1 1. Hujan dan Identitas Dave

Semburat jingga menghiasi langit barat. Sore menjelang malam, semua orang lelah dengan aktivitas. Para pengendara, pejalan kaki, mereka pulang dengan berbagai ekspresi. Termasuk Naca Ilivian Sanira.

Dia berjalan lunglai di sepanjang trotoar yang dipenuhi lampu redup. Memegangi tas selempang dengan pandangan kosong. Jalan ibu kota sangat bising, tetapi Naca terus melamun. Sesekali kakinya menendang batu kerikil.

Awan mendung terus berputar. Semakin gelap dan udara menjadi dingin. Naca tahu hujan akan turun. Dia sengaja menunggu hujan untuk mengguyur tubuhnya.

Tiba-tiba angin kecil datang disertai hujan yang sangat deras. Semua orang lari mencari tempat berteduh. Namun, tidak dengan Naca. Gadis itu basah kuyup.

"Aku tidak peduli meskipun besok sekarat. Asalkan bisa cari alasan buat menolak. Lalu, aku bisa kabur untuk interview. Iya, aku harus sakit! Harus!" gumam Naca sambil menunduk. Bibirnya bergetar lantaran menggigil.

"Sshh, dingin banget, sih!" keluhnya.

Mendadak kakinya merasa lemas. Naca ingin jatuh. Alhasil dia menyerah. Menengok kanan-kiri mencari tempat berteduh. Ada halte yang sepi. Tanpa pikir panjang dia berlari kecil ke halte itu. Kakinya sudah tidak kuat lagi. Setelah duduk dia mengerjap-ngerjap menghilangkan air yang masuk. Mengatur napas sambil memukul kecil dadanya. Naca berdeham dan menghela napas kasar. Mengedarkan pandangan ke jalan raya yang sepi. Malam semakin larut. Akhirnya hujan reda di pukul delapan malam.

Naca menggigil menatap sekeliling, "Dingin! Rumah masih lumayan jauh. Apa aku jalan kaki lagi?"

Tak sengaja melihat seseorang menaiki motor yang berhenti di tepi jalan, "Ah, ada tumpangan! Apa aku minta tolong orang itu aja, ya?" ada sedikit binar di wajah.

Naca menghampiri orang itu sambil memeluk tubuhnya sendiri. Bibirnya bergetar, meminta tolong orang itu yang bermain ponsel.

"Permisi, apa kau mau memberiku tumpangan?" tanyanya baik-baik.

Orang itu menoleh, tetapi hanya diam. Di balik kaca helm, Naca tidak bisa melihat wajahnya dengan jelas.

"Aku bisa membayarmu. Lagipula rumahku tidak jauh dari sini. Aku mohon!" pinta Naca memelas.

Orang itu terlihat melihat Naca dari atas sampai bawah. Naca sampai bingung karena tidak ada jawaban.

"Hei, Tuan. Kalau tidak mau, ya, setidaknya jawab. Aku minta tolong padamu. Bisa apa tidak?" tanya Naca lagi sedikit keras.

Setelah diam agak lama orang itu mengangguk. Naca tersenyum lega walau sedikit kesal.

"Ayo, Tuan!" dia naik ke motor itu dan menunjukkan jalan ke rumahnya. "Tuan, rumahku ada di sebelah jembatan sana, dekat dengan jalan raya," sambungnya. Orang itu hanya mengangguk. Kemudian, menyalakan mesin motor dan mengantar Naca pulang.

Naca menggigit bibirnya sendiri, menatap punggung laki-laki di depannya dia jadi berpikir.

'Apa dia orang baik? Kelihatannya orang penting. Punggungnya tegap begini. Apa jangan-jangan masih muda? Kelihatannya memang masih muda, sih,' pikirnya.

Tidak lama kemudian, mereka tiba di depan rumah Naca. Dia tersenyum senang. Turun dari motor sambil mengambil sesuatu di dalam tasnya.

"Ini untukmu. Terima kasih atas tumpangannya." Ucap Naca mengulurkan selebar uang lima puluh ribu rupiah. Naca tetap senyum, tapi orang itu tidak menerima uangnya. Orang itu menegakkan badan dan membuka kaca helm. Sontak Naca tercengang.

'Astaga! Dia tampan sekali! Ternyata benar masih muda?' pikir Naca.

Mulutnya sampai terbuka. Orang itu menatap uang di tangan Naca, ekspresinya datar tak terbaca.

"Uang ini ...," ucap orang itu menggantung.

Naca tersadar dan langsung bicara, "Eh, apa kurang? Biasanya aku kasih segitu kalau naik ojek. Kalau begitu... Ini, aku tambah lagi." mengambil uang selebar lima puluh ribu rupiah lagi dan mengulurkan tangannya.

Laki-laki itu tersenyum miring membuat dahi Naca berkerut. Lalu, orang itu menutup kaca helm dan menyalakan motornya. Jelas Naca keheranan, ternyata orang itu menoleh sebelum pergi.

"Aku akan ingat penghinaanmu!" kata orang itu terdengar halus, tetapi kasar. Dia benar-benar pergi begitu cepat. Naca sampai menutup mata karena terkena asap motornya.

Gadis itu merenggut tidak terima. Menatap jalan yang dilintasi orang itu sengit, "Terima kasih tumpangannya orang aneh!" dia berteriak.

"Hah, dia kira dia siapa?! Mentang-mentang wajahnya tampan bisa sok menolak imbalan dan bicara seenaknya? Penghinaan katanya? Aku rasa aku terlalu sopan untuk menghina. Dasar, orang aneh!" menggerutu seraya membuka pagar rumah. Dia sampai lupa kalau sedang kehujanan.

Masuk rumah tanpa memperdulikan orang tuanya yang memberi tatapan tajam. Naca terus berjalan ke kamarnya. Sampai Ayahnya teriak dan Naca berhenti sejenak.

"Besok pertemuanmu dengan anak bos. Jangan lupa!" teriak Ayahnya menggema.

Naca melirik sinis, "Tidak bisa!" jawabnya tegas.

Sang ayah mengerutkan dahi ingin marah, "Intinya mau harus tetap temui dia. Jika tidak namamu akan lepas dari Kartu Keluarga!"

"Besok aku akan sekarat dan kau tidak akan bisa memaksaku lagi, Ayah!" jawab Naca asal dan lanjut masuk kamar. Dia menutup pintu agak keras. Membuat Ayahnya ingin marah. Untung saja sang istri menahannya.

Mana ada sekarat direncanakan? Nyatanya dia mungkin hanya demam kecil karena yang dirasakan hanyalah pusing. Setelah masuk rumah dinginnya hilang. Naca tidak peduli, dia memilih membersihkan diri dan berbaring di ranjangnya.

"Huft, semoga aku sakit sungguhan. Enak saja mereka mau menikahkanku. Aku juga ingin hidup sendiri, kerja, cari pasangan sendiri. Bukan menikah sama anak bos yang nggak jelas wujudnya. Menyebalkan!" gerutu Naca.

"Besok, aku harus di terima jadi reporter. Dengan begitu aku bisa bebas kemanapun yang aku mau. Ini kesempatan besar untukku!" Ah, semoga interview besok berjalan lancar!" ucapnya sebelum tidur.

Pagi ini dia bangun dengan kondisi baik-baik saja. Gagal sudah rencananya untuk sakit. Hujan-hujanan semalam tidak ada hasil. Sepertinya kekebalan tubuhnya memang sangat kuat.

Naca mengambil handphone-nya di meja dekat ranjang. Melihat jam yang masih pukul delapan pagi. Dia buru-buru mandi dan bersiap untuk interview. Sayangnya pintu dan jendela dikunci dari luar.

Naca ternganga, "Tidak! Mama, Ayah, buka pintunya! Kalian, 'kan yang mengurung Naca?!"

Teriakannya sudah menggema di kamar. Menggedor-gedor pintu merasa diburu waktu. Bagaimana tidak? Interview akan dimulai pukul sembilan. Artinya tinggal satu jam lagi kesempatan Naca untuk kabur. Ayahnya pasti mengurungnya karena takut Naca melarikan diri agar tidak jadi menemui calon suami yang dipaksakan.

"Argh, sialan! Habis sudah waktu aku kalau begini." Naca luruh di depan pintu.

Tidak ada suara orang tuanya sama sekali. Apakah Naca sendirian di rumah?

"Wah, tega banget! Tega sekali mereka mengurungku! Tidak, tidak boleh mengeluh. Ayo cari cara buat kabur, Naca. Ayo pikirkan sesuatu!" berdiri mondar-mandir sok serius.

Melihat jendela. Seketika senyumnya melebar. Ada bola lampu menyala di atas kepalanya.

"Aha! Aku menemukan cara!" Naca tersenyum aneh.

Tiba-tiba dia mendapatkan helm yang diambil dari atas lemari. Helm itu cukup kuat untuk memecahkan kaca, bukan? Lalu, bagaimana dengan kayu yang tersilang di luar jendela? Tenang, Naca bisa melepaskannya dengan helm juga. Dia pukul sampai kayu itu lepas. Nyatanya tenaga Naca tidak bisa dikalahkan hanya dengan jendela.

"Haha, akhirnya bisa keluar! Waduh! Waktuku terbatas!"

Naca panik segera berlari setelah berhasil melompat dari jendela. Jarum jam tangan lebih menakutkan sekarang. Walau kakinya sakit saat jatuh, tidak masalah. Hal terpenting saat ini adalah interview kerja.

Lalu, dia berhasil sampai tepat waktu. Naca menghembuskan napasnya kasar sekaligus lega. Ada banyak orang yang duduk rapi di sana. Ternyata juga sedang menunggu antrian dipanggil untuk wawancara. Naca naik bus sangat cepat saat tiba di jalan raya. Mungkin ini hari keberuntungannya.

~~~

Pukul satu siang, matahari terik membuat Naca kepanasan. Setelah keluar selain wawancara, dia berteduh di teras kantor sebentar.

Hatinya gelisah, memikirkan di terima menjadi reporter atau tidak. Hasilnya akan muncul besok melalui alamat surel. Itu mimpi Naca. Sangat menyedihkan jika usahanya sia-sia.

Entah mengapa dia terpikirkan laki-laki yang akan dia temui. Naca memukul kepalanya pelan berkali-kali agar berhenti memikirkan itu. Sangat tidak nyaman. Mendadak ada telepon dari ayahnya yang menyuruh Naca pulang sekarang. Naca memutar bola mata malas. Pasti setelah ini akan dimarahi.

Ternyata benar, Naca kena marah. Dia langsung pulang setelah mendapat telepon itu. Dia anak yang baik kan? Lalu, malam harinya dipaksa untuk menemui seseorang. Naca ingin membanting diri sekarang juga.

"Aduh! Udah berapa kali Naca bilang? Naca nggak mau nikah secara paksa!" Naca marah di ruang tamu. Meja panjang itu sudah terisi banyak makanan.

'Wah! Dari mana datangnya semua makanan itu?' pikir Naca.

"Ayah sudah putuskan. Kau akan menikah satu minggu lagi!" seru sang Ayah.

Sontak Naca terbelalak, "Apa maksudmu? Aku sudah bilang, aku tidak mau menikah!" pekiknya keras.

"Oh, ya?"

Tiba-tiba terdengar suara bariton yang menggetarkan jiwa. Itu berlebihan. Naca sampai terjingkat kaget. Kedua orang tua Naca pun sama. Mereka kompak memandang pintu yang terbuka. Seseorang berdiri di ambang pintu dengan setelan jas lengkap. Napas Naca macet di tenggorokan.

"Kau! Orang yang tidak mau kubayar waktu hujan!" dengan bodohnya Naca menunjuk orang itu tidak sopan. Suaranya melengking memenuhi ruang tamu.

Dia langsung dipukul sang Ayah. Ibunya pun tercengang sampai ternganga karena anaknya. Sang Ayah langsung datang menyambut.

"Ahaha, selamat datang, Tuan. Kenapa tidak memberi kabar sebelum datang? Silahkan duduk." ucap sang Ayah ramah sambil mempersilahkan masuk.

"Tidak perlu! Aku hanya sebentar," jawab tamu itu nanar.

Dia terus memandang Naca padahal Naca membuat ekspresi marah. Pandangan Naca sangat sengit.

Dalam hati Naca bertanya-tanya, 'Kenapa Ayah memanggilnya, Tuan? Siapa dia? Lihat wajahnya sekarang. Tampan-tampan, tapi matanya sinis sekali. Apa salahku coba?'

Orang itu melangkah. "Aku hanya ingin bicara dengan putrimu." katanya tepat di depan Naca dan menarik tangan Naca paksa.

Naca melotot, "Lepaskan aku! Apa-apaan kau ini? Lepaskan tanganku!" pekiknya meronta.

Orang itu tidak menjawab, justru membawa Naca sampai keluar. Orang tuanya heran saling bertanya.

"Bagaimana bisa mereka saling kenal?" tanya sang Ibu.

Ayahnya berpikir, "Untuk apa Naca membayar Tuan Muda? Di waktu hujan?"

Tidak jauh dari rumah, laki-laki tampan itu membawa Naca ke seberang jembatan. Naca melepaskan tangannya paksa.

"Ck, ada apa kau ini? Jangan sok kenal denganku!" marah Naca.

Orang itu menatapnya datar. Memasukkan kedua tangannya ke saku celana. Kali ini Naca tidak terpesona dengan wajah tampan di depannya. Dia menatap sinis.

"Oh, jadi kau tau keluargaku?" Naca memandang laki-laki itu dari atas sampai bawah. Kedua alisnya terangkat sedikit.

"Aku tidak punya banyak waktu untukmu. Selalu mencari alasan untuk bertemu denganku? Asal kau tau, Naca. Aku hanya ingin memberitahu alasan mengapa kau harus menikah denganku." ucap laki-laki itu tajam.

Refleks wajah Naca menjadi tegang. Orang itu serius. Seakan memberi sugesti yang buruk di benak Naca. Perihal dia mengetahui namanya pun sampai tidak Naca pedulikan.

"Ayahmu menggelapkan uang perusahaan dengan jumlah besar, tapi itu bukan masalahku. Masalah yang sebenarnya dia mengetahui sesuatu yang seharusnya tidak diketahui siapapun. Dia menjualmu padaku dan aku akan menebusmu dengan syarat aku memberinya uang untuk menebus uang yang dia gelapkan dan kau dipakai untuk membayar kesalahan ayahmu padaku," terang orang itu cepat nan tegas

Naca terpukul. Dia terpaku tak bisa bergerak sedikit pun.

"A-apa?" suaranya bergetar.

"Kedua masalah itu akan selesai jika kita menikah dan ayahmu tetap tutup mulut. Jika tidak, seluruh anggota keluarga kalian dalam bahaya,?" lanjut orang itu datar. Sungguh wajah itu tidak berekspresi.

Naca semakin tidak percaya. Matanya melebar sempurna. Apa yang dia dengar? Itu mustahil bukan? Ayahnya bukan tipe orang yang suka harta sampai rela menggelapkan dana. Untuk apa?

Tiba-tiba Naca terjingkat dalam diam. Orang itu mendekati telinganya. "Kau tidak bisa lari, Naca. Aku sudah membelimu. Aku tunggu minggu depan di pelaminan," berbisik di telinga Naca.

Kemudian, orang itu pergi begitu saja. Seketika Naca luruh. Lututnya melemas bagai lumpur. Di jembatan itu, dia bahkan lupa bernapas.

Cukup lama akhirnya Naca bangkit dan kembali ke rumah. Dia marah, memaksa sang ayah menceritakan keadaan sebenarnya. Nyatanya sang Ayah bersedia bicara jujur.

"Damian Very Ersava. Putra tunggal pemilik perusahaan tempat Ayah bekerja. Dia dipanggil Dave, sang Pembunuh Bayaran," begitulah jawaban sang Ayah tenang walau pandangan menunduk..

Naca sangat terluka. Dia marah tak karuan dan kedua orang tuanya hanya bisa diam.

"Pembunuh Bayaran? Kalian menikahkanku pada Pembunuh Bayaran? Tidak, tapi menjualku. Oh, berapa milyar yang kau dapat, Ayah? Untuk melunasi hutang katamu? Lalu, untuk apa semua hutang itu? Ya Tuhan, katakan aku salah dengar sekarang." Naca meraup wajahnya yang merah padam.

Baru pertama kali Naca marah sangat marah kepada orang tuanya. Kesalahan yang fatal itu telah disadari sehingga mereka hanya bisa diam mendengarkan Naca. Sebelumnya sang Ayah bicara jika dia rela menggelapkan uang perusahaan untuk membayar hutang, tetapi hutang itu tidak diketahui untuk apa. Ternyata hanya untuk bersenang-senang.

Naca masih bisa mengontrol diri. Dia tidak sebodoh itu yang menangis karena dinikahkan dengan penjahat level atas. Pagi-pagi sekali dia sudah pergi dengan pakaian bersih nan rapi menuju kantor tempatnya wawancara kemarin. Memang masih pagi dan sepatutnya belum mendapatkan balasan email, akan tetapi dia rela menunggu di sana daripada berada di rumah. Otaknya masih terngiang akan orang yang bernama Dave.

"Ck! Pantas saja tidak menerima uangku. Dua lembar lima puluh ribu rupiah pasti sampah baginya,p" gumam Naca berdecih.

Naca menghela napas frustasi, "Aku harus bagaimana sekarang? Satu-satunya cara agar tidak menikah dengan kriminal itu hanya mengembalikan semua uangnya. Aku saja belum bekerja bagaimana bisa membayar?"

Tepat di pukul sembilan Naca mendapat email balasan. Dia diterima menjadi reporter. Terlalu senang dia sampai melompat-lompat. Seketika pusingnya hilang. Seakan ada secercah harapan dalam hidupnya.

"Haha, aku tetap bisa bebas. Bayangkan saja, kalau aku sungguh menikah dengan Dave, setiap hari pasti rasanya berada di penjara iblis. Pembunuh Bayaran itu kejam, 'kan? Ck, malangnya nasibku. Jadi, aku akan sibuk menjadi reporter agar dia tidak mengusikku," ujarnya ceria. Sampai-sampai banyak orang menatapnya mengira Naca aneh.

Senyumnya luntur saat mengingat sesuatu, "Intinya aku tetap harus menikah dengannya, 'kan? Jika tidak ayah dan ibu akan dalam bahaya."

"Permisi, Nona? Apa ada yang bisa kubantu?" tanya seseorang yang memakai kartu identitas. Dia heran karena Naca ada di teras kantor cukup lama.

Naca terkesiap, "Ah, maaf. Aku baru saja menerima email balasan lolos interview. Aku ingin bertanya tentang kebenarannya. Aku ... sangat senang, haha."

Orang itu terkekeh lantaran tingkah Naca yang jujur, "Kalau begitu silahkan masuk."

Naca mengangguk sopan dan mengikuti orang itu. Dia berakhir keluar dengan membawa kartu identitas. Rasa senangnya tak bisa dipungkiri. Sayang sekali, saat keluar dari kantor, dia melihat sosok yang tidak asing. Tentu saja Naca terkejut hebat. Di seberang jalan itu ada mobil hitam terparkir dan seorang laki-laki jangkung bak model papan atas berdiri di samping pintu mobil. Dia membuka kaca matanya. Sontak membulatkan mulut Naca.

"Buat apa si sombong itu kemari?!" pekiknya tak tahan.

Orang-orang melihatnya aneh. Buru-buru dia membekap mulut sendiri. Celingukan untuk menyeberang jalan raya dan akhirnya berhasil. Saat menyeberang jalan dia bergumam tidak jelas. Intinya menjelek-jelekkan Dave. Sesampainya di depan Dave dia melipat tangan di dada.

"Kau? Kenapa bisa ada di sini? Kau mengikutiku, ya?" tuduh Naca. Jarinya menunjuk Dave sebentar.

Dave memberi isyarat dengan telunjuk agar Naca ikut masuk mobil, "Masuklah!"

"Tidak mau! Siapa tau kau menculikku." Naca melengos.

Namun, Dave menarik dan memaksa Naca sampai Naca berhasil masuk ke mobil. Dia langsung menjalankan mobilnya tanpa peduli Naca yang memberontak. Ketika mobil itu jalan, hilang sudah ocehan Naca yang tanpa henti.

"Tolong! Aku diculik Pembunuh Bayaran! Aku mau dijual ke luar negeri!"

Itu kata terakhir Naca ketiak berteriak. Setelahnya dia haus. Mengipasi wajahnya hingga sekarang.

"Oh? Sudah mengenalku? Kalau begitu aku tidak perlu repot-repot menjelaskannya," Dave bicara tanpa melirik. Mata tajamnya sangat fokus berkendara membuat Naca mendengkus kesal.

"Setelah mengancam berani menemuiku? Dari mana kau tau aku ada di kantor redaksi TV? Pekerjaanmu merangkap jadi mata-mata?" candaan yang tidak terdengar seperti candaan dari Naca.

"Apa aku harus terkejut? Kau tidak takut padaku. Aku bisa saja membunuhmu sekarang," balas Dave.

Naca berdecak, "Melenceng dari pembicaraan, Tuan. Aku tau kau jahat, tapi kau tetap manusia. Kau hanya dibutuhkan untuk tindak kriminal atas bayaran. Jika membunuhku apa untungnya bagimu? Meskipun kuakui aku agak takut padamu. Jadi menjauhlah darimu. Lepaskan aku dan turunkan aku." berubah sedikit memohon.

'Ih, menyebalkan sekali! Dia mau membawaku ke mana?' pikirannya.

Di otaknya ada banyak bayangan mengerikan yang membuatnya semakin gugup. Laki-laki di sampingnya sangat tidak bisa ditebak.

"Aku tidak mau menikah denganmu," celetuk Dave setelah keadaan diam beberapa detik.

Naca langsung menoleh, "Apa?!" matanya yang cerah sangat lebar.

"Kau akan tau alasannya," lanjut Dave tetap dengan wajah datar.

"Hah?!" Naca berteriak tak percaya.

Dia menepuk pipinya berkali-kali sampai kemerahan. Ada sedikit rasa senang, tetapi penasaran serta deretan pertanyaan menghantui. Mengapa? Naca menahan diri untuk bertanya. Dia memilih menunggu si ekspresi dingin itu berbicara.

avataravatar
Next chapter