webnovel

Emergency Marriage 2 : On My Heart

MATURE 18+ (Bijaklah dalam memilih bacaan) Akankah cinta pasangan Satria-Rea yang penuh lika-liku abadi? Rea selalu suka cara lelaki itu memuja tubuhnya. Memabukan. Dari dulu, selama enam belas tahun pernikahan, Satria tidak pernah membuatnya merasa kecewa dalam urusan ranjang. Performa dan primanya selalu membuatnya kewalahan. Seperti saat ini, dia seolah diajaknya terbang tinggi melintasi awan. Satria itu the real hot daddy now. Tubuh kekar lelaki itu merebah di sisi Rea, dengan napas yang memburu. Setelah berhasil menetralisir napasnya, tangannya terulur merapikan rambut Rea yang berantakan, dan beberapa kali mengecupnya sayang. "Kamu tetap saja hebat," bisiknya. Mata Rea yang terpejam sontak terbuka, tangannya menarik ujung selimut, menutup tubuhnya yang masih polos. Jujur, seharian ini dia sangat lelah. Rasa kantuknya saat ini sudah tidak tertahankan lagi. Rea menyurukan kepalanya ke dalam pelukan Satria, lantas matanya memejam kembali. ______________ Halo Gaes, ini akun baruku ya. Dan aku memutuskan memindahkan Emergency Marriage vol 2 di akun baru ini. Sebenarnya di EM 1 vol dua udah up beberapa bab. Namun, akan aku Repost bertahap di sini sebelum lanjut. Jadi, jangan heran ya kalau aku ulang di sini dari bab awal vol 2. Akun Ice Coffe dan Yuli F Riyadi anggap aja sama. Oke, udah dulu ya gaes. Happy reading! Emergency Marriage 1 ada di akun webnovel Yuli_F_Riyadi

Ice_Coffe · Urban
Not enough ratings
383 Chs

Menjadi yang Terhebat

Warning 18+

Bocil menyingkir dulu ya, hehe.

Sat-Re kembali lagi. On My Heart resmi aku pindah ke sini ya, di sebelah EM 1 aku closed.

Happy reading ya gaes.

________________________

Rea membuka matanya cepat saat telinganya mendengar suara kecipak air. Netranya langsung menangkap sosok Satria yang berdiri menjulang di hadapannya tanpa sehelai benang pun. Hampir-hampir dia menjerit karena terkejut. Astaga, Satria apa-apaan berdiri dalam keadaan naked total seperti itu? Mau pamer bahwa badannya masih sekeren dulu atau bagaimana.

Lelaki itu menyeringai. Menurunkan badan, dia mendekati Rea. Kedua tangannya mengurung pergerakan Rea. Satria tahu, istrinya tampak gelisah. Bahkan Rea semakin menenggelamkan diri ke dalam air hingga sebatas leher. Satria yang sudah masuk ke dalam air bersamanya, langsung menyambar bibirnya. Dia mencium Rea penuh hasrat. Emosi sudah menguras hatinya. Dia butuh melepaskan segala penat yang tertimbun di kepalanya. Salah satunya adalah bercinta dengan Rea. Satria merasa itu obat paling ampuh pereda stresnya.

Di bawah kuasa Satria, Rea tampak pasrah. Meskipun dia akui tadi sedikit kesal pada suaminya itu. Dia juga tak bisa menolak keinginan suaminya. Satria bisa tambah mengamuk kalau Rea menolaknya.

Bunyi kecipak air karena permainan mereka terdengar keras berlomba dengan bunyi suara desahan dan erangan mereka yang saling bersahutan.

Satria yang sekarang berada di belakang Rea menunduk. Menyampirkan rambut panjang istrinya ke samping lantas dia mencium bahu telanjang Rea. Wangi. Sementara itu di posisinya Rea dengan kepala menunduk, menggigit bibirnya agar desahannya tidak lolos lagi. Pasalnya Satria sedang menggempurnya tanpa ampun dari arah belakang. Rea dengan kuat berpegangan pada pinggiran bathtube. Tubuh bagian bawahnya berkedut semakin cepat. Ia sadar akan mendapatkan pelepasannya. Susah payah dia menarik sebelah tangan Satria menuju dadanya.

Seolah tahu apa yang Rea inginkan. Satria melakukan gerakan meremas pada buah dada istrinya, seraya mempercepat tempo gerakannya. Ia merasakan miliknya terjepit begitu kuat di dalam sana.

"BangSat!" Rea terpekik kala mendapat pelepasannya. Tubuhnya lunglai seketika, hampir saja dia terjatuh kalau tangan besar Satria tidak menangkapnya. Sekali sentak, tubuh Rea sudah berada di gendongan Satria.

Lelaki itu membawa Rea keluar dari kamar mandi, dan beranjak menurunkannya di atas tempat tidur. Rea yang sudah sangat pasrah, menerima saja saat tubuhnya dibolak-balik di atas ranjang oleh suaminya. Rea cukup tahu, bagaimana stamina suaminya. Kadang dia membutuhkan suplemen ekstra agar bisa melayani Satria di atas ranjang. Namun, kali ini dia nggak ada persiapan apa-apa. Dia nggak bisa menyeimbangi permainan Satria. Meskipun begitu, Satria tetap memberinya kepuasan berkali-kali seperti malam-malam biasanya.

***

Rea terbangun dengan badan yang terasa remuk redam. Bercinta dalam keadaan emosi membuat Satria seperti orang kerasukan iblis. Entahlah, semalam berakhir pukul berapa. Yang jelas setelahnya mereka langsung tertidur pulas. Rea berusaha bangkit dari tidurnya. Satria di sebelahnya sudah tak ada. Kebiasaan bangun lebih dulu masih dibudidayakan oleh suaminya itu.

Rea sedang berusaha mengangkat tubuhnya saat pintu kamar terbuka menampilkan sosok Satria dengan sebuah nampan di tangannya.

"Morning, Wife," sapa Satria seraya menutup pintu dengan sebelah kaki. Lantas dia beranjak mendekati Rea.

Pagi ini lelaki itu sudah rapi. Dengan outfit kaos lengan panjang putih berbahan knit, dipadu celana panjang berwarna krem. Dia sudah wangi dan sangat memesona.

Rea meliriknya sekilas, dan duduk. Dia menaikan selimut sebatas leher untuk menutupi dadanya. Saat ini dirinya masih belum mengenakan pakaian apa pun, selain selimut yang menempel di tubuhnya. Bau ciri khas orang habis bercinta juga masih tercium.

"Istriku harus sarapan dulu, ya." Satria meletakkan nampan itu tepat di pangkuan Rea setelah sebelumnya memisahkan gelas susunya.

Tanpa banyak bicara, Rea menurut saja. Di nampan itu terdapat sepotong croissant dan secangkir zupa soup. Rea mengambil pastry yang menutupi soup yang wanginya begitu harum, dia lalu mencicipinya. Masih hangat. Mungkin efek lapar atau memang tenaganya yang sudah terkuras habis, Rea dengan cepat menghabiskan sarapannya itu.

Satria yang duduk di tepian ranjang hanya tersenyum melihatnya. "Kamu lapar, ya?"

Kalau tidak ditanya, Rea yakin dirinya lupa kalau Satria masih ada di sini menungguinya. Wanita itu berdeham.

"Ya, lapar. Karena tenagaku terkuras habis."

"Bahkan semalam kamu nggak melakukan apa pun, Sayang. Aku yang bekerja keras mencangkul di ladang." Satria mengulum senyum.

Rea sedang nggak ingin mendengar ocehan suaminya yang sama sekali tak lucu.

"Astaga, Bang! Aku lupa ada penerbangan pagi." Sadar akan itu, Rea meraih ponselnya di atas nakas. Dai berniat menghubungi Abi. Kenapa lelaki itu tidak membangunkannya.

Namun, saat Rea sedang menunggu panggilan tersambung, Satria mengambil alih ponsel itu. Serta merta tangannya mendadak kosong.

"Bang, aku ha–"

"Sekretarismu mungkin sudah berada di atas awan, Sayang. Lihat, sekarang sudah pukul berapa." Satria menunjukkan arloji di pergelangan tangannya.

Sudah pukul sembilan pagi. Padahal pesawatnya terbang pukul tujuh. Itu artinya sebentar lagi pesawat itu sampai ke Jakarta. "Kenapa kamu nggak bangunin aku, sih?" tanya Rea agak sedikit kesal.

"Lalu membiarkanmu terbang dengan sekretarismu itu?"

Rea berdecak. Harusnya dia sadar Satria sengaja melakukan ini. Mungkin juga lelaki itu sengaja membuatnya lelah semalaman. Rea beringsut dari tempat tidur setelah meletakkan nampan sarapannya ke atas nakas. Dia tidak peduli pada tubuhnya yang polos, dan beranjak menuju kamar mandi. Rea tidak tahu bagaimana Satria di tempatnya harus menelan ludah kepayahan karena tingkahnya.

"Dia sengaja menggodaku," gumam Satria. Namun, dia tidak membiarkan kepalanya berpikir macam-macam. Alih-alih mendapat apa yang dia mau, malah mendapat cacian nanti. Satria menyibukan diri dengan membereskan bekas sarapan istrinya. Lantas dia bergerak keluar kamar.

Satria sedang melakukan zoom meeting saat Rea keluar dari kamar sudah dalam keadaan rapi. Di saat seperti ini pun, dia harus bekerja. Meskipun jauh, yang namanya kewajiban mesti harus dijalankan.

"Bang, kita pulang sore kan? Aku mau jalan-jalan," ujar Rea menyela, seraya membereskan isi tasnya.

Satria minta jeda sebentar pada peserta meeting, sebelum membalas perkataan Rea.

"Iya, Sayang. Kamu tunggu sebentar, ya, kita jalan sama-sama."

"Nggak perlu, Bang. Kamu kan lagi meeting. Aku bisa jalan sendiri." Rea mengenakan tasnya, dan bergerak keluar.

"Sayang, ini sebentar lagi selesai."

Rea mengenakan sepatunya, "sebenarnya kamu itu bukan semenit dua menit, tapi berjam-jam. Udah, ah. Aku berangkat dulu."

"Tapi, Sa–"

Satria serba salah melihat bergantian layar laptop dan Rea yang sudah akan keluar. Dia tidak mungkin meninggalkan meeting yang sedang berlangsung. Mendesah pasrah akhirnya dia kembali memekuri layar laptopnya. Dia berpikir akan menyusul Rea nanti.

***

Keluar hotel Rea menyusuri jalan sekitar kawasan hotel yang luas dan asri. Terletak di dekat pantai serta pusat kota menjadikan view hotel tampak apik. Apalagi interior dan eksteriornya terbilang sangat wah dan Instagramable. Rea berjalan tanpa tujuan, berkeliling sambil melihat-lihat suasana di sekitar. Kacamata hitamnya tersampir di pangkal hidung. Sebuah topi berwarna putih menempel di kepalanya. Saat ini Rea mengenalnya terusan kulot tiga per empat tanpa lengan berwarna beige. Kakinya terbungkus sepatu kets berwarna putih. Tidak akan ada yang tahu kalau usianya sudah lebih dari tiga puluhan.

Pandangannya beralih menatap gedung hotel yang menjulang. Sangat tinggi, kamarnya berada di lantai dua puluh. Satria mungkin masih berada di sana. Rea baru sadar, ternyata ini bukanlah hotel milik Wijaya. Di atas dinding gedung terdapat logo dan nama hotel itu. DutaMas Hotel. Urusan reservasi kemarin itu Abi yang menghandle. Dia hanya terima kunci saja.

Abi, seketika dia teringat lelaki itu. Rea menengok pergelangan tangannya. Harusnya Abi sudah sampai Jakarta. Rea mencoba menghubungi Abi, namun nomornya masih belum aktif. Menaruh kembali ponsel di tas selempangnya, Rea berjalan kembali hendak menuju restoran hotel.

Sesampainya di sana, panggilan dari Satria muncul. Rea tahu suaminya itu pasti kesal karena dia tidak menunggunya selesai meeting. Lagian malas banget nunggu orang meeting. Itu kan membosankan. Apalagi Rea tidak tahu apa yang dibahas.

"Kamu di mana?" tanya Satria langsung begitu panggilannya diterima.

"Aku lagi di restoran hotel."

"Jangan ke mana-mana, tunggu aku di sana sebentar."

"Iya."

Menutup telepon, Rea kembali memilih makanan. Seperti hotel bintang lima pada umumnya, makanan di sini sangat bervariasi, semua disajikan dengan konsep buffet. Rea mengambil makanan secukupnya, lalu dia beranjak menuju salah satu meja.

"Boleh saya duduk di sini?"

Rea mengangkat wajah. Seorang lelaki bertubuh tinggi, dan bermata sipit tersenyum manis padanya. Sejenak mata Rea memicing berusaha mengingat wajah yang tampak femiliar itu.

"Siapa, ya?" tanya Rea karena tidak berhasil mengingat sebuah nama.

"Kamu nggak ingat saya? Kita pernah jumping frog bersama saat dihukum karena telat masuk barisan." Lelaki itu mencoba memberinya sebuah klu. Dan ingatan Rea langsung menyulam kembali masa-masa saat jadi maba di Yogyakarta sana.

"Ko Daniel?" Mata Rea melebar, pasalnya ko Daniel yang dia kenal itu bertubuh agak gempal meskipun dia tinggi.

Lelaki berkulit putih itu tersenyum lebar. "Apa kabar, Rea?"

"Seperti yang kamu lihat, Ko. Ayo, duduk aja nggak apa-apa." Rea tersenyum tak kalah lebar. Dia tidak menyangka bakal ketemu teman lama di sini. "Koko sedang apa di sini?"

"Saya sedang melakukan kunjungan kerja. Kebetulan menginapnya di hotel ini."

"Kalau begitu sama. Mana istrinya, Ko?"

"Jangan bercanda, saya belum menikah."

"Astaga, sori, Ko. Aku nggak tau." Rea terkekeh. Mereka dulu seangkatan, wajar kalau Rea menanyakan istri. Dia saja anaknya sudah setengah lusin. Dan Rea pikir lelaki seperti Daniel tidak akan sulit mencari wanita dengan tampilannya sekarang. Serius, Daniel yang ini sangat berbeda 180 derajat dari yang dulu Rea kenal.