webnovel

ELIKYA Number Zero : The Unknown Brave Hero

Tenza seorang anak berumur 16 tahun memulai SMA nya di negara baru bernama Elikya. Elikya adalah sebuah negara yang dibangun pada tahun 2080 dan selesai pada tahun 2086. Elikya dibangun atas persetujuan pemerintah dari seluruh dunia. Elikya hanya dapat dihuni oleh orang orang yang memiliki prestasi dan potensi. dua puluh tahun semenjak didirikan Elikya, akhirnya pemerintah memberikan kesempatan bagi mereka yang masih ada pada tahap sekolah untuk menunjukan kemampuan mereka untuk menjadi yang terbaik sehingga mereka dapat diberikan kesempatan untuk belajar disana. Dan disinlah akhirnya Tenza. Tenza sang anak yang berhasil masuk Elikya pada tahun 2110 tersebut menikmati kesehariannya di sekolah barunya itu. Tetapi ada satu hal yang janggal ketika dia menyadari bahwa kejadian yang dia hadapi saat ini pernah dia alami sebelumnya. "Apa yang sedang terjadi saat ini?"

Meong_Cat · Fantasy
Not enough ratings
34 Chs

Arc 1 - Epilog

"Elyena...Elyena....nama yang indah sekali...khihihiik...." Jason berjalan melompat lompat kegirangan tersenyum lebar menampakan gigi giginya. Tidak sabar untuk menemukan orang yang dianggap telah menjadi penyelamatnya.

Meski begitu orang ini bukanlah Jason yang sebenarnya, mahkluk itu memasuki tubuhnya dan tanpa sadar Jason juga telah membiarkan mahkluk itu memasuki tubuhnya begitu saja.

"Ahhh benar benar bodoh sekali...khahahaaaa." Mahkluk itu dapat melihat ke dalam memorinya, memori hangat yang telah diciptakan oleh seseorang yang telah ia anggap sebagai penyelamatnya.

Sesuatu yang dia anggap jenaka itu telah membuatnya tertawa terbahak bahak sebelumnya. "Mengucapkan terimakasih? Benar benar seperti orang bodoh Khiihihihii."

Sebenarnya Jason telah mengatakan hal itu sebelumnya, namun entah kenapa hatinya masih belum tenang karenanya. Jason mencoba untuk mengarungi dunia, berkerja serabutan dengan uang yang didapat tidak seberapa, ilmu yang ia dapat di sekolah terbuang sia sia begitu saja. Namun Jason tidak peduli dengan hal itu, Jason merasa terpuaskan menjalankannya, dia bahagia dengan apa yang ia lakukan. Kecuali satu hal, ini tentang janjinya untuk mengucapkan terimakasih terhadap Elyena, dia telah mengatakannya kata itu namun hatinya masih saja belum tenang.

Dia tidak tahu dengan apa yang ia rasakan saat ini, dia selalu memikirkannya, namun hari demi hari dia tidak kunjung mendapatkan apa yang seharusnya ia lakukan. Jason berpikir mungkin karena dia telah berjanji untuk menemuinya dan karena itu, dia berusaha untuk mengumpulkan uang dan kembali ke negara asalnya.

Dia telah menepati janjinya, kembali pulang ke prancis dan bertemu kembali dengan Elyena. Keadaan benar benar berubah sejak dia pergi setelah lulus kuliah. Dan Jason dibuat terkejut oleh sesuatu.

Itu terjadi ketika dia bertemu dengan anak bernama Reina, dia adalah anak dari temannya, Elyena, dia mewarisi rambut coklat lembut milik ibunya dan wajah milik ayahnya. Jason tidak percaya dengan hal ini, wajah Elyena nampak sangat bahagia atas kelahiran anak pertamanya. Dia mencoba menyembunyikan hal ini kepada Jason untuk memberikan kejutan kepadanya.

Jason bahagia atas kelahiran anak itu, dia benar benar tidak menyangka bahwa selama 6 tahun semenjak pernikahannya dia baru saja diberi tahukan atas kelahiran anak pertamanya, ditambah Reina sudah berumur 5 tahun sekarang.

Seperti apa yang Elyena janjikan dulu, dia akan menunggu Jason di sini, dan mendengarkan kisah baru dari seorang pengembara di dunia yang sudah modern. Dan tidak lupa Jason untuk mengucapkan terimakasih karena dia telah menepati janjinya.

Namun perasaan yang mengganjal dihatinya tidak kian memudar, Jason sudah mencoba untuk kembali namun hal itu tidak mengurangi hal yang mengganjal ini. Jason kembali mengelilingi dunia, mencoba untuk pergi ke arah sebalikynya yaitu arah barat menuju negara yang bernama amerika. Jason juga mencoba untuk pergi ke negara yang berada di utaranya, Canada. Belajar dan mencari hal baru yang ada di sana.

Sudah bertahun tahun Jason berada di sana. Jason mendapatkan kabar dari Elyena tentang anaknya yang bernama Reina yang sudah berumur 16 tahun, itu artinya sudah 11 tahun semenjak terakhir kali dia bertemu dengan Elyena. Jason mendapatkan kabar bahwa Reina telah di terima bersekolah di negara baru bernama Elikya. Jason mengucapkan selamat kepadanya dan ikut berbahagia atas prestasi anaknya itu, namun di sisi lain dia merasakan kesedihan.

Elikya adalah negara tertutup, tidak boleh sembarang orang masuk ke sana baik untuk berlibur atau hal lainnya. Jika Reina pergi ke negara tersebut, maka tentunya kedua orang tuanya akan ikut pergi kesana, itu artinya Jason sudah tidak dapat bertemu dengan Elyena lagi.

Air matanya diam diam keluar menetes saat malam hari, Jason merasa menyesal karena selama 11 tahun ini dia tidak berencana kembali bertemu dengannya. Ini sudah terlambat, Jason juga berjanji untuk tidak akan menyalahkan dirinya kembali atas nasihat dari Elyena.

Tapi beruntung sekali Jason, meski Elikya merupakan negara tertutup, kegiatan ekspor dan impor masih berjalan dengan negara besar seperti amerika. Saat ini Jason sedang berada di sana dan sebuah kapal akan berlayar menuju Elikya, Jason akan pergi menaiki kapal itu sebagai pekerja.

"Apa yang akan aku katakan jika bertemu dengannya yah." Jason tidak memikirkannya hingga sejauh itu. Tentu saja Jason akan meceritakan pengalamannya seperti yang dia lakukan sebelumnya namun ada hal lain yang ingin ia ucapkan agar perasaan di hatinya ini tidak mengganjal, tapi Jason tidak tahu harus berkata apa. Apa yang harus dia katakan ketika bertemu dengannya?

"Terimakasih?" Itu adalah kata pertama yang muncul dalam pikirannya. Rasanya cukup aneh jika pergi jauh hingga ke Elikya hanya untuk mengatakan itu, namun hanya satu kata itu yang terus menempel di kepalanya. Jason telah memutuskan akan mengatakan kata itu kepadanya, meskipun terasa aneh tapi dia akan tetap melakukannya, sesuatu yang akan terjadi selanjutnya lebih baik dipikirkan nanti saja.

Namun tidak disangka, Jason salah menilai satu hal, itu adalah kapal yang dia naiki. itu merupakan kapal yang di dalamnya terdapat selundupan narkoba. Itu merupakan barang ilegal dan pelayaran ini berlaku juga. Jason hanya mengkuti kemauan mereka, diam diam dia melapor kepada polisi namun hal buruk itu terjadi kepadanya.

Jason menjadi seorang buronan, itu menurut berita yang tayang pada hari setelah pelayaran di mulai. Ditambah mahkluk yang merasuki tubuhnya, sepertinya keberuntungan Jason telah ia gunakan hingga habis, dia telah menggunakan semua keberuntungan ketika bertemu dengan Elyena pertama kali dan mulai sekarang yang akan terjadi adalah hal buruk akan selalu menimpahnya.

"Elyena...Elyena....nama yang indah sekali...khihihiik...." Malam telah tiba kembali, mahkluk itu masih merasukinya, Jason benar benar tidak berdaya. Dia masih dapat merasakan panca indranya berkerja, dia dapat melihat, mendengar mencium, merasakan sesuatu dan mengecap sesuatu dia juga masih bisa berpikir. Namun dia tidak dapat mengendalikan tubuhnya, itu adalah masalah terbesarnya. Jason juga tidak bisa berteriak minta tolong kepada seseorang, badannya bergerak tidak sesuai dengan keinginannya.

"Elyena....Elyana...Elyana..." Dia masih menandungkan namanya, tidak sabar melihat darah tumpah dimana mana dan reaksi Jason yang melihat penyelamatnya terbunuh oleh kedua tangannya sendiri.

"Ahh..." Jason membelalakan matanya, tiba tiba dia berlari menuju gang kecil yang ada di kirinya, bersembunyi disana. Dia menampakan matanya sedikit melihat dua orang yang sedang berjalan di tengah malam ini.

"Ada apa Tenza?"

"Tidak ada...hanya perasaanku saja."

"Ahhh" Jason tersenyum lebar mengintip dari tembok. Sepertinya air matanya keluar karena terharu.

"Tenza...ada apa? Kau terlihat seperti seseorang yang sedang dikejar sesuatu!"

"Reina apakah kau mengenal pria ini?"

"Lagi? Sudah aku bilang bukan, aku tidak..."

"Bagaimana dengan ibumu?"

"KETEMU!!" Teriaknya dalam bisik, penuh perasaan bahagia. Penantiannya dalam melihat darah yang bermuncratan di mana mana akhirnya akan terbalaskan sebentar lagi. Hatinya kegirangan tapi dia harus menahannya lagi sedikit atau dia akan ketahuan oleh kedua orang itu.

***

'TOK..TOK..TOK..' Suara ketukan itu semakin intens. Seseorang tidak ada yang menjawabnya dari tadi. Jason sudah mencoba untuk menempelkan telinganya ke arah pintu putih, dan ia mendengar seseorang sedang bercakap pelan di sana, dia tidak tahu apa yang sedang dibicarakan dan dia juga sudah tidak peduli.

'TOK..TOK..TOK..' Dia mengetuknya lagi dengan lebih keras.

"Kau dapat membuka pintunya, lagi pula tidak ada yang menguncinya." Jason mendengar suara laki laki. Mengerti dengan apa yang orang itu katakan, Jason berhenti untuk menggedornya lalu tangan kanannya meraih knop pintu lalu memutarnya.

'Clek' Bunyi pintu putih itu.

Jason mendorongnya ke dalam, mengintip sedikit lalu membuka lebar pintu putih, Seseorang berdiri di sana. Ruangan yang gelap dengan lampu ruang tamu yang dibiarkan menyala.

Orang itu menggenggam tongkat Base ball yang cukup panjang, ujung togkatnya ditempelkan ke lantai dan ujung lainnya digunakan untuk tumpuan pada kedua tangannya. "Ada apa?" Ucap Pemuda kecil itu, tersenyum bertanya kepada Jason yang mimik wajahnya nampak karena cahaya lampu dari raung tamu.

Jason melangkah maju ke depan, tangan kirinya nampak dimasukan ke dalam saku pada jaket parka hijaunya. "Ahh tolong jangan lupa untuk menutup pintunya." Ucap pemuda itu tiba tiba, dia masih berdiri di sana. Jason seketika berhenti mendengarnya, dia membalikan badannya sedikit meraih knop pintu itu dan mendorongnya agar tertutup.

'Clek' Bunyi yang sama ketika pintu putih itu dibuka.

Jason kembali menghadap pemuda itu lalu melangkah mendekat kepadanya. "Tolong jangan lupa untuk membuka sepatumu atau akan mengotori lantai nanti." Ucap pemuda itu kembali, masih berdiri di sana sambil tersenyum. Jason mengetahui pemuda ini, jika tidak salah dia adalah Tenza, dialah yang sebelumnya berjalan bersama Reina. Jason mengetahuinya karena Reina mengatakan namanya sebelumnya.

Jason kembali menghentikan langkahnya, mengangkat salah satu kakinya, menarik dan melepas sepatunya dengan satu tangan, kemudian dia melakukan hal yang sama pada kaki yang satunya. Sekarang kakinya hanya dibaluti kaos kaki putih yang sudah kusam.

"Kenapa kau datang ke rumahku di tengah malam seperti ini?" Ucap Tenza yang masih mempertahankan senyuman palsunya, dia sedikit berbohong pada perkataannya itu. Menggigit lidahnya diam diam mempertahankan ekspresi palsunya.

Tekanan atmosfer kian mencekam dimakan waktu, keringat keluar dari pipinya, tangan dan kaki Tenza bergetar lumayan nampak, Tenza mencoba untuk menahannya sekuat mungkin. "Sebenarnya, tadi aku melihat kau berjalan bersama seorang perempuan...kalau tak salah namanya adalah Reina."

"Reina? tidak ada orang yang bernama Reina di sini." Tenza menekan senyumannya, seperti dugaanya, perasaannya saat itu tidak salah, Pria itu diam diam mengikuti mereka berduam sama seperti yang di lakukan pada pengulangan sebelumnya. Jason melangkah semakin mendekat dengan Tenza, melangkah terus melangkah, beberapa langkah lagi mereka berdua akan saling bertatapan sangat dekat. Suara langkah yang semakin besar Jason menyeringai kecil dan memicitkan matanya, tangan kirinya masih dia masukan ke dalam saku jaket parkanya.

Jason terus melangkah dan melangkah, dan Tenza masih berdiri disana dengan keringat yang bercucuran menahan tekanan yang sangat kuat. Kemudian Jason melangkah melewati pemuda itu. Tenza terheran dalam diam, dia tetap berdiri di sana sedangkan Jason melewatinya begitu saja.

"Ayolah jangan berbohong, tadi aku melihatnya loh. Yhaaah walaupun sebenarnya yang aku cari adalah ib.."

"Kau ingin membunuhnya kan?" Tenza dengan nekat memotong perkataannya dan melontarkan topik pembicaraan langsung pada intinya. Degupan jantungnya benar benar terpacu setelah dia mengatakan itu, getaran tangan dan kakinya semakin nampak dan senyuman paksanya, dia hapus dari wajahnya. Berbalik memutar arah kepada Jason yang melewatinya sebelumnya. Tatapan Tenza menajam kepadanya, berusaha untuk tidak mempedulikan rasa takutnya yang besar meski kedua tangan dan kakinya bergetar.

"Apa maksud mu, tentu saja aku tidak akan melakukan hal buruk itu bukan?" Tanyanya dengan singkat Jason berpura pura tersenyum atas lolucon yang dilontarkan Tenza.

"Jika begitu, maka keluarkan tangan kirimu yang kau sembunyikan di dalam sakumu itu."

Jason diam diam tergidik mendengar itu, beberapa saat dia menghela nafas sedikit menurunkan pandangannya lalu mengangkat tangan kirinya ke langit. "Lihat? Aku tidak menyembunyikan sesuatu." Ucap Jason tanpa menghadap kepada Tenza, dia membolak balikan telapak tangannya, memperlihatkan punggung dan telapak tangan kirinya.

"Aku tidak mengatakan bahwa kau menyembunyikan sesuatu di dalam sana, aku hanya mengatakan untuk mengeluarkan tanganmu yang kau sembunyikan saja." Tenza menekan perkataannya, kebencian terhadapnya meluap luap dalam diri Tenza.

Tenza menumpahkan minyak ke dalam api.

"Kau ini menyebalkan yahh...anak kecil sepertimu sebaiknya jangan mengganggu orang dewasa seperti kami." Tekanan semakin kuat, suara Jason yang periang berubah menjadi lebih berat dan menekan.

"Katakan kepadaku...apa yang kau sembunyikan di dalam kantungmu itu? Keluarkan dan jatuhkan ke lantai." Tenza mensiagakan badannya, merubah posisi kedua tangannya, melebarkan jarak antar kakinya, kaki kiri di belakang dan satunya di belakang, meletakan Tongkat Base ballnya sejajar dengan tubuh yang di putar ke kiri, menggenggam tongkat bseball itu dengan erat dengan menggunakan tangan kiri. Siap untuk menyerang jika pria itu melakukan gerakan yang mencurigakan.

"Ahh ini..." Tangan kirinya yang terangkat tadi diturunkannya kembali, meraih kantung yang ada pada jaket parkanya. Menggenggam sebuan gagang, menarik pelan bilah pisau yang amat tajam yang muncul di balik saku jaket parkanya, menarik pelan hingga ujung mata bilahnya tampak oleh Tenza yang berdiri di belakangnya.

Jason menyeringai tajam dan memelototkan matanya. "TENTU SAJA INI UNTUK MEMBUNUH BUKAN!!!!..." Jason dengan cepat melebarkan kedua kakinya, memutar tubuhnya ke kanan, mengangkat pisau itu setinggi tingginya lalu menerjunkannya kepada Tenza.

'TAAANNGG...' Suara bilah pisau yang terpukul kuat.

Tenza sudah mempersiapkan dan merencanakan semua ini, dengan cepat dia mendorong tangan kirinya ke depan, ditambah dengan memutar tubuhnya ke kanan dengan kuat dan melambungkan tongkat Base ballnya, dengan momentum yang tepat, dia berhasil menangkis pisau itu. Pisau itu melambung tinggi dan memantul ke bawah ketika mengenai langit langit, dan mendarat di antara sofa dan meja yang digunakan Tenza untuk berbincang dengan nyonya Mirabelle sebelumnya.

'Rencana pertama berhasil!' Ucap Tenza dalam hati penuh dengan kebanggaan yang tidak berguna. Tenza berusaha untuk memperhitungkan segalanya, tidak ikut pergi ke lantai dua juga merupakan rencananya, itu karena ruangan di atas cukup sempit untuk melambungkan tongkat base ballnya yang panjang, di bandingkan di atas, ruangan di bawah lebih lebar dan leluasa. Tenza dapat menyerang dengan banyak cara jika seperti ini. Dan satu hal lagi, tugas Tenza yang sebenarnya bukanlah membunuh atau melumpuhkan pria besar ini namun hanya sebatas mengulur waktu.

'Karena itu, kumohon cepatlah...Reina, kau mendengar suara ini bukan?' Ujar Tenza dari dalam hatinya, berharap mendengar sinyal yang Tenza buat.

"AHHgkkkk..." Tangan Jason juga ikut terpukul oleh tongkat Base ball besi itu, atau lebih tepatnya, Tenza memang sengaja mengincar tangan Pria itu. Jason memundurkan tubuhnya, menggenggam tangan kirinya yang terpukul dan berakting seakan akan itu benar benar menyakitkan. Dia bahkan merubuhkan tubuhnya dan terduduk di lantai yang dingin.

"....ahhkkk...." Ringgisnya berpura pura. ".....khihihii..." Jason terkikik tanpa alasan yang jelas. "Kau pikir itu sakit haah?" Dia membesarkan suaranya, mengangkat kepalanya menghadap Tenza dan membuka mulutnya menunjukan sirangaian yang menjijikan, air liur menetes di mulutnya jatuh dan mengotori lantai. Tenza benar benar jijik dengan sikap pria itu.

"Asal kau tahu saja..." Jason mencoba untuk berdiri, menumpukan badannya yang besar menggunakan tangan kanannya. Dia tertawa pelan seakan akan ada yang lucu di saat saat seperti ini, Tenza menahan perasaan jijiknya terhadap pria itu.

"Aku ini...tidak dapat merasakan sakit lho..khiihiii.." Dia mengangkat tangan kirinya, memperlihatkan semua ruas jari jarinya yang sudah tidak pada tempatnya akibat hantaman tongkat besi tadi.

"Yhaah aku sudah tahu itu." Tenza mengakuinya dan Jason terbelalak terkejut karena perkataannya. "Aku sadar tidak akan bisa mengalahkanmu meski aku menggunakan tongkat ini dan meski kau tidak menggunakan senjata, aku tahu aku tidak bisa mengalahkanmu."

Jason menyeringai atas kejujuran Tenza. "Tapi..." Ucap Tenza melanjutkan. "Kami sudah melapor kepada polisi, mereka akan datang sebentar lagi, kau akan tertangkap dan aku yang akan menang di sini. Kau mungkin adalah orang yang memiliki kekuatan yang besar atau mungkin manusia yang memiliki kekuatan otot terbesar, namun kau tidak akan bisa mengalahkan sejumlah polisi yang menggenggam senjata api."

'Kclaangg...' Terdengar suara kaca yang pecah di atas sana. Tenza menarik otot pipinya kala itu.

Jason sentak menoleh ke atas langit langit. "Ckk sial ternyata begitu yaah." Keadaan sudah mulai membalik, diam diam Tenza tersenyum keren.

Jason langsung berbalik memutar membelakangi Tenza berlari ke tangga yang menuju lantai dua, kembali ke tujuannya yang sebenarnya, mencari dimana Elyena berada lalu membunuhnya.

'kclanng...' Tenza sudah memperhitungkan ini, dia dengan cepat melempar cangkir Teh yang ada di meja ruang tamu dan tepat mengenai kepala Jason dan pecah terlempar kemana mana, teh yang ada di didalamnya tumpah dan membahasi kepala bagian belakangnya.

'Ahh kenapa harus teh?'

Jason berhenti berlari setelah terkena lemparan tadi, dia mulai kesal dengan anak kecil ini. Tubuhnya tampak bergetar menahan perasaan marah, kedua tangannya mengepal sekuat kuatnya, dan beberapa ruas jari tangan kirinya patah karena kepalannya. Beberapa saat tak lama getaran itu menghilang.

Jason mendecakan lidahnya. "Sesuai perkataan mu, polisi akan datang sebentar lagi dan aku akan ditangkap atas kesalahanku. Kau pikir aku peduli dengan hal itu?" Jason melakukan peregangan pada kedua tangannya, bersiap untuk menghabisi anak ini dalam sekejap.

Tenza menumpahkan minyak ke dalam api sekali lagi.

Tenza tanpa sadar dia memundurkan langkahnya. Jason menarik nafas dan tersenyum lebar. "Selama aku dapat membunuhmu, aku tidak akan menyesali apapun yang sudah aku lakukan." Ucapnya sedikit merundukan tubuhnya.

Jason mendorong tubuhnya dengan kakinya, melompat cepat ke depan menubruk Tenza di depannya, tapi Tenza dengan keadaan sadar menyingkir ke kanan dari jalur lompatannya.

Jason mendarat ke lantai dan menciptakan getaran yang kuat dari tubuhnya yang besar, dan Tenza kehilangan keseimbangan dan jatuh, kepalanya mendarat pada pinggiran sofa hitam yang empuk, tidak terlalu sakit dan Tenza dapat menghiraukannya.

Dia mencoba untuk berdiri dan Jason kembali melakukan penyerangan yang sama dan kali ini dia hampir saja berhasil, dia mendarat di sebelah kiri Tenza. Jika saja pada penyerangan pertama matanya tidak memburam, sudah pasti Tenza yang belum siap akan tertubruk dan terjatuh tertimpah badan Jason yang besar dan berat.

Jason mengangkat badannya dengan tangan dan kakinya, menggelengkan kepala dan menggertakan giginya karena sangat kesal. "SIALANN KAUU!!!!" Jason berdiri lalu mengangkat sofa hitam terdekatnya, sofa yang sebelumnya di tabrak oleh Tenza itu dia angkat lebih tinggi dari kepalanya.

"Oy..oy..oy.oy!!"

Jason melemparkannya kepada Tenza yang melangkah mundur menjauhi Jason dan beruntung tenza menundukan badannya setengah dari tingginya dan menggeser tubuhnya ke kanan, Sofa hitam besar tersebut menabrak dinding, mengeluar suara tubrukan dan patahan yang cukup keras dan sepertinya beberapa bagian pada sofa itu hancur karenanya.

Tenza bergeser kearah kanan, menjauh dari ruang tamu, bergerak kearah Ruang keluarga, bergerak memutar lalu sedikit melangkah mundur menghadap Jason. Tenza memberhentikan langkah mundurnya, nafas Tenza terengah engah terkejut dia berhasil selamat dari lemparan maut tersebut, jika sofa itu mengenai kepalanya, sudah dipastikan bahwa tulang lehernya akan patah.

"Kau cukup tangguh juga yhaah..." Jason berdiri disana, meregangkan tubuhnya sedikit, meredam rasa kesalnya, bersiap kembali untuk menghabisi anak itu. Dia menatap Tenza di sana, layaknya sebuah pedang panjang, Tenza mensiagakan badannya dan mencondongkan tongkat Base ballnya bersiap untuk membelah dan mengiris dengan senjata tumpul tersebut.

"Sepertinya kau sudah mempersiapkan semua ini yah? Siapa sebenarnya kau?" Jason Berdiri disana, dia menoleh ke bawah dan menemukan pisau miliknya yang terlempar sebelumnya, menunduk dan meraih dengan tangan kanannya. Menggenggam pisau itu dan memasukannya kembali ke dalam kantung pada jaket parkanya. Sepertinya keadaan kembali condong kepada Jason.

"Ini aneh sekali, tidak ada ingatan dia tentangmu dan kau seakan akan sudah mengetahui ini semua akan terjadi." Jason menggaruk kepalanya, lalu sesuatu muncul dalam beanaknya tiba tiba menyeringai. "Terserahlah....Akan aku pastikan saja hal ini sendiri." Jason berjalan mendekat kepadanya, Tenza berusaha memberhentikan engahannya.

Jason terus memendekan jarak dengan Tenza, dan Tenza secara sadar mempersiapkan posisi menyerangnya, Memiringkan tubuhnya ke kanan dengan tangan kanan yang menggenggam erat Tongkat Baseball sejajar di belakang tubuhnya, melebarkan kedua kakinya dengan kaki kiri di depan, memenekuk lututnya sedikit memendekan tubuhnya. Dan di saat yang tepat Tenza melambungkan tongkat Base ballnya secara vertikal, menyerang ke Jason yang ada di depannya.

Dengan cepat Jason menghadang lambungan tongkat besi itu dengan tangan kirinya. 'BRRUAAK' memicu keluarnya suara yang keras dari sana. Menghentak dan menggetarkan angin yang ada di sekitar, hentakannya menjalar hingga ke telapak tangan Tenza.

'BRRUAAK' Sekali lagi Tenza menyerang dengan cara yang sama, namun hasilnya tentunya sama. Sekali lagi tongkat dan tangan Jason menciptakan hentakan yang besar dan menghentakan angin. Tenza mulai merasakan rasa nyeri pada telapak tangan kanannya. Namun....

'BRRUAAK' Tenza masih melakukan serangan yang sama.

"Ahg..ugk.." Setiap pukulan yang di kerahkan Tenza tidak mempan olehnya, Tenza juga menyadari hal itu. Pria yang ada dihadapannya ini, Tenza tahu bahwa dia tidak dapat merasakan sakit. Tenza pernah mencoba mencari tahu tentang penyakit itu lewat internet.

CIPA (Congenital Insensitivity to Pain with Anhidrosis),Pria itu memiliki kelainan tersebut. Dan karena kelainan itu dia akan sangat sulit untuk di kalahkan. Seharusnya pukulan Tenza tadi akan terasa sangat sakit bagi orang normal, tapi dari Ekspresinya, terlihat biasa biasa saja tanpa terlihat kesakitan, momok wajahnya benar benar membuat Tenza muak.

Pukulannya benar benar tidak ada rasanya, bahkan efek pukulannya kembali berbalik kepada Tenza, menyebabkan tangan Tenza jadi sangat sakit karena hentakan yang ia berikan. "Ada apa hah?" Tanya Jason menyeringai, Tenza menekan telapak tangan kananya pelan dengan ibu jari tangan kirinya, menahan sakit karena pukulannya sendiri.

"Apakah tanganmu terasa sangat sakit hah?khihihii." Jason tertawa melihat ekspresi Tenza yang mengiris kesakitan.

"Jika kau kesulitan, bagaimana dengan ini?" Jason merentangkan kedua tangannya, memperlihatkan secara jelas dadanya yang tertutup oleh jaket parkanya. "Kau boleh menyerangku dengan sekuat tenaga mu, Khihihiii...TENANG SAJA!!!!AKU TIDAK AKAN LARII KHAHAAAHAAAAA..."

Api kemarahan pada diri Tenza tiba tiba membludak, dirinya benar benar di remehkan disini. "UAAGGGRRRRRGHHH.." Berteriak dengan kuat, Tenza memiringkan tubuhnya dengan tangan belakang lebih jauh dari tubuhnya, lalu mengangkat dengan cepat dan menggenggam erat sekali lagi melambungkan tongkatnya, terpancing oleh perkataan Jason. Tenza menompa amarah pada tangannya, mengabaikan rasa nyeri yang menusuk, ia menyerang dan mengerang kepada pria besar yang menjijikan ini.

Melambungkannya ke kepalanya dengan sangat kuat. Tenza mengincar kepalanya, hanya itu satu satunya cara yang ia pikirkan, jika pria itu tidak bisa merasakan sakit, bukan berarti dia kebal terhadap pingsan.

Jason dengan cepat menangkap tongkat Tenza dengan tangan kanannya, mendustakan perkataannya, menarik tongkat Base ballnya sehingga Tenza ikut tertarik, Tenza sudah memperhitungkan ini, dengan bekal pengalaman yang mengerikan.

Dia melepas tongkat basebalnya jatuh berguling guling menabrak lantai dan dengan cepat bersiaga mengangkat tubuhnya dan membuka matanya, mengarah ke Jason.

"WHOAAAHH HEBAT HEBAT KHAAAHAHAAHAAA..." Dia tertawa sangat keras tidak menyangka bahwa rencananya dibaca dengan sangat tepat.

Jason memutar tubuhnya mengarah ke Tenza, menggenggam tongkat Base ball yang dia rampas dari Tenza, mengangkat dan menempelkan ke pundak kanannya. "Aku benar benar terkesan kepadmu, anak kecil. Dari yang aku lihat sampai saat ini aku sudah bisa menebaknya." Jason menyeringai tiba tiba. "Kau pernah kembali ke masa lalu bukan?" Ucapnya menyeringai kuat, membisikan kata kata itu namun tetap terdengar jelas.

Tenza membludakan matanya terkejut dengan satu kalimat yang dia benar benar tidak menyangka akan terucap oleh seseorang. Nafas Tenza tertahan sebentar lalu dia menarik nafasnya. "T..tentu saja tidak.." Ucapnya gagap dan Penuh dengan kebohongan, wajahnya penuh dengan keringat.

"Kau sudah tidak perlu berbohong...menelpon polisi, bersiap membawa tongkat untuk berjaga jaga, mengetahui bahwa aku tidak dapat merasakan sakit lalu mengetahui aku berniat membunuh Elyena. Ahh satu lagi...Tanganmu selalu bergetar ketika menatapku, kenapa kau benar benar takut kepadaku? jika kita tidak saling mengenal dan tidak pernah bertemu, rasanya aneh sekali jika kau sudah takut dengan ku."

"Tanganku bergetar? ini adalah bawaan dari lahir." Tenza masih berusaha berbohong meskipun usahanya sia sia. Bulir bulir keringat muncul semakin banyak di keningnya.

"Khahaahaaaa....karena kau sudah mengetahui segalanya, itu artinya aku sudah punya target lain setelah tubuh ini yhaah...jika begitu...' Jason berhenti tertawa dan menyeringai, menampakan wajah seriusnya, menatap runcing kearah Tenza. "AKU AKAN MEMBUNUHMU." Tatapan Jason membuat bulu kudunya berkidik ketakutan, tangan dan kakinya bergetar hebat, bahkan dia melangkah mundur tanpa sadar.

Jason menyeringai mempermainkan Tenza. "Bercanda...targetku bukanlah kau, tapi perempuan jalang itu, aku akan membunuhnya...karena itu seharusnya kau tidak boleh menghalangiku atau kau akan merasakan akibatnya."

"..."Tenza hanya terdiam berdiri di sana, senjata tongkat Base ballnya sudah dirampas, saat ini dia tidak membawa sesuatu yang dapat dijadikan senjata selain tongkat itu. Satu kata untuk menjelaskan kondisi Tenza saat ini, Checkmate.

"Tapi semuanya sudah terlambat, kau sudah menggangguku dan membuatku benar jengkel. Tenang saja, aku tidak akan membunuh mu~~"

Ini adalah akhir dari riwayat Tenza, itulah yang dapat dipikirkan. Perasaan bingung tercampur ,karena yang dikatakan Jason tentang hal itu adalah benar, itu tentang Tenza yang tanpa alasan yang jelas sedikitpun, dia dapat kembali ke waktu dimana dia terbangun di hari pertamanya di Elikya.

Pertama tama sampingkan hal itu, apa yang dihadapan Tenza adalah mautnya. Jason mendapatkan tongkat baseballnya dan pisaunya juga. Tenza tidak dapat menemukan jalan keluarnya, yang dia lakukan hanyalah mengulur waktu sedari tadi.

'Ckk...Ayolah, kenapa kalian lama sekali.' Kata Tenza dalam hatinya.

"KENAPA KAU MELAMUN HAAH?" Jason dengan cepat memendekan jarak terhadap Tenza, merentangkan tangan kanannya, melambungkan tongkat base ballnya secara horizontal dari kanan, dan Tenza secara naif menghadang jalur serangan dengan tangan kanannya.

"KHAAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAAA..."

'Krak' Bunyi ketika tongkat besi itu menghantam tulang tangannya. "Urrghk.." Rasa perih tiba tiba menjalar dari sana, berusaha tidak menjerit Tenza hanya meringgis dan tubuhnya hampir roboh bergerak dan terhuyung ke arah kiri.

"....HAHAHAHAHAHHAHAHAHAHAHHAHA..."

Jason menarik tongkat baseballnya lalu dengan sangat cepat berputar, melambungkannya searah arah jam, menghantam samping tulang tengkoraknya. "AHHHGGKKKKKKK" Tenza menjerit dengan kuat, darah berlumuran dari sana. panik menyerang dirinya, Tenza merobohkan badannya di lantai. Tenza tanpa pikir panjang berusaha menghalangi kepalanya dengan kedua tangannya.

".....HAHAHAHAHAHHAHAHAHAHAHHAHA..."

Jason melambungkan tongkatnya ke atas kepala Tenza namun kedua tangannya yang terkena lumuran darah masih atas kepala menghadang Tongkat besi itu agar tidak menghantam kepalanya lagi, namun serangan yang kuat, membuat kepala Tenza terbentur dengan lantai.

".....HAHAHAHAHAHHAHAHAHAHAHHAHA..."

"AHHHRRRRGGKKKkkkk..." Tenza berusaha mengangkat pelan kepalanya, berusaha berdiri dengan sisa tenaganya. 'BUaarghk..' Kaki Jason melayang menghantam wajah Tenza. Darah keluar dari hidungnya, tubuh Tenza terangkat dan terbang hingga ia terbaring di atas lantai.

".....HAHAHAHAHAHHAHAHAHAHAHHAHA..."

Darah terus keluar dari kepala dan hidungnya. Jason tertawa sangat keras.

"....HAHAHAHAHHAHAHAHAHAAAA...Haaaaaaahhhhh..."

Jason berusaha berhenti tertawa, kondisi Tenza amat sangat kasian. Dia berjongkok mendekat ke arah wajah Tenza. "Padahal awalnya aku ingin membunuhmu, tapi karena aku sudah mengerti semuanya aku, memikirkan rencana yang bagus." Jason menyeringai semakin tajam. Jason menegakan tubuhnya, berdiri menengok kearah Tenza yang terbaring, dia mengangkat kaki kanannyanya, "ARGGHkkkkkkk..." Dengan berat tubuhnya yang besar dan dengan kekuatan yang besar dia mendaratkan telapak kakinya tepat pada perut Tenza.

Nafasnya terhentak berhenti, meringkuk kesakitan di lantai yang ternodai daranya, darah keluar dari mulut Tenza. Tenza terus memuntahkan darah, dia tidak bisa bernafas bahkan tidak dapat merasakan tubuhnya.

Tiba tiba pandangannya mulai memburam dan menggelap, terus menggelap dan menggelap. Tenza tidak yakin apakah matanya tertutup atau tidak. Hanya kegelapan yang tersisa dari pandanganya.

Namun sebenarnya tidak. Ruang dan waktu terdistorsi tiba tiba, perlahan semuanya menjadi transparan lalu menghilang entah kemana, menyisakan ruangan gelap tanpa cahaya sedikitpun. Pikiran Tenza benar benar kabur tak paham hal ini. Apa yang ia pikirkan hanyalah kematiannya sendiri.

'Apakah kau menyesal?'

'ahkk!?' Suara itu muncul lagi, suara yang pernah Tenza dengar sebelumnya, suara yang muncul dari dalam kepalnya. Mendengung di dalam kepalanya tidak tahu apa penyebabnya. Tenza masih terbaring di sana, d ruangan gelap entah ada dimana. Terkapar kaku dengan mata yang memburam.

'Apakah kau tidak menyesal setelah semua perjuanganmu ini kau akan mati sia sia meringkuk menahan rasa perih hingga nyawamu terangkat?'

'Apakah kau tidak menyesal setelah berusaha menyelamatkan perempuan itu, kau hanya akan mati bersamanya?'

'Menyesal?'

'Apa kau menyesal?'

'HAHAHAAHAHAA aku tahu kau tidak akan menyesal, Tenza.'

Sebuah mata putih yang bersinar melotot lebar pada pandangannya yang gelap, tertawa karena usaha Tenza yang terlihat sia sia, jaraknya sangat dekat, sekitar 25 senti dari wajah Tenza. Ilusi itu muncul di kepalanya, Tenza terkapar di ruangan yang gelap, melihat siluet hitam di ruang yang gelap ini.

Ini bukanlah ruang tamu ataupun rumah Reina. Tenza tidak tahu ini dimana, dia terbaring dan darah terus masih keluar dari kepalanya. Matanya yang memburam, melihat sesosok siluet hitam dengan mata yang memancarkan sinar putih.

Siluet itu mengulurkan tangannya. "Raihlah tanganku, akan ku bantu kau menggapainya."

Ucapnya tersenyum kepada Tenza. "K..kau? si...aapp..a..?" Tanya Tenza hampir kehilangan kesadarannya. Mulutnya terus mengeluarkan darah, begitupun dengan kepalanya.

Siluet itu menunjukan sirangaiannya yang putih dan bersinar. "Kau tidak perlu mengetahuinya, aku terkagum akan usahamu, aku ingin membantumu. Raihlah tanganku dan keajaiban akan datang." ucapnya dengan cepat tak sabar.

Tenza sudah tidak memiliki harapan lagi, dia tidak dapat memikirkan hal lain yang harus ia lakukan. Pikirannya melayang tak jelas harus apa, dia cukup mengangkat tangannya, meraih sekuat tenaganya lalu menggenggam kuat tangan dari siluet hitam itu.

"T...olong..Kem..ba..likan..waktu."

*****

ELIKYA Number Zero : The Unknown Brave hero

Arc 1 : Permulaan

Selesai.

Total korban yang pernah mati: 4 nyawa.