webnovel

Everything Can Be Something

Bagaimana jadinya jika sebuah kecelakaan tragis adalah sebuah pembunuhan yang disembunyikan? Bagaimana pula jika orang-orang yang terlibat berusaha menyembunyikan hal tersebut? Seorang mantan jurnalis berusaha memasuki kehidupan seorang ningrat hingga tak sengaja jatuh cinta dengan cucu terakhir yang tiba-tiba harus dinikahinya. ~~~ Tersenyum, hanya itu yang bisa dilakukan oleh wanita berjaket coklat tua yang tengah berdiri di depan sebuah mobil berwarna hitam. Ia menelan ludahnya diam-diam dan masih tersenyum menatap laki-laki dalam radius sekitar 5 meter yang juga menatapnya. Laki-laki berjas hitam itu tiba-tiba berlari dan memeluk wanita tadi, mendekapnya dengan erat. Mata berbinarnya berubah pilu, ia menyembunyikan wajahnya dan menangis dalam diam. Mendapat pelukan tiba-tiba dari laki-kali yang perlahan ia cintai itu membuatnya sedih tanpa alasan. Meski pelukan, namun jika ini yang terakhir kalinya, rasanya sangat menyakitkan. Apalagi, ia paham betul bagaimana selama ini ia membuang waktu yang terus belalu tanpa gagal, lalu kini ia hanya perlu melepas dengan ikhlas. Meski butuh waktu lama untuk air mata mengering, ia akan berusaha. "Terima kasih untuk selama ini, Salma!"

vijakkanim · Urban
Not enough ratings
28 Chs

Bagian Dua Puluh Delapan : Kegilaan Yang Berlanjut

~~~

Ravi berjalan tanpa ragu memasuki sebuah gedung megah yang sedang ditata oleh beberapa staf, ia yang mengenakan jas biru tua dengan sebuket bunga di tangan kanannya berjalan menuju seorang gadis bergaun pendek tengah berdiri di ujung tangga.

"Sayang?" ucap Ravi agak berbisik, ia berdiri tepat di belakang Sabila.

Sabila terperanjat dan dengan cepat ia menoleh lalu tersenyum, "kamu kok gak bilang kalau mau ke sini?" ucapnya yang masih saja terkejut.

"Kamu gak suka aku di sini?" tanya Ravi.

"B-bukan, bukan begitu Ravi, aku senang kamu di sini," ucap Sabila sambil menampilkan senyuman manisnya.

Ravi tersenyum, ia kemudian menyerahkan buket bunga mawar putih yang sedari tadi dipegangnya, "tadi gak sengaja lewat toko bunga, aku jadi keinget kamu," ucapnya.

Sabila mengambil buket bunga itu dengan senang hati, ia mencium aroma bunga itu lalu tersenyum senang.

"Sudah hampir selesai juga persiapannya," gumam Ravi.

"Acaranya sebentar lagi, Ravi," ucap Sabila.

"Semoga kamu gak gugup nanti," ucap Ravi.

Sabila menganggukkan kepalanya, "ngomong-ngomong, mau minum kopi di luar?"

"Boleh, ayo!"

Ravi meraih tangan kiri Sabila yang menganggur lalu menggenggamnya dan berjalan bersama keluar dari gedung itu.

~~~

Sudah hampir jam lima sore, Salma berjalan menuju meja makan mewah yang berada di lantai utama sebuah rumah yang katanya akan menjadi miliknya itu. Seharian ini, ia hanya berkeliling M Apartment dengan Rangga dan sekarang ia merasa lapar. Ia menarik kursi lalu duduk di sana.

Rangga berjalan ke arah Salma dan menghela pelan mendapati gadis itu nampak kelelahan, ia menarik kursi dan duduk di hadapan Salma, "makan malam dihidangkan jam enam nanti, sampai saat itu, kamu bisa tahan dulu laparnya?"

Salma mengangguk, "saya juga mau mandi dulu," ucapnya.

"Baiklah, saya juga akan mandi dulu," ucap Rangga. Ia lalu berdiri dan berjalan menuju tangga setelah sebelumnya ia melempar kasar jasnya ke atas meja di ruang tamu utama.

Salma berjalan menuju kamar utama yang dimaksud Rangga, ia pergi ke arah lemari dan memilih beberapa baju. Sebenarnya, ia tak mampu memilih baju karena baju-baju di sini lebih banyak daripada baju-baju yang sering terpampang di toko kaki lima tempatnya berbelanja. "Ah harusnya gue lebih rajin belanja!" gumamnya.

Setelahnya, Salma memasuki kamar mandi yang ada di sana dan matanya seketika membelalak. Percayalah, ukuran kamar mandi ini bahkan lebih besar daripada ukuran kamar kontrakannya. Ia mengusap jidatnya dan mematung di pintu masuk kamar mandi bernuansa putih itu. "Pak Rangga memang gila! Ah, semua orang kaya memang gila! Gaji gue seumur hidup pun gak bakal mampu beli rumah kayak gini!" ucapnya yang terus membual.

Salma beralih bathub berwarna putih yang berada di dekat jendela, ia menganga melihat hal-hal yang selalu hanya ia temui dalam film dan sekarang hal penuh kemewahan ini akan menjadi miliknya? Segila apapun dirinya, ia tak akan bisa mempercayai hal seperti ini.

Berbeda dengan Salma, Rangga nampak membuka bajunya dengan santai dan berdiri di depan wastafel untuk menyikat giginya. Selama itu, tiba-tiba ia tersenyum saat mengingat bagaimana senangnya Salma ketika dirinya pertama kali diajak ke tempat ini. Ia kemudian memperhatikan wajahnya, ia sangat tak suka ada sehelai rambut pun di wajahnya, ia kemudian tersenyum, "ada baiknya juga dilahirkan oleh orang tercantik di dunia ini," gumamnya.

Salma memakai celana panjang berwarna putih dan atasan berupa kemeja biru muda, ia lalu keluar dari kamar utama dan mendapati Rangga tengah duduk di sofa dengan santainya sambil memainkan remote televisi yang sedang memutarkan sebuah acara olahraga. Melihat Rangga mengenakan baju tidur santai berwarna coklat kotak-kotak membuat Salma menatapnya penuh selidik.

Merasakan tatapan aneh Salma, Rangga menoleh dan membetulkan posisi santainya, "kenapa? Ada yang salah?" herannya.

Salma tak menjawab, ia hanya duduk di salah satu sofa yang cukup jauh dengan posisi duduk Rangga, "kamu bilang rumah ini untuk saya 'kan?" gumam Salma.

"Iya, kenapa memang? Kamu gak suka karena ini terlalu gila, seperti kata kamu tadi?"

"Kenapa Pak Rangga bisa berganti baju di sini?" tanya Salma dengan hati-hati.

Rangga tertawa dan menatap Salma dengan tatapan heran, "iya bisa lah, orang dewasa mana yang gak bisa ganti baju? Pertanyaan konyol apa itu," ucapnya.

"Maksud saya, kenapa bisa ada baju Pak Rangga di sini? Katanya rumah ini baru dibeli," ucap Salma.

"S-soal itu... yeah, saya minta sekretaris saya buat anterin baju ke sini, masa malam-malam gini saya masih pakai baju kantor," ucap Rangga.

"Oh, kamu juga kayaknya santai banget di sini, kayak di rumah sendiri," sindir Salma.

Rangga mencibir Salma dalam diam, "hei Salma, lagipula kalau kita beneran nikah, kita bakal tinggal serumah 'kan?" ucapnya.

Salma dengan cepat melihat ke arah Rangga, entah kenapa ia tak terima dengan ucapan barusan, bukan karena ia ingin menguasai rumah ini, hanya saja mendengar kata menikah selalu membuatnya terkejut.

Rangga tertawa melihat ekspresi wajah Salma yang nampak marah padanya hingga gadis itu terdiam tanpa berucap, "jujur ya Salma, awalnya saya..." ucap Rangga yang dihentikan, ia perlahan bergeser hingga mendekati Salma, "tapi setelah melihat reaksi kamu..." ucapnya dengan tangan terangkat dan mengelus kepala Salma secara halus.

Salma yang berdebar hanya berdiam di tempatnya duduk tanpa menolak ataupun menjauhi Rangga, ia hanya menelan ludah sambil berusaha menetralkan napasnya yang terus berdebar. Ia menoleh dan tak sengaja beradu mata dengan Rangga, bukannya tenang, jantungnya malah semakin berdebar.

Rangga tak tahu bagaimana perasaan Salma, namun dirinya yang awalnya iseng menggoda Salma kini tak mampu mengendalikan emosinya. Tangan yang awalnya mengelus bagian belakang kepala gadis itu kini ia arahkan ke arah depan, dengan lembut ia menyingkirkan anak-anak rambut di wajah gadis itu dan kemudian menatapnya sambil tersenyum.

Salma yang hanya menatap Rangga dengan berusaha menyembunyikan perasaan gugupnya tiba-tiba tersentak melihat bayangan pria setengah paruh baya yang muncul begitu saja. Ia membuka matanya lebar-lebar lalu berdiri menepis tangan Rangga.

Rangga terperanjat, "k-kenapa? Ada apa Salma?" ucapnya yang terkejut.

Salma hanya menggeleng, ia memegang pelipisnya, lalu berniat untuk mengambil air namun sial seribu sial, entah kesialan apa lagi yang akan terjadi. Salma tiba-tiba tersandung kaki Rangga yang membuat tubuhnya kehilangan keseimbangan sehingga mendarat sembarangan.

Rangga terkejut dan tubuhnya semakin menekan sofa tempatnya bersandar saat Salma terjatuh menimpa tubuhnya. Ia kini bertatapan dengan gadis yang juga menatapnya dengan mata terbuka lebar itu.

Kedua tangan Salma memegang erat dada Rangga dan ia masih tak bergerak, ia kemudian terperanjat dan langsung berdiri. "Maaf, hmm, maafkan saya," ucapnya tanpa melirik Rangga.

Rangga tak bisa menahan senyumnya namun ia sebisa mungkin harus terlihat datar, seolah tak terjadi apapun. "Hmm, gak apa-apa, lagipula bukan kesengajaan," ucapnya beralasan.

~~~

Berbagai hidangan dari bahan dasar daging sapi tersaji di atas meja makan yang berukuran cukup panjang itu. Rangga sudah duduk memegang sendok dan garpu, bersiap menyantap makan malamnya. Sementara Salma hanya terdiam membeku memperhatikan setiap hidangan mewah yang berada di hadapannya.

"Cepat makan, Salma, apa yang kamu pikirkan?" gumam Rangga usai dirinya melahap satu potongan daging besar.

Menuruti ucapan Rangga, Salma memakan sepotong daging dan langsung tersenyum saat indra pengecap nya bertemu dengan masakan mewah dengan rasa mahal itu. "Enak banget," gumamnya.

Rangga memperhatikan cara makan Salma yang sederhana dan membuatnya mengulas senyum tipis tanpa sadar. "Salma?"

"Iya?"

"Soal peragaan busana itu, kamu dipastikan datang 'kan?" tanya Rangga.

Salma berhenti mengunyah makanannya dan terdiam sebentar, "kamu yakin saya harus ikut?"

Rangga membuka mulutnya dengan pertanyaan Salma barusan, "bukankah dari kemarin saya sudah-"

"Iya, saya akan datang kok Pak Rangga, tenang saja," ucap Salma sambil tersenyum, setelah sebelumnya memotong ucapan Rangga.

Meski sulit menahan senyumannya, Rangga hanya mengangguk singkat. Memperhatikan Salma yang perlahan mengisi hari-harinya dengan cara sederhana namun penuh makna dan berwarna. Mungkin karena ia sudah lama tinggal sendirian, kedatangan Salma benar-benar membuat perubahan di hidupnya.

Waktu berlalu, acara makan malam spesial hidangan daging sapi seperti kesukaan Salma itu telah berakhir. Meski sudah dilarang, Salma tetap membereskan bekas makannya bersama para pembantu. Setelah menyelesaikan pekerjaannya, ia mengikat rambutnya asal dan berjalan menuju ruang utama.

Di sana, Rangga tengah meringkuk di atas sofa dengan televisi yang menyala. Ia nampak tertidur lelap sambil memeluk remote kecil.

Salma terdiam di tempatnya berdiri, melihat Rangga yang menutup matanya membuat hatinya merasa bersalah. Ia akui pria itu memang menyebalkan, namun mengingat kejadian 6 tahun lalu dimana Rangga kehilangan orang tuanya, ia merasa penuh rasa bersalah dan bertekad untuk mengungkapkan kecelakaan yang masih menjadi misteri itu.

Salma berjalan menuju kamar utama untuk mengambil selimut. Ia menyelimuti Rangga dengan selimut yang ia ambil tadi, ia masih berjongkok di depan Rangga, wajahnya tiba-tiba terlihat sayup. "Pak Rangga, saya akan ungkap segalanya, untuk Pak Rangga dan Pak Herman," gumamnya.

Tangannya perlahan terangkat dan berniat mengusap rambut pria berwajah tampan itu, jujur saja ia mengakui bahwa Rangga berwajah tampan dan terlihat lebih muda dari usianya. Selain tampan, Rangga juga cerdas dan memiliki jiwa kepemimpinan yang tinggi, hanya saja ada satu kekurangan dalam dirinya, Rangga tidak mampu mengendalikan emosi. Rangga selalu bertindak penuh amarah bahkan karena hal sepele, itu yang selalu membuat Salma kesal setiap berhadapan dengan Rangga.