1 Wiland Wijaya Company

BRAK!!

Beberapa berkas yang sedari tadi Azia dekap tiba-tiba saja meluncur bebas ke atas lantai. Wajahnya langsung memucat kala laki-laki di hadapannya berdesis marah.

"Azia Murtia! Apa kamu tidak bisa berjalan dengan benar?!"

Azia menggigit bibir bawahnya semakin keras, tatkala bentakan Wiland menembus dadanya yang masih bergemuruh karena rasa cemas.

Dengan cepat wanita itu merapikan berkas-berkas yang sudah berserakan di lantai dengan tangan bergetar.

Ini kali pertama dirinya bekerja di perusahaan Wiland Wijaya Company. Dia nekat mendatangi perusahaan itu tanpa adanya pengalaman kerja, tanpa ijazah, dan bahkan, tanpa apa pun yang bisa membuatnya diterima di salah-satu perusahaan terbesar di Asia tersebut.

Namun, kali ini takdir berpihak kepadanya. Meeting dengan klien ternama menjadi salah-satu hal yang membuat Wiland menerima Azia untuk bekerja dengannya sebagai seorang asisten pribadi.

Azia mendesah, mencoba menenangkan diri saat melihat Wiland melempar pandangan dengan mata tajam pekat ke arahnya. Laki-laki itu bahkan belum pernah menunjukan senyumnya sekali pun untuk menyambut kedatangan Azia ke perusahaan.

"Ma-maaf Pak, saya tidak sengaja." Azia langsung merendahkan tubuhnya sambil mengambil satu-persatu berkas yang sudah berserakan.

"Cepat rapikan! Saya tunggu di ruangan; jangan sampai ada yang tertinggal … satu pun!" titah Wiland. Laki-laki itu langsung melengos dengan langkah lebar membiarkan Azia merapikan berkasnya sendirian.

"Argg." Azia menggeram kesal.

"Itu orang atau robot sih, kaku banget." Azia masih asik mengomel dengan tangan yang berkutat, hingga tak sadar sudah ada berapa banyak berkas yang ia rapikan.

Suasana kantor terlihat sangat damai, di jam sepuluh pagi, para karyawan sudah diam di tempat kerjanya masing-masing, tanpa ada seorang pun yang berani membuka mulut untuk berbicara disaat bekerja. Perusahaan ini dikenal dengan prestasi Wiland yang selalu menampilkan kinerja dan tanggung jawab yang luar biasa, itulah kenapa perusahaan ini mengutamakan kedisiplinan yang sangat erat.

Namun hal itu tidak berlaku bagi Azia, yang sedari tadi mondar-mandir menyiapkan berkas yang Wiland butuhkan untuk kepentingan 'Meeting' yang akan dimulai, setengah jam lagi.

Bahkah di waktu yang masih cukup di bilang pagi, Azia sudah lima kali pergi ke ruang 'Cafetaria' membawakan sarapan yang Wiland inginkan. Tidak berhenti di sana, dia juga menyuruh Azia, untuk siap melayani setiap keinginannya meskipun itu membuatnya lelah, mencuci mobil, contohnya.

Sebelum berangkat ke kantor, Wiland sudah mengomel meminta Azia untuk mencuci mobil miliknya, dia juga meminta wanita cantik itu belajar mobil, agar bisa menyetir dan mempermudah dirinya saat akan melakukan pekerjaan di luar.

Dengan gagah, laki-laki itu masuk melalui pintu yang bertuliskan CEO dengan cepat.

"Belum apa-apa sudah membuat kekacauan. Semoga saja dia tidak membuat masalah hari ini." Wiland menggeleng kesal. Namun kemarahannya tidak membuat ia kehilangan kewibawaannya sebagai seorang pemimpin.

Tuk... tuk...

Derit pintu terdengar, saat Azia mulai masuk dengan wajah lesu serta pakaian seadanya yang dia bawa dari kampung halaman.

"Apa masih ada yang perlu saya siapkan lagi, Pak?" tanya Azia setelah sampai di ruangan besar berdindingkan kaca itu.

Azia meletakkan berkas yang dibawanya di atas meja, kemudian duduk di kursi tepat di hadapan Wiland dengan santai, menstabilkan nafasnya yang masih tengah-tengah.

Bukannya menjawab pertanyaan Azia, laki-laki itu malah memicingkan mata dengan cukup erat, seolah ada emosi yang coba dia tahan kepada asistennya tersebut.

Wiland menghentikan aktivitasnya memeriksa berkas yang ada di tangannya, kemudian melempar tatapan tajam pada Azia yang terlihat cukup kelelahan dengan pekerjaan ringan yang dia berikan.

'Sepertinya saya harus memberi dia pekerjaan yang lebih berat lagi daripada ini,' batin Wiland.

"Siapa yang menyuruhmu untuk duduk di sini?"

Diam, Azia hanya memandang laki-laki itu dengan tatapan aneh. Mencerna ucapan atasannya dan berpikir di mana letak kesalahannya.

"Tidak ada," jawabnya polos diiringi gelengan.

"Berdiri, dan keluar dari ruangan saya!" titah Wiland. Dengan rasa lelah Azia terpaksa harus bangun dari duduknya dan pergi meninggalkan Wiland yang masih memandangnya dengan wajah ketus.

"Tapi, apa lagi yang harus saya kerjakan?" lirihnya kembali bertanya seraya masuk ke dalam.

Wiland masih diam, tak menghiraukan pertanyaan Azia, dan malah fokus memainkan ponselnya.

"Pak." Tanya Azia cukup kencang.

Wiland mendesis. "Ada apa lagi?"

"Pekerjaan saya apa?" Azia semakin mempertegas pertanyaannya.

"Astaga. Apa kamu tidak tahu apa pun tentang pekerjaanmu?" bentak Wiland. Azia menarik tubuhnya, menjauhi Wiland sebelum laki-laki itu meledakkan semua emosinya.

'Belum apa-apa sudah marah, lebih baik aku tanya kepada yang lain saja,' umpat Azia dalam hati.

"Mau kemana kamu? Saya sedang bicara," tegur Wiland.

"Saya akan bertanya kepada manajer Bapak," jawab Azia ketus.

"Berani-beraninya kamu bicara seperti itu kepada atasanmu sendiri." Wiland terperanjat, dengan santai ia mendekati Azia.

Azia menarik tubuhnya menjauh dari pandangan Wiland yang semakin mendekat.

'Ya allah, apa yang akan dia lakukan,' batin Azia. Tangannya menyentuh dada, gemuruh tidak jelas kini terdengar berisik di area otaknya.

Entah apa yang ada dipikiran Azia, spontan dirinya menutup rapat kedua matanya saat atasannya berhenti tepat di hadapannya.

"Rendahkan nada bicaramu ketika berhadapan dengan saya! Dan ingat, saya ini atasanmu, jadi jangan menyamakan saya dengan teman-temanmu! Paham?" gertak Wiland.

Hening, Azia melotot sempurna, nada bicara yang selalu Wiland lontarkan kepada Azia selalu saja tinggi, hingga perempuan itu tersentak kaget.

"Ba-baik Pak, saya minta maaf." Zia melengos dengan terburu-buru. Namun, dengan cepat Wiland menarik bajunya hingga tubuh wanita itu terbalik dan jatuh menimpa tubuh laki-laki itu dengan sempurna.

Ada durasi yang terlewatkan hingga pelukan itu berlangsung, hingga seseorang datang dari balik pintu dan menyadarkan keduanya.

"Permisi," ucap seorang pria dengan lirih seraya menundukkan wajahnya.

"Oh maaf Pak, nanti saya kembali lagi." Seorang office boy langsung keluar setelah melihat keadaan di dalam ruangan.

Wiland mengatupkan kedua bibirnya dengan rapat, dengan kasar dia mendorong tubuh Azia hingga terjungkal di lantai.

"Ah." Azia meringis. "Bapak ini apa-apaan sih, tangan saya jadi sakit," hardik Azia.

"Kok jadi nyalahin saya, kamu yang salah," balas Wiland.

"Mentang-mentang bos, gak mau ngakuin kesalahannya sendiri," sindir Azia.

"Sebagai seorang pemimpin itu,

seharusnya bisa ngasih contoh yang benar!" lanjut Azia, sampai di detik berikutnya sentilan keras mendarat di puncak kepalanya.

"Iisss, kenapa kepala saya di sentil sih Pak." Azia mengerutkan wajahnya.

"Keluar, dan segera selesaikan pekerjaanmu, sebentar lagi saya ada Meeting."

"Baik, Pak."

"Dan, ya." Azia menoleh spontan.

"Tolong sampaikan kepada Fathinia, untuk segera datang ke ruangan saya!" titah Wiland.

"Oke baik Pak."

Azia segera keluar dan langsung mencari perempuan yang disebutkan oleh atasannya tadi.

"Fathinia Farhan, namanya sangat bagus, pasti orangnya juga sangat cantik. Apa dia pacarnya pak Wiland?" pikir Azia sembari meninggalkan ruangan tersebut.

"Azia!" Belum lama Azia meninggalkan ruangan Wiland. Namun, dengan lantangnya laki-laki itu kembali memanggil asisten tersebut.

"Astaga, Wiland," gerutu Azia sembari mendelik.

"Ada apa lagi si?" Dengan terpaksa Azia kembali masuk ruangan CEO dengan wajah pucat.

"Tolong siapkan minuman, dan beberapa cemilan manis untuk Meeting nanti, saya tidak mau suasana Meeting bersama klien saya kali ini berlangsung tegang." Wiland memalingkan wajah dari mata Azia setelah dirinya selesai memberi perintah.

"Baik, Pak, akan saya kerjakan."

"Bagus kalau begitu, silahkan kembali!"

Azia masih terdiam di tempat. Dia merasakan sakit yang sangat luar biasa di bagian dadanya, serta beberapa area kepala yang rasanya semakin berdenyut.

"Azia! Apa perlu saya mengantarmu keluar? Jangan hanya bengong seperti itu, cepat kerjakan yang saya suruh, sebentar lagi saya akan memulai meeting-nya!"

Azia masih terdiam, tidak memberikan respon apa pun kepada atasannya.

Brak

Seketika gebrakan keras di meja membuat Azia tersadar dan kembali memfokuskan dirinya kepada apa yang Wiland sampaikan, yang sudah berdiri di ujung sana dengan wajah marah.

"Maaf, Pak, saya tidak dengar tadi." Azia langsung menundukkan wajahnya saat menyadari apa yang sudah dia lakukan.

"Jika kamu hanya terus-terusan seperti ini, bagaimana kamu bisa sukses? Bagaimana kamu bisa punya uang? Dan apa sebenarnya tujuanmu datang ke sini?" teriak Wiland, hingga membuat Azia merengut takut, dia tidak menyangka, jika Wiland akan semarah ini.

"Maaf, Pak karena tadi saya melamun, saya akan pergi sekarang."

"Bagus, sana pergi!"

"Iya, ini juga saya mau pergi. Bapak fokus saja dengan pekerjaan Bapak, jangan hiraukan saya!" ucap Azia cukup berani, seraya melengos dari hadapan Wiland.

"Katanya pemimpin, tapi kok gak ada jiwa kepemimpinan sama sekali padanya, sukanya marah-marah saja, pantas saja dia terlihat cukup tua."

Bug

avataravatar
Next chapter