1 Pertemuan tak terduga

Kehidupan adalah misteri, tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi ke depannya. Seperti mendapat kotak misteri, Tuhan selalu memberikan hal mengejutkan pada manusia. Sesekali kejadian di luar naral terjadi, seperti bunga yang mekar di tengah musim dingin atau salju yang turun di gurun pasir. Membuat manusia bertanya-tanya apakah Tuhan sedang menunjukkan kuasa-Nya atau hanya sedang iseng.

~~~~

Matahari bersinar dengan terang. Angin bertiup lembut, membuat pohon-pohon menari dan beberapa kelopak bunga berwarna pink berjatuhan. Seorang gadis memakai dangui (1) merah muda berjalan di atas jembatan berbentuk setengah lingkaran.

Di bagian bahu, terdapat jahitan emas berpola bunga. Memberikan kesan mewah, indah, dan angkuh disaat bersamaan. Rok yang terlihat seperti balon menyapu lantai. Di belakangnya terdapat para dayang yang selalu mengikuti, bagaikan rombongan itik yang mengikuti ketuanya.

Rambut sepekat malam yang nampak berkilau, melambai-lambai karena tiupan angin. Tangannya terulur ke belakang, membetulkan kepangan rambut dan posisi hiasan berbentuk lingkaran yang di tengahnya terdapat mutiara berwarna kuning.

"Tuan Putri, izinkan Hamba membetulkan rambut Putri." Seorang wanita memakai gaun berwarna hijau polos yang rok nya mengembang, berdiri tepat di samping Putri. Tubuhnya setengah membungkuk saat meminta izin. Sang Putri mengulas senyum. Tangan dengan jemari lentik yang dihiasi cincin emas berukir bunga, menggenggam bahu kepala dayang. Ia berkata, "Tidak usah, aku bisa sendiri. Kamu bisa berhenti membungkuk."

"Tapi Tuan Putri-"

"Aku bisa sendiri Kepala dayang." Putri yang menginjak usia remaja itu menggeleng pelan. Kembali melangkah, ia membetulkan kepangan rambutnya sambil menoleh ke kanan dan kiri, memperhatikan bunga sakura yang mekar dengan indahnya.

"Tuan Putri! Awas!"

Sebuah teriakan menghentikan langkah si putri kerajaan. Semua dayang di belakang putri meneriaki namanya. Kedua alis putri menukik tajam lalu berubah naik diikuti mata yang membulat saat tubuhnya limbung ke depan. Sepatunya menabrak pinggir jembatan, sukses membuat tubuhnya jatuh andaikan pria bertopi hitam yang menggenggam sebilah pedang tidak turun dari kudanya dan lari ke arah putri.

Dengan sigap tangan kokoh pria itu melingkar di pinggang putri, menarik wanita bergaun merah muda dan mendekapnya dalam pelukan. Jantung putri kerajaan itu berdebar kencang. Untuk sesaat, ia merasa ada di surga saat melihat paras pria yang wajahnya bersinar, seolah Dewa mengirimkannya seorang malaikat.

Begitu pula dengan pria berjubah biru panjang, jantungnya tak bisa berhenti berdebar kala melihat paras wanita bangsawan di pelukannya. "Apakah ini yang disebut bidadari? Dia ... sangat cantik," batin pria itu.

"Maaf, bisa tolong lepaskan tangan Anda?"

Perkataan sang putri membuyarkan lamunan. Dengan cepat ia melepas rengkuhan diikuti dengan senyum kikuk yang terkesan bodoh.

"Maafkan saya," ujar pria itu membungkuk. "Tidak apa. Makasih," balas putri itu pelan.

"Nama saya-"

Belum sempat pria berjubah biru tua memperkenalkan diri, pria berjubah hitam yang juga menggenggam sebilah pedang, menghampiri pria berjubah biru.

"Putra mahkota, kita harus bergegas menemui Raja."

"Kau ini menganggu saja. Nona, saya permisi." Pria yang ternyata seorang putra mahkota pamit. Sebelum pergi, putra mahkota memberikan sebuah pita berwarna merah yang ternyata lepas saat putri hampir jatuh.

Putri itu menatap punggung pria berjubah biru yang kian jauh. "Siapa pria itu? Dari pakaiannya dia pasti bukan orang Joseon."

Bibir putra mahkota melengkung membentuk senyuman. Ia menatap telapak tangannya. Mengendus telapak itu saat harum bunga sakura menggelitik hidung. Bau sang putri masih menempel. Menimbulkan debaran yang anehnya terasa menyenangkan.

Tangannya menggenggam erat tali kekang kuda. Ia tak sabar menemui raja, karena pasti ada hal penting yang ingin disampaikan raja hingga menyuruh seorang pangeran dari negeri sebrang datang untuk jamuan. Dan mungkin saja ia akan bertemu kembali dengan wanita cantik di jembatan tadi.

#

.

.

.

"Bangun!"

Pernahkah kalian disiram air saat tengah tidur? Bukan sekedar diciprat sedikit air tapi ... benar-benar disiram. Jika belum pernah, beruntunglah kalian tidak bernasib sama seperti Mike Delwin. Seorang pemuda usia dua puluhan yang mempunyai ibu sejahat ibu tiri dalam kisah Cinderela.

"Ibu! Kenapa disiram sih?" Mike protes saat tubuhnya basah kuyup karena guyuran kasih sayang ibunya. Seketika tubuh tinggi besar itu menggigil, diikuti jari yang mengkerut dan bibir yang bergetar. Wanita paruh baya di sisi ranjang melotot. Ia melipat tangan di dada setelah meletakkan ember hitam di lantai.

Mike tidak bisa menahan rasa terkejut ketika melihat air di ember sudah kosong. Pantas saja pakaian yang melekat di tubuh dan seprei krem lusuh itu basah.

"Ibu menyiramku dengan itu?" tanyanya menunjuk ember di lantai. "Aku ini anak kandung Ibu loh," imbuhnya bangun dari posisi berbaring.

"Kamu ada part time kan? Cepat siap-siap. Jangan sampai kamu dipecat karena terlambat. Kita akan puasa kalo kamu tidak kerja."

Wanita berambut ikal itu berbalik. Menenteng ember dan berjalan ke arah pintu. Memutar kenop, ia sudah keluar dari kamar anaknya jika Mike tidak berkata dengan sinis, "Kan ada Ayah. Apa gunanya pria tua itu? Kenapa aku yang harus mendapat beban besar?"

"Jaga mulutmu Mike!" geram wanita itu.

Mike menarik sudut bibir ke samping. Dengan wajah datar yang terkesan dingin, pemuda itu berdiri. Ia melewati ibunya yang mengeraskan wajah walau terlihat sedikit kesenduan dibalik mata hijaunya. Mungkin merasa bersalah atau tertokok dengan perkataan anaknya.

"Iya, maaf. Tanpa Ibu suruh aku juga akan kerja kok," ujar Mike keluar dari kamar tanpa menutup pintu. Meninggalkan ibunya mematung di dalam kamar. Udara hangat keluar dari bibir wanita itu saat ia menghela napas.

"Maafkan Ayah dan Ibumu yang payah ini Mike," lirihnya menunduk.

#

.

.

.

Alunan musik mengalun indah di dalam sebuah bangunan beraroma kopi. Lautan manusia memenuhi bangunan itu sampai tak ada satu pun kursi kosong disana. Suara obrolan dan musik saling sahut menyahut. Aroma khas kopi dan manis dari kueh menggugah selera, praktis membuat liur menetes. Ditambah pelayan dan barista berparas tampan, tak heran caffe satu ini tak pernah sepi. Lihat saja antrean di samping pintu masuk. Panjang seperti orang yang mengantre sembako. Mereka rela menunggu daftar tunggu demi masuk ke caffe itu.

"Kenapa sih kita kesini? Ke caffe lain aja yuk." Suara itu berasal dari pemuda bersurai emas yang sedang mengelap peluh yang menetes ke leher. Wanita di samping menggeleng, ia menolak dengan keras ajakan lelaki blonde itu. "Tidak mau. Sebentar lagi giliran kita Arthur. Sabarlah sebentar."

Arthur berdecak. Ia kesal pada temannya yang memaksa datang ke caffe yang terkenal di kalangan gadis-gadis. Apalagi kalau bukan untuk melihat karyawan caffe yang menurut mereka tampan. "Cih lebih tampan aku," kesal Arthur bersungut-sungut.

"Arthur, ayo cepat!"

Semuanya terjadi sangat cepat. Terlalu cepat untuk Arthur cerna. Akibat tarikan Kyung Mi pada tangannya, Arthur kehilangan keseimbangan dan menubruk pemuda tinggi berkulit coklat di hadapannya. Minuman yang seharusnya ada di atas nampan, kini jatuh mengenai baju bagian depan Arthur. Sukses membuat dadanya kedinginan.

"Maafkan aku. Maafkan aku," sesal si pelayan membungkuk.

"Tak apa," jawab Arthur.

Pelayan itu berdiri tegap. Perasaan aneh menyusup ke dada saat iris hijaunya bertabrakan dengan iris aqua Arthur. Tiba-tiba saja buliran bening turun dari pelupuk, mengalir dengan deras membentuk anak sungai di pipi. Sontak membuat Arthur panik.

"Hei jangan menangis!" pekik Arthur.

"Huh?" Si pelayan tersentak. "Aku menangis?"

avataravatar
Next chapter