webnovel

EDEN - Kisah Dunia Fana (Original)

EDEN — DEUS EX MACHINA Rama hanyalah seorang anak sekolah dasar biasa yang kini telah mengetahui rahasia-rahasia dunia, dan semua itu terjadi berkat sahabatnya, Liel, seorang anak yang mampu membuat keajaiban. Berkat itu, Rama juga mengenal banyak orang aneh. Ada anak yang mampu terbang tinggi di angkasa, juga seorang yang bersaudara dengan seekor naga, dan bahkan gadis kecil yang berkeliaran membawa pedang. Namun, setelah dua tahun menjalani kehidupan damai yang penuh dengan keajaiban, sesuatu yang tak terduga akhirnya terjadi, dan karenanya Rama berkali-kali hampir kehilangan nyawanya. Menara itu muncul di tengah dunia manusia. Lalu, bocah yang amat biasa itu pun akhirnya jatuh ke dalam medan perang... "Keajaiban itu sama seperti sebuah belati cantik yang terbuat dari permata murni. Tapi, kan, pada akhirnya itu tetaplah sebuah belati, bukan? Itu tajam... Dan mampu mengiris nadimu." —Liel ________________________________ BOOK 2: KISAH-KISAH MEREKA Ini adalah kumpulan kisah dari mereka yang pernah melalui suatu perjalanan yang penuh akan sihir dan keajaiban. Ada yang berakhir bahagia dan penuh tawa, dan ada pula cerita yang harus berakhir menyedihkan dan penuh akan tragedi. Semuanya itu tertuang di dalam tulisan ini. Mungkin ini adalah kisah tentang seorang anak yang bisa terbang di langit. Atau tentang dirinya yang hidup bersama dengan para monster. Atau kisah tentang seorang anak titisan para Dewa. Dan mungkin juga kisah seorang yang mampu menciptakan kehidupan dan kematian. Atau mungkin juga kisah tentang seorang anak yang tak akan mati oleh waktu. Inilah kisah dari mereka yang terpilih, juga mereka yang tak terlihat. “Entah orang itu jahat atau baik, setidaknya ada satu titik dalam hidupnya, di mana orang itu memiliki pengalaman hebat dan paling ajaib yang pernah terjadi padanya. Sebuah kisah magis yang menakjubkan.” —Anima Allefren, seorang yang hidup dari “EDEN : Tangisan, Impian & Hiduplah” #FANTASEAS_UNIVERSE #EDEN_SIDE_STORY

KEVIN_ESP · Fantasy
Not enough ratings
63 Chs

Bab III: Setidaknya Dia Tidak Sendirian

Satu mimpi terlintas.

Bocah itu mendapati dirinya berdiri sendirian di padang rumput hijau yang amat menakjubkan, sementara sepoy angin yang bertiup membuat rerumputan di dataran itu bergoyang dan terombang-ambing layaknya ombak lembut di lautan.

"Mungkin sendirian itu... Adalah kutukan."

Satu kata-kata terdengar entah dari mana bagaikan tiupan angin. Apakah itu suara sang Angin? Itu singkat tapi sangat jelas. Buram namun terasa dekat.

Akan tetapi, bocah itu tiba-tiba membuka kelopaknya dan tampaklah warna matanya yang keemasan dan mengkilap.

Mimpi itu memudar seketika. Dia ditarik kembali pada kenyataannya sendiri.

Hawa dingin di kamarnya yang gelap gulita kala itu membuat Aqil terbangun dari tidurnya dengan perasaan gelisah yang ganjil. Meski hanya sekejap, tapi mimpinya tadi itu anehnya malah terasa sangat nyata.

Di ruangan yang kecil itu, di atas ranjang yang telah menua, Aqil terbaring dalam balutan selimut tipis sambil menatap kosong lurus ke depan, atau tepatnya ke arah lemari pakaiannya yang telah reyot.

"Dingin..." Suara kecil keluar dari belahan bibirnya. Nafasnya pun mengepul di udara. "Seandainya yang tadi itu bukan mimpi, pasti enak banget... Aku ingin ke tempat seperti itu, cuma ada rumput dan angin dimana-mana."

Aqil mengambil nafas dalam lalu mendorong badannya untuk mengambil posisi duduk. Ada jendela di samping ranjangnya, tepat di atas lemari kecil yang dipenuhi tumpukkan buku pelajarannya.

Bocah itu bangkit dan berjalan menuju ke depan jendela itu. Jendelanya terbuka sebelah, dan dia bisa melihat pemandangan komplek perumahannya yang sepi senyap berbalut kegelapan.

Awalnya tidak ada siapapun di luar sana, tapi kesenyapan tiba-tiba langsung digantikan oleh suara adzan subuh dari masjid di kejauhan.

Namun, tak ada hal spesial apapun diluar sana. Pemandangan yang dilihatnya dari jendela itu selalu saja sama. Hampir tak ada perubahan apapun beberapa bulan belakangan ini.

Aqil mengalihkan pandangannya ke arah lemarinya. Dia meraih pintu lemari, membukanya, dan mengambil sebuah botol kecil bersinar merah yang disembunyikannya di antara pakaiannya.

Aqil sekali lagi mengambil nafas dalam seraya membuka tutup botolnya yang terbuat dari batu permata merah. Lalu setelah ia yakin, Aqil pun memanggil satu nama itu; "Keluarlah, Kitsunae."

Tiba-tiba saja, untaian benang-benang yang teebuat dari cahaya merah itu mulai keluar dari botol. Cahaya itu terus mengalir keluar dan kecantikkan botol itu pun memudar. Cahayanya berkumpul di udara dan perlahan-lahan mulai membentuk sosok seekor rubah mungil yang seukuran dengan kepala Aqil.

Makhluk itu bercahaya dan mengambang di udara, wujudnya anggun dan amat cantik, matanya berpendar biru, dan ia memiliki bulu putih bercorak kemerahan dan ekor yang menyerupai nyala api membara.

Kitsunae itu awalnya tampak kebingungan ketika melihat Aqil, dia juga mengeluarkan suara yang lucu. Kitsunae mungkin terkejut karena pemiliknya sudah berganti, tapi entahlah, makhluk itu terus melayang-layang mengitari Aqil seakan sedang menilai bocah itu.

Tapi setelah beberapa saat, Kitsunae akhirnya mengangguk dan mendarat di atas kepala Aqil. Mungkin tanda kalau ia tak keberatan.

Senyuman kecil terbentukuk di bibir bocah itu. Sebenarnya dia ingin mengelus Kitsunae, tapi rubah kecil itu kelihatan mengantuk.

"Yah, gak apa-apalah. Setidaknya aku enggak sendirian lagi di kamar." Aqil kembali berdiri di depan jendela, bersama dengan Kitsunae yang tidur di atas kepalanya.

Akan tetapi, Aqil di saat itu juga teringat lagi dengan mimpinya tadi. Ada suara wanita yang mengatakan; "Apakah sendirian itu, adalah kutukan?" Aqil membisikkan kalimat yang didengarnya dalam mimpi itu sepelan mungkin sambil menatap jari kelingkingnya yang putus.

"Kau tahu, nggak? Di dunia ini, ada banyak orang yang lebih memilih untuk menetap bersama-sama dalam kegelapan, dibanding hidup sendirian dalam terang, lho." Ucap seorang perempuan yang tiba-tiba muncul di jendela.

Jantung Aqil mendadak hampir berhentii ketika melihat gadis muda itu. Dia tersentak sedikit, tapi Aqil berusaha agar tidak membangunkan Kitsunae.

Gadis itu memiliki paras yang amat cantik–sungguh amat cantik. Wajahnya pun masih muda bak anak SMA. Namun rambutnya sangat aneh, warnanya putih, tapi itu bukan putih, atau tepatnya, warnanya mirip dengan uang perak lima ratus rupiah. Ya, rambutnya berwarna perak dan sepertinya kelewat halus. Sungguh gadis yang aneh.

"Aku masuk, ya." Kata gadis itu penuh semangat, lalu ia langsung memanjat jendela dengan susah payah.

"E-Eh?" Aqil keheranan. "Tunggu bentar! Kamu siapa, sih?"

Setelah gadis itu masuk ke kamar Aqil, wujudnya pun bisa dilihat sepenuhnya dari ujung kaki hingga ke ujung lehernya.

Gadis ini sepertinya, gelandangan.

Lupakan kepalanya, itu hanyalah aksesoris, karena jika dilihat dari leher sampai ke bawah, dia jelas saja seorang gembel; baju dan celana pendeknya sobek di sana sini dan penuh berbagai macam noda; dari noda biasa, sampai noda kuning yang familiar pun ada melekat pada pakaiannya, dan juga pada... Kulitnya.

"Ah, kau nggak masalah, kan, kalau aku masuk ke rumahmu?" Gadis itu bertanya sambil memandang berkeliling kamar Aqil.

"Nggak masalah, sih, kayaknya... Tapi kamu ini siapa, sih?" Aqil ragu-ragu. Masalahnya dia tidak kenal dengan gadis aneh ini, dan juga tidak nyaman dengan situasi yang amat mengganjil saat ini.

"Oh iya, namaku, One. Tapi kalau dalam bahasa indonesia artinya adalah, satu." Jelas gadis itu sambil membusungkan dada dan tersenyum lebar, hingga membuat gigi taringnya jadi nampak. "Aku, adalah, Yang, Terkuat." Ucapnya bangga.

"Hah?" Itu terdengar sangat bodoh di telinga Aqil. Nama gila macam apa lagi itu? "Satu? Yang Terkuat? Maksudmu apa, sih?"

"Kau punya koinku, kan?" Tanya gadis itu tiba-tiba, wajahnya juga berubah serius dan senyumnya lenyap seketika. "Aku bisa menciumnya bahkan dari Singapura." Dia menekankan. "Mana koinku?"

"Koin? Koin emas itu milikmu?" Aqil bertanya.

"Tentu saja, karena aku adalah Yang Terkuat. Jadi, mana koin itu?" Senyuman kecil muncul di bibirnya. "Kalau nggak kau kasih, kamu akan aku bunuh, lho."

Nyali Aqil seketika ciut ketika mendengar kata "bunuh" itu. Suasana menjadi tegang bukan main. Sungguh, mendengar kata itu membuat dia merasa seakan baru saja dilempar ke dalam jurang.

"Ta-Tapi, aku sudah menukarnya untuk rubah ini. Aku sudah nggak punya lagi, sumpah." Aqil menjelaskan dengan takut-takut. "Aku cuma dikasih satu koin aja."

"Kau menukarnya... Dengan seekor Kitsunae?" Rasa frustasi dan syok tergambar jelas pada wajah gadis itu. "Dasar sinting! Orang bodoh macam apa kamu ini!" Gadis itu tampak seperti akan meledak, namun dia seolah berusaha untuk menahan amarahnya. Jadi dia melampiaskannya dengan memukul dinding kamar Aqil.

"Eh... Tenang dulu, dong. Aku juga masih punya satu, kok." Kata Aqil sembari bergegas mengambil sebuah kotak kayi kecil dari bawah ranjangnya. "Tapi yang ini pemberian almarhum ayahku, sih. Cuma kalau kamu memang butuh, yah, bakalan kukasih, kok." Aqil mengulurkan kotak itu pada si gadis, dan ia langsung menyambarnya bagai singa kelaparan.

Benar-benar pemandangan yang luar biasa aneh. Kenapa gadis ini–One–bisa sampai pada keadaan seperti ini? Apa yang sebenarnya terjadi? Dunia macam apa yang dilihatnya? Ini terasa gila.

"Yes! Ini beneran kekuatanku! Ini kekuatan Kaisar Petir milikku!" Gadis itu bersorak dan mengangkat tinggi-tinggi koin emas mengkilap itu. Tampak pula ukiran berbentuk mahkota dan petir di permukaannya. "Akhirnya! Setelah sekian lama, akhirnya aku punya sesuatu untuk dipakai sebagai senjata! Yes!"

Namun, sorakkan One terhenti seketika ketika ia melihat pemandangan yang aneh pada tangan kanan Aqil. Tatapannya menjadi tajam dan menunjukkan keseriusan yang luar biasa.

"Jari kelingkingmu itu... Siapa yang memotongnya?" Tanya One dengan suara dingin yang terkesan mengancam.

"Eh? Dari mana kau tahu kalau jariku dipotong?" Aqil mengangkat tangan kanannya ke depan mukanya.

"Heh, benda-benda tajam macam pedang dan pisau itu sudah seperti bagian dari tubuhku sendiri. Aku bahkan lebih mengenal penyebab suatu luka dibanding mengenal tampang wajahku sendiri." Ungkap One, dan dia masih serius. "Apa yang terjadi?"

"Oh, ibuku memotongnya." Jawab Aqil spontan sambil menunjukkan tangannya pada One.

Tapi, suasana di kamar Aqil entah kenapa tiba-tiba saja menjadi lebij dingin dibanding sebelumnya, sampai-sampai membuatnya merinding.

"Apa...?" One bertanya dengan suara datar, namun wajahnya sangat kosong saat ini, dan jujur saja itu terlihat menyeramkan karena banyak alasan. Dia tampak seperti sedang menahan emosinya. Nafasnya naik turun dan tinjunya berkeras.

"O-Oh, tapi ini salahku, kok, soalnya aku udah ingkar janji." Ungkap Aqil buru-buru menambahkan.

One mengedarkan pandangannya mengelilingi kamar Aqil. Bau di kamar itu aneh; ada aroma harum dan sedikit bau busuk di saat yang bersamaan, dan barang-barang di situ juga kebanyakan sudah kuno dan tak layak pakai.

"Mau bagaimanapun keadaannya, itu tetap bukan kesalahanmu. Tak peduli apapun yang terjadi." Kata One tegas. Dia terlihat seakan berusaha untuk menahan amarahnya, kini tinjunya bergetar hebat. "Itu bukan salah seorang anak." Dia menekankan, rahangnya mengeras.

"Eh... Jadi begitu, ya?" Aqil nyengir sembari membelai dagu Kitsunae yang masih terlelap di kepalanya. "Tapi nggak masalah, kok. Kan aku emang udah ingkar janji pada ibuku, jadi, itu nggak masalah."

One sepertinya masih terlihat mendidih, tapi gadis itu terus menahan agar amarahnya tidak salah sasaran.

"Aqil." One tiba-tiba angkat bicara. "Semua orang memiliki hak mereka sendiri, dan itu termasuk kamu. Kita saling bertukar pandang seperti ini saja itu adalah bukti kalau kau juga memiliki hak. Jangan terus-terusan terbawa arus seperti kotoran, cobalah ungkapkan isi hatimu. Gunakan hak milikmu, karena itu adalah hidup."

"Tapi... Aku nggak ngerti..." Angin dingin bertiup dan masuk melalui jendela yang terbuka. Aqil selalu menyukai suasana di pagi buta, tapi sulit baginya untuk menyukai hawa dinginnya. Kenapa, ya? Dia bertanya-tanya sekarang.

"Ambil ini." One meletakkan sesuatu di atas laci di bawah jendela. Sebuah kalung perak mengkilap, dengan bandol yang berbentuk seperti anjing berkepala tiga? Aneh sekaligus menyeramkan kalau dipikir-pikir.

"Eh... Kalung apa itu?" Mata Aqil berbinar sedikit ketika menatap kalung itu. Ya, kalumg itu aneh, tapi tetap saja, itu memiliki hal yanh ajaib di dalamnya.

"Ini Kalung Serberus. Ambil ini sebagai pembayaran atas koin yang kau berikan." One tiba-tiba melompat keluar melewati jendela dengan mudahnya, dan kini dia berdiri di luar membelakangi Aqil.

"Loh, kamu mau kemana? Kenapa nggak nunggu sampai matahari terbit dulu?" Aqil memandang One melalui jendela. Rambut perak gadis itu benar-benar cantik, dan dia juga tampak kuat jika dilihat dari sisi belakang, tapi anehnya, ketika Aqil memperhatikan punggung gadis itu, Aqil merasa kalau punggungnya itu terlihat sangat kesepian.

Seolah-olah, One memiliki beban yang terlalu berat–teramat sangat berat–untuk dipikul oleh gadis seperti dirinya.

Rasanya sebenarnya agak sedih.

"Hanya ada tiga Kalung Serberus di dunia ini. Kalung itu bisa membuatmu berbicara dengan sisi buruk dan sisi baik yang ada dalam dirimu seperti kau berbicara dengan orang lain. Memang kedengarannya mengerikan, tapi seperti yang kukatakan tadi; bersama-sama dalam kegelapan itu bukanlah hal yang buruk." Tanpa menoleh ke belakang, gadis itu mulai melangkah maju meninggalkan jendela kamar Aqil–meninggalkan Aqil.

Angin pelan berhembus, tapi anehnya, itu tidak terasa dingin seperti biasanya, malahan itu hangat.

Aqil menurunkan Kitsunae dari kepalanya, dan menggendongnya seperti ia sedang menggensong anak bayi, sembari memandangi punggun One yang perlahan lenyap dimakan kegelapan dan jarak pandang.

"Rasanya... Memang agak sedih, ya?" Aqil bergumam sambil membelai punggung Kitsunae.

Mungkin, dunia ini memang selalu kejam. Faktanya, gadis itu sebenarnya sudah pernah mati sebelumnya, tapi dia muncul di hadapan Aqil, seakan-akan itu tidak pernah terjadi.

Gadis itu pasti sudah sangat tahu kalau dunia ini benar-benar jahat, tapi, ya, begitulah situasinya. Dia ingin hidup, dan itulah alasan mengapa ia memilih untuk terus melangkah.