1 Mansion Berduka

Mansion Wijaya berduka. Orang nomor satu di keluarga besar itu telah berpulang. Jatayu Wijaya, atau biasa dikenal dengan Tuan Wijaya hari ini kembali menghadap Sang Pencipta.

Semua cucu, cicit, dan menantu mengelilingi makam, tempat peristirahatan kakek yang terakhir. Tugasnya di dunia sudah tuntas. Tongkat estafet sudah diserahkan pada cucunya, Satria. Keinginan memiliki cucu dari Satria juga sudah terkabul. Tidak tanggung-tanggung, kakek Wijaya berhasil melihat ke-enam anak Satria lahir ke dunia. Sekarang, Kakek sudah tenang di sana.

"Kita pulang, Sayang," ajak Satria pada istrinya yang terlihat masih betah di depan makam kakek.

Mungkin mata Rea sudah sembab. Kehilangan kakek membuatnya sedih, dari semalam saat kakek dilarikan ke rumah sakit, air matanya tidak berhenti mengalir. Pasalnya, kondisi kakek sudah sangat mengkhawatirkan.

Rea menyeka pipinya yang basah. Tidak akan ada yang tahu kalau matanya mungkin sudah mirip mata katak, karena dia sengaja memasang kacamata hitam di sana. Dia bisa puas bersedih tanpa ada seorang pun yang melihatnya. Satria juga sama, kacamata hitam bertengger di pangkal hidungnya yang bangir. Biar pun semasa hidupnya kakek sering membuatnya sebal, tetap saja kakek adalah orang tua satu-satunya yang masih ada. Dan sekarang seakan sudah purnatugas, kakek pergi.

Satria merangkul bahu istrinya dan membantunya berdiri. Rea terlihat lemas, dari tadi pagi tidak ada satu suap nasi pun yang masuk ke perutnya. Untungnya ketika Satria membawanya pulang, wanita itu menurut.

Orang-orang yang mengantar kakek di peristirahatan terakhirnya juga sudah pulang. Hanya tinggal keluarga inti yang ada di sana.

Yang paling sedih atas kepergian kakek adalah Nicko. Remaja tanggung itu sangat dekat dengan kakek Wijaya. Saat kakek sakit, dia tidak pernah meninggalkannya barang sejengkal. Saat di rumah sakit, dia juga yang paling sibuk. Dan ketika kakek wafat, dia ikut memandikan jenasah sang kakek.

***

Rea langsung duduk di atas sofa begitu sampai di ruang tamu mansion. Suasana duka masih sangat kental. Tenda juga masih berdiri kokoh di halaman luar. Wewangian dari karangan bunga yang dikirim para kolega juga masih tercium.

"Rasanya masih nggak percaya kakek pergi, Bang. Kayaknya baru kemarin masih tertawa bareng anak-anak," ujar Rea, pandangannya menerawang.

"Tuhan yang menetapkan umur, Sayang. Kita tidak pernah tahu kapan kembali padanya. Tapi, kakek salah satu orang yang Tuhan beri umur panjang. Kakek bisa sampai melihat anak-anakku tumbuh. Aku yakin kakek sekarang udah bahagia." Satria merangkum jari jemari Rea.

"Kamu benar, Bang."

"Mommy!" teriakan itu membuat Rea dan Satria serempak menoleh. Seorang anak perempuan berumur lima tahun berlari-lari kecil mendekati mereka.

"Ada apa, Sayang?" tanya Satria menyambut putri bungsunya. Anaknya nomor enam itu sangat lucu. Pipinya chubby, dia pasti bingung dengan keadaan ini.

"Is there a party here, daddy?" tanyanya dengan mata polos.

Satria tersenyum, mengangkat anak itu dan mendudukkannya di pangkuannya sendiri. Bagaimana cara menjelaskan konsep kematian pada anak sekecil Ceera?

"No, Honey. Your grandpa was passed away. He left us all back to God."

"Opa meninggal? Apa seperti Merry meninggalkan kita?"

Satria mengangguk. Merry adalah nama kucing milik Aarash putra ketiga Satria. Seketika wajah cantik Ceera mendung.

"Aku nggak bisa melihat kakek lagi?" tanya dia lagi.

"Nggak, Sayang. Opa sudah tenang di tidur panjangnya."

Setelah Ceera, Serena datang membawa nampan berisi dua cangkir teh. Serena anak kedua Satria dan Rea. Dia tumbuh menjadi gadis yang cantik. Usianya baru dua belas tahun.

"Aku bawakan teh hangat untuk Dad dan Mom," katanya tersenyum.

"Terima kasih, Cantik." Satria yang lebih dulu mengambil cangkir itu. Baru kemudian Rea.

"Mom, nggak makan? Serena ambilkan mau?" tanya Serena menawari ibunya yang terlihat lemas.

"Mom nggak laper, Sayang," jawab Rea. Tangannya terulur membelai putrinya.

"Tapi nanti kalau mom sakit gimana?"

"Rea, makanlah sedikit saja." Satria ikut membujuk.

"Memang kamu sendiri sudah makan, Bang?" tanya Rea balik. Dia yakin suaminya itu juga belum menyentuh makanan apa pun.

"Aku sudah makan roti pagi tadi." Hanya selembar roti, itu pun tidak habis.

Rea memutar bola matanya. "Lebih baik kamu makan sana."

"Gimana aku bisa makan kalau kamu aja belum makan."

"Lebih baik kalian berdua makan," tandas Serena. "Biar adil. Kami masih butuh kalian. C'mon lah, jaga tubuh kalian sendiri."

Satria memandang Rea. "Tuh, kamu dengar anakmu bilang apa? Ayo, kita makan sama-sama." Tangannya terulur.

Mau tak mau, Rea menyambut uluran tangan itu. Dia tidak mau mengecewakan Serena. Mereka bangkit beriringan menuju meja makan. Sementara itu Serena mengambil alih Ceera dari gendongan Satria.

"Main sama kakak, oke?" Serena mencolek hidung mungil adiknya dan membawa pergi ke luar mansion.

"Kamu mau makan apa, Bang?" tanya Rea begitu duduk di salah satu kursi meja makan.

"Apa saja. Yang ada di meja."

Tangan Rea mengambil satu sendok nasi lalu ia meletakkannya di piring Satria. Piringnya sendiri juga ikut diisi.

"Sekarang tempat itu kamu yang isi ya, Bang," ujar Rea memandang Satria yang duduk di kursi kebesaran kakek.

"Tentu. Nggak mungkin dibiarkan kosong kan? Nanti yang lihat jadi sedih."

Rea mengangguk, dan menyendok sayur untuk Satria, juga beberapa lauk pauknya.

"Piring kamu masih polos itu. Masa cuma mau makan pake nasi doang?"

"Iya, iya, ini aku ambil lauk." Tangan Rea mengambil satu tusuk sate ayam. Dia sangat nggak berselera. Cara makannya saja seperti orang kehilangan semangat.

"Sabar, ya, Sayang." Satria lagi-lagi menguatkan. Padahal dirinya sendiri juga sangat berduka.

"Aarash dan Aariz ke mana? Mereka nggak kelihatan. Bisma juga." Tiba-tiba Rea teringat putra-putranya yang lain.

"Mereka ada sama Nicko. Kamu tenang saja. Andra dan Om Fred ada juga."

"Masih di pemakaman?"

"Iya."

Namun, nggak lama suara gaduh dari depan terdengar. Ternyata rombongan anak-anak Rea muncul. Nicko, Bisma, dan si kembar Aarash dan Aariz. Di belakang mereka ada Andra, Om Fred, dan juga Ruben. Melihat itu Rea sangat bersyukur, setidaknya mansion ini terlihat sangat ramai dengan kehadiran mereka. Mungkin ini lah sebabnya Satria selalu menginginkan banyak anak. Karena jika salah satu anggota keluarga pergi, maka masih ada anggota lainnya.

"Anak-anak, ayo makan temani mommy kalian. Dia sedang tidak bersemangat makan," ujar Satria menyuruh anak-anaknya mendekat. Mereka menurut dan langsung duduk di posisinya masing-masing.

Mereka secara bergilir mengambil makanan dalam diam. Rea akan selalu bahagia melihat anak-anaknya kompak seperti itu.

"Makan yang banyak agar kalian cepat tumbuh, dan bisa melindungi Mom," ujarnya. Selalu ada pelipur lara di setiap kesedihan yang datang. Bagi Rea mereka pelipur laranya.

"Mom, even now we will always protect you," sahut Bisma. "Don't be cry again. Or we will be sad about it."

"Enggak, Mom nggak sedih. Mom bahagia melihat kalian."

"Ya, opa sudah bahagia di sana," timpal Aariz.

"Kamu benar, Sayang. Kalian ingat nasehat Opa kan?" tanya Satria.

"Tentu. Kita harus rukun. Agar kekuatan kita tambah besar," jawab Aarash tampak semangat. Baguslah, setidaknya Satria melihat ketegaran di mata putra-putrinya. Hanya Nicko yang terlihat masih saja menunduk dalam diam menekuri piringnya.

"Are you okay, Son?" tanya Satria menggapai puncak kepala anak pertamanya itu. Nicko mendongak dan tersenyum tipis. Hanya sesaat.

"I'm okay. Don't worry." Lalu dia melanjutkan kegiatan makannya lagi.

Kesedihan ini akan berlalu, Satria yakin. Segera mungkin dia akan melihat keceriaan kembali di keluarganya. Kakek akan menjadi kenangan yang terbingkai indah. Tidak mudah terlupakan. Kakek adalah teladan anak-anak. Dan akan selau seperti itu. Anak-anak pasti akan mengingatnya sampai kapan pun.

Satria mengarahkan matanya pada potret besar kakek dan dirinya yang terbingkai di sisi dinding bagian atas. Di sana kakek terlihat gagah dan tampan dengan setelan jasnya. Senyumnya juga lebar. Seketika senyum itu menular pada Satria. Selamanya, kakek akan selalu ada di hati.

avataravatar
Next chapter