webnovel

Emergency Marriage 2 : On My Heart

MATURE 18+ (Bijaklah dalam memilih bacaan) Akankah cinta pasangan Satria-Rea yang penuh lika-liku abadi? Rea selalu suka cara lelaki itu memuja tubuhnya. Memabukan. Dari dulu, selama enam belas tahun pernikahan, Satria tidak pernah membuatnya merasa kecewa dalam urusan ranjang. Performa dan primanya selalu membuatnya kewalahan. Seperti saat ini, dia seolah diajaknya terbang tinggi melintasi awan. Satria itu the real hot daddy now. Tubuh kekar lelaki itu merebah di sisi Rea, dengan napas yang memburu. Setelah berhasil menetralisir napasnya, tangannya terulur merapikan rambut Rea yang berantakan, dan beberapa kali mengecupnya sayang. "Kamu tetap saja hebat," bisiknya. Mata Rea yang terpejam sontak terbuka, tangannya menarik ujung selimut, menutup tubuhnya yang masih polos. Jujur, seharian ini dia sangat lelah. Rasa kantuknya saat ini sudah tidak tertahankan lagi. Rea menyurukan kepalanya ke dalam pelukan Satria, lantas matanya memejam kembali. ______________ Halo Gaes, ini akun baruku ya. Dan aku memutuskan memindahkan Emergency Marriage vol 2 di akun baru ini. Sebenarnya di EM 1 vol dua udah up beberapa bab. Namun, akan aku Repost bertahap di sini sebelum lanjut. Jadi, jangan heran ya kalau aku ulang di sini dari bab awal vol 2. Akun Ice Coffe dan Yuli F Riyadi anggap aja sama. Oke, udah dulu ya gaes. Happy reading! Emergency Marriage 1 ada di akun webnovel Yuli_F_Riyadi

Ice_Coffe · Urban
Not enough ratings
383 Chs

Rapat yang Menyebalkan

Usia yang makin bertambah membuat Rea lebih dewasa dan semakin memesona. Ratu di keluarga Wijaya tentu saja akan terlihat menarik dari segi apa pun. Hidup bergelimang harta dan tak kurang suatu apa pun, membuat siapa pun yang melihatnya akan merasa iri, dan ingin bisa menduduki posisi itu.

Namun, Rea tetap saja Rea. Wanita slebor dengan segala tingkah konyol. Meskipun sekarang sudah menjadi ibu dari enam orang anak. Tingkah dan sifatnya sama sekali tidak berubah.

Dia dipercaya memimpin salah satu cabang perusahan Wijaya. Di bawah kepemimpinannya, perusahaan itu semakin maju tiap tahunnya. Namun, karena ada beberapa oknum nakal, selama beberapa bulan belakangan ada kerugian besar di perusahaan itu.

Untungnya, semua sudah diatasi karena Satria turun tangan langsung. Dan oknum karyawan yang terlibat sekarang sudah dikeluarkan dari perusahaan, termasuk sekretaris Rea sendiri. Jadi, saat ini jabatan sekretaris masih kosong. Rea kesulitan dalam bekerja tanpa bantuan sekretaris. Keteteran? jelas.

Seperti sekarang, dia harus menghadiri rapat, sementara pekerjaan di kantor belum juga kelar. Rea memegang kepalanya frustrasi. Namun, ia bergegas juga meninggalkan kantor.

Semua sudah berkumpul di ruang meeting begitu Rea datang. Termasuk Satria dan Andra. Rapat gabungan dari masing-masing anak cabang perusahaan dilakukan di meeting room lantai paling atas gedung Wijaya Group.

"Maaf, telat," ucap Rea langsung menempati kursinya.

"Masih belum ada sekretaris pengganti?" tanya Andra yang duduk di sebelahnya.

Rea menggeleng lemah. "Kerjaan numpuk," bisiknya.

"Kamu nggak akan pusing kalau berdiam diri di rumah," timpal Satria. Rea tidak ingin mendengar ocehannya. Satria selalu berpikir sama, menginginkan Rea tetap di rumah saja.

Mereka fokus saat rapat di mulai. Masing-masing perwakilan anak cabang sudah melaporkan hasil kinerjanya. Mereka juga harus memberikan planning-nya jangka pendek yang mereka susun. Dari total keseluruhan laporan yang Satria terima. Indeks keuntungan Wijaya group naik sepuluh persen dari bulan lalu. Itu lumayan. Meskipun Satria masih ingin angka itu terus naik tiap bulannya.

"Pemugaran hotel di daerah Batu, apa sudah dilakukan, Ndra?" tanya Satria saat rapat sudah selesai.

"Sudah, Bang. Masih dalam proses."

"Good." Matanya beralih menatap Rea. "Perusahaan kamu yang mengalami keuntungan paling sedikit di sini. Mungkin aku akan melepas saja."

Kontan ucapan Satria membuat Rea melotot. "Melepas bagaimana? Perusahaan ini mulai lagi dari nol. Jadi, wajar kalau keuntungan masih sedikit. Yang penting kan untung," protes Rea tak terima.

"Iya, tapi keuntungan itu cuma recehan."

Rea mendengus. Perusahaannya memang kecil, tidak bisa menghasilkan keuntungan besar seperti perusahaan lainnya. Tapi tetap saja, harus dipertahankan karena di sana juga terdapat orang yang menggantungkan hidupnya pada perusahaan tersebut. Tega sekali kalau Satria berniat menjualnya karena keuntungannya tidak seberapa.

"Aku beri kamu waktu tiga bulan, untuk membuat perusahaan itu maju kembali. Kalau dalam jangka waktu itu kamu nggak berhasil. Maaf, Sayang. Perusahaan itu akan aku jual," putus Satria.

Rea tidak bisa berbuat apa-apa selain menyetujui perintah itu. Tiga bulan, dia harus berusaha keras lagi agar perusahaannya bangkit kembali.

Satria tersenyum penuh muslihat melihat muka bingung sang istri. Dia lantas berdiri, dan beranjak meninggalkan ruang rapat diikuti asisten setianya, Ruben.

"Abang kamu nyebelin banget, Ndra," ujar Rea begitu Satria menghilang.

Andra terkekeh. "Abangku itu suamimu juga Rea."

"Di kantor dia itu bukan seperti suami. Tapi lebih mirip setan yang suka menekan bawahannya."

Andra tertawa kecil dibuatnya. "Sabar, Bang Satria melakukan itu biar kamu lebih semangat lagi berjuang."

"Nggak. Dia itu tambah membuat pusing kepalaku saja." Tangannya bergerak membereskan dokumen yang ia bawa.

"Lebih baik kamu segera minta sekretaris baru. Biar kerjaanmu ringan."

"Mereka menjanjikan siang ini. Ya, sudah, ya, Ndra. Aku balik dulu."

"Oke."

Rea keluar dari ruang meeting, dan langsung menuju lift untuk turun menuju kantornya di lantai dua puluh. Ketika dia sampai, di depan ruangannya ada Pak Budi dengan seorang lelaki. Pak Budi itu kepala HRD, lalu siapa lelaki manis di sebelahnya?

"Selamat siang, Bu," sapa Pak Budi.

"Selamat siang, Pak. Menunggu lama?" tanya Rea.

"Belum lama, kok, Bu."

"Oke, mari silakan masuk." Rea mempersilakan tamunya memasuki ruang kerjanya. "Jadi, Pak Budi, apa Anda sudah akan memberiku sekretaris baru?"

Pria berusia lumayan matang itu tersenyum, dia lantas mengangguk. "Kenalkan, ini sekretaris baru Bu Rea, namanya Pak Abi."

Mata Rea langsung bergeser pada pria di samping Pak Budi. Serius sekretarisnya dia?

"Sekretaris saya laki-laki, Pak?" tanya Rea memastikan. Pak Budi mengamini. Lalu mempersilakan pria di sebelahnya untuk mengenalkan diri.

"Selamat siang, Bu. Saya Abi, yang akan membantu pekerjaan Bu Rea." Pria bernama Abi itu memperkenalkan diri dengan santun. Rea bisa memperkirakan usianya baru sekitar dua tujuh atau malah dua lima mungkin. Dia mengangguk canggung, dan berusaha membalas dengan senyum yang sama.

"Bu Rea jangan khawatir. Pengalaman Abi banyak. Dia juga sangat kompeten. Bu Rea bisa mengandalkannya," ujar Pak Budi seperti sedang mempromosikan Abi.

"Oke. Baiklah. Hari ini dia sudah bisa langsung bekerja 'kan, Pak?" tanya Rea lagi. Mengingat pekerjaannya sekarang sedang menumpuk.

"Bisa, kok, Bu."

"Oke." Rea mengangguk lega.

"Baik, kalau gitu saya permisi dulu." Pak Budi kemudian menepuk bahu Abi. "Bantu pekerjaan Bu Rea, ya."

"Baik, Pak," sahut Abi tersenyum.

Sebenarnya Rea lebih suka kalau sekretarisnya itu perempuan. Tapi, dia sudah tidak punya waktu lagi untuk memilih. Waktu tiga bulan yang Satria berikan perlahan mulai terdengar menyiksa.

"Tolong re-schedule semua jadwal saya. Hari ini dan besok. Terus kamu sortir dokumen yang ada di meja saya," perintah Rea langsung. Langkahnya bergerak menuju meja kerja, dan mulai membuka laptopnya. "Kamu gunakan ini." Rea menyerahkan sebuah tablet pada Abi.

"Baik, Bu."

"Oh, iya. Kosongkan semua jadwal saya dari pukul tiga hingga jam pulang tiba."

"Ada lainnya, Bu?" tanya Abi lagi.

"Tidak, itu saja. Ini bawa ke meja kamu saja. Setelah selesai, bawa ke sini lagi." Rea menunjuk tumpukan dokumen di atas mejanya.

"Baik, Bu." Abi mengambil tumpukan dokumen yang dimaksud lantas bergerak meninggalkan ruangan Rea.

Lelaki itu tersenyum memandang ruangan bu bos. Kemudian, dia bergeser menuju pantry, dan tidak lama kemudian kembali mengetuk ruangan Rea.

"Masuk," ucap Rea dari dalam. Dengan langkah pasti Abi memasuki ruangan Rea. Dia meletakkan sebuah cangkir ke atas meja Rea.

Wangi kopi seketika menguar, memenuhi indera penciuman Rea. Wanita itu menoleh.

"Semoga bisa menghilangkan sedikit penat Bu Rea," ucap lelaki itu lengkap dengan senyum menawannya.

"Terima kasih, Bi." Rea tersenyum kecil. Lalu mengangkat cangkir itu. Abi benar, ia butuh kafein sekarang.

"Oke, saya permisi." Abi bergerak mundur hendak meninggalkan ruangan Rea. Namun, langkahnya yang sudah hampir sampai ke pintu tertahan, karena panggilan Rea.

"Saya ingin mendiskusikan sesuatu sama kamu," ucap Rea.

Dengan senang hati, Abi kembali mendekat. "Diskusi apa, Bu?" tanyanya kemudian.

"Duduklah." Rea meletakkan cangkirnya kembali setelah beberapa kali menyesap.

Abi kembali lagi, dan duduk di hadapan Rea. Dia bisa melihat wajah si bos tampak serius.

"Saya diberi waktu tiga bulan untuk memajukan perusahaan ini kembali. Beberapa bulan terakhir karena ada suatu hal perusahaan ini mengalami kerugian. Sekarang perusahaan seperti merangkak kembali dari awal. Dan kalau dalam waktu tiga bulan saya tidak bisa membuat perusahaan kembali seperti semula, manajemen akan menjualnya." Rea mendesah. "Saya bingung, apa saya mampu? Dan tolong, bantu saya pikirkan masalah ini."

Abi terlihat berpikir. Dahinya berkerut samar. Memajukan perusahaan itu artinya harus meningkatkan penjualan. Selain tim marketing, produk juga harus di-push untuk memperoleh target yang diinginkan.

"Kita perlu rapat untuk membahas ini, Bu. Tim marketing perlu ada gebrakan khusus untuk meningkatkan penjualan," ujar Abi mantap.