1 Escape - 1

Kita semua memiliki sebuah cerita. Kita semua tidak pernah mengatakannya. Emily bagai merasakan kehampaan di tengah keramaian dunia. Tanpa tahu apa yang dirinya inginkan. Sejauh dirinya berlari dari kehidupannya di masa lalu, seakan kian membuatnya merasa lelah. Emily juga menginginkan kehidupan yang normal, layaknya orang-orang pada umumnya.

Emily selalu memimpikan kehidupan yang bahagia bersama dengan seorang pria. Menghabiskan sisa umurnya bersama hingga ajal. Saling mencintai dan mampu menerima dirinya dengan masa lalunya yang kelam.

Emily tidak dapat memilih hadir di keluarga seperti apa. Ia memiliki sepasang orangtua dan seorang kakak bernama Cruz Watson. Ayahnya pernah menjadi seorang dosen dengan prestasi yang hebat, hingga ia memutuskan untuk menghilang dari dunia akademisi, yang Emily sendiri juga tidak memahami apa alasannya. Yang ia tahu, ayahku begitu menyayanginya. Melindunginya dari rasa sakit masa lalu.

Yang selalu menjadi pertanyaan dalam hidup Emily adalah sikap ibunya. Ada rasa benci yang tersirat jelas pada sikapnya. Namun bagi Emily, biar bagaimanapun ia tetap ibunya, yang melahirkannya ke dunia. Sedangkan Cruz, Emily merasa muak dan tak pernah ingin menyebut namanya lagi seumur hidupnya. Karena dia, awal kisahnya.

Dunia Emily kini hanya tenggelam dalam kesibukan. Bersukacita dalam gemerlapnya dunia modeling. Dari pargelaran satu ke pargelaran lainnya. Dari pesta ke pesta. Bertemu banyak orang. Berbenturan dengan persaingan. Yang terkadang hingga menghancurkan jalinan pertemanan.

Kesuksesan demi kesuksesan telah mampu ia raih meski dengan banyak pengorbanan. Emily harus menanggalkan semua yang ada di tubuhnya untuk sebuah bayaran yang layak. Ia butuh untuk hidup di tengah kejamnya kehidupan kota London. Selain semua itu, ia melakukan hal itu untuk menuntaskan pendidikannya di bangku kuliah. Karena baginya, wanita masa kini tak hanya bermodalkan cantik dan tubuh molek. Tapi juga otak cerdas.

Ketika Emily telah sampai pada titik ini. Ia merasa tetap kesepian. Ia tetap tidak mendapatkan yang bersemayam dalam hati dan dapat dirasakan bernama CINTA.

"Kau sedang ada masalah?" tanya Alex yang tiba-tiba muncul dari arah belakang.

Alex menunjukan beberapa foto hasil pemotretan sore ini, sementara Emily mennghela napas panjang sebelum menghembuskannya perlahan.

"Tidak." Emily mengatakannya sambil memasukan semua perlengkapan miliknya ke dalam sebuah tas.

"Bye semua!" pekik Jerry seraya melambaikan tangan berpamitan. Memecah keheningan antara dirinya dan dan Alex Dorantes. Jerry menghilang di balik pintu lift yang membawanya turun. Emily hanya membalasnya dengan lambaian tangan dan seulas senyum untuk kepergian pasangan fotonya hari itu.

Emily kembali menoleh untuk menatap Alex yang berdiri di sampingnya.

"Maafkan aku. Apakah masih ada yang perlu aku lakukan?" tanya Emily yang terdengar lelah. Alex menatapnya dengan kening berkerut. Ia tampak curiga dengan sikap Emily usai pemotretan. Sikap yang tidak biasanya.

"Kau sedang ada masalah?" kali ini Alex yang bertanya dengan wajah khawatir. Emily tidak langsung menjawab. Ia merasakan kebosanan dalam dirinya. Ia merasa semua yang ia rasakan salah. "Entahlah. Semua terasa membosankan bagiku saat ini."

Alex menyentuhkan ujung jarinya pada pipi Emily, membelai lembut menghantarkan ke lembutan dan rasa tenang. "Berliburlah. Kau membutuhkannya. Sebelum pergelaran London fashion week lima minggu lagi." Alex mengatakannya sebelum tersenyum pada Emily, menampilkan deretan gigi putihnya. Emily terdiam, menatap lurus ke dalam tas yang ada dihadapannya sebelum perlahan menatap sosok Alex yang masih berdiri disamping kanannya.

"Haruskah aku ikut?" tanya Emily.

"Kau tidak bisa menolaknya, Em sayang. Kau sudah menandatangani kontraknya satu bulan yang lalu," jawab Alex tenang.

Emily memejamkan mata, menghela napas dengan berat.

"Aku akan pulang dan tidur," ujar Emily seraya meraih tas dihadapannya.

Emily beranjak meninggalkan kursi yang ia duduki.

"Baiklah kau membutuhkannya, Sayang. Tidurlah sepuasmu. Selamat bermimpi indah," ujar Alex yang dilengkapi dengan senyuman menawan di wajah tampannya. Emily hanya melambaikan tangan tanpa menoleh. Meninggalkannya di ruang studio.

Kesedihan dan kebahagiaan datang silih berganti bagai hantu gentayangan. Entah mengapa Emily merasakan hidupnya mulai terasa membosankan. Ada lelah yang bergelayut, ia merasakan tubuhnya butuh istirahat.

Emily masih berdiri di halte pemberhentian, menanti sebuah taksi yang tak kunjung lewat. Sementara malam kian larut. Jalanan mulai sepi, hanya satu dua buah mobil melintas. Cuaca malam ini kian dingin menggigit. Hening dan senyap. Berulang kali dirinya menatap jam tangan yang melingkar dipergelangan tangan kirinya.

"Hi, cantik," goda seorang pria yang muncul secara tiba-tiba di sampingnya.

Pria itu menatap Emily dengan perangai mencurigakan. Emily coba mengabaikan. Ia bergerak selangkah ke kanan sementara jantung Emily terasa mulai berdegup hebat.

"Ingin aku antar?"

"Tidak, terima kasih," kata Emily sopan sambil menyingkirkan tangan pria itu dari lengannya. Emily beranjak pergi. Meninggalkan pria yang tak dikenalnya itu.

"Ayolah cantik." Pria itu berkata dengan lantang, membuat malam yang sepi kian terasa mencekam.

Emily terus berjalan dan pria itu mengikutinya. Mereka mengekor di belakang langkah Emily. Dua orang pria yang Emily bisa duga jika mereka di bawah pengaruh alkohol. Aroma menyengat dari napas mereka.

"Sial," desis Emily saat menyadari apa yang telah ia kenakan pada kakinya. Sepatu yang dikenakannya tidak tepat. Ia masih mengenakan heels. Taka da pilihan lain selain memperlebar langkahnya dan pria itu menyusul dengan langkah yang tak kalah cepat. Tepat di belakang Emily, di antara napasnya yang memburu.

"Kau akan ke mana?" tanya pria itu meraih tangan selempang Emily dan mencengkeram dengan kuat membuat usaha Emily untuk mencoba menyingkirkan, namun sia-sia hingga orang itu mendorong tubuhnya ke dinding. Seketika punggung Emily terasa panas.

"Tolong!!!" pekik Emily kencang yang berhasil loncat dari bibirnya.

Pria itu menghimpit tubuhnya, mencoba untuk menciumnya dengan menyurukkan kepalanya pada lipatan leher Emily yang tebuka. Dengan sekuat tenaga Emily mencoba menjauhkan diri dari tubuh pria itu. Dadanya terasa sesak, namun apa yang ia lakukan terasa kian menghimpit, usahanya sudah semampu yang ia bisa. Tubuh pria itu terasa lebih berat dari dugaannya.

"Tolong!!!" pekik Eily saat bibir pria itu mengenai kulit lehernya. Terjangan angin malam yang dingin terasa berbanding terbalik dengan panas kulit pria itu di permukaan kulit lehernya.

Emily tetap mencoba untuk melepaskan diri. Memberontak dengan sekuat tenaga. Tangan pria itu kokoh mencengkram tangan Emily dengan begitu kuat. Tubuh besarnya menghimpit Emily hingga menempel dengan dinding.

"Lepaskan!!!"

Pria itu terus mendesakkan tubuhnya, menghimpit hingga terasa menyakitkan. Wajah pria itu tepat di leher Emily lagi. Panas terasa menerjang kulitnya yang bercampur dengan rasa jijik, perasaan takut dan amarah yang perlahan merambati tubuh Emily.

"Tolong!!!" pekik Emily sekali lagi dan lebih lantang disisa keberaniannya. Emily tak mampu berpikir apa pun lagi, ia berada di titik tak berdaya.

"Dasar kau bajingan!!!" Suara hinaan yang datang tiba-tiba disusul dengan pukulan datang bersamaan setelahnya.

Terdengar suara BUUUK!!! Suara hantaman yang cukup keras. Emily merasakan napasnya tercekik sebelum dirinya terjatuh. Tubuhnya gemetar dan menempel pada dinding. Emily merasakan kepalanya berat, pusing seakan ingin meledak. Ia tak ingin melihat baku hantam yang terjadi di dekatnya saat ini. Antara pria bajingan itu dan sosok yang tak ia kenal yang tiba-tiba datang di antara kegelapan.

Emily mencoba merangkak untuk menjauh. Berpegang pada dinding, berusaha untuk bangkit, hingga bayang menyilaukan yang melintas di matanya, dan tiba-tiba gelap. Emily terkulai.

"Kepalaku... Ya Tuhan..." desis Emily sambil memegangi kepalanya yang terasa berat.

Perlahan ia berusaha untuk membuka kelopak matanya. Terasa pening. Dunianya terasa berputar cepat di porosnya. Hidung Emily menangkap aroma wangi dari pengharum. Ia mencoba untuk mengingat meski saat ini ia berada di antara batas kesadarannya.

"Dimana aku?" tanyanya pelan nyaris berbisik sambil memegangi kepala. Tak ada jawaban, selain keheningan sampai manik matanya mendapati dashboard dan menyadari saat ini ia berada di dalam sebuah mobil. Emily tersentak sementara dirinya merasakan nyeri disekujur tubuhnya.

"Kau sudah sadar?"

Suara yang tiba-tiba muncul saat seseoang membuka pintu mobil dan spontan Emily melonjak kaget. Ia mencoba meraih apapun untuk melindungi dirinya. Nafasnya memburu sambil menatap lurus ke pria di hadapannya. Tatapan yang menyalang dan tajam. Pria itu duduk di balik kemudi.

"Kau siapa? Apa yang kau inginkan?" tanya Emily beruntun dengan emosi tertahan dan suara yang tersekat. Pria itu menatapnya dengan tatapan lurus dan menghujam, tapi terasa lembut. Emily menarik napas, mencoba mengembalikan kendali dirinya. Suaranya terdengar bergetar. Ada takut yang terselip.

"Apa yang kau lakukan malam-malam seperti ini seorang diri?" tanya pria itu yang ditujukan padanya. Pertanyaan terdengar penuh penekanan. Mata Emily melebar. Suaranya pria itu terdengar parau.

Emily merasa napasnya tertahan, ada jeda sebelum dirinya menjawab.

"Aku. Aku..." Kalimat Emily menggantung sampai bayangan gelap pria jahat itu melintasi kembali kepalanya. Kami terdiam beberapa saat. Keheningan yang menyelinap.

"Pria itu ingin berbuat tidak baik denganmu. Dan itu wajar, karena pakaianmu sangat mengundang," seloroh pria itu. Eily tidak mengenal pria yang kini ada di hadapannya. Tatapan matanya tertuju dengan senyum sinis.

Emily menundukkan kepala untuk mengamati pakaian yang sedang ia kenakan. Napasnya terasa tersedak saat menyadari pria itu benar dengan penilaiannya. Seharusnya ia mengganti pakaiannya dengan t-shirt dan jins serta sepatu kets, bukan dengan pakaian seperti yang ia kenakan saat ini. Rok mini dengan sepasang sepatu heels.

"Ini..." Emily tertunduk memandangi tubuh bagian atasnya. Kelopak matanya kian melebar, dan kerongkongannya terasa kering hingga tak dapat mengatakan apapun. Ia mengenakan jaket yang tidak ia kenali.

"Kenapa?" Tanya pria itu membuat Emily mengangkat wajahnya untuk menatap. "Aku tak ingin kau sakit karena pakaian seksimu itu." Pria itu seakan mapu membaca isi kepala Emily. Pria itu tersenyum miring.

"Ini... Ini jaket milik mu?" Tanya Emily yang di jawab dengan anggukkan oleh pria itu sebelum ia menghidupkan mesin mobilnya. Emily mencoba untuk melepaskan jaket yang ia kenakan di saat roda mobil yang mulai berputar. Meninggalkan trotoar jalan.

"Lebih baik kau gunakan sabuk pengamanmu, daripada melepaskan jaketmu," ujar pria itu sinis dengan lirikan tajam dari sudut matanya. "Tapi--"

Pria itu menatap sekilas sebelum menatap lurus ke depan, di balik kemudi, tatapan tajam yang membuat nafasnya terasa tersekat, tersedak di kerongkongan sebelum pria itu kembali bertanya, "Katakan di mana alamat rumahmu?"

Pertanyaan yang membuat Emily terdiam, menatapnya beberapa detik, membiarkan jeda untuk berpikir.

"Aku..." Otak Emily langsung berputar, rasa curiga menyusup masuk dalam dirinya. Emily membiarkan kalimatnya menggantung dan melayangkan tatapan matanya keluar jendela mobil yang mulai beranjak. Tanpa mengatakan apapun, mencoba mengatur dirinya agar duduk lebih nyaman di jok mobil mahal ini. Jalanan tampak gelap, namun kehidupan masih terus berjalan. Kota yang terasa tak pernah tidur.

Emily kembali menghela napas panjang, mencoba untuk melirik pria di balik kemudi. Ia tampak tenang. Tak menunjukan sosok yang memiliki niat jahat. Hanya ada keheningan di antara keduanya. Tanpa kata-kata apapun.

"Aku--"

"Kau akan segera sampai satu blok lagi," selaknya.

Mata Emily membulat sebelum melihat sekeliling, keluar kaca jendela, dan apa yang pria itu katakana benar. Mobil telah melaju jauh.

"Kau--" Suara Emily kembali tersekat dengan kelopak mata yang kian melebar karena terkejut. Terdengar tarikan napas yang disusul hembusan napas keras.

"Aku mencari identitas dirimu di dalam tas, saat kau pingsan," katanya memotong kalimat Emily bersamaan dengan dencit ban mobil yang berhenti, injakan pada pedal rem di kaki pria itu. "Yup. Kau sudah sampai, Miss." Ia mengatakannya dengan santai. Pria itu menggeser sedikit posisi duduknya untuk berhadapan langsung dengan Emily sementara Emily masih terperangah dan menatap pria itu dengan curiga. Pandangan matanya menilai namun pria itu tak tersinggung, ia tersenyum mencibir.

"Kenapa?" tanyanya kali ini seraya menatap Emliy dengan seringai dan tatapan mengejek.

"Kau…"

Mata Emily memicing dengan alis terangkat sebelah.

"Sudah, turun sana. Kau sudah sampai dengan selamat," ucapnya bersamaan dengan suara klik dari suara pintu yang dibuka otomatis. Emily menelan ludah, lalu menghela napas dalam dan menghembuskannya dengan kasar disusul dengan meliriknya sambil mendengus. "Terima kasih untuk tumpangannya, Sir," kata Emily seraya mengambil tas miliknya dan membuka pintu mobil lalu menutupnya dengan keras hingga erdengar suara bantingan pintu di belakang langkahnya.

Emily memutuskan untuk tidak menoleh, perasaannya bercampur dengan rasa kesal.

Emily menyeruput teh panas dalam mug yang ia genggam. Menatap keluar jendela kamar. Tampak kegelapan yang terhampar di hadapannya, langit tak berbintang, bulan bergelantung rendah. Jarum jam menunjukan pukul satu malam dan hari telah berganti. Matanya tak juga merasakan kantuk. Ia terus terjaga, bahkan bayangan pria yang menyerangnya beberapa jam lalu kembali melintasi kepalanya, terasa segar dalam ingatan hingga dadanya terasa sakit hingga ke punggung, dan nyeri.

"Ya Tuhan, nyaris terulang," desis Emily seorang diri dengan perasaan frustasi.

Emily beranjak menuju ranjangnya, meletakkan mug di nakas samping ranjang tidur. Menyibakkan selimut sebelum ia membaringkan tubuh lelahnya. Menghela napas panjang, lalu menghembuskannya perlahan. Mata hijaunya menatap langit-langit kamar yang tak lagi putih di beberapa bagian akibat kebocoran dari penghuni lain di lantai atas.

"Pria itu ingin berbuat tidak baik denganmu. Dan itu wajar, pakaianmu sangat mengundang." Kalimat itu melintasi kepala Emily lagi dan lengkap dengan ekspresi menyebalkan pria itu."Aku tak ingin kau sakit karena pakaian seksimu itu." Bayangan pria itu menarik bibirnya yang Emily rasakan bagai cibiran yang ditujukan padanya. Pria itu jelas-jelas menyindirku dibalik suara beratnya.

"Lebih baik kau gunakan sabuk pengamanmu, daripada melepaskan jaketmu." Kalimat terakhir yang terngiang di telinga Emily.

"Hmmm, sial," Emily mendengus, memiringkan tubuhnya. "Benar-benar menyebalkan. Dasar pria mata keranjang," desis Emily geram dan langsung menarik selimutnya.

***

avataravatar
Next chapter