1 Amel Langkah | Part 1

"Aku punya utang apa sama kamu? Ini pasti kamu lagi nge-bully aku, ya?"

Isi kepalaku kalang kabut, gagal memahami apa yang sedang kuhadapi.

Seorang gadis seumuranku, entah sempat membuntutiku atau tidak, berdiri menghalangi jalan. Mataku terkunci padanya, dihantui rasa takut. Bukan cuma terpaksa bingung, namun juga terpukau oleh parasnya. Untuk ukuran anak SMA, dia bagaikan dianugerahi tubuh langsing tergolong matang, baik dari segi volume maupun secara geometris.

Bukan, aku tidak sedang bernafsu, dan yang pasti, aku tidak pula mengarahkan pandanganku tertuju pada buah dadanya. Itu namanya kurang ajar—aku pun tahu soal tata krama setingkat itu.

"Jangan nuduh aku dulu! Seadanya—aku ngomong sejujur-jujurnya, gak ada yang kututup-tutupi, apalagi bohong," sang gadis berusaha memperbaiki citranya.

"Omonganmu itu makin bikin aku curiga. Mana ada gadis zaman sekarang tahu-tahu bilang suka? Mungkin aja, sih, tapi sudah bukan eranya. Gadis nembak aja udah termasuk spesies langka, apalagi kalau belum kenal dekat."

"Tapi, kita kan teman sekelas. Apa salahnya? Apa kriteriamu gak terpenuhi?"

"Justru itu letak keresahanku, sejak kapan kamu merhatiin aku, seorang yang belum kamu kenal, sampai akhirnya minta jadi pacarku begini?"

"Boleh kamu tebak sendiri—bisa kemarin atau minggu lalu. Setahun yang lalu pun bukan mustahil."

"Tahun kemarin kita kan belum sekelas?! Jangankan sekelas, satu sekolah pun belum!"

Baru dua bulan ke belakang aku akhirnya menjalani kehidupan sebagai pelajar SMA. Sayangnya, rintangan sudah muncul demi menghadangku, secara harfiah. Aku sudah menduga bakal datang masa seperti ini—masa ketika gangguan datang bertubi-tubi, terutama selama transisi. Termasuk di antaranya, kesulitan berbaur dengan lingkungan baru. Aku bahkan tak akan kaget semisal sebulan atau dua bulan pertama aku gagal cair berinteraksi dengan teman sekelasku.

Namun, tidak sekali pun, tidak satu kali pun, aku pernah mengira akan direcoki begini oleh seorang gadis yang baru kudengar namanya hari ini. Bicara dengan perempuan mana pun lebih dari dua menit saja sudah merupakan keajaiban buatku, apalagi ini.

Ayolah, peluang kisah komedi romantis terjadi pada kehidupan nyata itu jauh lebih kecil dari kiamat sekali pun.

"Asal kamu tahu, aku gak mengigau, melantur atau mengkhayal. Anggap aja kamu itu baru menang undian atau semacamnya."

"Oh, undian, ya… Hmm, masul akal. Ya, aku puas sekarang," komentarku.

"Oke, mau pulang denganku? Atau mampir dulu di suatu tempat?"

"Undian macam apa ini?! Kedengarannya seperti kupon mencurigakan."

"Kukira kamu lagi lompat kegirangan di benakmu."

"Salah! Aku senang sekaligus ngeri…"

"Uh, jadi kamu mau bilang kamu gak puas atau gimana?"

Gadis ini menghela napasnya seolah tak percaya dia masih belum berhasil memperdayaiku. Apa itu artinya aku menghindar dari takdir malang seorang korban? Eh, bukankah dia berkata dia tidak sedang mengelabuiku?

Pindah pada hal lain, ternyata raut wajah perempuan memang enak dipandang, tak peduli sedang kesal atau bersukacita. Walaupun kuakui nyaliku agak menciut kala memikirkan apa saja yang mungkin akan terjadi. Gadis ini mungkin merencanakan sesuatu selagi sibuk mengalihkan perhatianku.

Apa pun itu, aku pun tak mau menampik betapa bahagianya diriku bisa berbincang dengan seorang anak perempuan begini. Harapan terpendamku seakan terkabul.

Meskipun, rasanya terlalu dini menentukan apakah ke depannya kami bakal akrab sebagai teman atau tidak, akan menyapa sebagai sesama teman sekelas atau tidak. Kembali lagi, bila kekhawatiranku dapat diabaikan untuk sesaat saja, pikirkan ini—lelaki mana yang tidak lega akhirnya bisa terlibat percakapan bersama lawan jenis yang jelas-jelas tertarik secara pribadi.

Bagiku, cemas takkan bertemu gadis yang antusias mengobrol denganku terasa lebih getir daripada belum memiliki teman sama sekali.

"Dilihat dari sudut mana pun, semua ini aneh. Aku lebih suka berteman dulu dengan dua atau tiga orang anak laki-laki bahkan sebelum nyoba kenalan sama kamu, misalnya. Itu pun kalau aku berani."

Baiklah, pendapatku sendiri sudah terkesan lebih dari ganjil. Namun, terus terang kunyatakan itu. Langsung akrab dengan seseorang sepertinya itu ibarat loncat beberapa langkah—bukan hanya terdengar konyol, tapi juga terkesan kurang pantas.

Mendengar keluhanku, gadis itu pun merenung sejenak, seolah perkataanku menarik perhatiannya—atau sebaliknya, ada sesuatu dari ucapanku mengganjalnya.

"Oh, aku ngerti. Kamu ini sebetulnya gak punya teman, ya?"

Sial, aku ketahuan!

"Cih, mau ketawa? Silakan aja. Sesuka hatimu sono…."

"Enggak, aku gak sekejam itu. Itu bukan urusanku, sih. Malah, kamu harusnya girang dihampiri begini olehku."

"Teman aja belum punya, terus kenapa aku mesti percaya ada yang mendadak berminat jadi pacarku begitu aja?"

Aku tak habis pikir kenapa cerita komedi romantis itu memikat sebagian orang—jika dipikir-pikir, semua adegan di dalamnya, termasuk percakapannya, akan jadi tak masuk akal pada kehidupan nyata. Saking tidak masuk akalnya, tak dianggap teman oleh siapa-siapa, baik oleh lawan jenis maupun oleh yang lainnya, nampak lebih rasional.

"Sebelumnya, maaf ini bakal terdengar gak logis. Jawabannya simpel—menyukai seseorang itu gak butuh alasan. Gak ada kata lain yang dibutuhin, gak perlu alasan sama sekali—perasaan itu begitu jelas hingga rasanya bodoh untuk ngejelasinnya."

Gadis ini sudah gila—entah tergila-tergila padaku atau tergila-gila ingin mengubrak-abrik hidupku. Yang mana pun yang benar, aku tidak terlalu percaya diri menghadapinya.

avataravatar
Next chapter