webnovel

II: Pedang Merah di Tengah Hutan

"Nggak peduli mau sebaik apapun atau sejahat apapun kamu, kalau memang nggak layak, kau tetap nggak akan bisa melihat keajaiban sampai kapanpun." Ujar Liel tiba-tiba.

Bulu yang ada di sekujur tubuh Rama seketika merinding ketika mendengar kata-kata Liel, sampai-sampai, rasa kantuknya juga ikut lenyap tanpa bekas.

Apa pula maksud perkataan bocah gemuk berambut pendek jabrik itu? Yah, Rama juga tidak begitu mengerti, tapi sejujurnya dia merasa sedikit tersinggung karena kalimat itu.

Itu aneh. Liel berbicara seakan-akan ia tahu tahu tentang dosa besar yang pernah Rama perbuat. Mata emas bocah itu berpendar cerah.

Apa dia benar-benar tahu?

Rama termenung sesaat, wajahnya masih malas seperti biasa, sedangkan mata hijaunya yang sayu nan kosong terus mengawasi kepulan uap di udara yang timbul dari tiap hembusan nafasnya.

Kala itu masih pagi buta, tepatnya pukul tiga subuh. Hawanya lumayan dingin saat itu, tapi untung saja selimut Rama yang cukup tebal mampu memberinya sedikit kehangatan.

Liel datang ke kamarnya yang gelap gulita entah dengan cara apa, lewat mana, dan entah apa pula tujuannya. Matanya yang sewarna emas cair tampak berpendar di antara kegelapan.

Namun, Rama tahu kalau ini pasti tentang suatu hal yang penting. Dan setelah melihat wajah datar Liel dan alisnya yang melengkung, Rama yakin kalau itu pasti merupakan hal yang tidak menyenangkan.

"Eh, ada apa emangnya?" Tanya Rama sambil mengusap-usap matanya. 

"Hmm... Ada Pusaka yang muncul di pulau ini, Pulau Sulawesi, beberapa tahun lalu, dan nggak tahu kenapa tadi malam aku tiba-tiba diberi perintah untuk mengklaimnya secepat mungkin." Jelas Liel dengan suara pelan nan datar.

"Pusaka?" Ini kali pertama Rama mendengar kata itu di dunia nyata, mengingat selama ini dia hanya menemukannya di buku saja.

"Eh, kau tahu, kan? Benda seperti pedang emasku, Pedang Ragnarok, dan topeng yang ku kasih ke kamu, itu semua Pusaka, lho." Jawab Liel.

"Ah..." Kini Rama mulai paham dengan pusaka yang dimaksud Liel. "Jadi, benda-benda mengerikan itu adalah Pusaka, ya?" Rama memasang wajah masam.

"Hah? mengerikan apaan?" Kata Liel yang tampak bingung. Tapi, kenapa responnya seperti itu? Memangnya bagaimana cara bocah itu memandang pedang emas dan topeng gila itu? Apa dia menganggapnya sebagai hiasan belaka?

"Lah, kau sadar, nggak, sih? Kau pernah meratakan gunung dengan pedang itu. Sementara kunci yang kau kasih ke aku itu bisa memanggil meteor!" Rama mengomel. "Itu gila, tahu!"

"Oh... Jadi yang begitu namanya gila, ya? Oke, aku paham." Ujar Liel serius, sampai-sampai membuat Rama berpikir kalau anak ini bodohnya memang terlalu natural.

"Jadi, bagaimana?" Tanya Rama sambil melepas selimutnya lalu memakaikannya pada Liel. Rama benar-benar tidak tega melihat punggung mungil anak itu menggigil seperti itu.

"Ya, kita ambil, lah. Lima menit lagi, kita akan berangkat ke sana." Ujar bocah gemuk itu, sedangkan mata emasnya tertuju pada jam dinding yang tergantung di atas pintu. 

"Ah, baiklah kalau begitu." Ujar Rama sembari turun dari ranjangnya, dan berganti pakaian. 

"Ngomong-ngomong, apa, sih, maksudmu soal keajaiban yang tadi?" Tanya Rama yang tengah mencari celana panjangnya di lemari. 

"Ah... Nggak ada, kok." Liel tampak ragu-ragu. Matanya menyipit. "Soalnya sudah dua tahun sejak kita sahabatan, dan sudah dua tahun pula, kau tahu tentang hal-hal aneh yang ada di dunia ini."

"Terus?" Rama mengancing jaket putih pemberian Liel setahun lalu. 

Liel menaikkan bahu, tanda dia sedang bingung. "Aneh aja gitu, kau mau berteman sama aku sampai sekarang..."

"Hah? Aneh apanya? Kau juga tahu, kan, kalau aku juga senang karena bisa berteman sama kamu." Rama memandang dirinya sendiri di cermin. Dia sudah siap, kecuali sepatunya. "Emangnya, berteman sama kamu itu dosa, ya?" Rama buru-buru mengikat tali sepatunya.

"Yah... Banyak yang berpikir begitu, sih." Liel memandang tangan kanannya dengan tatapan kosong. "Setidaknya... Kamu itu lebih layak dibanding aku." Gumamnya seraya menjentikkan jarinya.

Kemudian, tepat setelah Rama mengikat tali sepatunya yang lusuh dan tua, tiba-tiba saja terdengar bunyi guntur menggelegar, dan bersamaan dengan itu, cahaya hijau yang amat terang pun muncul menutupi pandangan Rama.

"Oke, kita sampai." 

Setelah mendengar suara Liel, Rama pun mencoba untuk mengedipkan matanya beberapa kali agar penglihatannya kembali. Dan benar, setelah dia bisa melihat lagi, Rama akhirnya sadar kalau mereka berdua sekarang sudah berada di tengah hutan yang lebat dan gelap.

Karena sudah tak dikamar lagi, udaranya jadi semakin bertambah dingin nan menusuk. Belum lagi suasana di hutan ini sungguh tampak amat menyeramkan. Sangat hening dan misterius di sana.

Tanpa berbasa-basi, Liel langsung melangkah menuju entah kemana, dan mau tak mau Rama hanya bisa mengikutinya.

Namun, tak sampai beberapa menit, mereka berdua pun sampai di daerah tanah lapang yang tidak ada pohonnya, yang mana hanya ditumbuhi rerumputan pendek dan bebungaan yang cantik. 

Akan tetapi, ada satu hal yang merebut perhatian Rama, yaitu pedang merah cantik nan mengkilap yang menancap di tanah tepat di tengah-tengah daerah itu. 

Dari kejauhan, Rama pun bisa melihat keindahan pedang yang diukir sedemikian rupa itu. 

"Eh, Pedang itu... Pusakanya, kan?" Tanya Rama pelan.

"Yap, Pedang Habelios." Sesampainya kedua bocah itu di depan pedang itu, tangan Liel tanpa ragu mulai bergerak untuk meraihnya.

Tapi, tepat sebelum Liel mendaratkan jemarinya pada pedang itu, tiba-tiba seorang bocah yang membawa lentera muncul entah dari mana, dan seketika mencegat Liel.

"Jangan coba-coba memegangnya." Ujar bocah lelaki bertudung itu dengan suara dingin. Tampangnya berantakan, pakaiannya kumuh, dan mantel coklatnya penuh lobang. 

"Hmm... Kenapa tampangnya kayak orang yang seumur hidupnya cuma tinggal di hutan gitu?" Bisik Rama pada Liel.

"Heh... Kenapa malah tanya aku?" Liel tersenyum kecut, lalu kembali memandang bocah itu. "Memangnya kenapa?"

"Naga merah gila itu nggak suka kalau ada yang pegang-pegang pedang itu." Jelas bocah itu santai. "Lagian, subuh-subuh gini bukanlah saat yang tepat untuk membakar hutan."

"Hah? Naga?" Rama refleks bertanya. Pasalnya kata itu benar-benar terdengar ganjil di telinganya. 

"Tenang saja, naga itu nggak akan datang, kok." Sambil tersenyum kecil, Liel langsung mencabut pedang itu, dan mengangkat bilahnya yang berwarna merah gelap ke depan wajahnya.

Bocah itu seketika tercengang ketika melihat pemandangan itu. 

"Siapa kau?" Tanya bocah itu sambil memandang Liel dan Rama dengan tatapan curiga.

"Hmm... Harusnya aku yang bertanya." Liel melepaskan genggamannya dari gagang pedang itu, dan di saat itu pula, pedang itu lebur menjadi debu-debu cahaya emas dan lenyap tanpa jejak.

"Namaku... Kain Rasyata. Dan pedang itu... Adalah saudaraku." Bocah itu melepas tudungnya dan menampakkan rambut coklatnya yang gondrong. 

"Mana orang tuamu?" Tanya Liel lagi. Tepatnya dia seperti sedang menginterogasi Kain.

"Nggak ada. Di sini hanya ada kami berdua doang." Jawab Kain singkat.

Dilihat dari sisi manapun, Kain sama sekali tidak terlihat seperti orang Indonesia pada umumnya. Ya, itu bukan hal aneh untuk Rama yang sekarang ini.

Meski begitu, Rama masih bertanya-tanya, apakah bocah itu memang tinggal sendirian di hutan ini? Tapi kenapa? Bagaimana bisa itu terjadi di zaman yang sekarang ini. Dan kenapa pula dia menganggap pedang itu sebagai saudaranya. Dari mana asal pedang itu? Dan juga Kain?

Semakin lama Rama melangkah masuk ke sisi tersembunyi dunia ini, semakin banyak juga hal-hal aneh yang sangat sulit untuk dijelaskan. 

Namun, saat ini ada hal lain yang mengganggu pikiran Rama. "Pedang Habelios... Habel... Kain... Kain dan Habel? Hmm... Liel, bukannya nama mereka itu sama kayak cerita di kitab suci–"

"Psst!" Bocah gemuk itu tiba-tiba mencubit bibir Rama. "Mending jangan mikir yang aneh-aneh, deh." Liel mengingatkan. 

Rama yang cuma memasang wajah datar akhirnya mengangguk pelan, dan setelah itu Liel melepaskan bibir Rama. 

"Baiklah, urusan kami sebenarnya sudah selesai di sini, tapi sebelumnya, bisa nggak kamu ajak kami berdua kerumahmu?" Pinta Liel sambil berjalan mendekati Kain.

"Untuk apa? Nggak ada hal yang spesial di tempatku. Kalau memang kamu perlu sesuatu yang lain, katakan disini saja." Ujar Kain sambil meletakkan lenteranya di bawah, lalu duduk di batang kayu besar di dekatnya.

"Apa yang kamu ketahui tentang manusia?" Liel menjentikkan jarinya, dan sebuah meja serta beberapa makanan dan teh hangat tiba-tiba muncul di depan Kain.

Kain awalnya terlihat amat terkejut, tapi itu tidak berlangsung lama. Tanpa pikir panjang, bocah kumuh itu, dan juga Rama, langsung bergerak mengambil kentang isi krim bawang dari meja, dan memakannya dengan lahap. Sedangkan Liel memilih untuk meminum teh hangat seraya mengangkat lentera Kain dari tanah, dan menaruhnya di atas meja.

"Manusia, ya, manusia. Sedangkan aku bukan manusia." Kain menjelaskan sambil makan. "Aku sering ke Pasar Ambaipua untuk barter, tapi tak ada satupun orang yang mirip denganku di sana. Walau sebenarnya, kayaknya ada, sih. Cuma nggak tahu kenapa, mereka kayaknya menghindari aku."

"Hmm... Ya, baguslah kalau kau sudah tahu. Jadi nggak perlu jelasin panjang lebar lagi." Liel tersenyum seraya meniup tehnya. "Begini, rencananya Dewan Dua Dunia memintaku untuk mengklaim pedang itu, tapi karena kini pedang itu sudah terikat denganmu, jadi sekarang aku juga ingin agar kau ikut denganku. Gimana?"

"Yah, nggak masalah." Balas Kain yang tengah memilih menu lain dari meja. "Kemanapun Habel pergi, aku juga harus ikut. Cuma itu." 

"Hmm..." Bahkan setelah sejauh ini, ternyata masih ada terlalu banyak hal yang Rama belum bisa pahami tentang rahasia dunia ini.

Itu amat menjengkelkan, dan gatal, karena pertanyaan yang ada di dalam kepala Rama semakin hari malah semakin bertambah banyak, dan sama sekali belum berkurang setelah dua tahun lamanya.

"Aneh banget..." Rama bergumam, cukup keras sebenarnya, sampai Liel dan Kain pun mendengarnya.

"Eh? Apanya?" Tanya Liel heran.

"A-Ah... Bukan apa-apa, kok." Rama mengelak. "Ngomong-ngomong, masih lama, nggak? Udah mau jam lima, lho." 

"Makan dulu aja, ah." Liel jengkel. "Yang penting sebentar kita bakalan pulang, kok. Dan aku jamin, deh, nggak akan ada masalah sama ayahmu." Ujar bocah gemuk itu sok. "Kalau gitu, aku pergi ketemu naga gila itu dulu, oke?"

Tiba-tiba saja, ada cahaya-cahaya emas yang timbul di tangan kanan Liel, dan tak lama setelahnya, Pedang Habelios pun muncul begitu saja dalam genggamannya. 

"Eh? Kau serius?" Kain terkejut setengah mati.

"Yap, aku nggak masalah, kok. Jadi, aku titip sahabatku sama kamu, ya." Kata Liel sembari melangkah pergi meninggalkan Rama dan Kain berdua. 

"Tunggu, apa sebenarnya yang mau dilakukan anak itu!?" Tanya Kain panik.

"Ah... Mending nggak usah dipikirin. Dia bakal baik-baik saja, kok." Jelas Rama sambil menggigit kentang ketiganya. 

Keheningan seketika merambat dengan kepergian Liel. Apalagi, Rama juga kurang pandai dalam hal memulai percakapan dengan orang yang baru dikenalnya.

"Ngomong-ngomong, kau ini bukannya manusia, ya?" Tanpa diduga, Kain memutuskan untuk angkat bicara.

"Ah... Iya. Aku memang manusia." Jawab Rama seraya mengunyah dengan canggung. "Tapi, aku masih penasaran. Bagaimana bisa kau tahu kalau aku manusia? Soalnya, selama ini, teman-teman Liel yang lain juga langsung tahu setelah melihatku."

"Liel? Oh, jadi itu, ya, nama anak gemuk tadi." Kain berbicara pada dirinya sendiri. "Ah, jawaban buat pertanyaanmu tadi sederhana, kok. Kami merasakannya." Jelas Kain.

"Merasakan?" Ya, jujur saja itu susah untuk dipahami. 

"Yah... Gimana, ya? Contohnya, sih, itu sama seperti kau bisa membedakan yang mana pohon dan yang mana hewan. Begitu doang." Kain tersenyum kecil. 

"Ah... Aku masih nggak terlalu mengerti." Ujar Rama sambil memasang ekspresi masam, lalu mengalihkan pandangannya pada lentera.

"Yah, mau gimana lagi, kau ini, kan, manusia."  Kain menaikkan bahu. "Pokoknya aku cuma merasakannya saja, kok. Seperti bagaimana cara kamu membedakan langit dan daratan, atau kebaikan dan kejahatan."

"Ah... Begitu, ya?" Rama memilih untuk menyudahi tentang topik itu dan mengganti ke topik lainnya. "Kalau begitu, aku ingin bertanya lagi. Tapi sebelumnya, aku minta maaf kalau sudah lancang."

"Ya, tanya aja, selama itu nggak merugikanku, harusnya nggak masalah." Jawab Kain dengan luwesnya. 

Setelah dipikir-pikir lagi, sepertinya orang-orang seperti Liel dan Kain tampaknya memang tidak pernah mempermasalahkan hal sepele semacam itu. Lumayan butuh waktu lama hingga Rama sadar akan hal itu.

"Dari mana asalmu?" Rama memulai.

"Yah dari sini, kok." Kain menjelaskan. "Usiaku mungkin masih empat tahun waktu aku terbangun di sini."

"Hah? Gimana?" Rama tercengang. 

"Ya begitu, waktu aku buka mata, aku sadar aku sudah ada disini, dan begitu juga dengan Habel."

Mata Rama terbuka lebar mendengarnya. Apa-apaan itu? Apa dia mau bilang kalau dia ada begitu saja di sini? Bahkan, itu tidak bisa disebut keajaiban, malahan kesannya sangat horor.

"Aku ini makhluk hidup. Tenang aja. Aku bukan pusaka, kok." Ucap Kain yang tersenyum tipis ketika melihat wajah bingung Rama. "Kau ini menarik banget, ya? Untuk seorang manusia. Padahal kau sudah terlibat dengan hal-hal semacam ini, tapi anehnya, kau sepertinya nggak terganggu sama sekali. Sama seperti aliran sungai, yang mengalir begitu saja."

"Ah... Iya, juga ya?" Lalu Rama tertawa pelan. Ya, dia juga sadar, tapi mau bagaimana lagi, seperti itulah dia. Bahkan, bocah kurus itu juga kadang tidak mengerti dengan dirinya sendiri.

"Saranku, sih, mending kamu berhenti buat mencari jawaban-jawaban itu, soalnya keajaiban di dunia ini memang nggak akan pernah habis. Entah itu keajaiban yang baik, atau yang jahat." Ungkap Kain serius.

"Eh...?"

Tiba-tiba saja, terdengar suara ledakan yang amat dahsyat entah dari mana. Daratan pun ikut berguncang karenanya, dan tampak pula nyala api raksasa di kejauhan, sampai-sampai langit yang tadinya gelap kini menjadi lebih cerah.   

"Ada apa, ya, dengan dunia ini... Kenapa pertanyaanku nggak abis-abis, coba?" Rama berbisik pada hati kecilnya.

Di pagi-pagi buta begini saja, dia sudah mengetahui lebih banyak rahasia dunia lagi.

Tentang pedang ajaib. Tentang pusaka, dan naga sungguhan. Juga tentang seorang anak yang lahir tanpa sebab.