webnovel

Pagi yang Indah

Maaf ya, Gaes. Harusnya kemarin up. Tapi ternyata nggak kekejar buat nulis bab ini. Kadi aku ganti hari ini ya teman-teman. Happy reading and jangan lupa ramaikan.

___________________

Suara ketukan pintu membangunkan tidur lelap Rea. Tangannya otomatis meraba sisi di sebelahnya. Kosong. Dengan mata yang masih terpicing, Rea mengangkat tubuhnya. Ketukan itu masih terdengar.

"Masuk, pintu nggak dikunci," seru Rea kemudian menjatuhkan kepala di atas bantal lagi. Dia masih mengantuk. Semalam dia dan Satria sampai ke mansion pukul sebelas malam. Anak-anak sudah tidur ketika dia masuk.

Pintu terbuka pelan dari arah luar. Dari tempatnya berbaring, Rea bisa melihat anaknya yang paling kecil berlari menghampirinya.

"Pagi, Mom," ucap Ceera menaiki tempat tidur. "Mom baru bangun? Tadi malam aku menunggu lama."

Rea tersenyum lantas menowel pipi tembem anaknya. "Pagi, Cantik. Sori ya, udah bikin kamu nunggu lama." Rea kembali bangun lalu mengangkat tubuh kecil Ceera ke sisinya yang kosong.

Anak itu celingukan. "Where is daddy?"

Mengambil sebuah ikat rambut, Rea mencepol rambutnya tinggi-tinggi. "Mungkin sedang mandi."

"Mana oleh-olehku?" todong Ceera menengadahkan tangannya yang mungil.

"Masih dalam perjalanan. Mungkin siang ini sampai."

Gadis kecil itu mencebikkan bibir, "kenapa semalam nggak sekalian dibawa? Kan Ceera jadi lama nunggu lagi."

"Maaf, Sayang. Mom lupa. Kemarin soalnya capek banget." Rea nggak bohong. Dia terlalu capek melayani Satria. "Ceera sudah mandi?"

Anak kecil itu mengangguk.

"Pantas saja wangi."

"Iya, dong. Mom mandi biar wangi."

"Oke. Mom mandi dulu ya. Ceera mau tetap di sini atau mau keluar?"

"Di sini aja."

"Oke, jangan nakal ya."

Anak itu mengangguk lantas Rea turun dari ranjang beranjak ke kamar mandi. Menekan handle pintu kamar mandi, dia sedikit heran. Pintunya tidak dikunci itu artinya Satria tidak ada di dalam. Mengabaikan itu, dia terus saja masuk. Menghadap wastafel, Rea mulai aktivitas mandinya dengan menggosok gigi.

Rea baru saja selesai menggosok gigi saat tiba-tiba saja sebuah tangan terulur memeluk perutnya. Serta merta Rea tenggelam ke dalam rengkuhan tubuh tinggi besar di belakangnya.

"Pagi, Honey," sapa Satria mengecup pelipis Rea. Dia memeluk Rea tanpa mengenakan sehelai benang pun. Astaga, bahkan dari belakang Rea bisa merasakan kerasnya benda itu.

Rea beringsut mencoba lepas dari pelukan suaminya. "Kamu udah mandi, Bang?" tanya Rea.

Pelukan Satria makin erat seiring usaha Rea yang ingin lepas. "Udah. Kamu bisa mencium aroma tubuhku yang wangi."

"Kalau gitu cepat keluar. Ceera ada di kamar kita. Kasian dia menunggu lama."

"Kamu mau mandi? Aku mandiin ya." Mengabaikan ucapan Rea, Satria malah membuka kancing piyama yang Rea pakai.

"Bang, ini udah siang. Aku nggak mau main-main. Lagi pula di sini ada Ceera."

"Ceera kan lagi nunggu. Mungkin dia malah ketiduran." Satria berhasil melepas piyama Rea hingga dua aset indah wanita itu langsung terpampang di depan cermin.

Rea tidur tanpa mengenakan bra. Dia mencoba beringsut sebelum suaminya yang melancarkan aksi paginya.

"Bang, aku mau mandi. Ini udah siang banget. Kemarin sama semalam kan udah. Emang nggak bosen?" sedikit geram Rea mengigit bibir.

Satria merangkum rambut Rea, dan menyingkirkannya ke pundak bagian kiri wanita itu. Lantas bibirnya mencium pundak Rea lainnya yang terbuka. Sementara tangannya sudah bergerilya.

"Sebentar saja nggak akan lama." Dia mendorong tubuh Rea ke depan. Menarik celana piyama Rea dengan cepat, lantas menenggelamkan miliknya dengan sempurna.

Rea terpekik saat lagi-lagi harus menerima penyatuan itu. Dia nggak bisa nolak, dan percuma juga melarang kalau sudah seperti ini. Sial, wajah Satria di dalam cermin malah semakin menyulutkan gairah liarnya. Satria mahluk indah yang masih gagah itu selalu membuat Rea jatuh cinta dan sebal secara bersamaan. Rea tak heran jika sampai saat ini, masih saja ada wanita yang dengan suka rela menawarkan diri menjadi simpanan lelaki itu. Ya, Rea sering sekali mendengar desas desus itu. Semua kesempurnaan seorang lelaki ada pada diri suaminya, wanita mana yang tidak tergoda? Ditatap sebentar saja langsung klepek-klepek.

Ketukan dari pintu kamar mandi terdengar dan disusul suara Ceera yang meneriakkan namanya.

"Mom! Lama banget mandinya. Ceera laper!"

"Bang, stop," bisik Rea pelan.

"Tanggung, Sayang." Satria masih saja terus bergerak.

"Astaga, apanya yang tanggung? Ceera menunggu kita. Dia kelaparan."

"Shit! Di mana pengasuhnya, sih?" Satria melepas penyatuannya. Dia menyambar jubah mandi, lalu keluar setelah memakainya.

Si kecil Ceera mengerjap melihat ayahnya itu keluar dari kamar mandi. "Kok daddy ada di dalam? Mom mana?" tanya anak itu polos.

"Mom lagi mandi. Kamu lapar, Sayang? Gimana kalau Ceera menunggu di meja makan sama nani?" Satria mengangkat tubuh bocah lima tahun itu.

"Nggak. Aku mau sama mom."

"Mom masih lama mandinya."

"Kenapa, sih, Mom mandinya lama. Kalau Ceera cepet kok. Kata nani kalau lama-lama nanti bisa masuk angin."

Satria menggaruk pelipisnya mendengar jawaban pintar anaknya. Rea lama tentu saja karena diganggu olehnya. Tapi nggak mungkin kan dia menjawab seperti itu?

"Mungkin mom sekalian cuci baju," jawab Satria asal.

Ceera menggeleng. "Kan ada laundry."

"Oh, iya. Dad lupa. Ya udah jangan dipikirin. Gimana kalau Ceera tunggu mom di meja makan aja sama kakak-kakak? bentar lagi mom menyusul, mungkin sekarang mom lagi pake sabun," ujar Satria membawa anaknya keluar kamar. Dia lantas memanggil nani, pengasuh Ceera.

"Makan sama Dad aja," celetuk Ceera.

"Tapi Dad juga belum selesai mandi."

Mata polos Ceera menatap ayahnya. "Dad mandi bareng sama Mom?"

Hah? Satria nyengir, dia kesulitan menjawab.

"Aku mau juga mandi bareng kalian."

Mata Satria terpejam sesaat. "Nanti kita renang bareng weekend ini. I'm promise."

Untungnya pengasuh Ceera segera datang, sebelum ide anak itu mandi bareng terwujud. Setelah menyerahkan Ceera pada pengasuhnya, Satria bergegas kembali masuk ke kamar. Namun, saat ke kamar mandi Rea sudah tak ada di tempat. Satria keluar lagi, dan menemukan Rea sudah berpakaian rapi keluar dari walk in closet. Dia mengerang jengkel.

"Rea, kita kan belum selesai."

"Lanjut nanti saja, Bang. Aku udah telat," sahut Rea berdiri di depan meja riasnya, memoles sedikit pewarna bibir setelah sebelumnya memakai cushion.

"Astaga, Re. Aku bisa migrain kalau nggak sampe tuntas."

"Kalau gitu kamu tuntasin sendiri dulu deh. Aku harus menyusul anak-anak ke bawah. Kasihan, mereka udah nunggu." Rea beranjak mengambil tasnya.

"Terus kamu nggak kasihan sama dia?" Jari telunjuk Satria menunjuk ke arah pangkal pahanya.

Wanita itu tersenyum. "Nggak, sih. Dia kan udah sering aku manjain. Udah ya, aku ke bawah dulu." Rea bergerak menuju pintu.

"Re, lanjut sebentar aja." Satria masih berusaha. Dia mengejar Rea hingga keluar kamar, dan berhasil mencekal tangan istrinya.

"Kalau melakukan sesuatu itu jangan nanggung." Satria menyentak tangan itu hingga tubuh Rea membentur dadanya.

"Kita masih punya banyak waktu, Bang. Aku harus segera ke kantor."

"Kenapa buru-buru, sih? Kamu udah kangen banget, ya, sama sekretaris itu?"

Rea memutari bola mata. "Aku kerja."

"Oke, satu ciuman maka aku akan melepasmu."

Rea mengembuskan napas, dan tanpa banyak protes lagi membiarkan Satria melumat bibirnya dengan garang.

"Oh my God. Why do I have to see this anyway?"

Satria melepas ciumannya. Kontan dia dan Rea menoleh. Tidak jauh dari posisinya berdiri, Nicko terlihat bergerak membalikan badan. Sial!

"Go ahead. Let's just say I've never seen anything." Tangan Nicko terangkat. Setelah mengatakan itu, remaja itu bergegas pergi.

Satria meringis melihat kepergian Nicko. Dia yakin sebentar lagi Rea akan mencak-mencak. Maka dari itu, dia mengambil jarak. Namun, belum sempat dia kabur, sebuah cubitan pedas mampir ke pinggangnya. Kontan Satria menjerit kesakitan.

Next chapter