webnovel

IX: Mata Dua Belas Warna

"Kekuatan... Saat ini, aku udah nggak tahu itu indah, atau mengerikan." Bisikan pelan itu keluar dari bibir Rama bersamaan dengan datangnya tiupan angin kencang.

"Mata Tanpa Warna. Dikatakan, mereka yang terlahir dengan mata itu memiliki kekuatan untuk menciptakan sendiri Nyanyian Jiwa mereka loh." Jelas Aria, pemuda jangkung berambut pirang itu sedang berdiri di pematang sawah sambil memandang pemandangan di kejauhan.

"Eh... Jadi begitu ya?" Rama meraba bagian bawah matanya dengan tangan jemari tangan kanannya. "Mata Tanpa Warna, ya? Keren juga namanya. Tapi ngomong-ngomong Nyanyian Jiwa itu yang kayak gimana Kak?" Rama bertanya, matanya yang masih sewarna emas cair tampak berkilap.

Di sore hari itu, mereka sedang berada di sawah untuk menikmati pemandangan senja yang tenang nan damai. Tempat itu letaknya tak terlalu jauh dari rumah Rama, dan lokasinya berada di dalam suatu lorong, jadi memang cocok untuk bersantai di sana.

Angin berhembus lembut menerpa padi yang sudah menguning, membuatnya bergerak meliuk dan menari seperti ombak di laut.

Hari ini kebetulan Aria dapat waktu istirahat selama dua jam penuh, jadi dia pun memutuskan untuk datang ke tempat ini setelah disarankan oleh Rama.

Anak yang kini memiliki mata berwarna emas itu memandang cakrawala yang terbentang jauh di sana. Sungguh, keindahan pemandangan seperti ini juga bisa dibilang tak kalah megahnya dengan sihir dan keajaiban.

"Di dunia ini, semua orang memiliki Nyanyian Jiwanya masing-masing. Itu adalah kemampuan yang sangat kuat, yang lahir dari hati kita yang paling dalam. Bisa dibilang, hati kita lah yang menciptakan kekuatan itu dan memberikannya pada kita sebagai hadiah." Aria tersenyum kecil.

Setelah puas menikmati angin sepoy, pemuda itu pun berjalan kembali ke pondok dan duduk di sebelah Rama.

"Jujur, tadi aku baru sadar loh kalau ternyata matamu itu bisa berubah warna. Dan untungnya aku juga sudah pernah membaca naskah kuno tentang matamu itu, jadi anggap saja kalau ini adalah kebetulan yang aneh." Ujar Aria sambil tersenyum lebar.

"Hmm... Ah iya, Nyanyian Jiwa Kakak itu kayak gimana kalau boleh tahu?" Rama bertanya sambil menggigit gorengan yang tadi dibeli oleh Aria.

"Kalau punyaku itu sebenarnya biasa aja kok. Nggak istimewa sama sekali." Aria mengangkat tangannya di depan, dan menciptakan semacam angin putih beliung kecil di atas telapak tangannya. "Angin. Angin yang sangat kuat adalah Nyanyian Jiwaku. "

"Wah... itu kedengarannya keren juga Kak." Meski terdengar sederhana, tapi bagi Rama keajaiban sekecil apapun itu tetaplah mengagumkan. Maksudnya, bagaimana bisa ia menciptakan angin semacam itu di telapak tangannya.

Sungguh, sihir itu memang luar biasa.

Aria tertawa pelan. "Tapi punyamu harusnya bisa lebih keren lagi loh. Soalnya kau bisa memutuskannya sendiri, ingin membuat Nyanyian Jiwa seperti apa."

"Yah... Walaupun Kakak bilang begitu, tapi aku mana tahu caranya Kak." Rama memandang Aria dengan tatapan datar.

"Loh, kan kamu pada dasarnya bisa menciptakan Nyanyian Jiwamu, jadi coba kamu pikirkan aja ingin kekuatan seperti apa. Bayangkan. Minta itu pada hatimu." Ujar pemuda itu sambil meminum sebotol teh rasa apel. "Contohnya, kau ingin kekuatan untuk terbang, atau kekuatan untuk berubah bentuk."

"Minta sama hati...?" Bagian yang itu membuat Rama termenung sebentar.

Dia tidak terlalu tahu dengan yang namanya kekuatan, karena selama ini, yang dia tahu soal itu hanyalah tentang bagaimana indah dan berkilauannya suatu kekuatan itu. Baginya, semua keajaiban itu sama, tak peduli mau itu kecil ataupun besar, samar-samar ataupun sangat jelas, keajaiban, tetap keajaiban.

"Hmm... Aku bingung harus minta apa." Rama bergumam pelan sambil menggaruk kepalanya dengan gelisah.

"Ya udah, nanti aja kan bisa." Aria menyarankan. "Ah, tapi aku punya sesuatu buat kamu nih. Dan harusnya ini bisa membantumu." Aria yang teringat akan suatu hal buru-buru mengambil sesuatu dari kantong celananya; itu adalah sebuah kartu yang tampaknya terbuat dari bahan kaca yang berwarna ungu. Pemuda itu lalu memberikannya pada Rama.

"Eh? Kartu apa ini Kak?" Rama menelisik kartu itu dengan penuh minat. Namun, ketika jarinya meraba permukaan kartu itu, tiba-tiba saja ada semacam tulisan yang muncul di situ, meskipun tidak bisa membacanya.

"Itu namanya Kepingan Gaia, kebetulan aku juga punya dua." Jelas Aria." Kartu ini bisa mendata semua barang-barangmu yang berhubungan dengan sihir, juga kekuatan yang ada di dalam dirimu. Cuma kayaknya kamu baru bisa menggunakannya beberapa hari lagi, soalnya itu butuh waktu untuk memproses informasi setiap ganti pemilik. Nggak lama kok."

"Kalau begitu, makasih ya Kak." Rama selalu senang tiap kali mendapatkan benda-benda ajaib semacam ini, asalkan itu tidak berbahaya tentu saja.

Kini Rama jadi penasaran, kira-kira ada kekuatan apa saja yang dimiliki oleh dirinya, mengingat satu-satunya keanehannya yang ia tahu itu hanyalah warna matanya saja.

Tiba-tiba, terdengar suara dengungan singkat yang aneh dari kartu di tangan Rama, dan sedetik kemudian, ada banyak tulisan yang muncul di situ dan kali ini ia bisa membacanya.

"Nah, itu udah bisa." Aria memberitahu.

Disitu tertera jelas nama lengkap Rama, umurnya, tinggi dan bahkan berat badannya. Kalau dipikir-pikir kartu itu cara kerjanya persis seperti ponsel pintar dengan layar sentuh.

"Eh? Ada levelnya juga? Dan aku masih level satu?" Rama terkejut.

"Nah, nah, coba kita lihat kekuatan apa aja yang kamu punya." Aria menekan tulisan yang bertuliskan [Kekuatan] dan kartu itupun menampilkan suatu daftar yang cukup singkat.

Saat ini, Rama cuma memiliki tiga kekuatan, yaitu, [Mata Tanpa Warna], [Teknik Pedang], dan [Teknik Gerakan]. Tapi, di antara tiga kekuatan itu, hanya Teknik Pedang dan Teknik Gerakan saja yang mempunyai penjelasan, sedangkan Mata Tanpa Warna sama sekali tak memiliki penjelasan apapun.

"Ya, sudah kuduga, kalau Kepingan Gaia pasti nggak punya penjelasan soal itu." Ujar Aria kecewa. "Cuma aku nggak heran juga sih, soalnya Kepingan Gaia pun baru diciptakan sekitar tiga ratus tahun lalu. Sedangkan pemilik Mata Tanpa Warna yang terakhir saja nggak diketahui siapa orangnya."

"Ya sudahlah kalau begitu. Mau gimana lagi kan, Kak?" Ucap Rama sambil kembali mengutak-atik kartunya, dan masuk ke jendela [Status].

Aria yang juga ikut melihat status Rama pun mulai bergumam. "Kau masih Level 1, tentu saja. Dan kau juga memiliki... Tunggu, kau punya lima Pusaka? Terus, kekuatan, daya tahan, daya mental dan kecepatanmu juga semuanya wajar-wajar saja, rata-rata lima. Tapi... Kecocokan sihirmu itu... Itu, aneh." Aria menyipitkan mata pada status Rama yang satu itu.

"Eh? Kenapa memangnya?" Rama bertanya, karena ekspresi Aria seolah menjelaskan kalau ada yang salah dengan itu.

"Kecocokan sihirmu itu sepuluh persen loh... padahal kau itu masih baru dengan kenyataan lain dunia." Aria masih tampak tak percaya dengan apa yang dilihatnya di kartu itu. "Aku aja masih delapan persen..."

"Eh..." Rama jadi bingung. "Emangnya itu bakalan jadi masalah ya Kak?"

"Hmm, nggak juga sih. Tapi ya harusnya nggak apa-apa kayaknya." Aria mengalihkan pandangannya dari kartu Rama lalu lanjut memakan gorengan. "Lagian, kamu itu memang orang yang terpilih, jadi nggak heran juga."

"Terpilih, ya?" Rama bergumam pelan.

"Bagi manusia, menjadi orang yang terpilih itu dianggap sebagai suatu keajaiban yang tingkatannya tiada bandingannya... Tapi bukannya mau menakutimu, hanya saja bagi kami yang mengetahui kenyataan, menjadi yang terpilih itu, lebih seperti, kutuk." Ujar Aria sambil menyipitkan mata.

Rama cukup tercengang mendengar yang satu itu. Dia memang selalu berpikir, kalau pertemuannya dengan Liel dan juga yang lainnya itu, merupakan bukti kalau dirinya adalah seorang yang terpilih. Rasanya hebat tentu saja, tiap kali ia melihat dan melalui keajaiban-keajaiban yang tak mungkin dirasakan oleh orang-orang lainnya.

Namun, setelah mendengar apa yang dikatakan oleh Aria, untuk sesaat, Rama jadi merasa goyah akan beberapa hal.

Mata emasnya kembali terpaku memandang bentangan cakrawala di ufuk timur, dimana matahari hampir tenggelam, dan angkasa mulai bertukar menjadi gelap.

Matanya, apakah itu kutuk atau keajaiban?