suara lembut dan pelan Brian seakan menghipnotis Elena. Wanita itu mengangguk dan tersenyum.

"Aku janji."

"Lalu mengapa kau bangun?"

Wajah Elena memerah, "Aku lapar."

Brian tersenyum melihat wajah Elena yang memerah dan terlihat menggemaskan. "Kupikir kau akan terus tertidur dengan perut kosong hingga pagi."

Elena hanya diam tak menjawab.

"Ayo, aku temani kau makan." Brian tanpa sadar menarik tangan Elena dan menuntunya ke dapur.

Kini Elena sudah duduk di meja makan yang ada di dekat dapur. Saat Brian membuka tudung saji berniat memanaskan makanan. Elena menahan lengan Brian. Dia mual dan tak ingin memakan makanan itu.

"Mual?" tanya Brian. Elena mengangguk. Brian merapatkan kembali tudung saji.

"Jadi, kau ingin makan apa?" Brian berdiri di sisi lain meja tepat di hadapan Elena. Menatap wanita itu dengan seksama. Cahaya lampu dapur membuat Brian bisa melihat dengan jelas tampilan Elena saat ini. Elena mengenakan piyama pink dan wanita itu sepertinya tidak menyadari jika bagian leher bajunya begitu turun, ditambah lagi satu kancing teratasnya terbuka, membuat Brian bisa melihat belahan dada Elena dari posisi berdirinya saat ini. Seakan itu tak cukup. Wajah Elena menatapnya dengan sendu dengan rambut panjangnya yang brantakan. Menambah kesan sexy. Brian menatap lekad Elena, seperti kucing yang tengah menatap ikan segar yang begitu menggiurkan hingga air liur bisa menetes keluar.

"Brian," panggilan Elena menyadarkannya. Tubuh Brian berdenyit dan mengalihkan pandangan dari Elena.

"Jadi, kau ingin makan apa?" tanya Brian lagi.

"Aku ingin ... Nasi goreng, tapi." Elena terdiam menatap Brian, ragu mengatakannya pada Brian.

Brian terdiam menunggu dan menggerakkan kepalanya, meminta Elena untuk melanjutkan kalimatnya.

"Tapi kau yang memasaknya," ucap Elena perlahan-lahan dan takut. Dia menatap Brian penuh harap dengan matanya yang memohon. Membuat Brian tak kuasa dengan pandangan polos itu. Dia sangat ingin menaiki meja ini dan menerkam Elena sekarang juga. Astaga! Brian frustasi dan hanya bisa meremas pinggiran meja.

"Baiklah. Aku akan masakkan tapi ... rapikan dulu penampilanmu." Tanpa menunggu jawaban Elena, Brian langsung berbalik dan menyiapkan bahan masakan yang akan dia gunakan untuk membuat nasi goreng.

Elena masih mengerutkan kening. Bingung dengan ucapan Brian. Merapikan penampilannya? Elena merasa tak ada yang salah dengan penampilannya. Dia menganakan piaya ... Elena menoleh ke bawah dan dia baru tersadar. Wajahnya memerah, Brian pasti melihat dada bagian atasnya yang menyembul. Wajahnya memerah dan dengan cepat mengancingkan bajunya. Brian pasti berpikir jika dia sedang menggoda pria itu. Memalukan. Elena merutuki kebodohannya.

avataravatar
Next chapter