webnovel

EDEN - Kisah Dunia Fana (Original)

EDEN — DEUS EX MACHINA Rama hanyalah seorang anak sekolah dasar biasa yang kini telah mengetahui rahasia-rahasia dunia, dan semua itu terjadi berkat sahabatnya, Liel, seorang anak yang mampu membuat keajaiban. Berkat itu, Rama juga mengenal banyak orang aneh. Ada anak yang mampu terbang tinggi di angkasa, juga seorang yang bersaudara dengan seekor naga, dan bahkan gadis kecil yang berkeliaran membawa pedang. Namun, setelah dua tahun menjalani kehidupan damai yang penuh dengan keajaiban, sesuatu yang tak terduga akhirnya terjadi, dan karenanya Rama berkali-kali hampir kehilangan nyawanya. Menara itu muncul di tengah dunia manusia. Lalu, bocah yang amat biasa itu pun akhirnya jatuh ke dalam medan perang... "Keajaiban itu sama seperti sebuah belati cantik yang terbuat dari permata murni. Tapi, kan, pada akhirnya itu tetaplah sebuah belati, bukan? Itu tajam... Dan mampu mengiris nadimu." —Liel ________________________________ BOOK 2: KISAH-KISAH MEREKA Ini adalah kumpulan kisah dari mereka yang pernah melalui suatu perjalanan yang penuh akan sihir dan keajaiban. Ada yang berakhir bahagia dan penuh tawa, dan ada pula cerita yang harus berakhir menyedihkan dan penuh akan tragedi. Semuanya itu tertuang di dalam tulisan ini. Mungkin ini adalah kisah tentang seorang anak yang bisa terbang di langit. Atau tentang dirinya yang hidup bersama dengan para monster. Atau kisah tentang seorang anak titisan para Dewa. Dan mungkin juga kisah seorang yang mampu menciptakan kehidupan dan kematian. Atau mungkin juga kisah tentang seorang anak yang tak akan mati oleh waktu. Inilah kisah dari mereka yang terpilih, juga mereka yang tak terlihat. “Entah orang itu jahat atau baik, setidaknya ada satu titik dalam hidupnya, di mana orang itu memiliki pengalaman hebat dan paling ajaib yang pernah terjadi padanya. Sebuah kisah magis yang menakjubkan.” —Anima Allefren, seorang yang hidup dari “EDEN : Tangisan, Impian & Hiduplah” #FANTASEAS_UNIVERSE #EDEN_SIDE_STORY

KEVIN_ESP · Fantasy
Not enough ratings
63 Chs

Senyuman Terakhir & Pilihan yang Salah

Langkah Afdan terhenti ketika dia sampai di depan pintu warung kopi andalannya yang terletak di suatu perempatan. Di bawah hujan yang amat deras, Afdan mematung menatap seorang gadis kecil yang duduk di pinggir jalan sambil berlindung dalam naungan payung mungil.

Apa yang harus dilakukannya? Tanya Afdan dalam hati.

Sudah tiga tahun lamanya Afdan menetap di Negeri Sakura ini, Jepang. Tapi malangnya nasib Afdan malah semakin memburuk seiring bergantinya hari. Warung kopi yang didirikannya sama sekali tidak memberikan untung apapun untuknya. Malahan, dia sendiri lebih senang pergi ke kafe lain. Isi dompetnya juga semakin menipis. Entah apa yang akan dilakukannya jika tabungannya sudah habis, tapi Afdan yakin kalau sang Pencipta pasti masih memiliki jalan untuk Afdan. Yah, dia adalah seorang penganut katolik yang taat.

Namun, semua itu tidak penting untuk saat ini.

Wajah gadis kecil gelandangan itu membuat Afdan terdiam seribu bahasa. Matanya memancarkan kehampaan yang mengerikan, dan raut mukanya kosong dan sepucat lembaran kertas, tapi, wajahnya—wajah anak itu, adalah wajah orang berkebangsaan Indonesia.

Afdan tidak tahu persis bagaimana bisa anak itu sampai di sini dan menjadi gelandangan, tapi dia percaya kalau itu bukan salahnya. Anak itu jelas-jelas tak berdosa.

Sungguh pemandangan yang menyakitkan untuk dilihat. Afdan ingin menolongnya, tapi situasinya juga sedang berada diujung tanduk.

Benar-benar tak adil dunia ini, pikir Afdan sambil melangkah masuk ke dalam kafe.

"Ya, dunia ini tidak adil, kan?" Ujar seseorang yang berdiri tepat di depan Afdan.

Afdan sangat terkejut saat menyadari kehadiran orang itu, atau tepatnya anak itu. Ini sangat aneh karena anak itu tahu apa yang tengah dipikirkan Afdan. Bahkan dia berdiri di situ seakan-akan dia memang menantikan kedatangannya.

Awalnya akal Afdan sempat menolak untuk mempercayai kejadian yang dialaminya saat ini, tapi sayangnya kenyataan berkata lain, karena Afdan sendiri sangat mengenal bocah ini. Anak yang berdiri di hadapannya saat ini adalah seorang yang sangat luar biasa. Seorang Pahlawan dengan kekuatan super yang amat mengagumkan.

Dia dikenal sebagai Odin sang Pembebas. Seorang anak bertubuh kecil dengan wajah polos, serta memiliki rambut biru gondrong yang rapi, dengan pupil mata yang sewarna emas cair. Di kalangan para Pahlawan, Odin adalah satu-satunya orang yang selalu berpakaian layaknya gelandangan, dan tak pernah mengenakan alas kaki. Padahal, dia sendiri adalah salah satu dari jejeran para Pahlawan terkuat yang ada di dunia ini. Tepatnya, dia berada di peringkat enam.

Yah, meski tampangnya hanya seperti seorang bocah yang aneh, namun kekuatan yang dimilikinya tidak main-main. Selain karena bisa bergerak sangat cepat, terbang, dan memiliki fisik yang super kuat, dia juga memiliki kekuatan yang berhubungan dengan lautan.

"Bisakah kau berhenti mengagumiku?" Kata anak itu sambil memandang jijik Afdan.

"Ah... maaf, maaf."

Ngomong-ngomong soal Pahlawan—ya, Pahlawan, mereka benar-benar ada dan nyata di dunia ini, dan semuanya bermula pada Tahun 2012 lalu, waktu di mana ada suatu pulau yang muncul tiba-tiba di angkasa, lalu tak lama setelah kemunculannya, pulau itu mulai runtuh dan lenyap tanpa jejak.

Kejadian itu benar-benar menghina akal sehat sampai habis.

Tak ada korban jiwa dari peristiwa itu, tapi para peneliti menyatakan bahwa ada sebuah energi yang tersebar ke seluruh dunia saat pulau itu hancur, dan orang-orang yang tercemar oleh energi itu akhirnya berakhir dengan memiliki suatu kekuatan yang aneh, layaknya para pahlawan super dalam cerita-cerita.

"Yah, nggak masalah, sih... " Kata Odin sambil berjalan menuju ke salah satu meja yang terletak di samping jendela.

Akan tetapi, suasana menjadi semakin canggung waktu Odin meminta Afdan untuk duduk bersamanya. Odin bahkan dengan lantang menyebut nama Afdan, hingga membuat seisi kafe menoleh ke arahnya dengan pandangan heran setengah mati.

Odin langsung angkat bicara begitu Afdan duduk.

"Hidup dan mati anak itu tergantung pada jawaban terakhirmu, Afdan." Kata Odin tiba-tiba. Dia memandang ke arah gadis kecil gelandangan yang duduk di pinggir jalan dari balik jendela. "Dia sudah terlalu menderita... "

"Eh...?" Afdan semakin keheranan. Matanya terbuka lebar. Dia sama sekali tidak mengerti dengan apa yang sebenarnya terjadi padanya. "A-Apa maksudmu!?" Bisik Afdan panik. Suara pemuda jangkung dan berkacamata itu bergetar karena syok.

"Apa yang kamu ketahui tentang anak itu, Afdan?" Tanya Odin. "Kau ada di sini kan waktu itu?"

Mata Afdan mulai bergetar karena saking paniknya, tapi dia berusaha untuk menjernihkan pikirannya demi menjawab pertanyaan Odin tanpa kesalahan apapun.

"Y-ya, aku memang ada di sini saat itu, karena para polisi mencari orang yang bisa berbahasa Indonesia, dan pemilik kafe ini juga kebetulan tahu kalau aku orang Indonesia." Afdan mulai menjelaskan dengan singkat. "Setahuku, anak itu muncul begitu saja di perempatan ini dalam keadaan tak sadarkan diri bulan desember tahun lalu. Dan ketika ia bangun dia mengaku kalau dia sama sekali tidak mengingat apa-apa. Ha-hanya itu saja yang aku tahu..."

Setelah selesai menjelaskan, tiba-tiba muncul sebuah bola air tepat di udara di samping Odin, dan di dalam bola air itu ada seekor ikan hidup.

"Apa kau tahu? Hidup ini ini bagaikan gula yang yang rasanya teramat sangat pahit, sedangkan kematian itu bagaikan sebuah batu besar yang keras namun memiliki cita rasa yang amat manis. Jadi, kau sadar kan? kalau dunia ini sangatlah menyedihkan... "

Perkataan Odin memiliki makna yang terkesan sangat gelap, tapi Afdan yang mengetahuinya memilih untuk bungkam. Apa maksudnya coba mengatakan hal sekelam itu?

"Y-yah... mungkin kau benar." Kata Afdan sambil memasang senyuman kecut. "Ngomong-ngomong, apa sebenarnya tujuanmu datang jauh-jauh dari Indonesia ke sini? Maksudku, nggak mungkin kan kau datang ke sini hanya untuk membahas soal anak itu?"

"Yah, memang itu tujuanku datang ke sini." Ungkap Odin yang terlihat ragu. "Tapi bisa dibilang juga bukan itu. Soalnya... tadi waktu aku sedang mengamati Gunung Bromo, tiba-tiba saja aku sangat ingin datang ke sini, tepat ke tempat ini. Sumpah, tadi itu benar-benar perasaan yang sangat aneh, dan aku sama sekali nggak bisa melawannya.."

"Hmm... itu aneh."

"Ngomong-ngomong, kamu pesan saja dulu apa yang kau mau pesan, baru aku akan jelaskan semuanya. Oh, dan tenang saja, aku yang akan membayarnya."

Gerakan Afdan jadi lambat karena kebingungan. Dia kemudian pergi memesan secangkir kopi yang diyakininya tidak seenak racikannya, dan juga omelet. Lalu, setelah beberapa menit, seorang pelayan akhirnya datang membawa pesanan Afdan. Namun, tubuh pelayan itu gemetaran karena melihat Odin.

"Begini." Odin mulai menjelaskan. "Sejak zaman kuno, kami Rakyat Dunia Lain percaya, kalau ada dua jenis manusia yang ada di dunia ini. Yang pertama adalah Mereka Yang Tak Terlihat. Mereka Yang Tak Terlihat adalah orang-orang yang memiliki kesempatan untuk menggenggam keajaiban dengan tangan mereka sendiri, atau mudahnya, mereka memiliki kekuatan untuk membuat mukjizat. Orang-orang yang sangat spesial di antara yang spesial."

"Rakyat Dunia Lain? Tunggu... Jadi kau bukan makhluk dari dunia ini?"

Afdan kehabisan kata-kata. Dia tidak habis pikir kalau dia akan mendengar kebenaran semacam itu sekarang. Jantungnya berdetak terlalu kencang, dan otaknya juga terus mengolah informasi-informasi dari Odin dengan cepat.

Masalah ini, sudah melenceng terlalu jauh dari kenyataan dunia ini.

Ini bukan lagi soal Pahlawan. Bahkan, dengan Odin yang menyatakan bahwa dirinya adalah Rakyat Dunia Lain, itu artinya dia sendiri bukanlah Pahlawan yang menerima kekuatan dari kejadian di tahun 2012 lalu.

"Yap, tapi itu tidak penting." Ujarnya sembari kembali menjelaskan. "Lalu, jenis manusia yang kedua adalah Mereka Yang Terpilih—Jenis manusia yang ini adalah orang-orang yang ditunjuk sang Pencipta untuk menjadi saksi mata atas keberadaan Mereka Yang Tak Terlihat. Dan lumrahnya, orang Yang Terpilih dan Yang Tak Terlihat adalah orang yang ditakdirkan untuk bertemu."

Afdan memetik sesuatu dari penjelasan Odin. Hatinya berdebar kencang dan senyuman terbentuk di bibirnya. "Jadi, kau mau bilang kalau aku adalah Yang Terpilih?"

"Ya, memang, tapi bukan itu intinya. Masalahnya di sini adalah orang Yang Tak Terlihat yang harus kau saksikan sebenarnya adalah gadis kecil yang di sana itu." Odin menunjuk ke arah gadis gelandangan di luar yang masih berlindung dari hujan menggunakan payung mungil. "Dia sudah melakukan kesalahan besar, padahal maksud dari tindakannya itu adalah demi kebaikan. Tapi... Tuhan selalu menentukan takdir dengan cara yang tidak biasa."

Saat memandang ke arah gadis itu, Afdan menyadari kalau mata gadis itu bergetar. Tapi, matanya bukan gemetar karena takut atau panik, melainkan karena pemandangan yang tengah dilihatnya kala itu.

Ada seorang pria di seberang jalan yang tengah berjalan bersama seorang bocah kecil yang pastinya adalah anaknya. Meski payung yang mereka gunakan tidak cukup lebar untuk melindungi mereka dari hujan, tapi mereka tampak bahagia saat itu. Si ayah dan sang Anak tertawa bersama di bawah hujan yang amat deras.

Pasti pemandangan itulah yang membuat gadis itu menangis.

"Jadi... "

Afdan merasa sangat kesakitan begitu melihat air mata gadis itu mengalir.

"Jadi, kau akan menjalani bagiannya agar kisah anak itu terselesaikan. Kau harus menjadi Yang Terpilih dan Yang Tak Terlihat di waktu yang sama." Ujar Odin sambil menuangkan sedikit tehnya ke atas bola air berisi ikan yang masih melayang di sampingnya.

"Tapi... apa maksudmu soal tadi? Tentang jawabanku yang akan menentukan hidup dan mati anak itu?"

"Ya, persis seperti itu. Nanti jawabanmu lah yang akan menentukan nasibnya. Menyelamatkannya, atau membiarkannya tetap duduk di perempatan itu untuk selamanya. Semua itu tergantung pada jawabanmu nanti." Jelas Odin. "Oh, dia itu makhluk abadi, lho."

"Nanti? Tapi kapan?"

Odin bertukar pandang dengan ikan yang mengambang sampingnya, lalu kemudian ikan itu melirik arloji yang muncul di depannya yang entah muncul dari mana. Sungguh, Afdan mulai sangat keheranan dengan keberadaan ikan itu.

"Sekarang, kisahmu untuk menjadi Yang Terpilih akan segera dimulai. Nah, cepat pegang tanganku erat-erat."

Setelah Afdan memegang tangan mungil Odin dengan sangat erat, Odin pun mengucapkan kata-kata yang aneh.

"Geminus, Triplici, Altum, Omnia, Lucendi, Ictus, dan... Lubuntur Defuid."

Diiringi dengan suara guntur yang membahana tiba-tiba saja muncul cahaya hijau yang amat menyilaukan dari langit-langit, membuat pandangan Afdan menjadi putih dan kemudian menjadi gelap, dan Afdan tidak tahu lagi apa yang sebenarnya terjadi.

Akan tetapi, setelah mengedipkan matanya hampir ratusan kali, akhirnya Afdan berhasil mendapatkan pandangannya kembali, dan dia pun sadar kalau dirinya sudah tidak berada di kafe lagi.

Mereka tiba di suatu gua yang ukurannya sangat luas seperti stadion lapangan sepak bola. Tapi, saat Afdan memandang berkeliling, Afdan juga mendapati ada hamparan rerumputan yang tumbuh di sana. Rerumputan itu berpendar memancarkan cahaya putih terang untuk menerangi gua ini.

Jauh di depan mereka ada satu gerbang baja seukuran gedung bertingkat lima yang masih terbuka, dan ada dua bongkah batu kristal menyala yang melayang di sisi kiri dan kanan gerbang itu.

"Selamat datang di lantai sembilan puluh sembilan dalam Menara Yenos." Jelas Odin sambil berjalan ke arah gerbang besar itu, sementara Afdan mengikut di belakang.

"Menara Yenos?"

"Ya, Menara Yenos adalah tempat di mana keturunan langsung para Dewa menjalani ujian mereka demi mendapatkan hak untuk menyandang gelar Dewa."

"Dewa...? Jadi, maksudmu Dewa itu nyata!?"

"Mungkin akan lebih baik kalau kau berhenti terkejut, soalnya lama-lama mataku jadi terasa aneh kalau melihat matamu selalu terbuka terlalu lebar... Tapi, seperti itulah. Dan gadis kecil itu... adalah salah satu dari mereka."

Afdan baru menyadari sesuatu. Nama Odin sendiri berasal dari nama dewa tertinggi dalam mitologi Nordik. Namun, Odin yang ini tidak memiliki kekuatan yang sama dengan Odin dalam legenda itu. Jadi, kenapa dia menggunakan nama Odin? Padahal kekuatan terkuat yang dimilikinya adalah mengendalikan lautan.

"Odin... " Afdan berbisik.

"Aku tahu apa yang kau pikirkan, Afdan." Anak berambut biru itu tersenyum kecil. "Tapi aku menggunakan nama Odin karena kebetulan dia adalah temanku."

"Teman—"

"Kumohon, berhentilah melebarkan matamu... " Tukas Odin kesal.

"Oh, iya, maaf." Kata Afdan sambil menggaruk-garuk belakang kepalanya dengan gelisah. "Lalu, bagaimana dengan gadis kecil itu?"

"Yah, seperti yang kukatakan, dia adalah Dewa." Odin tersenyum kecil. "Dia adalah satu-satunya Dewa Baru yang lahir dari manusia yang murni."

"Tunggu... maksudmu, awalnya dia itu manusia? Tapi dia berubah menjadi Dewa?"

"Yap, persis seperti itu. Demi menolong teman-temannya, dia rela menembus batasan tertinggi kekuatannya, dan berubah menjadi makhluk dewata. Namun, karena tubuh manusianya tak mampu menahan kekuatan itu, akhirnya dia berakhir menjadi seperti sekarang ini." Odin mendongak ke atas sedikit, seakan-akan dia tengah membayangkan masa lalunya. "Yah... pada akhirnya mereka semua tidak selamat... sungguh menyedihkan... "

Afdan melihat jelas air mata yang tertahan di pelupuk mata Odin. Entah apa yang sebenarnya tengah dibayangkan oleh anak itu sampai dia jadi seperti sekarang ini.

"Kau... mengenalnya, kan?" Tanya Afdan.

"Namanya... adalah Amalia, dulu kami itu teman seperjalanan, dan dia adalah manusia paling kuat yang pernah kutemui... Amalia memiliki kemampuan yang membuatnya berkuasa atas kekuatan itu sendiri. Yah, itulah sebabnya dia sangat tangguh sebagai seorang gadis."

"Maksudmu?"

"Oke, sudah cukup basa-basinya. Sekarang, masuklah ke sana, dan pancinglah makhluk itu ke sini, biar aku bisa memusnahkannya, lalu kau bisa mengambil benda yang kita butuhkan untuk menolong gadis itu." Jelas Odin.

"Tunggu, apa!? Kau menyuruhku masuk ke sana sendirian!? Kau lihat sendiri bagaimana besarnya gerbang ini! Apapun yang ada di dalam sana pasti seukuran dengan gerbang ini! Dan kau menyuruhku masuk ke sana sendirian!?"

"Yah... maka dari itu aku menyuruhmu untuk memancing makhluk itu ke tempatku... aku nggak bisa masuk ke sana karena aku memiliki nama Odin."

"Tapi... aku hanya manusia biasa..."

"Tenang saja, kau itu adalah Yang Terpilih. Selama takdir itu masih melekat padamu, maka kujamin kau tidak akan mati konyol, kok." Ujar anak berambut biru itu sambil membentuk senyuman penuh ketulusan di bibirnya.

"Yah... baiklah kalau begitu." Afdan dengan ragu mulai melangkah masuk melalui gerbang itu.

"Kau adalah Yang Terpilih sekaligus Yang Tak Terlihat! Jadi, camkan ini! saat semuanya selesai, maka kau tidak akan sama lagi!" Sahut Odin.

Afdan tidak memiliki alasan untuk menolak permintaan Odin. Mengingat dirinya juga sudah terlanjur mengetahui semua rahasia-rahasia itu. Akan tetapi, walau Afdan juga telah mengetahui tentang takdir hebat yang mengikat dirinya, entah kenapa dia tetap tak merasa senang atau apa. Dia hanya merasa ganjil.

Jika benar tindakannya saat ini bisa berguna bagi gadis malang itu, maka Afdan juga tidak akan keberatan. Toh, Afdan sendiri memang berniat untuk menolongnya sejak awal.

"Tapi... aku harap dia akan memberikanku sesuatu saat ini selesai... " Gumam Afdan.

Lalu, dalam perjalanannya menyusuri terowongan yang besar dan panjang itu, Afdan juga mendapati gambar-gambar aneh yang terukir rapi di sepanjang dinding gua.

Afdan tertawa pelan. "Rasanya kayak lagi di dunia game saja, deh."

Gambar itu tampaknya menceritakan tentang kisah suatu makhluk raksasa berkaki empat dengan bentuk tubuh yang tidak jelas, yang ditugaskan untuk menjaga sebuah gerbang. Tapi, di gambar selanjutnya dijelaskan kalau makhluk itu tiba-tiba saja malah menyerang gerbang itu, hingga akhirnya ada seseorang yang datang menghukum makhluk itu dan mengurungnya ke dalam menara ini.

Namun, saat tiba di ujung lorong itu, mata Afdan tiba-tiba terbuka lebar. Dia menyadari sesuatu, dan itu membuat wajahnya berubah menjadi sangat pucat.

Afdan memang tidak paham dengan maksud cerita pada gambar itu, tapi dia tadi jelas-jelas melihat bagaimana besar dan megahnya gambar makhluk itu, sementara gambar sosok orang yang mengusir makhluk itu saja tidak lebih besar dari pada kuku kaki makhluk itu.

Yah, itu kabar buruk. Benar-benar kabar yang sangat buruk.

Ruangan yang berada di depannya masih dipenuhi kegelapan, tapi Afdan tahu kalau dia melangkahkan kakinya lebih jauh lagi, pasti Afdan akan melihat wujud sebenarnya dari makhluk yang ada di gambar itu dengan mata kepalanya sendiri.

"Apa yang harus kulakukan... "

Namun, semuanya sudah terlambat.

"Eh...?"

Afdan sama sekali tidak tahu kalau suaranya ternyata malah membuat cahaya yang ada di tempat itu menjadi menyala.

Afdan berusaha menggerakkan lehernya yang kaku dan memandang lurus ke atas. Ada suatu bongkahan permata raksasa berbentuk bunga yang menempel pada langit-langit dan menyinari tempat ini dengan cahaya putih terang.

"Tuhan... tolong aku... " Bisik Afdan dengan suara gemetar.

Afdan menjerit dalam hati.

Dia sengaja mengarahkan pandangan matanya ke arah langit-langit karena Afdan sadar betul akan keberadaan sesosok makhluk yang tengah berdiri di depannya. Makhluk itu benar-benar sangat-sangat-sangat besar dan lebar layaknya sebuah gedung puluhan tingkat.

Perasaan yang mengerikan merasuk ke dalam diri Afdan. Nafasnya tertahan, jantungnya berdegup kencang, seluruh tubuhnya gemetar, dan keringatnya mengalir sangat deras sampai-sampai bajunya basah dalam sekejap mata.

Sekali lagi, Afdan berusaha untuk tidak menatap makhluk itu, dan mengarahkan pandangannya lurus ke depan melalui bagian bawah makhluk itu. Namun di saat itulah, Afdan melihat sesuatu yang lain. Sesuatu yang berhasil mengusir semua perasaan mengerikan dalam diri Afdan begitu saja hingga lenyap tanpa sisa.

"Gerbang... Emas?"

Pandangan Afdan tertuju pada gerbang itu—gerbang besar dan mengkilap yang tampaknya terbuat dari emas sungguhan. Apapun yang ada di balik gerbang itu, pastilah sesuatu yang sangat berharga.

Namun, makhluk raksasa berkaki empat, berbentuk abstrak dan berkulit abu-abu itu tiba-tiba saja mulai menjerit sangat keras hingga membuat dunia di sekitar Afdan terasa berguncang hebat.

"Apa-apaan!"

Afdan langsung mengambil langkah seribu begitu makhluk itu selesai menjerit, dan pada saat itu pula, keempat kaki makhluk itu mulai bergerak mengejar Afdan.

"Ini gila! ini sangat gila!"

Makhluk itu masih mengejar Afdan dari belakang. Yah, setidaknya, gerakan makhluk itu tidak terlalu cepat, jadi Afdan masih memiliki peluang untuk selamat. Tapi, Afdan tidak mampu membayangkan jika dirinya diinjak oleh makhluk itu. Entah akan jadi seperti apa bentuk tubuhnya.

"Cepat ke sini!"

Afdan mendengar sahutan Odin dari ujung terowongan, tapi dia tidak melihat sosok anak itu.

"Ah! Persetan!"

Afdan terus berlari, berlari, dan berlari, hingga akhirnya dia berhasil keluar dari terowongan. Nafasnya terengah-engah, dan matanya dengan liar mencari-cari keberadaan Odin.

"Sialan! kau dimana, Odin!?"

"Hey! Aku di sini!" Teriak Odin yang ternyata sedang berada di udara.

"Syukurlah—"

Namun, mata Afdan langsung terbuka sangat lebar waktu dia mendongak ke atas dan mendapati pemandangan yang amat mengerikan sekaligus menakjubkan.

Inilah wujud dari kekuatan sejati Odin sang Pembebas.

Odin melayang di udara dan tangan kanannya terangkat ke atas seolah dia sedang menahan sesuatu. Yah, dia memang sedang menahan sesuatu dengan lengan mungilnya, dan sesuatu itu adalah lautan. Di atas sana, air membentang dan menutupi seluruh langit-langit gua, dan sumber dari lautan itu adalah telapak tangan kanan Odin.

Odin mengacungkan tangan kirinya ke arah Afdan seraya mengucap kalimat-kalimat aneh, "Ictus! Flovugite Aer!"

"Loh!?" Tubuh Afdan terangkat ke udara begitu saja, lalu tiupan angin menggerakkannya dan mengantarkan pemuda itu ke sisi Odin. "A-aku melayang! Aku benar-benar terbang!"

"Kisah anak itu sebentar lagi akan selesai." Odin angkat bicara. "Dan waktumu untuk memberikan jawaban yang terakhir sudah dekat, jadi bersiaplah, Afdan."

"Yah... Tentu saja." Jawab Afdan santai.

Langkah kaki makhluk raksasa itu semakin dekat, dan suara bongkahan-bongkahan batu yang berjatuhan juga terdengar dari dalam terowongan. Entah makhluk apa itu sebenarnya, tapi warna tubuhnya sama seperti abu dari kayu bakar, dan postur tubuhnya juga tampak seperti hewan berkaki empat pada umumnya, namun jika dilihat sekilas, makhluk itu malah hampir sama seperti alien atau sejenis serangga.

"Kau tahu, Afdan? Kau itu manusia yang sangat unik." Ujar Odin tiba-tiba.

"Hah?"

"Kau adalah penerima, Afdan. Tapi, kau menerima segalanya dengan berlebihan, sampai-sampai kau tidak memikirkan dirimu sendiri. Sungguh, kau orang yang sangat aneh, dan manusia paling unik yang pernah kutemui."

"Eh... ngomong-ngomong, bisakah kau urus itu dulu?"

Diiringi suara teriakan yang melengking dan menggetarkan dunia, makhluk besar itu akhirnya berhasil keluar dari terowongan. Gerbangnya terhempas jauh karena hentakkan yang kuat, dan kedua kristal lampu itu melayang pergi menyelamatkan diri.

"Wah! Akhirnya kita bertemu lagi! sang Penjaga Gerbang Pohon Keabadian, Jerikho!" Bisik Odin sambil menatap tajam pada makhluk itu, dan begitu pula sebaliknya. Makhluk itu terlihat geram waktu menyadari keberadaan Odin.

Makhluk itu, Jerikho menjerit keras setelah mendengar ucapan Odin.

"Baiklah, aku tidak bisa berlama-lama lagi. Aku akan menyelesaikan ini sekarang!" Odin menurunkan tangan kanannya ke bawah, dan di saat yang bersamaan, lautan yang mengambang di langit-langit akhirnya jatuh dan membuat gua hampir penuh dengan air dalam sekejap.

Dari atas sana Afdan dan Odin menonton Jerikho yang tengah dilumat oleh lautan. Seakan sedang terjadi badai hebat di bawah sana, dan Jerikho yang terombang-ambing oleh ombak hanya bisa meraung tak karuan.

"Cepat kembali ke dalam sarang Jerikho dan buka gerbang emas itu!" Perintah Odin. "Sihir yang kuberikan padamu akan melindungimu dari lautan! Cepatlah!"

Afdan mengangguk mantap, kemudian ia menukik ke bawah dan terbang melesat melalui terowongan, hingga dia akhirnya tiba di depan gerbang emas itu.

Afdan memandang telapak tangannya dengan ragu-ragu, tapi, tekadnya sudah bulat. Dia akan menyelamatkan gadis itu apapun yang terjadi. Lalu setelah Afdan berhasil mengalahkan keraguannya, dia pun mendorong gerbang itu dengan kedua tangannya, dan pada saat itu pula, pancaran sinar yang amat terang yang berasal dari balik gerbang memaksa Afdan menutup matanya.

"Eh...?" Tetesan air yang jatuh di atas kepalanya membuat Afdan tersadar kembali.

Hujan.

Afdan memandang ke segala arah. Ternyata mereka sudah kembali ke perempatan itu, tepat di tengah jalan bersama Odin. Namun, Afdan merasa aneh. Dia seakan tidak bisa mendengar apa-apa. Dunia ini terasa sangat senyap sekarang.

Di sana ada banyak orang yang keheranan dengan kemunculan mereka berdua. Polisi mulai berdatangan, dan begitu pula orang-orang dari saluran berita. Kilatan-kilatan menyilaukan dari kamera timbul tiada henti hingga membuat mata Afdan menjadi sedikit perih.

"Kita sudah kembali...?" Tanya Afdan pada Odin yang masih berdiri di sampingnya.

"Ya." Jawab Odin singkat. "Semuanya sudah selesai... "

Dia mengarahkan pandangannya pada sesuatu yang ada tangannya; itu adalah buah apel yang seluruhnya berwarna emas. Tapi, anehnya Afdan sama sekali tidak tahu bagaimana ia mendapatkan apel ini. "Apa?"

"Gerbang emas itu adalah hadiah terakhir dari Menara Yenos. Gerbang itu akan memberikanmu sesuatu yang paling kau butuhkan dalam kehidupanmu. Entah itu uang, kekuatan, status, atau apapun. Tapi... apel ini adalah bentuk hadiah tertinggi dari gerbang itu. Dan jujur saja, aku bahkan masih nggak percaya kalau kau ternyata berhasil mendapatkan apel ini." Jelas Odin. "Sepertinya kau memang benar-benar ingin menyelamatkan gadis ini..." Odin menunduk memandang gadis berwajah kosong yang duduk di depan mereka.

Afdan sama sekali tidak menyadari keberadaan gadis malang itu.

"Baiklah, ini pertanyaan terakhirnya." Kata Odin dingin.

Afdan menjadi tegang, dan jantungnya berdegup kencang sekali lagi.

"Apa kau ingin menyelamatkan gadis ini, atau membiarkannya. Jika kau ingin menyelamatkannya, maka berikan apel itu padanya. Tapi, jika kau tidak ingin menolongnya, maka buanglah apel itu."

Pemikiran Afdan sempat berhenti sebentar setelah mendengar pertanyaan itu. Afdan tidak tahu apa-apa tentang apel ini. Jika dia memberikannya pada gadis itu, itu artinya dia akan selamat, tapi Afdan tidak tahu apa yang akan terjadi padanya. Namun, jika Afdan membuang apel itu, maka semua usahanya tadi akan sia-sia, dan nasib gadis ini tidak akan berubah.

"Kesempatanmu hanya satu. Tugasmu sebagai Yang Terpilih akan berakhir, tapi tugasmu untuk menggantikannya sebagai Yang Tak Terlihat akan ditentukan setelah kau menentukan pilihanmu. Jadi bagaimana?"

Afdan tersenyum kecil. Entah kenapa dia tiba-tiba ingin ketawa sekarang.

"Tentu saja aku akan menyelamatkannya." Afdan berlutut satu kaki di depan gadis itu dan membuat kilatan-kilatan kamera menjadi semakin heboh. Lalu dia pun mengulurkan apel itu pada si gadis. "Kamu lapar, nggak?"

Anak itu hanya mengangguk pelan untuk menanggapi pertanyaan Afdan.

"Apa kau mau apel ini? Aku juga nggak tahu rasanya sih, tapi aku jamin, rasanya pasti sangat enak." Afdan membentuk senyuman manis di bibirnya. Setelah sekian lama, untuk pertama kalinya, dia akhirnya bisa berbuat sesuatu untuk menolong gadis ini.

Lambat laun, tangan gadis kecil itu mulai bergerak, dan ia menggapai apel yang ada di tangan Afdan. Dengan satu tarikan nafas yang terdengar sangat berat dan menyakitkan, gadis itu pun menggigit apel itu dan mengunyahnya tanpa suara.

"Selamat, Afdan, kau mewarisi Bakat Jiwanya sebagai Tuan Atas Kekuatan." Kata Odin.

Di depan matanya sendiri, Afdan menyaksikan pemandangan yang sangat mengerikan itu dengan kedua matanya. Waktu itu, rasanya seperti ada seribu tombak yang menghujam tubuhnya di saat yang bersamaan.

Suatu rasa sakit yang tak terbayangkan.

Nafas Afdan tertahan, dia merasa tercekik, dan jantungnya seakan berhenti berdetak.

"Sampai jumpa... Amalia... Kawanku." Bisik Odin teramat sangat pelan sembari melangkah pergi meninggalkan Afdan yang mematung.

Gadis mungil itu—seseorang yang selama ini Afdan ingin selamatkan—perlahan mulai lenyap. Ia berubah menjadi debu-debu cahaya keemasam yang kemudian berhamburan ke langit malam dan lenyap tanpa sisa bersama dengan apel emas itu.

"Tidak... Tidak... TIDAK!!!"

Teriakan keputusasaan Afdan malam itu mengakhiri kisah gadis kecil itu.