webnovel

EDEN - Kisah Dunia Fana (Original)

EDEN — DEUS EX MACHINA Rama hanyalah seorang anak sekolah dasar biasa yang kini telah mengetahui rahasia-rahasia dunia, dan semua itu terjadi berkat sahabatnya, Liel, seorang anak yang mampu membuat keajaiban. Berkat itu, Rama juga mengenal banyak orang aneh. Ada anak yang mampu terbang tinggi di angkasa, juga seorang yang bersaudara dengan seekor naga, dan bahkan gadis kecil yang berkeliaran membawa pedang. Namun, setelah dua tahun menjalani kehidupan damai yang penuh dengan keajaiban, sesuatu yang tak terduga akhirnya terjadi, dan karenanya Rama berkali-kali hampir kehilangan nyawanya. Menara itu muncul di tengah dunia manusia. Lalu, bocah yang amat biasa itu pun akhirnya jatuh ke dalam medan perang... "Keajaiban itu sama seperti sebuah belati cantik yang terbuat dari permata murni. Tapi, kan, pada akhirnya itu tetaplah sebuah belati, bukan? Itu tajam... Dan mampu mengiris nadimu." —Liel ________________________________ BOOK 2: KISAH-KISAH MEREKA Ini adalah kumpulan kisah dari mereka yang pernah melalui suatu perjalanan yang penuh akan sihir dan keajaiban. Ada yang berakhir bahagia dan penuh tawa, dan ada pula cerita yang harus berakhir menyedihkan dan penuh akan tragedi. Semuanya itu tertuang di dalam tulisan ini. Mungkin ini adalah kisah tentang seorang anak yang bisa terbang di langit. Atau tentang dirinya yang hidup bersama dengan para monster. Atau kisah tentang seorang anak titisan para Dewa. Dan mungkin juga kisah seorang yang mampu menciptakan kehidupan dan kematian. Atau mungkin juga kisah tentang seorang anak yang tak akan mati oleh waktu. Inilah kisah dari mereka yang terpilih, juga mereka yang tak terlihat. “Entah orang itu jahat atau baik, setidaknya ada satu titik dalam hidupnya, di mana orang itu memiliki pengalaman hebat dan paling ajaib yang pernah terjadi padanya. Sebuah kisah magis yang menakjubkan.” —Anima Allefren, seorang yang hidup dari “EDEN : Tangisan, Impian & Hiduplah” #FANTASEAS_UNIVERSE #EDEN_SIDE_STORY

KEVIN_ESP · Fantasy
Not enough ratings
63 Chs

(Book I) 17: Sobekan di Angkasa & Awal Lainnya

"Keajaiban yang tidak terlihat oleh mata manusia adalah keajaiban. Namun, jika manusia bisa melihatnya, maka jawabannya antara keajaiban memanglah keajaiban, atau malah petaka." Ungkap si wanita naga sambil mengaduk tehnya.

Saat ini, si wanita naga, Rama, Cika, dan si anak lelaki misterius itu tengah berada di ruang makan dalam rumah Rama.

Sebelumnya, waktu mereka masih di luar, karena manusia di sekitar mereka bisa melihat anak aneh itu dengan mata mereka, maka mau tak mau, Rama akhirnya memutuskan untuk mengajak semua orang masuk ke dalam rumahnya.

"Ngomong-ngomong... Apa yang Tante katakan barusan itu benar-benar mengerikan, lho." Rama berkomentar seraya meminum teh.

Cika yang juga tengah mengesap tehnya hanya bisa menyipitkan mata sambil melirik Rama dengan heran dari balik cangkirnya.

"Yah Tante nggak punya alasan untuk menyangkalnya, soalnya itu kebenaran." Wanita naga itu tersenyum tipis sejenak, lalu mengamati cangkirnya. "Ngomong-ngomong, teh apel buatanmu ini enak juga, Nak."

"Itu hanya kulit apel yang dikeringkan... Nggak lebih dan nggak kurang." Jawab Rama acuh tak acuh. Mata bocah lelaki itu masih sayup seperti biasanya.

"Lalu, bagaimana denganmu, Nak?" Pertanyaan yang dilontarkan si wanita naga kali ini tertuju pada bocah misterius itu.

"Hmm... Aku nggak begitu ingat, Tante. Tadi sore, waktu aku sadar, tahu-tahu aku sudah ada di hutan yang nggak jauh dari sini." Jawab anak itu dengan santainya. Yang tentu saja membuat semua orang menjadi curiga.

"Begitu rupanya." Si wanita naga mengarahkan tatapan tajamnya pada anak itu, dan itu berlangsung cukup lama, hingga semenit kemudian, si wanita naga pun akhirnya menghela nafas dalam–lagi.

"Yah, dia tidak berbohong." Ia memberitahu. "Nggak ada yang bisa berbohong di depan Mata Naga."

Setelah mendengar hal itu, anak aneh itu pun malah tersenyum lebar. Senyumannya manis sebenarnya, tapi Rama tidak menyukainya entah kenapa.

Rama pun menyesap tehnya sekali lagi lalu menghela nafas pelan. Ia mengedarkan pandangan ke sekelilingnya. Aneh rasanya, karena sudah lama rumahnya tidak seramai ini.

Ya, kalau dipikir-pikir, akhir-akhir ini pun dia sudah tidak selalu sendirian seperti dulu.

Dia sudah bertemu banyak orang yang sama ajaibnya dengan dirinya. Walau kadang tidak selalu menyenangkan, tapi setidaknya banyak hal yang agak berubah sekarang.

Itu baik, pikir Rama.

Waktu terus berjalan, kehidupan mengalir, dan ketika teh di cangkir habis, mereka mengisinya lagi, dan ketika teh di teko habis, Rama pun membuatnya lagi. Toh, dia membuat banyak teh apel minggu lalu.

Setelah hampir setengah jam menikmati cangkir teh mereka masing-masing, si wanita naga akhirnya mulai bergerak. Ia tiba-tiba memeriksa kulkas, namun ketika melihat isinya dia cuma bisa menggeleng, mengingat tak ada apapun di kulkas selain minuman-minuman dingin Rama.

Wanita naga itu mengangkat roknya sedikit, dan terlihat pula sebuah tas cokelat kecil yang terikat di pahanya. Ia melepas tas itu, lalu memasukkan seluruh lengannya ke dalam tas dan menarik keluar beberapa kantong kertas yang berisikan sayuran, serta bahan-bahan masakan lain seperti daging, dan beberapa bumbu siap pakai.

Wanita naga itu memutuskan untuk memasak makan malam.

Dan begitulah, semuanya terjadi begitu saja, bahkan Cika yang awalnya takut dengan si wanita naga akhirnya mulai ikut membantunya menyiapkan makan malam, sementara Rama dan si anak misterius itu cuma bisa duduk melihat kedua gadis itu bergerak lihai di dapur.

"Ah, ngomong-ngomong, namaku adalah Meraxinia, tapi cukup panggil aku Tante Merax aja, ya." Wanita naga itu memberitahu saat ia sedang memotong daging. Ia memotong daging sapi itu tipis-tipis dengan sangat lihai malah.

"Oh, iya, aku juga." Anak tak diundang itu menyahut, sadar. "Kalau aku... Kalau nggak salah, namaku itu Golgota, tapi, panggil aku Gota aja, itu lebih gampang soalnya."

"Golgota? Nama itu, kok, kayak nggak asing, ya?" Rama bergumam pelan. "Nah, kalau aku Rama Wiranaga, panggil Rama aja. Dan dia Cika."

"Ah, hehe..." Cika merespon dengan senyuman canggung sambil memotong sayur kol.

"Jadi, gimana rencanamu selanjutnya, Tante?" Rama bertanya.

"Hmm... Apa kalian berdua tinggal disini sendiri?" Tanya Tante Merax. "Soalnya aku nggak merasakan keberadaan orang lain di rumah ini."

"Eh? Ini sebenarnya rumahnya Rama, Tante. Dia tinggal sendirian. Aku aja baru pertama kali ke sini." Ungkap Cika.

"Wah, tinggal sendiri?" Gota memandang Rama dengan kagum, yang mana itu terlihat sedikit menyebalkan.

"Ya, begitulah." Jawab Rama acuh tak acuh sambil memutar-mutar cangkirnya.

"Kalau boleh jujur, kamu keberatan nggak kalau Tante tinggal di sini sementara? Soalnya tempat tinggal Tante agak jauh, dan sepi..." Tante Merax sempat berhenti mengaduk isi pancinya sejenak. Ia termenung sesaat, dan sepersekian detik kemudian, wanita itu kembali lanjut mengaduk masakannya yang aromanya sangat harum itu. "Toh, kasus ini sepertinya bukan kasus biasa, mengingat dewan sampai meminta aku turun tangan seperti ini."

"Yah, aku nggak masalah, kok." Rama memandang wanita naga itu dan Cika bergantian. "Lagian ada banyak kamar kosong disini, tinggal pilih saja."

"Eh... Aku?" Gota angkat bicara lagi sambil tersenyum kecil.

"Ya..." Rama memandang heran anak itu. "Baiklah. Kamu juga nggak masalah. Soalnya kamu juga masih nggak ingat apa-apa, kan." Lalu, sesuatu terlintas di dalam benak Rama.

Sesuatu yang berhubungan dengan nama anak yang cuma mengenakan sehelai kain putih itu.

Golgota.

Rama sudah ingat, dan anak itu tahu dengan jelas tentang nama itu.

Waktu telah menandakan pukul 10 malam, dan akhirnya masakan Tante Merax dan Cika pun sudah tersaji di meja.

Lalu, dengan satu jentikkan jarinya, Tante Merax membuat piring-piring dan alat-alat makan berterbangan keluar dari lemari, dan semuanya mendarat dengan mulus di meja makan.

Sementara Rama, Cika, Gota, hanya melihat pemandangan itu sambil duduk tenang di kursi mereka.

"Nah, ayo makan." Kata Tante Merax sambil duduk di kursinya di sebelah Cika.

Rama memandangi semua menu di depannya satu per satu; Ada sup ayam, daging sapi tumis lada hitam, sayuran tumis yang tampak gurih, tempe tahu balado, serta telur dadar berukuran besar.

Sudah lama sejak terakhir kali rumah ini dipenuhi aroma harum makanan seperti ini, sampai mata Rama jadi berbinar-binar karena saking senangnya.

Rama, Cika dan Gota mulai mengisi piring mereka dengan nasi, lalu diikuti dengan lauk-pauknya, sedangkan Tante Merax hanya duduk diam dan memandangi panci sup ayam yang ada tepat di depannya.

"Oke, sekarang aku jadi makin penasaran." Tante Merax angkat bicara, meski begitu, ketiga bocah yang lain tetap tidak berhenti mengunyah. "Siapa... Orang yang sedang mengintai kita saat ini? Dia cukup kuat."

"Hah?" Mulut Rama, Cika, dan Gota seketika berhenti bergerak ketika mendengar kalimat Tante Merax yang terakhir.

Sedetik kemudian, terdengar suara ketukan dari arah pintu utama.

Semua orang tenggelam dalam diam, tapi Rama tiba-tiba bangkit dengan santainya, berjalan ke ruang tamu, dan membuka pintu itu.

Seorang pria bertubuh kekar, tegap, dan berpakaian serba hitam yang tampak mahal berdiri di teras, tepat di depan Rama sambil menatap Rama dengan tatapan yang mengancam.

"Maaf? Om ini siapa?" Tanya Rama, keningnya berkerut kesal. Pasalnya, caranya mengetuk pintu tadi bisa dibilang cukup kasar. Suaranya lantang sekali.

"Aku mencari seorang anak yang cuma mengenakan kain putih. Aku tahu dia ada di dalam." Suara pria itu pun terdengar tidak menyenangkan, membuat Rama semakin jengkel.

"Tapi–" Belum selesai Rama berkata-kata, pria itu langsung memotong seenak jidatnya.

"Aku tidak tahu kamu ini siapa, dan aku juga tidak mau peduli. Cukup serahkan anak itu sekarang juga. Aku sedang buru-buru, Nak." Ujar pria itu, melonjak.

"Baiklah, Om mulai membuatku jengkel." Rama melirik tangan kanannya untuk memeriksa kunci emas yang ada dalam genggamannya; Kunci Meteor. Lalu tanpa keraguan sedikitpun, Rama memasukkan kunci itu ke satu lubang kecil di udara tepat di depannya.

"Kau kurang ajar juga, Nak." Pria itu kini terlihat gusar, namun semuanya sudah terlambat.

"Yah, soalnya aku nggak suka diancam. Paling nggak suka." Rama menekankan sembari memutar kunci itu.

Disaat itu pula, dunia di sekitar mereka seketika bergetar hebat.

"Tunggu! Apa-apaan!?" Pria itu sontak sangat terkejut. Seluruh tubuhnya gemetaran dan tampak kaku, seolah-olah ada sesuatu yang menekan sekujur tubuhnya hingga ia tak bisa bergerak sama sekali. "Apa yang kau lakukan, anak sialan!?" Bahkan mengangkat kepalanya saja dia terlihat sangat kesusahan, atau mustahil malah.

"He-Hey! Apa yang terjadi, Rama!?" Cika, Gota dan Tante Merax muncul di belakang Rama, tapi meski begitu mereka tampak baik-baik saja.

Segalanya benar-benar bergejolak, seakan dunia ini akan runtuh, tapi tentu saja itu tidak akan terjadi. Toh, begitulah cara kerja kunci itu.

Akan tetapi, Tante Merax menyadari sesuatu yang lain. Ia segera mendongak ke atas menatap langit-langit ruang tamu, namun, Mata Naga jelas melihat lebih dari itu.

"Apa... Itu...?" Keringat dingin mengalir di wajah wanita naga itu yang kini terlihat sangat pucat.

Pria yang ada di depan Rama pun berusaha untuk melihat ke atas. Dia sungguh-sungguh berjuang untuk itu. Akan tetapi reaksinya pun sama saja. Matanya melotot setelah melihat apa yang ada di atas sana.

Di angkasa.

"Apa yang terjadi sama langitnya... Langitnya robek..." Tante Merax bergumam tanpa sadar.

"Hah!?" Gota dan Cika tersentak mendengar itu, membuat kedua bocah itu jadi panik luar biasa. "Bagaimana mungkin!?" Horor memenuhi wajah Cika.

"Hei! Hentikan ini sekarang juga!" Teriak pria itu yang matanya masih tertuju pada angkasa malam.

Ya, langit di atas sana memang terlihat robek, dan robekan itu semakin melebar dan membesar dari ujung utara ke ujung selatan, seakan-akan ada sesuatu yang berusaha untuk menembus langit itu.

Meskipun di celah yang terbuka itu hanya ada kegelapan saja–kegelapan yang amat pekat, tapi sesuatu sedang berusaha keluar dari lubang itu, perlahan tapi pasti.

Sesuatu yang mengerikan.

Malapetaka.

"Cepat hentikan!" Pria itu menjerit sekali lagi.

"Aku akan berhenti kok, asalkan kamu pergi dari sini." Jelas Rama yang yang masih tampak acuh tak acuh.

"Iya! Aku akan pergi! Jadi cepat hentikan itu sekarang juga!" Pria itu benar-benar dibuat panik karena keberadaan sobekan itu.

Memang belum ada petunjuk soal apa yang akan keluar dari sana, tapi semua orang sadar betul, bahwa akan lebih bagus kalau mereka tidak mengetahuinya.

"Ya, baiklah." Rama memutar kembali kunci itu, dan disaat yang bersamaan, sobekan yang menghiasi angkasa tadi perlahan menutup kembali, dan dunia pun berhenti bergejolak.

Pria itu akhirnya terbebas dari tekanan luar biasa tadi, namun seluruh pakaiannya basah oleh keringat, dan nafasnya terengah hebat. Wajahnya merah padam.

"Baiklah... Aku akan pergi sekarang..." Pria itu berusaha mengendalikan pernafasannya, namun kedua kakinya tampak seolah sudah tak bisa menopang dirinya.

"Siapa namamu, Nak?" Pria itu bertanya sambil menyeka air liurnya. Tatapan matanya bergerak menelisik tiga orang yang berdiri di belakang Rama, dan diantara mereka ada Golgota, orang yang dia cari.

"Rama Wiranaga." Kata bocah kurus itu sambil mengangkat Kunci Meteor ke depan wajahnya.

"Baiklah, Rama Wiranaga, biar aku peringatkan, ini tidak akan berakhir baik." Pria itu memberitahu. "Kami tidak akan membiarkan siapapun mengganggu. Jadi ingatlah."

"Wah... Om terdengar seperti penjahat di televisi." Ungkap Rama tak peduli. "Ya sudah, terserah Om saja kalau begitu. Lagian Om juga sudah tahu aku rumahku dimana kan?" Rama pun langsung menutup pintunya tanpa menunggu sampai pria itu pergi terlebih dahulu.

"A-Apa yang kau lakukan!?" Cika memekik heran sekaligus takut.

"Sudah, ah, mending kita lanjut makan saja." Rama berjalan melewati ketiga orang itu dan kembali ke ruang makan.

"Cika benar... Bukannya itu berbahaya? Membiarkan pria tadi begitu saja?" Gota angkat bicara.

"Tidak... Seharusnya ini tidak masalah." Ungkap Tante Merax. "Orang itu tidak akan berani datang kesini setelah semua yang terjadi barusan... Bahkan orang gila pun tidak akan berani..." Wania itu pun mulai melangkah menuju ke ruang makan, diikuti dengan Cika dan Gota dari belakang.

"Tunggu!" Cika berusaha mencari titik cerah untuk menenangkan dirinya sendiri. "Tante ini kaum Naga, kan? Memangnya Tante tidak mau melakukan sesuatu tentang yang barusan?"

"Tidak ada yang perlu dilakukan... Yang barusan terjadi itu hanyalah hasil dari keajaiban seseorang. Tapi... Siapa sebenarnya kamu, Golgota? Itu adalah nama dari bukit tempat dimana Yesus disalib." Tante Merax berkutat dengan pikirannya sendiri. "Tidak... Bukan kamu... Yang benar adalah, siapa Rama sebenarnya?"

"Siapa... Rama?" Kening Cika jadi semakin miring, dia makin kebingungan.

Memang dia pun belum lama mengenal Rama, tapi jujur, gadis kecil itu juga kini sudah berada pada titik dimana ia merasa kalau dirinya sudah tidak tahu apa-apa lagi.

Ia meraba gagang pedang usang yang tergantung di pinggangnya dengan gelisah.

Orang tuanya pergi terlalu cepat, jadi hanya sedikit saja yang telah ia pelajari sejauh ini. Kebanyakan hanyalah tentang hal-hal umum yang tentu saja diketahui semua Rakyat Dunia Lain tanpa terkecuali.

Tetapi, apa yang terjadi beberapa menit yang lalu itu, sama sekali bukanlah hal yang umum.

Apa yang telah diperbuat Rama tadi, itu terlalu jauh.

Sangat jauh.

Mereka kembali ke ruang makan, dan duduk di kursi masing-masing, lalu melanjutkan santapan mereka.

Satu-satunya yang makan dengan lahap hanyalah Rama seorang, disusul dengan Gota yang juga berusaha untuk tetap terlihat santai.

Tante Merax tampak masih tengah berpikir keras, tapi wanita itu sepertinya mencoba untuk tetap tenang. Ia menyendok nasi, mengambil lauk, dan mulai makan tanpa minat.

Namun, Cika masih tidak bisa menghilangkan kegelisahannya.

Semuanya, terjadi begitu saja.

"Om tadi sepertinya sedang nyariin kamu, Gota." Ungkap Rama setengah mengunyah.

"Ah? Entahlah, tadi waktu di hutan aku memang merasa kalau ada seseorang disana, tapi sepertinya niatnya buruk, makanya aku lari." Jelas Gota sambil menyendok banyak potongan daging sapi lada hitam ke mulutnya hingga hampir penuh.

Seusai makan malam, sesi memilih kamar pun dimulai.

Mereka melihat kamar di rumah Rama satu per satu. Dari kamar Rama yang terletak persis di dekat ruang makan, tiga kamar di ruang tengah, dan bahkan kamar yang ada di lantai dua.

Akan tetapi ujung-ujungnya, mereka semua malah tidur di kamar Rama.

Cika dan Tante Merax tidur berdua di atas ranjang, sementara Rama dan Gota di lantai beralaskan kasur lipat yang cukup tebal.

Meski begitu, bahkan saat jam sudah menandakan pukul 2 malam, Cika masih tak bisa tidur, sedangkan Tante Merax tampaknya tidur dengan nyenyak. Dan entah dari mana pula ia mendapatkan baju tidur itu.

"Hmm..." Cika bangun dari tempat tidur. Ia meraih cangkir yang berisikan air hangat di meja samping ranjang, lalu memandang ke seluruh penjuru kamar yang gelap itu.

Baru saja gadis itu berniat meminum air hangatnya, tapi betapa terkejutnya ketika ia mendapati Rama yang masih terjaga dan sedang berdiri di depan jendela yang masih terbuka.

Mata anak itu tampak berpendar, dan kali ini warnanya sudah bertukar menjadi perak.

Sungguh aneh sekali anak itu, pikir Cika.

"Apa yang harus ku lakukan dengan hidupku... Tuhan?"

Mata Cika melebar saat mendengar bisikan pelan yang keluar dari mulut Rama.

Anak itu jelas tengah termenung memikirkan sesuatu.

Hanya saja, Cika tidak menyangka kalau kalimat seperti itu akan keluar dari mulut anak lelaki itu.

Apa yang sebenarnya tengah ia pikirkan, sampai ia berkata begitu?

"Kau tahu, Tuhan? Aku ingin bahagia juga, lho. Sangat ingin." Rama bergumam lagi. "Tapi... Bagaimana?"

Cika hanya bisa terdiam. Perlahan ia meletakkan kembali cangkirnya, membaringkan kepalanya, dan menutup matanya rapat-rapat.

Gadis kecil itu tidak bisa memahami semuanya ini saat ini. Dia sadar akan hal itu. Namun, dia juga tahu, kalau ini hanyalah masalah waktu saja, sampai semuanya menjadi jelas.

Jujur, dia merasa takut setelah mendengar perkataan Rama barusan. Semua yang keluar dari mulut anak itu tadi, entah kenapa malah terdengar menyedihkan sebenarnya.

Ya, ini hanya masalah waktu saja, bukan?

Lalu, Cika pun terlelap.