1 RITUAL PAGI

Satu minggu setelah pernikahan kedua Habib dan Farida, aku masih tidak menyangka semua ini terjadi. Suamiku, menikah dengan adikku sendiri. Membuka mata di pagi hari, aku selalu mendapati tatapan kosong ke arah langit-langit kamar.

Berusaha meyakinkan diri bahwa apa yang terjadi sekarang adalah mimpi. Hei, aku sudah di madu oleh adikku sendiri! Bagaimana kehidupanku setelah ini? Rasanya seperti permainan monopoli, selalu punya kuasa dan mencari kesempatan umum.

Pemikiran itu buyar ketika suara tangisan bayi merasuki telingaku. Buru-buru aku bangkit dari tempat tidur dan menghampiri box bayi yang ada tak jauh dari posisi ranjang tempat tidurku. Bayi laki-laki yang ada di dalamnya tampak menangis ketika popok yang dia gunakan terasa penuh.

"Ya, Allah ... sayang, jangan menangis lagi. Bunda disini, kamu tidak perlu menangis," bujukku menggendongnya keluar box.

Bayi mungil berusir tiga bulan ini terus menangis sebelum aku selesai mengganti popoknya. Tangisnya selalu mengingatkanku pada sosok Aisyah yang selama ini selalu menjadi teman terbaik dalam hidupku.

Ketika menangis, Rizky—bayi Aisyah akan tampak sangat mirip seperti ibunya, terutama di bagian mata dan mulut. Tidak tega sebenarnya, tapi apa boleh buat? Aku selalu senang melihat dia menangis, karena dengan begitu aku bisa kembali merasakan sosok Aisyah hadir bersamanya.

"Ya, ampun, Bu. Maaf, ya harus mengurus baby Rizky sendirian. Saya telat bangun, tadi juga harus membereskan sisa piring kotor di dapur," kata seorang wanita yang datang berduyun-duyun menggunakan baju khas warna baby pink yang biasa dia pakai.

Dia adalah Amira atau yang akrab di sapa Mira. Dia adalah baby sister Rizky di rumah ini. Hidup sebagai istri dengan dua bayi sangatlah merepotkan. Aku tidak bisa mengurus mereka sendirian dan akhirnya Habib menyarankan untukku agar mempekerjakan baby sister saja.

"El, kamu lihat kaos kaki Mas yang hitam, tidak?!" seru Habib yang baru keluar dari kamar mandi dengan pakaian rapi.

Ini dia bayi besarku, alis suamiku sendiri. Kalau bukan aku yang mengurusnya, tentu dia sudah kewalahan mengurus dirinya sendiri. Lihat, mencari kaos kaki yang biasa dia gunakan saja masih bingung. Padahal tempatnya selalu ada di laci, kenapa sampai harus mencari ke lemari?

"Tempatnya disini, Mas. Tidak pernah berubah," ujarku memberitahunya entah untuk yang keberapa kalinya.

Yang di beritahu hanya nyengir kuda saja sambil memandangku dan meraih kaos kaki yang sudah kuambilkan sebelumnya. Dia duduk di pinggir tempat tidur lalu memasang kaos kaki yang akan dia pakai untuk berangkat kerja. Sepertinya akan ada rapat hari ini.

Kuhampiri dia dan melihat leher yang belum di pasangi dasi. Secara spontan hati ini pun tergugah untuk mengambilkan dasi dengan warna yang cocok dengan kemeja yang dia gunakan. Mungkin dasi dengan motif garis-garis berwarna navy ini cocok, pasanya dia juga memakai kemeja warna putih serta jas navy.

"Nanti malam mau makan apa? Biar kubuatkan," tanyaku sambil memasang dasi di lehernya.

"Hm ... apa ya? Memangnya kamu bisa masak?"

"Ih, Mas meremehkanku? Tentu saja bisa, tidak ada yang bisa mengalahkan masakanku di rumah ini!" tegasku menjawab pertanyaan konyol darinya.

Habib tertawa lalu mengelus pipiku lembut. "Apapun yang kamu masak, Mas akan selalu memakannya."

"Kalau begitu bagaimana dengan ikan asin dan sambal mentah?"

"Mas akan makan."

"Kalau aku masak sosis goreng?"

"Mas akan makan."

"Bagaimana dengan kerupuk dan kecap?"

Dia tertawa lalu mengusap kepalaku dengan perlahan. "Mas akan makan, El. Apapun masakanmu, Mas akan memakannya sampai habis. Kamu tahu 'kan Mas selalu tidak bisa menolak masakanmu?"

Jawaban itu juga membuatku tertawa. Senang rasanya bisa menjahili Habib seperti ini. Lelaki brewok tipis dengan rahang tegas itu terlihat sangat menggemaskan di depanku. Berbeda sekali dengan wibawa yang selalu dia pakai saat di tempat kerja. Terkesan seperti galak dan menyeramkan.

"Haduh, Bapak dan Ibu selalu saja membuat Mira cemburu. Kalian itu romantis sekali! Mira juga mau punya suami seperti pak Habib!" celetuk Mira yang juga ada di ruangan itu.

Eh, saking asiknya mengobrol berdua sampai-sampai aku lupa jika Mira juga ada di sana. Padahal sejak tadi dia ada di kamar dan sedang menggendong Rizky di gendongannya. Wajah cemberut yang seolah gemas melihat kebersamaan kami itu pun terlihat begitu jelas.

"Maaf ya, Mir. Kemesraan ini hanya berlaku untuk orang yang sudah menikah. Kalau kamu mau, silahkan cari suami dulu!" jawab Habib terkekeh geli.

"Sudahlah, Mas. Jangan bicara seperti itu, kasihan Mira!" larangku melihat Mira cemberut manja.

"Ya sudah, kalau begitu Mas berangkat kerja dulu, ya? Kamu jangan terlalu banyak bekerja, ingat di perutmu ini juga ada calon masa depan kita," pesan Habib sebelum berangkat.

Aku mengangguk patuh sambil mengelus perut yang memasuki usia kandungan lima minggu. Belum terlihat besar tentunya, tapi Habib tetap mengelus perutku sambil menciuminya beberapa kali. Aku sendiri tersenyum melihatnya sambil mengelus kepala Habib dengan rambut hitam lebat.

Jari Habib terus bermain-main bersama perutku hingga membuatku tertawa menahan geli. Dia terlihat sangat tidak sabar menanti bayinya, padahal masih di dalam perut. Tak lupa juga Habib mengecup kepala baby Rizky di gendongan Mira sebelum berangkat. Itu ritual wajib yang harus dia lakukan setiap kali berangkat bekerja.

"Mas pergi, ya? Assalamu'alaikum," pamitnya mengecup keningku.

"Iya, wa'alaikumsalam."

Begitu hendak melangkah, Habib mendadak berhenti. Ketika memiringkan kepala, aku pun baru sadar apa yang membuatnya berhenti berjalan. Ternyata ada Farida yang berdiri di ambang pintu sambil mengelus perut.

Wanita itu tampak tertunduk malu ketika semua orang di kamar menatapnya secara bersamaan. Aku tidak tahu apa yang dia pikirkan, mungkin dia iri atau dia juga ingin di cium seperti yang Habib lakukan padaku.

"Sedang apa kamu disini?" tanya Habib mendekatinya perlahan.

"Aku ... bolehkah aku minta di cium juga seperti mbak El? Aku juga mau," cicitnya malu.

Habib menoleh ke arahku seolah meminta persetujuan. Aku malah menoleh ke arah Mira untuk melihat reaksinya. Yang di tatap hanya menggeleng seolah memberi isyarat untuk tidak mengijinkan Habib melakukan hal itu.

"Kalau tidak boleh, aku juga tidak memaksa. Ini hanya—"

"Boleh, tentu saja boleh," kataku menyela dan menghampiri Habib yang berdiri di hadapan Farida. "Mas Habib juga suamimu, tentu saja kamu boleh mendapatkan perlakuan yang sama," imbuhku lagi.

"El? Kamu serius?"

"Apa aku terlihat bercanda?"

"Tapi ini—"

"Mas, tidak apa-apa. Ayo cium perutnya, aku yakin bayinya Farida juga menginginkan hal yang sama," ucapku lagi-lag menyela ucapan Habib.

Aku tahu Habib masih tidak bisa membiasakan diri untuk memperlakukan Farida sama sepertiku, tapi biar bagaimanapun juga Farida adalah istri sah Habib, dan dia berhak mendapat perlakuan yang sama. Itu baru namanya adil.

Dengan malas, Habib berjongkok untuk mencium perut Farida yang mulai buncit. Dia juga mengecup dahi Farida dengan penuh kelembutan. Hatiku berdesir hebat ketika melihatnya. Ternyata seperti ini rasanya melihat suami mengecup kening wanita lain? Sangat tidak enak, ya?

"Sudah 'kan? Mas berangkat, ya? Assalamu'alaikum!" pamit Habib terakhir kalinya.

"Wa'alaikumsalam," jawabaku dan Farida bersamaan.

avataravatar
Next chapter