7 Seto Eksperimen | Part 1

Sebelum bertemu Amel, kehidupanku, keseharianku di sekolah tepatnya, bisa dibilang biasa-biasa saja dalam artian tidak biasa. Kukatakan begitu karena meski nampak tidak ada situasi maupun kondisi mengesankan, tidak ada gunanya untuk dibicarakan panjang lebar, kemungkinan besar kau, sebagai pembaca, mungkin akan protes, naik pitam atau tak tahan lagi dengan bacaan berikut ini. Atau mungkin kau merasa biasa-biasa saja—mengerti maksudku?

Jadi begini.

Aku tidak punya teman, begitulah secara subjektif. Aku tak melihat ada seorang pun bisa kupanggil teman. Menurut pendapat pribadiku, orang-orang di sekitarku bukanlah teman, baik itu di sekolah, di sekitar pekarangan rumahku, maupun di tempat lainnya. Bila ingin mendebat teman sekelasku sebagai temanku, kurasa itu pun tidak relevan. Kenapa? Satu, aku tidak bisa memilih siapa masuk kelasku, dan siapa tidak termasuk. Sebaliknya, bukan berarti yang berada di luar kelas kuanggap teman, itu pun keliru, salah besar. Apa pun, orang-orang ini, sebagian besar bahkan tidak kukenal, tak mampu kueja namanya atau kuhafal wajahnya, lebih pantas disebut sebagai kenalan saja (jika mereka pernah bicara denganku kuanggap kenalan, dan yang belum kenal, orang asing). Aku menganut prinsip tersebut mengingat teman seharusnya punya peran lebih erat dibanding sebagai lawan bicara, tempat menanyakan sesuatu tentang urusan sekolah, maupun hal-hal sepele lainnya. Hal semacam itu apa bedanya dengan kenalan biasa, kuajukan bahan untukmu berpikir. Jangankan kenalan, orang baru bertemu saja acapkali tak sungkan membantumu, bersikap ramah tamah sampai pada titik tertentu, jadi menganugerahkan titel teman pada sekumpulan orang ini terdengar berlebihan, sia-sia.

Sekali lagi, kuakui pandanganku amat sangat pribadi, sehingga jangan salah paham dan menuduhku tidak berkenan terhadap konsep teman dalam kehidupan sosial, keseharian kami di kelas. Jangan pula mengasihani, merasa iba padaku—simpan sentimen itu untuk orang lain saja (atau dirimu sendiri, terserah mana saja). Jika mereka saling berteman tanpa mengundangku, aku tidak keberatan sama sekali. Ralat, aku bahkan bermil-mil dari peduli. Mencampuri urusan mereka bukanlah apa-apa bagiku. Sebab, hal itu kembali pada masing-masing pribadi—aku hanya mau bilang aku tidak merasa perlu mengakui salah satu atau sebagian dari mereka sebagai temanku. Kebutuhanku tercukupi cuma dengan menamai mereka sebagai kenalan saja. Aku tidak bilang aku benci mereka. Bukan juga memusuhi atau berusaha memecah belah mereka, apalagi merasa iri. Urusan mereka—bukanlah urusanku. Hiasan kelas, itulah peran yang tulus kusandang di kelas. Aku tidak akan menerobos masuk, sok akrab hanya karena mereka teman satu kelas. Yang selalu dan terus kulakukan adalah duduk di salah satu sudut ruangan, tidak berisik, tidak mengajak bicara atau terlibat pada percakapan hangat, tidak berharap banyak seperti biasa.

Jika Amel bilang dia suka seseorang tanpa alasan, maka aku menolak berteman tanpa tujuan. Sedangkan, bila kondisi tepat menunjang, syarat terpenuhi, maka berteman mungkin akan kupertimbangkan, tapi sejauh ini, belum ada hasil memuaskan selain Amel. Alasan sangatlah penting buatku, meski kuakui kemarin terlalu berlebihan, namun sekurang-kurangnya aku masih berpegangan pada nilai, norma dan prinsipku ketika menyangkut urusan teman.

Lagi pula, secara subjektif, Amel kuhadiahi pengecualian, atas dasar kecocokan hati dan bukan paksaan, yaitu dinobatkan sebagai teman pertamaku—perdana bagi Kiki, si serigala tunggal.

avataravatar
Next chapter