webnovel

XVI: Makhluk Raksasa Bersayap

~Book II~

Satu Rakyat, Satu Keajaiban & Satu Malapetaka

"Hidup dengan bahagia, ya?" Rama yang sedikit termenung menggumamkan kalimat itu dengan suara pelan.

Namun, Cika yang berada tepat di sebelahnya bisa mendengar perkataan Rama dengan jelas.

"Apa maksudmu ngomong seperti itu?" Gadis kecil berambut panjang itu melontarkan tatapan heran pada bocah kurus di sebelahnya.

Setelah melewati siang yang amat super membingungkan, malam harinya Rama memutuskan untuk datang ke lapangan bola di dekat rumahnya untuk bertemu dengan Cika.

Kedua anak itu sedang berada di atas tribun, berdiri di dekat pagar pembatas sambil memandangi angkasa malam gelap di atas sana.

"Entahlah." Rama menyipitkan matanya. Mata merahnya kembali berpendar. "Sejak tadi siang, aku kayak merasa telah melupakan sesuatu, lho. Tapi masalahnya, aku sama sekali nggak tahu apa itu."

"Eh? Jadi kau juga merasakannya?" Cika terlihat sangat terkejut.

"Maksudmu?" Rama menoleh memandang wajah Cika. Gadis kecil itu juga kini terlihat sangat kebingungan, padahal sedetik yang lalu dia baik-baik saja, seperti Cika yang kemarin-kemarin.

"Yah, sama kayak kamu... Sejak tadi siang, aku kayak lupa sesuatu... Tapi, aku juga nggak tahu apa itu." Cika menarik pedang kecilnya dari sarung di pinggangnya, lalu menatap pantulan wajahnya di bilahnya. "Aku... Sama sekali nggak tahu apa itu."

"Aneh banget..." Rama berbisik lagi. "Ngomong-ngomong, apa yang mau kau lakukan mulai sekarang, Cika? Kan, Singa Perak itu sudah nggak ada, jadi, apa lagi rencanamu untuk kedepannya? Dan... Aku masih penasaran, kamu itu tinggal dimana, sih, sekarang?"

"Ah, aku punya tenda sihir, kok, jadi aku bisa tidur dimana aja. Kau nggak usah pikirin soal itu, lagi pula aku sudah terbiasa hidup sendiri." Ujar Cika santai. "Tapi, aku berencana untuk menetap disini, Rama. Soalnya disini lebih tenang dibanding di Bali, dan nggak terlalu banyak Warga Dunia Lain juga, jadi harusnya Dewan Dua Dunia pun tidak akan keberatan."

"Iya, sih... Soalnya Warga Dunia Lain yang pernah kutemui disini sejauh ini itu baru kamu, Juar, Kak Aria, Kak Lilac, Kak Merlin, dan Kak Siska, cuma itu aja."

"Yah, kalau begitu besok aku akan memperbarui statusku di kantor cabang. Toh, aku juga suka berada di sini. Bahkan di jam segini aja, udaranya terasa lebih nyaman." Ungkap gadis kecil itu sambil menghirup napas dalam-dalam.

Di tengah-tengah perbincangan itu, sesuatu yang aneh tiba-tiba terjadi. Ada puluhan sosok-sosok menyeramkan berpostur persis layaknya manusia yang seluruh tubuhnya diselimuti api hitam keunguan yang mulai bermunculan di lapangan entah dari mana. Mata mereka merah menyala, dan memiliki cakar yang panjang.

"Itu Dosa?" Rama bertanya, karena jujur saja, ini adalah kali pertamanya nongkrong disini di jam segini, jadi dia tidak pernah tahu.

"Ya, mereka memang sering muncul disini di jam segini." Jelas Cika sambil memeriksa jam di ponselnya; sekarang sudah jam delapan malam. "Nah, kebetulan pedangku lagi ada di tangan, jadi ada baiknya aku mengasahnya sebelum menyarungkannya lagi."

Dengan satu lompatan yang ringan, Cika yang awalnya di tribun langsung terjun ke tengah-tengah lapangan sambil meluncurkan tebasan pedang yang kuat hingga membuat beberapa Dosa terhempas dan lenyap kembali ke dalam kegelapan.

"Maju kalian!" Cika berseru penuh kemenangan.

Sementara itu, Rama cuma menonton Cika yang tengah menari bersama pedangnya dari kejauhan dengan kunci pedang perak yang siaga di tangannya.

Jujur, dia pun sebenarnya ingin ikut bertarung, mengingat dia sekarang sudah bukan manusia biasa lagi. Meski begitu, jelas saja itu bukan alasan kenapa ia merasa ingin bertarung, dia juga sadar kalau alasan itu terdengar bodoh. Namun, Rama memang harus bertarung, karena dia mampu.

Dosa-dosa itu adalah makhluk jahat yang hanya ingin merusak manusia, dan Rama memiliki kekuatan untuk melenyapkan mereka, alasan itu sudah cukup. Sama seperti dia harus bersekolah, dia harus melakukannya karena dia adalah seorang murid.

"Ini aneh banget. Aku ingin menemukan kebahagiaan, tapi... Buat apa, ya? Sumpah, ini rasanya gila banget." Rama bertanya pada dirinya sendiri. "Hey, Cika! Kalau kau sudah selesai kita ke rumahku, ya!?" Teriak Rama.

"Oh? Ke rumahmu? Ngapain!?" Balas Cika yang masih sibuk mengayunkan pedangnya.

"Yah, kau boleh tinggal di rumahku! Itu lebih baik dari pada tinggal di tenda sihirmu itu!" Jelas Rama.

"Heh?" Tak butuh waktu lama, Cika akhirnya berhasil menumpas semua dosa yang muncul di lapangan tanpa kesusahan sama sekali. Gadis kecil itu menyarungkan kembali pedangnya lalu melangkah ke tribun. "Aku? Tinggal di rumahmu? Gimana ceritanya, tuh? Menurutmu, bagaimana reaksi orang tuamu?"

"Aku, kan, udah pernah bilang, mereka nggak akan marah, kok." Bocah kurus itu turun dari tribun, dan dia pun bersama-sama dengan Cika pergi dari lapangan.

"Yah, tapi gimana ceritanya bisa begitu?" Cika masih bingung dengan yang ini. "Maksudku, bagaimana kau akan menjelaskannya pada mereka?"

"Emangnya, apa yang harus dijelaskan? toh sejak awal mereka sudah tidak ada." Jawab Rama santai, namun samar-samar terpancar kesedihan di matanya.

Cika pun cuma bisa diam setelah mengetahui kebenaran itu. Ya, itu memang bukanlah hal yang mudah untuk di utarakan begitu saja, tapi, bagi orang-orang seperti mereka, bagi orang-orang yang mengetahui tentang rahasia dunia, bisa dibilang, kenyataan seperti ini merupakan hal yang wajar.

Bahkan, walaupun Rama masih bisa dibilang sebagai pendatang baru, tapi dia sudah harus terbiasa dengan hal semacam ini.

Lagi pula, Cika pun seperti itu. Dia kehilangan kedua orang tuanya di usia yang sangat muda, jadi mau tak mau, dia harus bisa bertahan hidup dengan dirinya sendiri.