11 Make a baby

Aku beneran ke Makassar yiha! Meskipun aku nggak tahu, ada gunanya atau nggak aku berada di sini, yang penting aku bisa jalan-jalan. Semoga Andra tidak keberatan aku repotkan.

Tapi, dua setengah jam dalam pesawat? Mati gue.

Perjalanan bisnis ini sudah dibuat senyaman mungkin. Harusnya aku bisa rileks, bukan malah pasang muka tegang seperti ini. Seenak apa pun fasilitas yang ada di sini, tetap saja aku akan mengudara. Jauh di atas ketinggian beribu-ribu kaki. Dan kabar buruknya, aku takut ketinggian. Meskipun pernah, aku biasanya meminimalisir bepergian menggunakan pesawat. Tapi kali ini tidak mungkinkan aku dan Andra pergi ke Makassar naik pesawat??? Yang ada meeting kelar, tiga hari kemudian kami baru sampai.

Keringat dingin mulai keluar dari dahi dan telapak tanganku, mungkin juga telapak kaki. Aku bisa merasakan wajahku yang mendadak tegang. Padahal sudah kubuat setenang mungkin tapi keadaan seperti ini selalu menyerangku.

"Rea, kamu baik-baik saja?" tanya Andra yang duduk di sebelahku. "Sebentar lagi pesawat akan take off."

Aku hanya mengangguk.

"Kamu yakin? Wajahmu pucat. Kamu punya phobia pesawat?"

Aku tidak mau mengakuinya, tapi ini beneran mengerikan.

"Pakai ini. Aku sudah mengantisipasinya sih, barangkali kamu takut naik pesawat." Andra memasangkan air phone ke atas kepalaku menutupi telinga. "Kamu bisa mendengar musik selagi pesawat take off. Sekarang pakai sabuk pengamanmu."

Pramugrari di depan sudah menginstruksikan. Andra memasangkan sabuk pengamanku.

"Kamu berdoa dan tarik napas yah. Semua akan baik-baik saja. Adaxaku di sini."

Kata-kata Andra sedikit membuatku tenang. Aku bisa merasakan saat pesawat ini mulai bergerak perlahan.

"Andra, boleh aku memeluk lenganmu?" tanyaku.

"Boleh."

Aku langsung meraih lengan Andra kuat-kuat. Suara musik dari air phone juga sedikit membuatku rileks. Sebenarnya seperti ini, dengan memeluk orang seperti ini aku bisa jauh lebih tenang. Meskipun tidak benar, aku merasa nyaman dan aman bersama laki-laki di sebelahku.

***

Aku bahagia bisa melewati perjalanan tadi. Seperti orang norak yang baru naik pesawat aku berseru excited, membuat Andra terkekeh. Oh My, laki-laki itu apa tidak bisa tertawa lebar? Yang sering aku lihat hanya kekehan kecil. Sangat berbeda dengan Satria. Meskipun kadang galak tapi Satria bisa tertawa lebar seperti tadi pagi.

Ah laki-laki itu sedang apa ya sekarang? Setelah marah karena kepergianku ke Makassar, ia sama sekali tidak menghubungiku. Astaga! Apa aku berharap? Mungkin saja kan dia sedang sibuk.

Andra membawaku ke sebuah gedung perkantoran di pusat kota, kami benar-benar melakukan meeting dengan anak cabang perusahaan Wijaya begitu sampai. Meeting itu lebih membahas perkembangan proyek yang sedang mereka jalani di sini. Aku? Jelas tidak tahu apa-apa.

Setelah kurang lebih sekitar dua jam meeting itu selesai, aku dan Andra langsung meluncur ke lokasi pembangunan apartemen untuk meninjau. Tentu saja, data dari mereka harus sesuai dengan data lapangan.

Apartemen itu didirikan di dekat pantai. Mereka menjual pemandangan juga ternyata. Pantas jika satu unitnya dihargai sangat tinggi. Target mereka masih sama kelas menengah atas yang butuh hunian nyaman dan eksklusif. Kabarnya 90 persen unitnya sudah terjual. Wow banget sih, padahal setengah bangunannya belum jadi. Namun pihak pengembang, menargetkan akhir tahun sudah siap huni.

***

Melelahkan dari perjalanan langsung bekerja. Setelah makan siang, aku baru bisa merasakan kasur empuk hotel. Seandainya tidak habis melakukan perjalanan udara, mungkin aku masih semangat untuk jalan-jalan. Tapi siang ini aku lebih memilih tidur siang saja.

Sudah lama rasanya tidak pernah merasakan tidur siang. Dulu saat masih sekolah, setelah pulang sekolah tidur siang menjadi aktifitas rutin. Menginjak bangku kuliah, hampir tidak pernah lagi. Jadi, tidur kali ini beneran nyaman dan enak. Gulingnya juga nyaman dipeluk, hangat tapi keras. Aneh, baru kali ini aku merasakan guling hotel sekeras ini. Biasanya yang namanya bantal hotel selalu empuk. Ini mah nggak ada empuk-empuknya sama sekali. Udah gitu bisa gerak-gerak pula. Eh apa? Bergerak-gerak?

Spontan aku membuka mata. Dan yang aku lihat pertama kali adalah wajah Satria yang hanya berjarak satu jengkal dari wajahku.

"Aaaarrrrgh!"

Hep! Mulutku langsung dibungkam tangan Satria.

"Kenapa kamu teriak, Rea?" bisik Satria jengkel.

Aku ingin bicara tapi hanya erangan yang keluar dari mulutku. Satria masih membekap mulutku.

"Jangan teriak lagi."

Aku mengangguk-angguk. Barulah Satria melepas bungkamannya.

"Ke-kenapa kamu bisa ada di sini?" tanyaku bingung, panik dan deg-degan.

"Ya bisa lah. Kenapa nggak bisa? Aku punya sayap."

"Kamu kan nggak boleh ke sini sama kakek. Kerjaan kamu di Jakarta menumpuk."

"Aku titipin sebentar."

"Terus kamu ngapain di sini?"

"Nyusul kamu. I want to make a baby."

Aku menatap horor Satria yang menyeringai.

"Gila! Siapa juga yang mau! Ogah!"

Aku bangkit dari tempat tidur.

"Kalau kamu nggak mau ya aku paksa."

"Itu namanya pemerkosaan."

"Memerkosa istri sendiri kan ibadah."

Apa? Mana ada cerita begitu? "Jangan aneh-aneh, Bang. Kamu sama aku itu nikah terpaksa. Jadi jangan berpikiran kalau kita akan punya baby dari pernikahan ini."

"Aku ngerti. Tapi setidaknya kamu pinjamin rahim kamu dan sumbangin sel telur aja deh."

"What? Otak kamu beneran nggak waras ya Bang."

"Aku janji bakal kasih apa pun yang kamu ingin."

"Minjamin rahim sama nyumbangin sel telur. Itu sama saja aku nyerahin keperawanan aku dong!"

"Emang kamu masih perawan?" Satria mengangkat satu alisnya kurang ajar.

"Eh dengar ya, Bang. Aku itu masih perawan ting-ting belum pernah tersentuh dan terjamah oleh jenis mahluk apa pun."

Satria tertawa. "Mana aku tahu Rea kalau aku belum nyoba?"

Aku berkacak pinggang. "Kamu nantangin aku?"

"Iya! Jadi apa kamu merasa tertantang?"

"Aku nggak sudi menerima tantangan kamu ya, Bang."

"Bilang aja nggak berani."

"Enak di kamu nggak enak di aku."

"Kita akan sama-sama enak, Rea."

Aku mendelik mendengar perkataannya yang terkesan santai. Seolah urusan keperawan seseorang itu hal yang sangat biasa. Sudah berapa sering sebenarnya dia memerawani anak orang?

"Kamu jangan coba-coba menjebakku ya, Bang." mataku menyipit.

"Aku nggak menjebakmu. Aku janji akan melakukannya pelan-pelan sampai goal."

Sinting!

"Bagaimana Rea, apa kamu siap melakukannya? Kamu tinggal rebahan aja. Maka akan aku buat kamu melayang jauh ke angkasa."

Satria benar-benar kurang waras. Jauh-jauh menyusulku ke sini hanya untuk membujukku melakukan hal mesum.

Satria maju mendekatiku, membuat langkahku mundur. Tatapannya intens dan sayu. Sial! Aku benar-benar terjebak oleh pesonanya. Aku terus melangkah mundur seiring dengan langkah Satria yang terus maju. Hingga sebuah dinding menghentikan pergerakanku. Astaga! Satria mengurungku dengan kedua tangannya. Jarak kami terlampau dekat. Aroma maskulin dan mint dari tubuh Satria menguar dan membuatku sedikit kehilangan kesadaran. Bahkan hangat napas lelaki itu bisa aku rasakan membelai pipiku. Aku seperti terkunci, mata Satria berhasil menghipnotis pikiranku. Wajahnya semakin mendekat, siap mengikis jarak di antara kami. Aku meneguk ludah saat bibir Satria hanya berjarak beberapa senti dari bibirku.

Satria hampir saja menempelkan bibirnya pada bibirku sebelum aku menghantamkan kepalaku dengan keras mengenai kepalanya.

"Aw!!!" pekiknya meringis kesakitan. Rasakan.

"Dasar manusia mesum."

Aku mendorong tubuhnya menjauh dan segera keluar dari kamar.

"Rea! Rea! Shit! Kepalaku sakit sekali."

Tidak aku pedulikan teriakannya lagi. Biarkan saja dia merasakan sakitnya kena hantamanku. Biar otaknya yang gesrek bisa sedikit lurus kembali.

avataravatar
Next chapter