webnovel

EDEN - Kisah Dunia Fana (Original)

EDEN — DEUS EX MACHINA Rama hanyalah seorang anak sekolah dasar biasa yang kini telah mengetahui rahasia-rahasia dunia, dan semua itu terjadi berkat sahabatnya, Liel, seorang anak yang mampu membuat keajaiban. Berkat itu, Rama juga mengenal banyak orang aneh. Ada anak yang mampu terbang tinggi di angkasa, juga seorang yang bersaudara dengan seekor naga, dan bahkan gadis kecil yang berkeliaran membawa pedang. Namun, setelah dua tahun menjalani kehidupan damai yang penuh dengan keajaiban, sesuatu yang tak terduga akhirnya terjadi, dan karenanya Rama berkali-kali hampir kehilangan nyawanya. Menara itu muncul di tengah dunia manusia. Lalu, bocah yang amat biasa itu pun akhirnya jatuh ke dalam medan perang... "Keajaiban itu sama seperti sebuah belati cantik yang terbuat dari permata murni. Tapi, kan, pada akhirnya itu tetaplah sebuah belati, bukan? Itu tajam... Dan mampu mengiris nadimu." —Liel ________________________________ BOOK 2: KISAH-KISAH MEREKA Ini adalah kumpulan kisah dari mereka yang pernah melalui suatu perjalanan yang penuh akan sihir dan keajaiban. Ada yang berakhir bahagia dan penuh tawa, dan ada pula cerita yang harus berakhir menyedihkan dan penuh akan tragedi. Semuanya itu tertuang di dalam tulisan ini. Mungkin ini adalah kisah tentang seorang anak yang bisa terbang di langit. Atau tentang dirinya yang hidup bersama dengan para monster. Atau kisah tentang seorang anak titisan para Dewa. Dan mungkin juga kisah seorang yang mampu menciptakan kehidupan dan kematian. Atau mungkin juga kisah tentang seorang anak yang tak akan mati oleh waktu. Inilah kisah dari mereka yang terpilih, juga mereka yang tak terlihat. “Entah orang itu jahat atau baik, setidaknya ada satu titik dalam hidupnya, di mana orang itu memiliki pengalaman hebat dan paling ajaib yang pernah terjadi padanya. Sebuah kisah magis yang menakjubkan.” —Anima Allefren, seorang yang hidup dari “EDEN : Tangisan, Impian & Hiduplah” #FANTASEAS_UNIVERSE #EDEN_SIDE_STORY

KEVIN_ESP · Fantasy
Not enough ratings
63 Chs

(Book I) 19: Ketidaktahuan & Pedang Perunggu

"Ketidaktahuan itu, adalah anugerah." Gota berbalik memandang Cika dan tersenyum lebar.

Cika sedikit terkejut mendengar kalimat yang melompat keluar dari dalam mulut bocah bermata emas itu, namun, Cika hanya membalas senyum Gota, dan memutuskan untuk terus melangkah.

Mereka pun sampai di ruang tamu, lalu Rama membuka pintu itu dan terlihatlah sosok seorang remaja kurus berambut pendek dan sedikit jabrik yang tengah berdiri di teras–tepat di hadapan mereka.

"Ah, kamu tepat waktu, Juar." Rama angkat bicara.

Meski begitu, Juar malah kelihatan heran sekarang. Dia awalnya memandang Rama, Cika, dan Gota bergantian, lalu memutar mata dan melirik ke kanan, kiri, dan atas.

"Jadi ini rumahmu?" Tanya remaja itu, dari suaranya saja dia seperti terdengar ragu.

"Eh... Iya." Rama keluar berjalan melewati Juar. "Nah, kamu masuk aja. Aku mau beli gorengan dulu." Ujar bocah itu sembari mengenakan sandalnya.

"Dan... Siapa lagi anak ini." Juar menatap kearah Gota.

"Namanya Golgota." Cika menjelaskan. "Dia nggak ingat apa-apa, tapi ya, dia sama seperti kita."

"Hah? Gimana?" Juar melepas sandalnya, lalu masuk ke dalam rumah.

"Ya, entahlah, kemarin malam tahu-tahu aku sudah ada di hutan. Begitu aja sih." Ungkap Gota sambil mengangkat bahu.

Juar cuma bisa memandang bocah lelaki bertampang aneh itu dengan tatapan kosong. "Tapi... Itu nggak masuk akal deh."

"Eh, Juar? Sebenarnya nggak ada gunanya kalau kita membicarakan soal ini... Lagian, kita sendiri aja nggak ada yang masuk akal." Cika mengingatkan sambil memasang wajah masam.

Juar menyipitkan matanya. Mau tak mau dia pun harus setuju pada perkataan Cika, toh kenyataannya memang seperti itu.

"Ya, nggak salah sih..." Alis Juar naik sebelah. "Yah, baiklah kalau begitu." Juar lalu duduk di sofa panjang yang menghadap langsung ke arah pintu keluar, sementara Gota duduk di sampingnya dan Cika duduk di sofa yang lain.

Mereka bertiga lalu tenggelam dalam diam sambil menunggu Rama kembali.

Tenang–tenang lagi.

"Hey, Cika." Suara Juar tiba-tiba memecah keheningan.

"Apa?" Cika bertukar pandang dengan Juar. Sekilas, remaja itu terlihat kebingungan sekali.

"Apa yang sebenarnya terjadi kemarin?" Juar bertanya. Keraguan terasa jelas dalam setiap kata-katanya.

Cika terkejut, karena ternyata, bukan hanya dia dan Rama saja yang merasakan keganjilan itu, rupanya, Juar pun mengalaminya.

"Aku... Apa yang aku lupakan? Tidak... Apakah aku memang melupakan sesuatu? Tapi... Apa?" Juar bergumam pelan sambil menatap dunia di luar pintu di depannya dengan kesal.

Gota pun tampak bingung dengan perbincangan itu. Dia terus menerus bergantian menatap antara Cika dan Juar.

"Hmm... Apa ya? Aku juga bingung..." Kata Cika sambil ikut melihat keluar.

Jalan raya di ujung halaman sana tampak sepi, hanya ada sedikit kendaraan yang lalu lalang, toh sekarang sudah maghrib, jadi kebanyakan warga sekitar tengah bersiap untuk sholat berjamaah di masjid.

Akan tetapi, tak sedikit juga yang lebih memilih menikmati senja mereka dengan berjalan-jalan santai sambil mengamati kehidupan di kota ini.

Sungguh pemandangan yang terlalu biasa untuk Cika.

"Mungkin... Lebih baik untuk tidak usah memikirkan itu, Juar." Cika menyarankan. Dia masih setengah melamun. "Aku tidak tahu apa yang sebenarnya kita lupakan... Kalau itu memang ada, ya kita tidak punya pilihan lain selain terus melangkah. Tapi, kalau misalnya tidak ada... Berarti kita memang harus terus maju. Begitu aja kan?"

Juar yang mendengar itu cuma bisa diam saja, walau jelas saja ia masih resah. Cika sendiri tahu bagaimana rasanya, itu benar-benar gatal, dan seolah tak bisa dijelaskan dengan bahasa manapun. Aneh.

"Apa yang sebenarnya sedang kalian bicarakan? Aku sama sekali nggak mengerti." Ujar Gota dengan mulut sedikit terbuka.

Cika dan Juar hanya bisa tersenyum melihat wajah konyol anak itu.

"Ah iya, siapa namamu tadi?" Tanya Juar.

"Golgota, tapi panggil aja aku Gota." Gota menjawab dengan penuh semangat.

"Gota, ya? Kalau aku Juar." Balas remaja itu sambil menyandarkan punggungnya ke sofa. "Jadi, apa kekuatanmu?"

"Eh?" Suara kecil itu serentak keluar dari mulut Cika dan Gota.

"Ah, Juar, sebenarnya nggak sopan kalau kita bertanya soal itu pada orang lain." Cika mengingatkan.

"Oh iya? Aku baru tahu." Juar masih tetap tersenyum simpul, mungkin ia tidak merasa melakukan kesalahan.

"Eh... aku juga nggak tahu soal itu sih Cika. Tapi, kalau kamu memang mau tahu sih, ya aku nggak masalah." Tiba-tiba saja ada banyak pedang perunggu berbentuk salib yang muncul di sekitar mereka. Dari yang kecil seperti pisau, sampai yang seukuran dengan pedang besar dua tangan, semuanya muncul dan mengambang di udara.

Juar tertegun melihat pemandangan itu, tapi Cika pun sama takjubnya.

"Aku bisa memanggil pedang seperti ini sebanyak yang aku mau, dan nggak akan habis." Gota tampak bangga saat menjelaskan itu. "Mau pedang yang besar kek, mau kecil kek, atau bahkan yang mini, aku bisa panggil semuanya sesukaku."

"Hey, hilangkan semua itu." Ujar Rama dari depan pintu sambil membawa sekantong plastik gorengan hangat.

Seketika itu juga, pedang-pedang Gota langsung melebur menjadi debu-debu cahaya dan lenyap tanpa sisa.

"Yes!" Gota bersorak kegirangan sambil menyambut plastik yang baru saja ditaruh Rama di atas meja di depan mereka. "Dari kemarin aku sudah penasaran dengan gorengan-gorengan ini." Jelas bocah itu sambil melahap satu bakwan.

"Makan, makan." Ajak Cika sembari mengambil sebiji tahu isi.

Disusul dengan Rama yang mengambil pisang goreng, dan Juar yang memilih donat bertabur gula halus.

"Ngomong-ngomong, apa rencanamu sekarang, Juar?" Rama bertanya sembari melahap gorengannya.

"Hmm? Ya, aku juga belum tahu. Entah kenapa sekarang aku jadi nggak tertarik lagi dengan keinginanku yang kemarin-kemarin. Sepertinya, saat ini aku cuma ingin menjalani hidup saja seperti biasa."

"Oh, baguslah kalau begitu." Rama menaikkan alis.

"Oh iya, kalian berdua nanti malam ikut denganku ya? Kita bakalan keliling kecamatan ini untuk membasmi Dosa, oke?" Ajak Cika.

"Siap, siap." Kata Juar santai. "Lagian, kita punya kekuatan kan? Berarti ini adalah tugas kita." Dia tersenyum kecil.

"Kalau aku gimana?" Tanya Gota dengan kening yang berkerut.

"Ah... Iya ya, kelupaan." Cika tertawa pelan. "Yah mungkin akan lebih baik kalau kamu ikut juga nanti. Tapi, kita nunggu Tante Merax dulu."

"Hah? Tante–apa?" Juar bertanya dengan wajah yang tampak sangat heran.

"Tante Merax, dia itu naga hitam." Ungkap Rama.

Juar langsung terbatuk saat mendengar itu, bahkan makanan yang tengah dikunyahnya tadi hampir menyembur keluar dari mulutnya.

"Naga!?" Remaja itu memekik dengan suara tertahan. Dia memandang Rama dan Cika bergantian, bahkan Gota juga, tapi mereka semua malah biasa-biasa saja. "Serius...?"

"Yah... Lama kelamaan, kamu juga nanti bakalan melihat semuanya kok." Jelas Cika acuh tak acuh.

"Yap, Cika benar." Rama menambahkan sama tak acuhnya. "Dulu-dulu, yang aku tahu soal keajaiban itu paling cuma tentang kilauan-kilauan, sihir, dan hal-hal yang bisa terjadi secara tiba-tiba. Tapi sekarang, aku bahkan sudah melihat naga, Dosa, dan bahkan entah apa lagi nanti."

Juar termenung sebentar setelah mendengar semua yang diucapkan oleh Rama. Toh, dia memang benar, Juar itu masih baru soal kenyataan dunia lain, begitu juga dengan Rama.

Ini hanya tinggal masalah waktu saja sampai mereka mengetahui kebenaran-kebenaran yang disembunyikan oleh dunia ini.

Namun, entah kenapa Cika kini merasa agak aneh. Maksudnya, tidak pernah terlintas dalam pikirannya, kalau dia akan menyaksikan kejadian seperti ini dengan matanya, dimana tepat di depannya, ada dua anak manusia, yang juga mampu melihat keajaiban dengan sangat jelas.

Berbeda dengan Cika yang lahir dengan keajaiban itu, dan tumbuh bersamanya, jadi baginya, kenyataan yang lain itu memanglah kenyataannya sendiri. Itu tidak pernah menjadi hal yang asing baginya. Untuk Cika, semua itu memang sudah seperti itu sejak awalnya.

Mata Cika menjadi kosong, sementara pikirannya berkecamuk tiada henti.

"Aneh juga kalau dipikir-pikir..." Bisik gadis kecil itu sembari menggigit donatnya.

Mereka berempat terus melahap gorengan yang telah dibeli oleh Rama; dari tahu isi, donat, bakwan, pisang goreng juga pisang molen.

Kantong plastik bening yang awalnya penuh pun lambat laun mulai menyisakan banyak ruang, dan tak lama kemudian, seluruh gorengan itu pun akhirnya habis dan cuma remah-remahnya saja yang tertinggal.

Angkasa telah bertukar menjadi gelap, lampu-lampu dari tiang jalanan serta rumah-rumah warga mulai menyala, dan suara adzan berkumandang dari segala arah. Tampak pula orang-orang yang sedang melangkahkan kaki menuju masjid untuk sholat berjamaah.

Cika sungguh merasa sedikit kesulitan untuk terbiasa dengan pemandangan itu.

Kilasan-kilasan pertempuran besar yang dilaluinya setahun lalu selalu terlintas di matanya setiap kali dia melihat momen-momen biasa seperti ini.

Gambaran tentang pedang yang mengiris dan suara dentingnya, suara teriakkan penuh amarah, jeritan kesakitan, dan raungan keputusasaan, juga ledakan-ledakan yang menggetarkan dan kehancuran yang melumat semuanya–semuanya itulah yang mewarnai benaknya sekarang ini.

Seakan-akan, ingatan-ingatan itu tengah berusaha menghalangi pandangan Cika.

"Jadi... Gimana?"

Suara Rama seketika menyadarkan Cika dari lamunannya.

"Kapan kita pergi berburu Dosa? Soalnya Tante Merax belum pulang dan sekarang sudah gelap."

Cika memeriksa jam di ponselnya. "Masih terlalu awal." Ia memberitahu. "Dosa-dosa itu memang tidak memiliki pikiran, tapi mereka juga tidak bodoh-bodoh banget. Mereka bergerak dalam kegelapan, mencari satu sama sama lain sambil berusaha untuk menemukan celah, tempat yang aman untuk muncul ke dunia."

"Ah... Seperti di lapangan kemarin ya?" Tanya Rama.

"Yap." Tanpa diduga, muncul sesosok makhluk hitam bermata merah di halaman rumah Rama. Hanya satu, dan Dosa itu tampaknya tengah mengincar salah seorang pria baya yang sedang berjalan menuju masjid. "Tapi, ada juga yang kayak begini. Aku nggak tahu dia ini udah lapar banget atau gimana, sampai nekat beraksi sendirian kayak begitu."

Namun, satu pedang perunggu berbentuk salib tiba-tiba muncul di depan Gota, dan meskipun bocah itu tak memberikan perintah apapun dan hanya duduk diam mengamati, pedang itu langsung melesat dengan sendirinya menembus kepala si Dosa.

Makhluk hitam itu seketika lebur menjadi debu-debu cahaya, dan begitu pula dengan pedang Gota. Dosa itu musnah dengan amat cepat bahkan sebelum itu sempat menyadarinya.

Tak ada yang membahas soal apa yang terjadi barusan. Baik Cika, Rama dan Juar kini termenung lagi, hanya Gota saja yang masih sibuk menjilati jari-jarinya yang dilumuri oleh gula putih halus–sisa-sisa dari donat tadi.

"Hey, Cika, apakah... Menurutmu semua ini benar?" Juar kembali menanyakan hal yang mengganjal di kepalanya.

"Apanya?"

"Tentang semua ini. Tentang aku, Rama, tentang kalian, dan tentang orang-orang..." Wajah Juar menjadi kosong tanpa ekspresi selagi ia mengungkapkan isi hatinya. "Coba lihat mereka–mereka bahkan nggak bisa melihat para Dosa itu, padahal udah di depan mata loh... Maksudku, bagaimana bisa mereka tidak mengetahuinya?"

"Yah, mau gimana lagi." Jawab Cika. "Kalau kau tanya aku, ya jawabanku sederhana; karena aku tahunya ya memang udah seperti itu." Jelasnya. "Terkadang, ada banyak hal aneh yang bisa terjadi tanpa kita sadari, dan bagiku itu masuk akal, tapi kalau kalian, kalian mungkin akan berpikir kalau itu terlalu aneh dan nggak bisa dicerna oleh akal sehat."

"Nah, makanya aku bilang kalau ketidaktahuan itu, adalah anugerah." Gota yang masih sibuk dengan sisa-sisa gula pasir di plastik tiba-tiba berkotek begitu saja.

"Ini... Hanyalah tentang bagaimana cara kalian melihatnya." Cika melanjutkan. "Kalian tahu? Sejak kemarin-kemarin, aku malah merasa aneh banget loh... Aku sekarang bisa duduk tenang seperti ini, makan gorengan dengan santai, dan bahkan melihat orang-orang menjalani keseharian mereka yang biasa-biasa saja. Melihat mereka berjalan-jalan menikmati senja, memasak, berdagang, melihat anak-anak bermain dan berlarian... Dan banyak lagi, tapi bagiku, semua itu benar-benar aneh dan sulit untuk akal sehatku, karena selama ini... Aku terus bertarung, bertarung, dan bertarung."

Ya, itu mengejutkan, bahkan untuk Cika. Padahal dia tidak pernah berniat untuk mengeluarkan uneg-unegnya.

"Nah, kalian sudah paham kan? Sejak awal, kita tidak punya pilihan lain, selain melangkah maju. Begitulah, takdir kita, takdir para Crystalian. Takdir Rakyat Dunia Lain." Cika mengakhiri penjelasannya.

Dan begitulah keadaannya.

Tak lama setelah itu, Tante Merax pun akhirnya pulang.

Juar agak terkejut saat melihat naga hitam yang tadinya terbang di angkasa, tiba-tiba berubah menjadi sesosok wanita cantik ketika mendarat di depan teras.

Perkenalan mereka juga berjalan tanpa adanya kendala berkepanjangan, walau bisa dibilang Juar tadi sempat takut sebenarnya.

Tante Merax juga membawa banyak bahan masakan. Dia langsung ke dapur untuk menyiapkan makan malam, dibantu oleh Cika dan juga Juar.

Semuanya berlalu begitu saja.

Saat malam sudah agak larut, Cika, Juar, Gota dan Rama pun mulai berkeliling untuk mencari para Dosa, dan ya, mereka menemukan banyak sekali, dan semuanya berhasil ditumpas hanya dengan sedikit usaha.

Sejauh ini tak ada hal luar biasa aneh yang terjadi lagi.

Mereka pulang ke rumah Rama, Juar pun ikut menginap, dan mereka kelima orang itu tidur bersama-sama di kamar Rama.

Ya, tak ada yang aneh, atau begitulah yang Cika inginkan.

Namun sayangnya, di malam keduanya di rumah Rama, ia malah kembali mendapati sosok bocah itu yang tengah berdiri termenung di depan jendela.

Rama cuma diam memandang keluar jendela, sama seperti kemarin.

Saat semua orang sudah terlelap, hanya bocah itu saja yang masih terjaga.

Dan entah kenapa, itu terlihat agak sedih sebenarnya.

Cika tidak tahu kenapa, hanya saja memang itulah yang dirasakannya saat melihat Rama kala itu.

Sedih.