webnovel

ELIKYA Number Zero : The Unknown Brave Hero

Tenza seorang anak berumur 16 tahun memulai SMA nya di negara baru bernama Elikya. Elikya adalah sebuah negara yang dibangun pada tahun 2080 dan selesai pada tahun 2086. Elikya dibangun atas persetujuan pemerintah dari seluruh dunia. Elikya hanya dapat dihuni oleh orang orang yang memiliki prestasi dan potensi. dua puluh tahun semenjak didirikan Elikya, akhirnya pemerintah memberikan kesempatan bagi mereka yang masih ada pada tahap sekolah untuk menunjukan kemampuan mereka untuk menjadi yang terbaik sehingga mereka dapat diberikan kesempatan untuk belajar disana. Dan disinlah akhirnya Tenza. Tenza sang anak yang berhasil masuk Elikya pada tahun 2110 tersebut menikmati kesehariannya di sekolah barunya itu. Tetapi ada satu hal yang janggal ketika dia menyadari bahwa kejadian yang dia hadapi saat ini pernah dia alami sebelumnya. "Apa yang sedang terjadi saat ini?"

Meong_Cat · Fantasy
Not enough ratings
34 Chs

Arc 1 - Chapter 17 (Sekali lagi memulai dari awal)

Udara yang dingin menyengat kulit Tenza, seharusnya ini sudah menjadi yang kelima kalinya ia tidur dan bangun di ruangan dengan tembok biru tua ini, tetapi karena suatu hal yang tidak bisa di mengerti olehnya, membuat dirinya hanya dapat menerima kenyatan ini dengan mentah mentah.

Tenza mengangkat telapak tangannya lalu meraba mata kanannya, Tenza ingat matanya yang sebelah kanan ini, pernah tertusuk oleh pisau hingga menembus lebih dalam kedalam kepalanya.

Tetapi pagi ini dia tidak dapat merasakan sakit yang amat perih pada matanya. Meskipun rasa perih telah hilang dari matanya, tetapi ingatannya akan rasa perih yang amat luar biasa itu tertempel kuat pada otaknya. Saat itu suasananya benar benar mencekam, akan tetapi pikirannya yang berkabut saat itu sehingga dia hanya bisa menggila berusaha untuk membunuh pria besar dan tua.

'pip...pip...pip...'

Suara bising menyerang telinga Tenza Tiba tiba. dengan cepat anak itu menoleh ke arah sumber suara bising. Sebuah jam digital, sebelumnya pernah Tenza setel alaram pada pukul 05.00 sebelumnya, berbunyi tepat diatas lemari kayu kecil di samping ranjangnya, sistem vibrator pada jam tersebut merambat hingga ke lemari kayu, menciptakan suara dengungan yang tidak enak didengar. Karena memang seperti itu kegunaan dari jam itu.

Tangan kanan Tenza meraih jam tersebut lalu mematikannya agar serangan bising dapat terhentikan. Tenza menurunkan kakinya, suhu dingin menusuk telapak kakinya ketika menyentuh lantai. Tenza berdiri lalu melangkah, menahan dingin yang menusuk kakinya menuju lemari yang dimana lemari tersebut terdapat sebuah cermin.

Nafasnya sempat tertahan sedikit dikala ia sedang melangkah ke cermin itu. Tenza dapat melihat pantulan wajahnya dari cermin. Tampak wajahnya yang bersih dengan rambut yang berantakan. Dia tidak memiliki luka lebam ataupun luka tusuk pada wajahnya, pakaian yang ia gunakan juga berbeda.

Di malam kejadian itu, ia menggunakan setelan kaos polos berwarna orange dan celana hitam pendek, tetapi saat ini pakaian yang ia gunakan adalah kaos putih yang ia gunakan saat berangkat menuju ke negara ini. Satu kesimpulan yang dapat ia simpulkan...

"Aku...telah kembali lagi yah.." Katanya sambil sedikit menghela nafas.

Sebuah pertanyaan kembali menghantui kepala Tenza.

'Kenapa hal ini dapat terjadi?' tanya anak itu kepada dirinya sendiri.

Ini sudah menjadi yang kedua kalinya ketika waktu berjalan mengalami pemunduran dan dilihat dari reaksi orang orang yang ada disekitar Tenza, Tenza dapat menyimpulkan hanya dialah yang mengetahui fenomena ini.

...jika kita dapat bergerak menyamai atau bahkan melebihi kecepatan cahaya maka kita akan pergi ke masa depan.

Tenza mengingat sesuatu, Tenza mengingat seseorang pernah mengatakan hal itu sebelumnya. Tenza ingat, ketika dirinya bertanya tentang bagaimana cara untuk memundurkan waktu.

Tenza sekali lagi melangkah menuju ranjangnya lalu mendudukinya, keempukan yang sangat amat teramat menjalar ke tubuh Tenza, membuat tubuh Tenza seakan akan ditarik agar merebahkan tubuhnya kembali. Tetapi Tenza melawan perasaan ini, Dirinya takut jika tanpa sadar dia tertidur kembali dan terlambat untuk berangkat sekolah.

Tenza menyilangkan kakinya, menekukkan wajah lalu sedikit menunduk. Jari tangan kanannya menyentuh bibirnya. Tenza berusaha untuk mencari kesimpulan dari apa yang telah terjadi selama ini.

Aku rasa tokoh utamanya memiliki kekuatan untuk memutar alam semesta melebihi kecepatan cahaya dan dirinya sebagai pusat porosnya.

Kemungkinan tokoh utama membelah alam semesta dahulu menjadi banyak bagian berbentuk cincin dan kemudian memutarnya dengan RPM yang berbeda tetapi sebanding, sehingga waktu berjalan mundur dengan tanpa perbedaan waktu disetiap bagian.

Jika waktu seperti Hula Hoop, Maksudku bergerak seperti Hula Hoop. Yang artinya waktu akan terus berjalan memutar seperti bentuk Hula Hoop. Sang tokoh utama harus bergerak cepat menyamai atau melebihi kecepatan cahaya, melewati segala masa masa pembentukan alam semesta, melewati masa masa dimana dinosaurus belumlah punah, melewati sejarah awal peradaban manusia, dan berhenti dimana waktu yang iya inginkan.

Berbeda seperti sebelumnya, Tenza dapat mengingat segala hal dengan rinci tentang kejadian pengulangan sebelumnya. Tenza ingat hari pertamanya di Elikya, ia ingat saat pertemuannya dengan teman teman sekelasnya, pak Leone dan yang lainnya.

Tenza tidak dapat mengerti tentang hal ini, 'kenapa sebelumnya aku melupakannya?' itulah yang ada pada pikiran Tenza.

...Oy..oy itu sakit lho...khihihaahaa'aaaa..Aaaahh~sialan~jika saja aku dapat merasakan sakit, aku pasti sudah pingsan lho!.."APA APAAN INI??HAAAHAAHAHAAA Ternyata hanya seorang anak kecil? lagi pula...ada apa dengan matamu itu HAA??

Tiba tiba sekuncup api amarah muncul di kepala Tenza, ketika dirinya ketika mengingat mimik wajah seorang pria. Sekali lagi Tenza menyentuh kelopak mata kanannya, rasanya sangat perih walaupun itu hanya terasa karena imajinasinya. Tenza tidak akan pernah bisa melupakan kejadian itu sampai dia mati.

"Apakah ini artinya pengulangan ini dapat terjadi karena kejadian itu?" Cukup terlambat bagi Tenza untuk menyadarinya dan menanyakan hal ini.

Sekuncup api amarah yang muncul pada kepalanya itu merambat menjadi api amarah yang kian membesar. Perasaan sesak muncul pada dada Tenza, itu bukanlah suatu penyakit, melainkan segala bentuk ketakutan Tenza terhadap pria itu.

Ketakutan akan rasa sakit, ketakutan saat dirinya di paksa untuk berjuang hidup, ketika darah keluar dari mata kanannya dan lehernya. Ketika pisau yang runcing masuk kedalam tubuhnya. Dalam hatinya ia merasa ingin sekali lari dari keadaan ini, akan tetapi karena ini menyangkut masalah nyawa seseorang Tenza tidak dapat melarikan diri. Ini menyangkut nyawa temannya, mungkin dia dapat berpura pura tidak tahu tentang masalah ini, tetapi dia tidak dapat membohongi dirinya sendiri.

'Aku harus melawannya.' Itulah apa yang dikatakan oleh Tenza di hatinya, menciptakan tembok determinasi yang kokoh siap untuk menahan segala bentuk rasa takut dan teror.

Tenza sekali lagi berdiri dari ranjangnya, bersiap siap untuk menyiapkan dirinya untuk hari pertama sekolahnya yang menjadi ketiga kalinya dan Tenza telah berjanji kepada dirinya bahwa ini akan menjadi yang terakhir kalinya.

Tenza melangkah keluar dari kamarnya, dan ketika dirinya berada tepat di depan pintu kamarnya, berada diantara ujung lorong dan tangga untuk menuju lantai satu, Tenza menyadarinya. Bentuk lorongnya sangat mirip, tidak...tetapi sama persis dengan rumah Reina. Hal itu dapat terjadi karena semua model rumah yang ada pada rumah ini dibuat semirip mungkin dengan yang lainnya.

Itulah mengapa sebelumnya dia pernah berfikir bahwa dia dibunuh di rumahnya yang padahal bukanlah demikian. Tenza menoleh kearah kiri, sebuah lantai dengan genangan darah, serta mayat yang terduduk kaku tersandar pada ujung lorong ini. Itu hanyalah imajinasi dari seorang Tenza, seseorang yang telah mengalami mimpi buruk itu sebelumnya. Menciptakan sebuah determinasi yang lebih kuat dari sebelumnya, hatinya bertekad agar hal seperti itu tidak akan pernah terjadi lagi.

"Aku berjanji, tidak akan membiarkan hal itu terjadi lagi."

***

Tenza berdiri dimana dirinya berada di depan pintu putih. Sekarang ini dia telah selesai bersiap siap, mengenakan seragam merah barunya dan sepatu yang sudah dia kenakan sebelumnya. Tenza mengangkat tangannya, meraih sebuah knop pintu lalu memutarnya dan menariknya agar terbuka.

Suasana pagi hari yang cerah, matahari pagi sudah mulai terlihat tidak menyilaukan mata. Tenza menghadapkan kepalanya ke atas langit, sebuah hamparan biru langit yang sangat luas, hanya itu yang dapat Tenza lihat dengan kedua matanya. 'Sebelumnya aku pernah melakukan hal ini.'

Tenza menurunkan kepalanya lalu berjalan ke depan, berjalan menuju pagar hitam. Tangannya masuk kedalam saku dan meraih sebuah tumpukan kunci. Tenza menggenggam sebuah tumpukan kunci yang pernah Ova berikan sebelumnya, sekarang Tenza berhasil mengingatnya yang mana yang merupakan kunci untuk pagar hitamnya tersebut.

Sungguh Tenza merasa kesal pada dirinya yang selalu lupa dengan kunci tersebut.

'Jika saja aku mengingat kunci ini, mungkin Reina dapat diselamatkan.'

"Ahh! Murid Baru ya?"

Tenza mendengar suara perempuan, Mata Tenza membelalak ketika dia menatap pada gembok yang sedang dia buka ini dan mendengar suara itu. Dengan cepat dia menoleh kearah suara perempuan tersebut. Seorang perempuan, memiliki rambut coklat terang sepundak serta mata yang warna matanya serasih dengan warna rambutnya. Perempuan tersebut tersenyum manis kepada Tenza.

Entah kenapa Tenza merasa terkejut. Matanya mengeluarkan air, tetapi dengan cepat Tangan Tenza menahan air matanya.

"Ada apa?.." Tanya anak perempuan tersebut. Sepertinya tingkah laku Tenza yang aneh telah membuatnya khawatir terhadapnya.

"Tidak..tidak ada apa apa." Tenza membalikan badannya, membelakangi perempuan itu, menutupi wajahnya yang yang penuh dengan perasaan lega ini. Kedua tangannya berusaha untuk mengelap serta menahan air mata yang keluar.

"'SYukurlahh...' Butuh beberapa saat agar Tenza berhasil menenangkan pikirannya. Tenza merasa dirinya sangat beruntung, dia merasa beruntung ketika di malam itu, di malam ketika dia melihat perempuan ini terduduk kaku di ujung lorong dengan darah yang membasahi bajunya. Tenza benar benar bersyukur dirinya diberi kesempatan sekali lagi untuk melihat perempuan itu tersenyum kembali.

"Kau...Benar benar tidak apa apa?" Sekali lagi dia bertanya kepada Tenza dengan nada yang tampaknya khawatir terhadap Tenza.

"Tidak....aku tidak apa apa." Tenza berhasil menahan air matanya dan badannya sekali lagi berbalik menghadap perempuan tadi.

"Terimakasih telah mengkhawatirkan ku." Tenza tersenyum berterimakasih kepadanya. Lalu perempuan tersebut sekali lagi tersenyum membalas 'terimakasih' dari Tenza.

"Sama sama...ngomong ngomong perkenalkan namaku Reina." Perempuan itu menyodorkan tangan kanannya dan dengan cepat Tenza meraih tangannya itu untuk bersalaman.

"Namaku Tenza...ngomong ngomong..."

"Hmm..?"

"Apa maksudmu dengan murid baru?" Tanya Tenza.

"Kau tidak diberi tahu?"

"Oleh siapa?"

"Itu loh...oleh orang yang memakai jas yang mengantarmu kesini."

Reina mengangkat tangannya sambil mengayunkan tangannya ke bajunya untuk mengambarkan orang yang pasti Tenza mengetahui siapa dia. Percakapan tanya menanya inipun terjadi sekali lagi.

Entah kenapa Tenza merindukan percakapan ini.

"Mungkin dia hanya lupa." Tenza berusaha menyamakan percakapan ini dengan percakapan yang sebelumnya. Tidak tahu alasan Tenza berbuat demikian, dia hanya melakukannya dengan demikian tanpa menyadarinya.

"Bagaimana kau tahu orang yang mengantarku kesini memakai jas?"

"Itu karena aku juga di antar oleh orang yang memakai jas. Bukan hanya aku, semua anak yang diundang juga diantar oleh orang yang memakai jas."

"Begitu ya...Apakah kau tahu alasan aku di antar terlambat?"

"Bukan di antar terlambat tapi aku mendengar kabar karena salah satu murid tidak pernah hadir selama seminggu dikarenakan sakit. Jadi mereka mencari anak baru untuk mengisi kekosongan satu orang tersebut."

"Jadi artinya aku terlambat pelajaran 1 minggu?"

"Yah begitulah"

Dengan begitu Tenza memulainya sekali lagi dari awal. Tenza berjanji kepadanya, kepada Reina agar dia tidak akan membiarkan kejadian yang penuh darah itu terjadi lagi di dalam hatinya.