webnovel

Emergency Marriage 2 : On My Heart

MATURE 18+ (Bijaklah dalam memilih bacaan) Akankah cinta pasangan Satria-Rea yang penuh lika-liku abadi? Rea selalu suka cara lelaki itu memuja tubuhnya. Memabukan. Dari dulu, selama enam belas tahun pernikahan, Satria tidak pernah membuatnya merasa kecewa dalam urusan ranjang. Performa dan primanya selalu membuatnya kewalahan. Seperti saat ini, dia seolah diajaknya terbang tinggi melintasi awan. Satria itu the real hot daddy now. Tubuh kekar lelaki itu merebah di sisi Rea, dengan napas yang memburu. Setelah berhasil menetralisir napasnya, tangannya terulur merapikan rambut Rea yang berantakan, dan beberapa kali mengecupnya sayang. "Kamu tetap saja hebat," bisiknya. Mata Rea yang terpejam sontak terbuka, tangannya menarik ujung selimut, menutup tubuhnya yang masih polos. Jujur, seharian ini dia sangat lelah. Rasa kantuknya saat ini sudah tidak tertahankan lagi. Rea menyurukan kepalanya ke dalam pelukan Satria, lantas matanya memejam kembali. ______________ Halo Gaes, ini akun baruku ya. Dan aku memutuskan memindahkan Emergency Marriage vol 2 di akun baru ini. Sebenarnya di EM 1 vol dua udah up beberapa bab. Namun, akan aku Repost bertahap di sini sebelum lanjut. Jadi, jangan heran ya kalau aku ulang di sini dari bab awal vol 2. Akun Ice Coffe dan Yuli F Riyadi anggap aja sama. Oke, udah dulu ya gaes. Happy reading! Emergency Marriage 1 ada di akun webnovel Yuli_F_Riyadi

Ice_Coffe · Urban
Not enough ratings
383 Chs

Age Gap

Hampir pukul tujuh malam ketika mobil pengganti datang bersama seorang mekanik. Abi bergegas mengganti sang supir untuk mengemudi. Sementara, Rea ikut duduk di kursi sebelah kemudi.

"Loh, kok Bu Rea duduk di situ?" tanya Abi heran.

"Lah, emang kenapa? Udahlah, jalan aja. Gue laper."

Abi mengangguk dan mulai menjalankan mobil. "Ibu mau makan malam dulu?"

"Kayaknya iya, perut gue kelaparan."

Tentu saja, makan siangnya dengan Satria hanya separuh jalan. Setelah itu Rea belum makan apa pun lagi. Abi menghentikan mobilnya di depan sebuah restoran Padang, setelah mengendarai kurang lebih satu kilometer perjalanan.

Restoran Padang yang lumayan besar. Selain ruang utama, ada juga beberapa mini gadang, sebagai ruang makan keluarga yang lebih privasi. Rea memilih duduk di rumah gadang mini tersebut. Seketika kepalanya langsung teringat Bundo. Mama paling senang jika diajak ke rumah makan sodaranya ini. Sodara setanah luhur maksudnya.

"Loh, lo mau mau ke mana, Bi?" tanya Rea ketika melihat Abi hendak masuk ke ruang utama.

"Saya juga mau makan, Bu. Anda membutuhkan sesuatu?"

Rea meluruhkan bahunya. "Terus lo biarin gue makan sendiri, gitu?" Dia bersidekap tangan. "Ya udah, sih, kalau makan juga kenapa nggak ikut masuk ke sini?"

Abi sedikit melebarkan mata, terkejut. Tapi tidak lama, karena dia cepat mengembalikan raut mukanya.

"Saya tidak enak makan bersama atasan saya, Bu Rea saja yang makan di situ. Biar saya di sana."

"Hanya makan, astaga, memangnya kita lagi kencan? Terserah lo aja, deh." Rea berbalik keburu sebal. "Ah, kenapa sih semua laki-laki itu menyebalkan," gerutu Rea menaiki tangga.

Abi tertegun mendengar gerutuan itu. Tidak nyana penolakannya justru membuat bu bos jengkel. Daripada membuat mood Rea tambah kacau, dia memutuskan untuk mengikuti Rea masuk ke mini gadang.

Seperti halnya rumah makan Padang lainnya, restoran ini juga menyajikan semua menu di meja dalam piring-piring kecil. Tinggal memilih saja apa yang mau dimakan. Melihat rentengan lauk, membuat perut Rea semakin keruyukan. Tidak tanggung-tanggung dia ambil lauk tiga. Rendang, cumi, dan paru. Tidak ketinggalan kuah kental plus sambal hijau yang banyak. Mata Abi sampai harus mengerjap menyaksikan itu.

"Bu, itu habis?" tanya Abi menelan ludah.

"Habis, dong. Gue laper banget."

Abi mengangguk ngeri. Dia lantas mengambil sayur dan kepala ikan emas. Itu sudah cukup baginya. Melihat Rea makan dengan lahap sudah membuatnya merasa kenyang.

"Ibu sangat menyukai makanan Padang ya?" tanya Abi lagi.

"Karena gue keturunan Padang." Rea mengacungkan sendoknya. "Kan gue udah bilang kalau di luar jam kerja jangan panggil gue ibu. Gue emang udah ibu-ibu, tapi kalau dipanggil ibu sama lo, gue kayak yang tua banget."

"Jadi?"

"Panggil gue Rea, kita nggak jauh beda kan umurnya?" Rea menatap lelaki di hadapannya. Dia belum sempat melihat CV sekretarisnya itu sampai sekarang.

Abi meringis. Ucapan Rea tidak sepenuhnya salah dan juga tidak sepenuhnya benar. Perbedaan usia mereka lumayan jauh. Abi sudah menghitung sejak sebelum ia bekerja pada Rea. Sepuluh tahun. Age gap yang wow bagi seorang laki-laki dan perempuan. Namun, itu tidak masalah bagi Abi. Wajah wanita itu bahkan lebih cantik dari wanita yang seumuran dengannya. Abi akui itu. Rea memiliki daya tarik sendiri meskipun sudah memiliki banyak anak.

"Rea? Oke, tahun ini usia saya menginjak angka 27. Rasanya kurang sopan kalau saya memanggil Anda dengan sebutan nama saja."

Kali ini giliran Rea yang mengerjap. Serius, pertama kali bertemu dia memang sudah menaksir usia sekretarisnya itu. Namun, dia tidak menyangka kalau tebakannya itu benar.

Rea meringis. "Saat gue lagi asyik main layang-layang sama teman-teman, itu artinya lo baru lahir dong."

Abi terkekeh. "Bisa jadi."

"Nggak nyangka sekretaris gue seorang berondong. Gue jadi merasa terintimidasi sama usia lo."

Abi kali ini tidak sekadar terkekeh, tapi tertawa. "Bu Rea masih sangat cantik dan muda, kenapa harus terintimidasi?"

Gimana tidak cantik dan muda? Perawatan yang dia lakukan selama inilah yang membuatnya masih indah seperti sekarang. Istri seorang Satria, tidak mungkin hanya menggunakan skincare dan perawatan tubuh abal-abal. Rea bahkan tidak mengelak ketika ada yang menuduhnya menghabiskan uang ratusan juta hanya untuk perawatan tubuh.

Rea berdeham. Ucapan Abi seperti sebuah pujian. Jujur dia akan senang jika dianggap usianya sama dengan lelaki itu. Wanita 'kan begitu, selalu ingin dikatakan lebih muda dari usia sebenarnya.

"Jelas, dong. Beda usia kita jauh banget."

"Itu nggak ngaruh, sih, Bu. Yang penting 'kan kita klop dalam bekerja." Abi tersenyum manis. Saking manisnya, Rea seperti melihat wajah Chanyeol di sana. Astaga! Kepalanya oleng lagi.

"Lo benar. Perusahaan juga semakin maju berkat ide-ide pemikiran lo. Tim marketing kita sangat senang dengan masukan-masukan yang lo lakukan. Pertahankan, ya?" Rea kembali fokus pada makanannya.

"Tapi sepertinya, suami Anda tidak menyukai saya."

"Abaikan dia. Dia hanya nggak suka lihat SG sukses."

Kening Abi berkerut. "Aneh, bukannya dia seharusnya bangga melihat perusahaannya maju? Kan itu menguntungkan juga buat dia."

"Itu kalau orang normal."

"Hah? Maksudnya? Pak Satria nggak normal?"

Rea hanya menatap sekilas pada Abi. Dia tampak tidak suka membahas soal suaminya. Abi tampaknya paham, dia pun kemudian diam dan kembali fokus pada makanannya.

***

Pukul setengah sepuluh malam, mobil mereka memasuki halaman mansion. Penat dan lelah bergelayut di pundak Rea.

"Thanks, Bi. Udah nganter."

"Sama-sama, Bu. Langsung istirahat saja kalau capek."

Rea mengangguk, lantas turun dari mobil. Dia berjalan lelah memasuki mansion. Semua lampu sudah padam ketika dia masuk. Dia terus berjalan lurus menuju ruang utama untuk menaiki tangga. Bayangan berendam di air hangat, dan langsung tidur sudah bersarang dari tadi di kepalanya.

Sebelum memasuki kamarnya, dia menengok anak-anaknya. Pertama dia ke kamar Serena, gadis itu sudah tertidur pulas. Sama halnya ketika dia membuka kamar si kembar Aarash dan Aariz. Bisma dan Ceera juga sudah menjelajahi mimpinya. Terakhir kamar Nicko. Seperti pada adik-adiknya, Rea juga menghampiri Nicko, membenarkan selimut anak itu dan terakhir mencium keningnya. Baru kemudian dia beringsut keluar menuju kamarnya sendiri.

Lampu kamarnya juga sudah padam, mungkin Satria sudah tertidur. Dia melepas heels dan meletakkan tasnya.

"Baru pulang?"

Rea melonjak kaget saat mendapati Satria sudah berada di belakangnya.

"Astaga, Bang! Kamu mau bikin aku jantungan?" pekik Rea menekan dadanya.

Sedetik kemudian lampu kamar menyala terang. Wajah Satria kini nampak jelas. Lelaki itu sudah mengenakan piyama tidur. Diliriknya jam dinding, sudah hampir pukul sepuluh.

"Asyik jalan-jalannya?" tanyanya kemudian.

"Jangan mulai, Bang. Aku lagi capek banget." Rea mencoba abai, dia bergerak membuka blazernya.

"Ini sudah hampir pukul sepuluh, Re. Kamu ngapain aja?"

"Iya, aku tahu. Kan aku juga bilang kalau mobil mogok. Kamu nggak percaya?"

Satria mendengus. "Hari ini mobil mogok, entah besok apa lagi alasannya."

Rea mulai kesal kembali. Padahal lebih bagus kalau Satria tidur saja. Serius, dia lagi malas debat.

"Serah, lo, Bang." Rea memasuki kamar mandi. Lebih baik dia berendam melepas penat.

Dia menyalakan kran air hangat mengisi bath tube, sementara dia sendiri menanggalkan semua pakaiannya. Badannya terasa lengket seharian belum mandi. Setelah airnya cukup, dia masuk dan berendam di dalamnya. Tidak lupa dia memberi aroma terapi pada airnya. Rasanya sangat nyaman. Penatnya seolah rontok seketika. Matanya terpejam, merasai setiap sentuhan hangat air pada kulitnya. Sampai-sampai dia tertidur. Rea tidak sadar, kalau Satria sudah berada di ujung pintu kamar mandi. Bahkan lelaki itu sudah menanggalkan seluruh pakaiannya.

Rea merasakan pergerakan air yang dari tadi diam. Terpaksa dia membuka mata. Namun, alangkah terkejutnya ia ketika mendapati Satria sudah berada di dalam bath tube yang sama dengannya. Rea hendak menyuarakan protes. Namun, sebelum itu terjadi, Satria sudah lebih dulu membungkam bibirnya.

__________________

Terima kasih ya, udah ikut pindah ke lapak ini.

Aku ulang On My Heart dari episode awal ya, Jadi, jangan heran kalo akan sama dengan Emergency Marriage 1 vol 2 di akun satunya