webnovel

VII: Selangkah Lagi Untuk Tenggelam

"Gimana, sih, rasanya saat kita kehilangan seseorang yang kita sayang?" Dengan pandangan kosong yang tertuju pada angkasa subuh nan kelabu, Rama melontarkan pertanyaan itu begitu saja tanpa berpikir.

Entah kenapa, Rama merasa kalau ia harus menanyakan itu sekarang. Suasana dingin sekaligus nyaman kala itu sungguh membuat dunia jadi terasa tentram.

Mata biru gelap bocah yang sedang duduk di rumput itu tampak berpendar. Selimut tebalnya yang kusam membungkus tubuhnya dan melindunginya dari hawa dingin. Ia menoleh ke samping dan memandang Liel yang sedang asyik menyeruput teh apelnya.

"Hmm... Sakit lah pokoknya." Jawab bocah gemuk bermata emas yang masih sibuk dengan cangkir tehnya itu. "Intinya, sih, sakit, sakit, sakit banget, deh... Dan kalau disuruh milih antara aku yang mati atau temanku yang mati... Aku pasti, pasti, pasti lebih milih buat mengorbankan nyawaku sendiri." Jelasnya sambil menoleh membalas tatapan Rama dan menyunggingkan senyuman kecil.

"Sepertinya itu memang nggak enak banget, ya." Rama merasa sedikit bersalah.

"Yah... Begitulah." Suara Liel menjadi lebih pelan, dan kini anak itu termenung memandangi tehnya yang masih sisa setengah. "Aku sebenarnya nggak suka memikirkannya... Soalnya kalau dibayangin, rasanya, itu kayak terulang lagi..." Liel menjawab setengah melamun.

"Maksudmu?" Rama sadar kalau dunia terasa makin sunyi, sunyi, dan sunyi.

"Terkadang, kalau aku mencoba mengingat lagi semua itu... Pasti aku bisa mendengar suara teriakan mereka di telingaku... Juga tangisan mereka... Jeritan... Dan bahkan tawa mereka... Aku bisa mendengar mereka dengan jelas. Seolah... Aku masih berada di sana... Di medan perang... Yang penuh dengan darah... Kehancuran... Kematian... Dan... Mayat... Yang tak terhitung jumlahnya dimana-mana..." 

Lalu, Selama bercerita, suara Liel lambat laun semakin memelan, hingga akhirnya, dia terdiam.

Ya, ini benar-benar ide yang buruk. Padahal Rama sangat senang dengan suasana subuh yang tentram dan dingin macam ini, tapi dia sudah merusak atmosfernya dengan pertanyaannya yang konyol.

Rama kemudian memakukan pandangannya pada menara batu yang menjulang tinggi di kejauhan. Tak peduli sekeras apapun usahanya, ujung dari menara itu sama sekali tak terlihat. Lagi pula, bagaimana bisa menara itu muncul di sana? Sejak kapan? Dan kenapa Rama merasa kalau ia sangat ingin pergi ke menara itu?

"Ngomong-ngomong, bagaimana dengan kunci terakhir yang kuberi? Apa kau sudah mencobanya?" Liel bertanya sembari menyeruput tehnya. Senyum bocah itu kembali seperti sedia kala dalam sekejap

"Ah... Yah belum, sih." Rama mengambil kunci perak yang berbentuk seperti pedang dari kantongnya, dan ketika ia memegang kunci itu, sebuah lubang kunci kecil tiba-tiba muncul di telapak tangan kirinya.

"Kau bilang, kunci ini bisa mengubah tanganku menjadi pedang... Mungkin buatmu itu terdengar biasa, tapi buatku, itu menyeramkan, lho." Jelas Rama sambil tersenyum kecut.

"Kan, sudah kubilang, nggak akan ada rasanya, kok. Nah, coba aja sekarang."

Rama termenung sebentar setelah mendengar perkataan Liel. Lalu, setelah meyakinkan diri sembari menarik nafas dalam, Rama memberikan selimutnya pada Liel, bangkit berdiri, dan memasukkan kunci perak itu ke lubang kecil di telapak tangan kirinya. Rasanya agak geli, dan horor.

Namun, di saat itu pula, seluruh lengan kiri Rama dengan cepat diselimuti oleh cahaya perak yang hangat, dan sedetik kemudian, lengan kirinya pun lenyap seakan telah dimakan oleh cahaya itu, dan dalam sekejap mata, sebuah pedang perak cantik tiba-tiba muncul di genggaman tangan kanan Rama begitu saja entah dari mana datangnya.

Rama bingung harus melihat yang mana, pedang mengkilap di tangan kanannya, atau lengan kirinya yang telah hilang.

"Sumpah... Rasanya aneh banget, El." Rama benar-benar tidak bisa merasakan tangan kirinya. Itu lenyap seutuhnya.

Meski begitu, tetap saja pedang di tangan kanannya juga tak bisa dihiraukan. Ketika ia melihat pedang itu untuk yang pertama kalinya, hanya ada satu kata saja yang terlintas dalam benaknya.

"Pedang ini kalau dilihat-lihat ternyata... indah juga, ya?" Memang, tak peduli seaneh apapun suatu keajaiban, tapi jika itu berhasil membuat manusia terpukau, maka jelas mustahil untuk membantahnya. Entah itu kutuk atau bukan, tapi begitulah kenyataannya.

"Yah, sepertinya pilihanku sudah tepat untuk memberimu kunci-kunci itu." Liel juga bangkit berdiri sambil membungkus tubuhnya dengan selimut yang dititipkan Rama.

"Maksudmu...?" Rama mengayunkan pedangnya. Dibanding wujudnya, ternyata pedang itu sangat ringan sama seperti sebuah buku tulis.

"Perasaanku makin nggak enak sejak Mbak Siska meninggal... Mungkin ini juga berhubungan dengan munculnya menara itu." Liel menjelaskan dengan sungguh-sungguh. "Aku nggak mau kehilangan lagi pokoknya." Mata emas bocah itu berpendar dengan nyala emas kala itu.

"Di puncak menara itu, kau bisa menemukan sesuatu yang benar-benar sangat kau inginkan. Sesuatu yang lebih tinggi dari bintang-bintang di langit, lebih megah dibanding angkasa, dan lebih menakjubkan dibanding keajaiban."

Rama yang mendengar kebenaran itu kini semakin tenggelam dalam benaknya. Sepertinya sesuatu yang ada di atas menara itu sangatlah luar biasa. Tapi masalahnya, Rama sendiri tidak tahu apa yang diinginkannya.

Selama ini, dia menjalani kehidupannya dengan lancar. Ia belajar di sekolah, berbakti pada keluarganya, dan berusaha untuk berbuat baik semampunya. Hidupnya sungguh monoton sebenarnya. Toh, dia memang manusia sejak awal.

Namun, Rama juga memiliki penyesalannya sendiri. Sebuah dosa besar yang pernah dilakukannya di masa lalu, yang bahkan belum pernah ia beritahukan pada siapapun, termasuk Liel. Di titik ini hanya dia dan Tuhan saja yang tahu tentang rahasia itu.

Ketika Rama sibuk mengamati bilah tajam pedangnya yang mengkilap, anehnya ada suatu perasaan ganjil yang timbul dalam hatinya, dan itu membuatnya mengalihkan pandangannya ke arah menara itu.

Pedang itu, dan menara tinggi yang jauh di sana, sepertinya memang memiliki suatu hubungan.

"Sepertinya ada yang tidak beres..." Bisik Liel dengan wajah yang tampak gelisah. "Keajaiban itu... Hakikatnya memang mustahil untuk ditolak."

"Hah?" Angin dingin kembali berhembus kencang.

"Apapun yang kau rasakan, jangan pernah coba-coba masuk ke menara itu..." Liel mengingatkan. "Keajaiban itu sama seperti sebuah belati yang terbuat dari permata murni nan megah, tapi tetap saja, itu adalah belati, dan itu bisa membunuhmu."