webnovel

Tak Bisa Ditunda

Tin, tin!

Klakson motor ayah menyadarkan Fian yang sedari tadi ikut Beni menatap mobil orangtuanya keluar area parkir. Beni dan Fian pun menoleh ke arah ayah yang sudah siap dengan satu helm tergantung di jok belakang.

"Loh, maling ditinggal?" gurau ayah melihat Beni tidak ikut pulang naik mobil.

"Ayah!"

Beni cengengesan menimpali sebutan 'maling' dari ayah Fian.

"Tadi aku bawa motor, Om."

"Oh, jangan-jangan kamu mau menculik Fian, ya."

"Kalau boleh, Om," jawabnya mengikuti alur dari ayah. Dalam hati Beni pun juga berharap bisa menghabiskah waktu sehari ini degan Fian. Karena merasa hubungan mereka sudah diketahui dan direstui kedua belah pihak.

"Enak saja." Sepasang alis ayah layaknya dua kutub magnet yang bertemu, "ayo, Fin, naik."

Fian yang ada di sebelah kanan Beni pun mengambil helm dan hendak mengenakannya. Beni menawarkan bantuan untuk jasa mengenakan helm dengan percuma, sayangnya ayah yang tau modus dari bocah remaja tersebut malah meminta Fian untuk ayahnya saja yang membantu. Fian yang melihat kecemburuan ayah dengan Beni pun menolak, dia bisa melakukan sendiri dan tidak perlu dibantu Beni atau ayah.

Drama saling menawarkan memasang helm pun berakhir, kini Fian sudah duduk mais di jok belakang motor ayah dan siap melesat pergi.

"Tunggu, Om!" cegah Beni, "Sayang jaketnya dipakek, biar gak kepanasan." Tangannya menuntun kain jin itu menutup tubuh Fian.

"Heh, Maling!" Tangan ayah mengepal dan ditunjukkan pada Beni saat melihat adegan dua bocah ABG kasmaran dari spion motor.

"Bantu aja, Om." Beni pun langsung meraih kepalan tangan ayah dan menyalaminya, "jangan galak-galak sama calon mantu dong, Om."

Fian di belakang hanya tersenyum tipis, tapi dalam hatinya sangat bahagia melihat usaha Beni memperoleh kedekatan dengan ayah. Bahkan hal yang dilakukan Beni pun dia sendiri belum tentu bisa. Seakrab itu dengan ayah? Fian merasa sangat ganjil.

Fian dan ayah pun mulai menjauh, tai tingkah jail Beni tak sampai disitu saja. Bibirnya memonyong dengan telapak tangan yang awalnya menutup lalu membuka dan melambai, hal membuat Fian geli saat melihat. Sedangkan, ayah menghela napas.

"Benar-benar ini anak!" batin ayah lagi-lagi sembari mengintip dari spion motor. Tidak lupa uga tangan kirinya mengepal ke atas, memberi tanda agar si tukang bikin ulah itu waspada.

Ada rasa yang ayah tak bisa sampaikan saat kali pertama bertemu dengan bocah dengan sebutan pacar dari putrinya. Seolah waktu menyadarkannya, bahwa Fian bukan lagi gadis kecil dengan dua kuncir yang selalu menangis saat ditinggal kedua orangtuanya bekerja. Kini putri semata wayangya telah tumbuh menjadi gadis remaja yang dalam masa-masanya mengenal lawan jenis. Jujur, sebagai ayah dia sangat khawatir dengan masa pertumbuhannya.

Takut masuk ruang lingkup pergaulan yang salah tentu saja menjadi hantu yang sering menggentayangi setiap saat. Apalagi posisi kedekatan ayah dan Fian yang sangat renggang. Namun, melihat siapa Beni dari sekilas dan mampu menciptakan tawa bahagia di raut wajah Fian. Dia sedikit lega, setidaknya Beni masih anak yang baik.

Rasa bersalah tentu saja ada, karena tidak bisa memberika kasih sayag yang selayaknya pada Fian, padahal dia hanya seorang diri alias tidak memiliki saudara/i lagi. Ayah juga berulang kali merutuki diri sendiri, benar telah menikah dengan cinta. Namun, ternyata itu tak menjamin segalanya.

Maya yang masih tergiur dengan kehidupan dunia muda, membuat Niko sendiri tak mengatasi segala keinginan istrinya tersebut. Niko sendiri mulai meragukan tentang masih adakah cinta dan janji suci mereka saat memutuskan untuk menikah, serta hidup bersama sampai ajal. Dia rasa itu semua telah berkurang.

Menunaikan pernikahan itu mudah, tapi untuk mempertahankan asih menjadi tanda tanya bagi Niko.

"Ayah, kenapa bunda gak hadir?"

Pertanyaan itu mencekam hati Niko sebagai ayah yang harus berbohong.

"Apa kamu lapar, ayah tau dari pagi kamu belum sarapan karena harus antri di tempat rias." Niko memang sengaja mengalihkan pembicaraan, selepas itu dia tak pandai berbohong, "di dekat sini ada arung makan yang enak, kita makan di sana, ya," sambungnya tanpa menunggu persetujuan Fian. Sedangkan Fian hanya ber-iya saja menanggapi ayahnya, dia merasa ayah secara tidak langsung menyembunyikan sesuatu.

Rumah Makan Padang, balutan cat khas arna orange itu selalu lekat dengan nuansa Minangkabau. Atapnya yang runcing di sisi kiri-kanan, Fian menggambarkan seperti tanduk yang menjulang gagah. Bangunan yang telah dimodifikasi tersebut cukup menarik pembeli tak lain sebagai spot foto. Selain itu, ada hidangan masakan dengan cita rasa legit bumbu Padang.

Setelah sampai dan mengambil tempat duduk, seorang pelayan menghampiri tempat di mana mereka duduk dan bertanya hendak memesan apa. Pelayanan yang cukup ramah tersebut mulai menegakkan bolpoin, lalu menuliskan tendang dan balado pesanan Fian. Kemudian beralih gulai dan dua es teh--munuman andalan.

Beberapa menit menunggu untuk disajikan, Fian hanya diam menatap sekitar. Canggung.

"Sejak kapan pacaran sana Beni?" tanya ayah membuka topik pembicaraan.

"Ayah kenapa kepo, sih," batin Fian sedikit melirik dan menatap ayah yang duduk berhadapan.

"Fin?" panggil ayah merasa pertanyaan tad dicuekkan.

"Udah lama," jawab Fian nyaris sangat lirih, membuat ayah memintanya untuk mengulangi jawaban. Namun, dua orang pelayan datang menggangu bagi ayah, tapi penyelamat bagi Fian. Jadi, dia tidak perlu menjelaskan panjang lebar jawaban dari pertanyaan ayah.

"Baiklah, ayo kita makan dulu."

"Duh, berarti bakal dibahas lagi?" pikir Fian bertanya dengan memberi jawaban hanya mengangguk saja.

Fian megangkat sendok satu per satu dengan sangat pelan, sedangkan ayah sudahhampir setengah habis dengan gulai.

"Kenapa, apa tidak enak?" tanya ayah sedari tadi memperhatikan Fian yang tidak terlihat nafsu menyantap rendang dan balado. Padahal sedikit hal yang dia tau, Fian sangat menyukai masakan itu.

"Tidak."

"Apa tidak enak?" Ayah cukup terkejut saat mendapat jawaban tersebut, pasalnya semua masakan di sini telah diicipi olehh lidahnya. Mana mungkin masakan tidak enak dan dia membawa Fian ke sini.

"Eh, maksudku enak." Sedari tadi Fian tidak fokus, sbk dengan mencari alasan agar ayah tidak terlal Kep dengan Beni, ata bahkan sampai tau kalau pacarnya itu adalah anggota geng motor.

Memang Beni bukan anak yang baik di sekilas mata orang yang baru mengenalnya, Fian pun saat baru kenal juga mengakui itu. Akan tetapi setelah sejauh ini bersama dan melihat usaha Beni yang tak pantang menyerah mendapatkan perhatiannya. Beni dirasa cukup baik atau sangat baik daripada orangtuanya yang tak acuh selama ini tentang kehadiran Fian. Ya, bagi Fian begitu.

Dering ponsel ayah menghentikan percakapan. Ayah menerima telepon dari seberang sana dengan suara rendah dan serius. Fian berharap itu arti dari sebuah pekerjaan yang menunggu. Jikalau biasanya dia menunggu waktu luang bersama dan kasih sayang, kini dia ingin ayah sibuk saja. Sekali ini saja.

"Ayo selesaikan makan, ayah harus mengantarkanmu pulang. Ada pekerjaan mendadak."

Dalam hati Fian bersorak, sampai tak sadar ada raut wajah beda dari ayahnya.