webnovel

Emergency Marriage 2 : On My Heart

MATURE 18+ (Bijaklah dalam memilih bacaan) Akankah cinta pasangan Satria-Rea yang penuh lika-liku abadi? Rea selalu suka cara lelaki itu memuja tubuhnya. Memabukan. Dari dulu, selama enam belas tahun pernikahan, Satria tidak pernah membuatnya merasa kecewa dalam urusan ranjang. Performa dan primanya selalu membuatnya kewalahan. Seperti saat ini, dia seolah diajaknya terbang tinggi melintasi awan. Satria itu the real hot daddy now. Tubuh kekar lelaki itu merebah di sisi Rea, dengan napas yang memburu. Setelah berhasil menetralisir napasnya, tangannya terulur merapikan rambut Rea yang berantakan, dan beberapa kali mengecupnya sayang. "Kamu tetap saja hebat," bisiknya. Mata Rea yang terpejam sontak terbuka, tangannya menarik ujung selimut, menutup tubuhnya yang masih polos. Jujur, seharian ini dia sangat lelah. Rasa kantuknya saat ini sudah tidak tertahankan lagi. Rea menyurukan kepalanya ke dalam pelukan Satria, lantas matanya memejam kembali. ______________ Halo Gaes, ini akun baruku ya. Dan aku memutuskan memindahkan Emergency Marriage vol 2 di akun baru ini. Sebenarnya di EM 1 vol dua udah up beberapa bab. Namun, akan aku Repost bertahap di sini sebelum lanjut. Jadi, jangan heran ya kalau aku ulang di sini dari bab awal vol 2. Akun Ice Coffe dan Yuli F Riyadi anggap aja sama. Oke, udah dulu ya gaes. Happy reading! Emergency Marriage 1 ada di akun webnovel Yuli_F_Riyadi

Ice_Coffe · Urban
Not enough ratings
383 Chs

Satria Cemburu

Abi menyelesaikan presentasinya dengan sangat apik. Ide-idenya cemerlang. Rea tahu perusahaan manufacturing kalau tidak ada terobosan akan ketinggalan dengan perusahaan lainnya. Sejauh ini produk perusahaannya memang sudah ada tempat tersendiri di hati konsumen. Tinggal inovasi yang perlu ditingkatkan. Rea rela kalau keuntungan perusahaan diputar lagi untuk penyuntikan dana bahan baku baru. Karena menambah variasi artinya harus menambah modal. Sementara Rea, tidak mau bergantung pada Satria. Dia mau membuktikan pada lelaki itu kalau Surya Gemilang layak untuk dipertahankan.

"Jadi, Abi. Untuk produk baru kita apa kamu udah dapat pemasok?" tanya Rea.

"Sudah, Bu. Kita hanya akan menggunakan bahan baku pilihan. Tanpa pewarna dan pengawet. Saya sudah melihat pasar. Dengan strategi yang kita miliki, saya yakin produk baru kita akan mampu bersaing dengan produk lama yang lebih dulu ada."

Rea mengangguk paham. "Oke, kita harus memulai produksinya segera. Saya mau mesin yang digunakan dalam proses produksi harus benar-benar canggih biar produk yang dihasilkan juga bagus dan sesuai standar kesehatan."

Hari ini Rea berencana meninjau pabrik baru di daerah Ciawi. Jika bulan ini produk berhasil, dia akan mendirikan pabrik baru lagi di Makassar. Selama beberapa minggu ini, tenaga dan pikiran benar-benar Rea kerahkan.

"Jadi, kapan kita mulai siap produksi?" tanya Rea saat meninjau pabrik.

"Beberapa hari lagi kami sudah siap, Bu," jawab penanggung jawab pabrik. Bukan tanpa alasan Rea mendirikan pabrik baru di Ciawi, karena di sana bahan baku bisa didistribusikan dengan mudah.

"Bagus. Berapa kapasitas pabrik ini, Pak?"

"Kurang lebih bisa menghasilkan 40juta botol per bulan."

"Oke, kita pelan-pelan saja. Saya ingin melihat reaksi pasar." Rea memutar badan bertanya pada sekretarisnya kembali. "Promo iklannya bagaimana?"

"Ibu tenang saja. Sudah ada beberapa draft dari sana yang kami pilih."

Rea mengangguk. Dia optimis akan berhasil. Meskipun beberapa pihak ada yang tidak setuju dengan tindakan yang dia lakukan. Di saat keuntungan perusahaan sedikit, Rea malah membuat produk baru, yang otomatis akan perlu pabrik baru untuk proses produksi. Tidak, rencana ini sudah lama, tapi masih berupa wacana. Apa salahnya kalau sekarang Rea wujudkan?

***

"Jadi, Rea membuka pabrik baru di daerah Bogor?" Satria memutar kursinya. Dia tertawa, merasa lucu.

"Benar, Pak." Ruben mengangguk.

"Pabrik di sini saja cuma bisa menghasilkan untung sedikit, dia membuat pabrik baru. Konyol. Siapa yang memberinya ide gila seperti itu?"

"Sepertinya itu ide sekretaris barunya."

Mata Satria memicing. "Siapa sekretaris barunya itu? Kenapa Rea percaya padanya?"

"Abi Permana. Dia sudah membuat penjualan produk di pabrik lama meningkat dalam waktu dua minggu atas strategi-strategi yang dia usulkan," ungkap Ruben. Mau tidak mau, itu membuat Satria penasaran.

"Abi Permana? Apa dia lelaki?" Dia mengusap dagunya. Namanya tidak asing. Namun, dia tidak bisa mengingat.

"Ya. Sekretaris Bu Rea, seorang pria."

Satria menggeram. Tangannya sontak mengepal. Itu artinya Rea ke mana-mana selalu dibuntuti lelaki itu.

"Aku ingin menemui Rea." Satria berdiri dan mengenakan kembali jasnya.

"Dengar-dengar, Bu Rea sedang memantau produksi di Pabrik baru."

"Kalau begitu kita akan ke sana Ruben." Satria melangkah keluar.

"Tapi, Pak. Satu jam lagi ada meeting dengan Pak Galuh." Ruben tak habis pikir. Bosnya itu selalu terpancing jika itu menyangkut soal istrinya.

"Tunda," jawab Satria sekenanya.

Ruben hanya menghela napas. Selain dia harus me-reschedule jadwal, dia juga harus mencari alasan agar Pak Galuh bisa legowo menunda meetingnya.

Satria benar-benar menyusul Rea di Pabrik Ciawi. Bukan sebuah bangunan baru. Ada pemugaran di beberapa bagian. Namun, sebagian ada yang sudah menjalani proses produksi. Bahkan pendistribusian sudah dilakukan.

PT. Surya Gemilang Mandiri, Wijaya Group, Bogor. Satria membaca tulisan itu di dinding pagar depan pintu masuk pabrik. "Dia benar-benar melakukannya. Pantas sering pulang terlambat."

"Itu kemajuan 'kan, Pak?"

Memang benar. Tapi mendengar ada seseorang yang mendukung di belakang Rea selain dirinya, membuat ego Satria sedikit tersentil. Apalagi orang itu laki-laki.

"Halo, Sayang," sapa Satria membuka pintu ruangan Rea. Wanita itu memiliki ruang tersendiri di sini juga. Satria dan Ruben diantar oleh orang RnD saat menuju ruangan istrinya itu.

Ada seorang lelaki yang bersama Rea ketika Satria dan Ruben masuk. Mungkin dia yang bernama Abi, pikirnya.

Rea cukup terkejut dengan kedatangan Satria di pabrik. Apalagi tanpa ada konfirmasi sebelumnya.

"Kelihatannya kamu sibuk, Sayang?" Satria mendekat dan tidak lupa melirik lelaki di seberang Rea. Dia serta merta meraih pinggang istrinya dan mengecup pelipis Rea.

Buru-buru Rea menghindar. "Ini kantor, Bang," ujar Rea tidak enak hati dengan Abi yang terlihat salah tingkah.

"Siapa dia, Sayang? Kamu nggak mau mengenalkannya padaku?"

"Dia Abi, sekretaris baruku."

"Oh ya? Kamu nggak pernah bilang kalau sudah memiliki sekretaris baru?"

Rea menghembuskan napas. Dia tahu betul kedatangan Satria hanya ingin menganggunya. Mungkin juga mengejeknya karena sudah melakukan hal gila, membuat pabrik baru.

Abi terlihat berdiri dan mengulurkan tangan. "Saya Abi, sekretaris Bu Rea."

"Iya, saya tahu." Satria hanya melirik sekilas tangan Abi tanpa berniat menyambutnya. Dia lantas kembali fokus dengan Rea.

Abi menarik tangannya kembali. Dia tersenyum dalam hati melihat tingkah big bosnya itu. "Kalau begitu saya permisi dulu, Bu," pamitnya kemudian.

Rea mengangguk sebagai jawaban dan membiarkan Abi keluar ruangannya. Tidak lama, Ruben juga menyusul keluar.

Sekarang hanya tinggal mereka berdua, Satria dan Rea di ruangan itu.

"Bang, kamu bisa 'kan memberitahuku kalau mau datang ke sini?" Rea beringsut keluar dari mejanya dan memilih duduk di sofa yang ada di salah satu sudut ruangan.

"Maaf, Sayang. Aku lupa. Mendengar kamu mendirikan pabrik baru membuatku penasaran." Satria menyusulnya duduk di sofa.

"Aku sudah pernah mendiskusikannya sama kamu. Tapi kamu nolak mentah-mentah dan berpikiran menjual pabrik yang ada di Jakarta."

Satria menyelipkan anak rambut Rea yang menjuntai ke balik telinga. "Aku nggak yakin Surya Gemilang Abadi akan maju dan bertahan."

Surya Gemilang Abadi adalah pabrik yang Rea kelola di Jakarta yang memproduksi snack-snack berkualitas. Sementara Surya Gemilang Mandiri memproduksi minuman teh kemasan botol plastik.

"Kita lihat saja, Bang. Aku akan membuktikannya sama kamu."

"Baiklah, aku beri kamu tambahan waktu untuk satu tahun ke depan. Karena untuk sukses tidak bisa instan. Tapi...." Ucapan Satria menggantung. Tangannya terulur membelai pipi Rea.

"Tapi?" Rea menatap curiga. Suaminya itu kadang perlu diwaspadai. Keinginannya untuk membuat Rea diam di rumah itu semakin gencar.

"Jangan terlalu dekat sama sekretarismu itu, Sayang. Aku nggak suka."

Rea mengembuskan napas lega. Dia pikir soal apa? Namun, lantas dia terkekeh.

"Apanya yang lucu? Aku serius, Re." Satria tampak tak suka.

"Kamu cemburu sama Abi? Astaga, dia cuma sekretaris apa yang dicemburui coba?"

"Waktu dia bersamamu lebih banyak daripada aku, suamimu sendiri." Satria menekan setiap katanya. Dia beneran tidak suka saat datang tadi, Rea sedang berduaan dengan Abi. Biarpun lelaki itu seorang sekretaris, tidak seharusnya dia sedekat itu dengan Rea.

"Aku menghabiskan delapan jam untuk bekerja di kantor. Selebihnya aku pulang. Bagaimana bisa kamu berpikir waktuku lebih banyak dihabiskan dengan Abi? Hitunganmu payah banget, Bang."

Konyol. Satria sedang cemburu yang tidak beralasan. Memangnya Satria pikir Rea ngapain di kantor? Main kelereng?

Satria mengibaskan tangan. "Jaga jarak, atau aku pecat sekretarismu itu."

Rea melotot, menganga tak percaya. Dia paling tak suka kalau Satria sudah bertindak tidak profesional seperti ini.