webnovel

EDEN - Kisah Dunia Fana (Original)

EDEN — DEUS EX MACHINA Rama hanyalah seorang anak sekolah dasar biasa yang kini telah mengetahui rahasia-rahasia dunia, dan semua itu terjadi berkat sahabatnya, Liel, seorang anak yang mampu membuat keajaiban. Berkat itu, Rama juga mengenal banyak orang aneh. Ada anak yang mampu terbang tinggi di angkasa, juga seorang yang bersaudara dengan seekor naga, dan bahkan gadis kecil yang berkeliaran membawa pedang. Namun, setelah dua tahun menjalani kehidupan damai yang penuh dengan keajaiban, sesuatu yang tak terduga akhirnya terjadi, dan karenanya Rama berkali-kali hampir kehilangan nyawanya. Menara itu muncul di tengah dunia manusia. Lalu, bocah yang amat biasa itu pun akhirnya jatuh ke dalam medan perang... "Keajaiban itu sama seperti sebuah belati cantik yang terbuat dari permata murni. Tapi, kan, pada akhirnya itu tetaplah sebuah belati, bukan? Itu tajam... Dan mampu mengiris nadimu." —Liel ________________________________ BOOK 2: KISAH-KISAH MEREKA Ini adalah kumpulan kisah dari mereka yang pernah melalui suatu perjalanan yang penuh akan sihir dan keajaiban. Ada yang berakhir bahagia dan penuh tawa, dan ada pula cerita yang harus berakhir menyedihkan dan penuh akan tragedi. Semuanya itu tertuang di dalam tulisan ini. Mungkin ini adalah kisah tentang seorang anak yang bisa terbang di langit. Atau tentang dirinya yang hidup bersama dengan para monster. Atau kisah tentang seorang anak titisan para Dewa. Dan mungkin juga kisah seorang yang mampu menciptakan kehidupan dan kematian. Atau mungkin juga kisah tentang seorang anak yang tak akan mati oleh waktu. Inilah kisah dari mereka yang terpilih, juga mereka yang tak terlihat. “Entah orang itu jahat atau baik, setidaknya ada satu titik dalam hidupnya, di mana orang itu memiliki pengalaman hebat dan paling ajaib yang pernah terjadi padanya. Sebuah kisah magis yang menakjubkan.” —Anima Allefren, seorang yang hidup dari “EDEN : Tangisan, Impian & Hiduplah” #FANTASEAS_UNIVERSE #EDEN_SIDE_STORY

KEVIN_ESP · Fantasy
Not enough ratings
63 Chs

Tangisan Kepasrahan yang Terbakar

Story By: Sun & Kevin E.S.P

Gendis menelan ludah, menguatkan tekad untuk sekedar bisa berjalan tegak di bawah puluhan sorot mata yang menghakimi. Semua orang di pasar ini—dan di desa ini—mengetahui silsilah keluarganya—yang membuat mereka takut terhadapnya. Gadis itu adalah keturunan terakhir dari keluarga Wisanggeni yang dikenal bersekutu dengan iblis.

Para pemuka agama selalu membahasnya ketika berdakwah, dan para tetangga senang menggunjingkan dirinya, tapi tak ada satupun yang berani mengungkapkan terang-terangan. Sekilas tatapannya sudah cukup untuk membuat orang-orang itu bergidik ngeri, dan keberadaannya membuat orang menjauh setidaknya setidaknya sepuluh langkah.

"Aku tidak pernah lho melihat dia bekerja, tapi kok dia bisa punya uang belanja?"

"Pelihara tuyul kali."

"Ssst, jangan keras-keras, nanti kedengaran!"

Gendis mendengarnya. Ia langsung membelalak pada sekelompok ibu-ibu yang sedang merumpi di lapak pedagang sayur. Mereka jadi panik lalu cepat-cepat pergi, sementara si pedagang sayur pura-pura tidak terlibat pembicaraan barusan. Gadis itu mendengus. Kalau bukan karena kehabisan beras, ia juga tidak sudi pergi keluar dari rumahnya.

Ia menghampiri sebuah toko beras, dan orang-orang yang semula sedang berbelanja di sana lekas menjauhkan diri. Hanya si pemuda penjual beras yang tak bisa ke mana-mana. Semua manusia menghindari Gendis... kecuali seekor kucing liar yang datang enak dari mana, menggeliat-geliat manja di kakinya.

"Hush! Hush!" Ia berusaha mengusir kucing itu, tapi si kucing tidak mau pergi. Jadi ia hanya mendesah. "Mas, beli beras."

"I—Iya," kata si pemuda gugup. "Ah—berapa liter?"

"Satu karung," jawab Gendis. Ia ingin punya cukup persediaan sehingga tidak perlu keluar rumah lagi dalam waktu dekat.

Namun, si pemuda diam saja dengan wajah bingung. "Tapi kan berat... Memang kamu bisa ngangkatnya?"

"Jangan cerewet!" hardik Gendis ketus. "Pokoknya aku mau sekarung!"

"Baik, baik, siap."

Pemuda itu lekas ke belakang toko untuk mengambil stok beras karungan.

Gendis selalu membenci orang yang banyak tanya mengenai dirinya, mengenai kehidupannya. Karena pada akhirnya mereka cuma penasaran lalu menjadikannya bahan gunjingan. Tidak lebih.

"Bersekutu dengan iblis itu adalah perbuatan yang paling dilaknat Allah!"

Gadis itu mendengar suara yang tidak asing. Ia melirik ke belakang dan mendapati Ustadz Sodir dan istrinya. Mereka berbicara pada beberapa orang yang berkerumun di sekitarnya.

"Hukuman bagi orang-orang yang demikian adalah Jahanam," lanjut si Ustadz. "Semoga kita dijauhkan dari hal-hal yang seperti itu."

Gendis memutar bola matanya. Mendengar hal-hal seperti itu sudah menjadi makanannya sehari-hari.

"Ceramah itu di langgar, bukan di pasar!" serunya tanpa membalikkan badan.

"Sebarkanlah walau satu ayat!" jawab Ustadz Sodir, tapi masih seolah berbicara pada pendengarnya. "Menyebarkan kebaikan bisa di mana saja, tidak peduli tempat."

"Tapi kenapa harus di sini?" balas Gendis. "Pak Ustadz mau menyinggung siapa?"

"Tidak menyinggung siapa-siapa. Tapi kalau ada yang tersinggung ya maaf. Berarti..."

Pria itu menggantung kalimatnya, membuat orang-orang tertawa geli.

Gendis berdecak, lalu berkata ketus, "Sudah belum berasnya?!"

"Iya, iya, ini!" si pemuda tergopoh-gopoh mengangkat karung beras.

Namun, Ustadz Sodir belum puas. Ia melanjutkan ceramahnya.

"Tidak hanya Jahanam yang menunggu, azab juga bisa datang di dunia bagi orang-orang yang bersekutu dengan iblis! Contohnya, seperti bencana beberapa tahun lalu yang mematikan satu keluarga penyembah iblis. Itu bukti kemarahan Allah."

Keluarga yang dimaksud oleh pria itu, tak lain dan tak bukan adalah Keluarga Wisanggeni.

Gendis sudah biasa dihina, tapi ia tak bisa tinggal diam jika keluarganya dilecehkan.

"Ustadz, jaga mulutmu!" Ia berbalik, kedua matanya melotot murka.

"Kenapa? Apa saya salah bicara?" jawas Ustadz Sodir dengan nada tanpa dosa.

Gendis mengepalkan tangan, lalu berjalan mantap ke arah pria itu. Orang-orang yang semula mengelilingi Ustadz Sodir mulai bergerak mundur. Tapi pria itu tetap mempertahankan posisi seolah ingin melindungi jamaahnya.

"Sembarangan saja Pak Ustadz mengatai orang lain kena azab. Bagaimana kalau yang kena bencana itu keluarganya Pak Ustadz?!"

"Itu... hanya Allah yang tahu. Tapi karena saya selalu berlindung padaNya, jadi—"

"Apa dia bisa melindungi Pak Ustadz dari ini?!"

Gendis mengangkat kepalan tangannya ke udara, lalu membukanya. Dari telapak tangannya muncul lidah api yang menari-nari, lalu menggeliat ke udara seperti pertunjukan sihir. Api itu berputar menjadi sebesar bola pingpong, lalu bola kasti, lalu bola voli.

Ustadz Sodir terbelalak ngeri menyaksikannya. Ia hampir-hampir tidak mempercayai matanya sendiri. Ia memang sering membicarakan Gendis bersekutu dengan iblis, tapi belum pernah melihat gadis itu menampakkan sihirnya di depan orang banyak.

Meski tegang, ia segera berkomat-kamit membaca doa. Ia punya keyakinan, dan ia yakin doanya bisa mengalahkan yang gaib. Namun, ketika api di tangan Gendis malah bertambah besar, keraguan pun tampak di ekspresinya.

Gadis itu mengayunkan tangannya secara tiba-tiba. Bola api itu pun meluncur membakar permukaan tanah, menciptakan dinding api antara dirinya dan Ustadz Sodir. Seketika semua orang menjerit—termasuk sang ustadz—lalu berlari kocar-kacir. Bahkan beberapa pedagang meninggalkan lapaknya begitu saja.

"Kebakaran! Kebakaran!"

"Ada setan!"

Gadis itu menghela napas. Ia mengayunkan tangannya, lalu api yang membakar tanah berangsur padam. Ia lepas kendali. Tapi setidaknya sekarang ia bisa pulang dengan tenang. Ia berbalik untuk mengambil berasnya.

Namun, kakinya tersandung seonggok kecil di jalan. Ia melihat ke bawah, lalu sekujur tubuhnya merinding. Api yang ia ciptakan barusan tanpa sengaja membakar kucing liar yang sejak tadi menempel di dekatnya.

Dada gadis itu menjadi sesak. Ia mengeratkan geraham, kemudian meraih kucing itu dengan tangan gemetar. Ia mendekap si binatang malang.

"Maaf..."

Gadis itu langsung berlari membawa si kucing liar di pelukannya. Rasa bersalah menggerogoti jiwanya. Padahal ini tak perlu terjadi kalau saja ia bisa mengendalikan emosinya.

Ia tiba di sebuah tanah kosong samping pemakaman umum—karena ia tak tahu lagi harus membawanya ke mana. Ia mengais-ngais tanah menggunakan jarinya, lalu menguburkan si kucing. Setitik air matanya menetes, dan ia usap. Tapi titik-titik lain bercucuran, hingga ia tak bisa lagi menghentikannya.

Ia menangis dalam sunyi.

Kemudian terdengar suara langkah kaki mendekat. Gadis itu segera menatap dengan waspada. Adalah Ustadz Sodir, masih mengenakan kaus, peci, dan sarung seperti di pasar tadi.

"Gendis," panggilnya.

Tiba-tiba sesosok bola api mewujud di dekat gadis itu. Lalu ia berseru dengan akrab, "Pertunjukan yang bagus, Pak Ustadz. Muka ketakutanmu autentik sekali."

Pria itu tersenyum kecut. "Aku terpaksa," katanya, "maafkan saya, Gendis. Kudengar malam ini pintunya akan terbuka sangat lebar?"

"Iya, tidak apa-apa, kok," jawab Gendis, tapi wajahnya tak berkata demikian. Matanya masih sembab. "Toh memang sudah begini cara kerjanya... "

"Padahal sudah dua puluh satu tahun aku menjalankan peran ini bersama keluargamu, tapi tetap saja posisiku masih terasa sangat membingungkan," Ustadz Sodir mendecak, "di sisi lain saya juga harus menjaga agar penduduk desa tidak terjerumus ke lembah kemusyrikan—ah, aku bukan bermaksud menghinamu."

"Sudah kubilang tidak apa-apa. Sebentar lagi malam, sebaiknya Pak Ustadz cepat pergi dari sini. Ini Anda tahu kalau ini adalah tanggung jawabku sejak awal."

"Yah, baiklah. Kutitipkan desa ini padamu." Pak Ustadz melirik ke dalam area pemakaman dari balik pagar. "Sungguh kebetulan yang tidak menyenangkan... gerbang kali ini ternyata adalah gerbang besar kedua puluh satu yang telah muncul di desa kita... "

"Hey, hey, tenang saja, Pak Ustadz, tenagaku sudah terisi penuh!" seru sang iblis berbentuk bola api. "Saat ini aku merasa sangat panas. Saking panasnya aku bisa membuat mayat-mayat di pemakaman ini menjerit dalam kubur!"

Pak Ustadz tersenyum kecil. "Lakukanlah semaumu, yang penting jangan sampai kau menghancurkan rumah warga lagi, itu saja."

Sosok berapi itu tertawa keras. "Tenang saja! Kujamin aku nggak akan melakukan hal memalukan seperti itu lagi!" Namun, tiba-tiba sosok itu seakan baru terkena sengatan listrik. Dia teringat sesuatu. "Oh iya, Pak Ustadz lihat nggak anak aneh yang ada di pasar tadi?"

"Anak aneh? Yang mana?"

"Ah... aku nggak tahu persis, tapi dia jelas-jelas bukan warga sini."

"Hmm? Memangnya apa yang aneh dengan anak itu?"

"Sepertinya... dia membawa gunung di dalam kantong celananya... Gunung Merapi."

"Hah?!"

Sementara Banaspati dan Pak Ustadz sedang mengobrol tentang sesuatu yang sangat tak masuk di akal, Gendis malah tenggelam dalam lamunannya sendiri. Tatapan matanya yang kosong tertuju pada si makhluk api.

Makhluk itu adalah Banaspati. Ialah sang iblis yang membuat persekutuan dengan keluarga Wisanggeni. Keterkaitan mereka sudah berlangsung selama belasan generasi. Namun, yang tidak orang ketahui, persekutuan itu dibuat bukan untuk memperkaya keluarga Wisanggeni. Banaspati tidak memberi mereka uang, melainkan kekuatan. Untuk melawan makhluk-makhluk gelap—perwujudan dosa-dosa manusia yang merangkak dari alam gaib. Desa Rawaireng adalah pintu antara dua dunia, dan sudah menjadi tugas keluarga Wisanggeni untuk mencegah makhluk-makhluk gelap itu menyebrang.

"Kalau begitu saya pergi dulu, semoga Allah melindungi kalian," ucap Ustadz Sodir ironis. Pria itu pun lekas angkat kaki dari sana.

"Ya, Pak Ustadz juga hati-hati."

Lalu tak lama kemudian, muncul asap kelam yang perlahan menyelimuti tanah pemakaman, lebih pekat daripada malam. Suara-suara asing yang asalnya bukan dari dunia ini mulai bersahutan. Raung dan jeritan dari mereka yang tersiksa di neraka jahanam.

Sekujur tubuh Gendis merinding dibuatnya. Bulu-bulu romanya bergetar. Namun, ia memberanikan diri. Gadis itu berdiri tegak bersama Banaspati, menatap kegelapan yang kian melekat.

"Banaspati, bersiaplah," ujarnya.

"Aku selalu siap," kata sang iblis. "Justru kau itu, sudah selesai menangisnya?"

Gendis mengusap air mata terakhir di kelopaknya, lalu memantapkan diri. Ia menatap kegelapan yang balas membelalak kepadanya.

Kemudian sesosok makhluk hitam berlari keluar dari kegelapan. Seluruh tubuhnya bagai diselimuti arang. Taring-taring panjang mencuat dari wajahnya yang seperti babi.

"Maju!"

Gendis mengayunkan tangannya ke depan sebagai aba-aba bagi Banaspati melesat menghantam makhluk tersebut. Ledakan dahsyat pun menyelimuti sang babi hitam. Makhluk itu meraung kesakitan. Ia mengibaskan tangannya untuk memadamkan api, lalu menangkap Banaspati. Ia melempar sang iblis api jauh-jauh. Kemudian ia kembali menerjang ke arah Gendis.

"Sekali lagi!"

Gendis memutar kedua tangannya sehingga Banaspati kembali melesat. Tapi kali ini Banaspati berputar cepat, lalu jumlahnya berlipat ganda menjadi tujuh. Dan ketujuh bola api itu menghantam sang babi hitam tanpa ampun, menciptakan pilar api yang luar biasa. Aroma daging gosong memenuhi udara. Makhluk gelap itu pun berhenti lari, kemudian tumbang. Tubuhnya menghantam tanah, lalu terurai menyatu kembali pada kegelapan.

Gendis menghela napas, lalu berjalan mantap, "Lanjut?"

"Iya dong!" jawab Banaspati. "Yang barusan itu cuma pemanasan."

Dari kegelapan yang sudah menyebar luas, menjelma ratusan makhluk gelap dalam berbagai rupa. Ada yang seperti manusia, manusia setengah binatang, binatang, hingga makhluk yang sama sekali tidak bisa dikategorikan ke mana pun. Tiap kali manusia membuat dosa, satu makhluk seperti itu akan lahir. Oleh karenanya selama manusia masih ada, jumlah mereka pun akan terus bertambah.

Salah satu dari mereka meraung, menjadi aba-aba bagi yang lainnya untuk menyerang. Pasukan kegelapan itu menyerbu seperti air bah.

Gendis memerintahkan Banaspati membakar tanah dalam garis lurus, menciptakan dinding api antara dirinya dan para makhluk gelap. Lalu ia mengacungkan kedua telapak tangannya ke depan. Bola-bola api pun melesat dari dinding api, seperti hujan yang menghujam. Panasnya luar biasa membakar pohon, nisan, dan tentunya para makhluk gelap. Makhluk-makhluk yang semula menyerbu kini berlomba-lomba untuk kabur. Tapi tak ada yang bisa sembunyi. Kobaran api membumbung tinggi melenyapkan makhluk-makhluk itu sekaligus mengusir kabut hitam.

Saat api terakhir lenyap, tidak ada satupun makhluk gelap yang terlihat. Suasana pun menjadi sunyi. Seolah sang gadis sudah menang. Tapi belum, sebab malam masih panjang.

Kabut hitam yang sempat sirna tiba-tiba muncul kembali dengan kecepatan luar biasa, melahap seluruh kompleks pemakaman. Kalau bukan karena nyala Banaspati, Gendis tidak akan bisa melihat apa-apa. Kemudian tanah berguncang. Sepasang kaki yang sebesar batang pohon melangkah di depan gadis itu, lalu bermaksud menginjaknya sampai gepeng.

Gendis segera melompat berguling ke samping, tepat sebelum kaki raksasa itu meratakan tubuhnya. Ia mendongak menatap lawannya yang setinggi lima belas meter.

"Banaspati, selimuti ia dengan api!"

"Siap!"

Bola api itu berputar di kaki sang raksasa, meninggalkan jejak api yang menyebar begitu cepat. Sang raksasa berusaha menyingkirkan Banaspati, tapi ia terus bergerak lincah seperti nyamuk. Perlahan tapi pasti melalap tubuh sang raksasa dengan panas membara.

Celakanya makhluk gelap dengan tangan berbentuk gunting raksasa tiba-tiba menyerang Gendis. Gadis itu segera menghindar ke belakang sehingga tubuhnya tidak terpotong jadi dua.

"Banaspati!"

Namun, sang iblis api masih sibuk menghadapi raksasa yang mengamuk. Raksasa itu lebih kuat dari dugaannya, dan bisa saja menginjak Gendis apabila tidak dihadapi dengan baik.

Artinya gadis itu harus menghadapi si tangan gunting sendirian. Tapi ia sudah melatih diri tak terhitung jumlahnya untuk saat-saat seperti ini. Ia segera memasang kuda-kuda, sembari memperhatikan tiap jengkal pergerakan lawan di hadapannya.

Makhluk itu kembali menyerang dengan capitan guntingnya yang ganas. Gendis berhasil menghindarinya. Lalu serangan berikutnya datang, membuat gadis itu tak berhenti bergerak. Tatapannya tetap fokus mencari celah. Dan ketika celah itu terbuka, ia menyelinap di antara kedua tangan gunting makhluk itu, lalu menempatkan diri di belakangnya. Ia memanjat tubuh makhluk itu, lalu menjepit kepalanya menggunakan paha. Sebelum si tangan gunting sempat melawan, ia menjatuhkan tubuhnya ke belakang hingga makhluk itu ikut terbanting.

Gendis segera bangkit sebelum si tangan gunting. Ia menyeret kaki makhluk itu, lalu melemparnya kuat-kuat. Makhluk itu pun berguling-guling, dan sebuah kaki raksasa yang berselimut api menginjaknya berkeping-keping... Gadis itu sudah memperhitungkan keberadaan sang raksasa dan memanfaatkannya untuk mengalahkan si tangan gunting.

Lalu giliran makhluk-makhluk lain yang menyerbu Gendis. Seolah kepala gadis itu adalah tropi untuk diperebutkan. Tapi di saat yang sama akhirnya Banaspati berhasil menaklukkan sang raksasa. Monster masif itu meraung kemudian ambruk, menimpa puluhan makhluk lain di bawahnya.

"Kau kelihatannya sudah kewalahan," komentar Banaspati sembari terbang mendekati Gendis.

"Cuma keringat sedikit."

Tiba-tiba semburat dingin menerjang, seakan-akan ada lubang dimensi yang terhubung ke kutub selatan. Gendis sontak menggigil, sementara Banaspati agak mengecil. Makhluk-makhluk yang semula mengitari mereka segera bergerak mundur secara teratur, seolah memberi ruang bagi siapapun yang akan muncul berikutnya. Dan dari kegelapan tampaklah makhluk hitam berseragam serdadu Belanda yang compang-camping. Tiap hela nafasnya menghembuskan udara dingin yang membekukan.

Gendis segera memerintahkan Banaspati berputar lalu membelah diri jadi tujuh, kemudian membelah lagi jadi empat puluh sembilan, kemudian melesatkan setiap bola api ke arah sang serdadu. Tapi makhluk itu dengan santai menodongkan senapannya, lalu menarik pelatuk. Tembakan dingin yang kejam segera melenyapkan empat puluh sembilan bola api begitu saja, sama sekali tak berbekas. Bahkan tanah dan partikel-partikel di udara ikut membeku dibuatnya. Makhluk-makhluk gelap di sekitarnya pun tak lepas dari kekuatannya yang maha dahsyat. Mereka membeku seperti patung.

"Aku tidak menyangka..." Banaspati mewujud lagi di samping Gendis, tapi ukurannya begitu kecil, hanya sebesar bola kasti. "Dia terlalu kuat untukku."

Gendis mengeratkan gerahamnya, "Cuma segitu saja kemampuanmu?"

"Bukannya begitu... Kau sendiri tahu kalau aku nggak suka dingin... Kecuali..."

"Ya, ya, aku mengerti," Gendis berdecak. "Ayo menyatu."

Banaspati tersenyum sumringah, "Ini yang kutunggu-tunggu."

Gendis membuka telapak tangan kanannya. Banaspati mendekat ke sana, lalu gadis itu meremasnya. Api Banaspati pun pecah, melahap seluruh tubuh Gendis. Gadis itu menjerit kepanasan pada awalnya, tapi perlahan jadi lebih tenang saat jiwa keduanya menyatu. Ini adalah teknik yang sangat berbahaya, di mana manusia yang melakukan kontrak dengan iblis membiarkan sebagian dirinya dikonsumsi guna mendapat kekuatan tak terkira.

Api yang menyelimuti Gendis membentuk sepasang kerambit raksasa di kedua tangannya. Rambutnya berubah semerah darah, berkibar seperti kobaran api. Api juga membara di kedua mata kakinya, membuat langkahnya seringan kapas.

Dengan satu tolakan ia menerjang sang serdadu. Makhluk itu menodongkan senapannya lalu menarik pelatuk. Tembakan dingin itu kembali melesat, tapi Gendis menebasnya dengan mudah. Kali ini apinya jauh lebih panas, sehingga serangan sang serdadu menguap seketika.

Begitu jarak mereka cukup dekat, Gendis menyabetkan kerambitnya. Serdadu VOC itu memalangkan senapan untuk menangkis. Gendis memberi serangan lanjutan menggunakan kerambit di tangan satunya. Tetapi sang serdadu dapat bergerak sangat cepat sehingga mampu menangkis serangan tersebut. Kemudian makhluk itu memutar senapannya, lalu menancapkan ujung bayonet ke arah jantung Gendis.

Gadis itu melompat salto ke belakang seraya menendang ujung bayonet ke atas.

Sang serdadu memutar bayonetnya lagi, kali ini melepas beberapa tembakan beruntun ke arah bumi. Pelurunya segera menciptakan kembang es yang menjalar, memerangkap kedua kaki Gendis. Lalu makhluk itu menyerang dengan bayonetnya sekali lagi.

Gendis sedikit menekuk lututnya dalam ancang-ancang. Tiba-tiba api di kedua mata kakinya menyembur, melelehkan kembang es yang memerangkapnya. Ia melesat seraya menyabetkan kedua kerambit bersamaan.

Senjata mereka pun saling hantam. Api dan es melahap satu sama lain dalam percikan maut tersebut. Terjadi adu kekuatan yang setara.

Tapi sang serdadu menarik pelatuk. Ledakan dingin yang dahsyat langsung mementalkan Gendis hingga puluhan meter ke belakang.

Pertarungan itu nyaris meratakan seluruh area pemakaman. Besok pagi penduduk desa pasti akan kebingungan—itu kalau Gendis berhasil mengusir makhluk-makhluk gelap sehingga masih ada hari esok bagi penduduk desa. Namun, ia tak yakin. Seluruh tubuhnya terasa ngilu dan menggigil. Bahkan tangannya tidak kuat menopang tubuhnya untuk bangkit.

"Selesai?" bisik Banaspati.

Gendis bersusah payah menjaga kelopaknya tetap terbuka. Hawa dingin ini perlahan menyedot kesadarannya. Bibirnya gemetar, lalu berucap, "kurasa iya."

Akhirnya, malam ini semua akan berakhir. Penderitaan Gendis akan berakhir.

"Aku sudah tidak sanggup... daripada hidup dibenci, lebih baik mati."

"Begitu ya…"

Ada rahasia besar yang disimpan keluarga Wisanggeni selama belasan generasi. Mereka selalu ditakuti dan dianggap musyrik oleh penduduk desa, tapi itu adalah resiko yang mereka pilih sendiri. Untuk menghadapi makhluk-makhluk gelap, mereka harus membuat persekutuan dengan Banaspati. Iblis itu memberi mereka kekuatan, dan mereka memberi iblis itu ketakutan.

Semakin banyak ketakutan yang dimangsa Banaspati, semakin kuat iblis tersebut. Itu sebabnya penduduk desa harus takut terhadap Gendis, atau ia tidak akan bisa melindungi penduduk desa. Namun, bagi sang gadis itu adalah kutukan yang memisahkannya dari dunia luar. Sejak anggota keluarganya tiada, maka tak ada lagi seorangpun yang bisa menjadi tempat baginya meski sekedar untuk mencurahkan beban yang ia tanggung.

Kalaupun ada yang mengetahui tentang ini, ia adalah Ustadz Sodir. Namun, pria itu memiliki tugas untuk membuat penduduk desa tetap takut pada Gendis, melalui pertunjukan-pertunjukan seperti yang dilakukannya di pasar sore tadi. Otomatis mereka tak boleh terlihat akrab di depan orang lain.

Tapi setidaknya ia sudah melakukan semua yang ia bisa. Kalau ia tumbang di sini, ia masih punya muka untuk menghadapi para leluhur di alam sana.

Gadis itu memperhatikan sang serdadu Belanda yang berjalan kian mendekat. Ia harap kematiannya tidak menyakitkan.

Tetapi seseorang tiba-tiba berdiri membelakanginya, lalu merentangkan kedua tangan. Seolah hendak menghalangi sang serdadu. Gadis itu bisa melihat kedua kaki orang itu gemetar ketakutan, tapi ia bertahan di sana... melindungi Gendis.

"Kau... si pedagang beras?"

"Iya! Kau—kau belum membawa pulang berasnya!" Rasa takut terasa di setiap kata yang ia ucapkan, tapi ia tetap bergeming.

"Kenapa... kau di sini?"

"Aku ingin tahu ke mana kau membawa si Moli—kucing liar itu," katanya. "Aku tidak menyangka... kau harus menghadapi mo-monster-monster ini..."

"Pergilah... pergi dari sini..."

"Tidak!" jawab pemuda itu tegas. "Aku tidak mau meninggalkanmu! Mana bisa aku pergi sementara kau berjuang di sini sendirian?! Itu… menyakitkan…"

Sang serdadu Belanda membelalak, lalu menerjang. Si pemuda penjual beras memejamkan kedua matanya sambil tetap merentangkan kedua tangan. Ia bisa merasakan hawa dingin menjalar di tengkuknya. Mendadak ia merasakan ketakutan yang luar biasa. Bayangan gelap menyirat di benaknya. Sepi, sendiri, dalam dingin.

Namun, setitik kehangatan tiba-tiba berkobar di hatinya, menjauhkan ketakutan tersebut. Suara logam berdentang keras, dan ia masih hidup. Perlahan pemuda itu membuka matanya.

Gendis, apinya kembali berkobar, menahan serangan sang serdadu.

"Ketakutanmu, Banaspati sudah melahap semuanya," ucap gadis itu. Benar, entah kenapa sang pemuda tidak lagi ketakutan. Dan Gendis tidak pernah mengira kekuatan Banaspati juga bisa bekerja dengan cara seperti ini.

"Sekarang, kembalilah ke neraka!"

Gendis mengerahkan seluruh tenaganya yang membara untuk menyerang. Tiap sabetan kerambitnya mengeluarkan lidah api yang dahsyat. Sang serdadu Belanda terus menangkis, tapi senapannya perlahan meleleh.

Sadar dirinya kalah kuat, serdadu itu melompat mundur lalu menodongkan ujung senapan. Ia menarik pelatuk. Ledakan dingin bersemburat keluar.

Tapi kali ini api di kedua mata kaki Gendis menyala hebat, menepis hawa dingin tersebut. Lalu Gendis menyabetkan kedua kerambitnya. Tubuh makhluk itu pun tersayat dari ujung ke ujung, membentuk luka bersilangan di dadanya. Ia menjerit pilu, lalu tubuhnya musnah kembali ke kegelapan.

Gendis berdiri tegak, kemudian berseru, "Siapa lagi?!"

Makhluk-makhluk yang tersisa sama sekali tak beranjak dari tempatnya. Mereka hanya memperhatikan gadis itu. Akhirnya mereka memilih membiarkan tubuhnya dihisap oleh kegelapan kembali ke asalnya. Pertempuran malam ini pun berakhir.

Kekuatan Banaspati segera lenyap, lalu Gendis ambruk. Sang pemuda segera memapahnya, lalu membantunya duduk.

Sebenarnya sang pemuda masih bingung atas apa yang terjadi.

"Apa kau melakukan ini setiap malam?" tanyanya.

"Tidak setiap malam," jawab Gendis pelan. "Hanya saat pintu kedua alam terbuka."

"Dan kau selalu dinilai buruk oleh penduduk desa, padahal—"

"Itu resiko. Aku tak punya pilihan. Sebab, aku... membutuhkan rasa takut mereka. Aku sendiri tidak menyangka bisa melewati malam ini. Padahal... mungkin lebih baik kalau tadi aku mati saja—"

"Jangan bicara begitu!" seru sang pemuda mantap. "Kau pantas untuk tetap hidup!"

Gendis agak kaget mendengarnya. Ia bertanya, "Untuk apa? Untuk apa hidup di dunia yang membenciku?"

Sang pemuda tidak pernah tahu bahwa gadis muram yang selalu membeli beras di tokonya harus menanggung beban seperti ini... sendirian. Itu terlalu menyedihkan. Ia tak bisa menerimanya. Karena itulah, ia memutuskan,

"Aku akan jadi satu-satunya orang yang tidak membencimu!"

Gendis tersentak. Ia menatap wajah pemuda itu. Tatapannya penuh keyakinan. Yang diucapkannya barusan bukan basa-basi. Untuk pertama kali dalam hidup gadis itu, ada seseorang di luar keluarganya yang memperlakukannya sebagai manusia.

"Tapi... kau... kau juga seharusnya takut padaku..."

"Mana bisa?" lanjut sang pemuda. "Moli, adalah kucing liar yang selalu kuberi makan. Orang yang menangis untuknya, pasti memiliki hati yang lembut. Karena itu aku tahu, yang dikatakan penduduk desa tentangmu pasti tidak benar."

Entah kenapa kala itu Gendis tiba-tiba teringat kembali dengan ungkapan yang sering dikatakan oleh ibunya. Suatu kata-kata yang tidak akan lenyap dari dalam ingatan Gendis. Sebelum ibunya pergi menutup gerbang, dia pasti selalu mengatakan itu pada Gendis, tepat di depan mukanya sambil membelai rambutnya.

"Jika memilih kematian merupakan pilihan yang salah, maka jadikanlah itu sebagai keputusan yang benar."

Dulu Gendis memang belum mengerti dengan maksud perkataannya, tapi, sekarang dia sudah paham. Dia benar-benar telah sudah mengerti.

Gendis terbelalak. "Maaf," katanya, mulai terisak. "Aku tidak sengaja."

"Tidak apa, aku mengerti. Mulai sekarang kau tidak akan sendirian lagi."

Pemuda itu memeluk Gendis, membuat sang gadis mendapat perasaan aman yang sudah lama sekali tak ia rasakan. Akhirnya ia tak tahan lagi. Seluruh air mata yang selama ini tertahan pun tumpah seketika. Emosinya membuncah.

Berbeda dengan sosoknya saat bertarung, saat ini ia terlihat seperti seorang gadis yang rapuh. Dan sang pemuda tidak habis pikir bagaimana bisa gadis itu memiliki beban yang demikian berat. Rasanya, ia ingin melindungi gadis tersebut.

Setidaknya, ia bersumpah untuk tak meninggalkan Gendis sendirian.