1 Prolog

Malam menjelang dalam kesunyian alam yang mulai terasa senyap. Sebuah cahaya yang terang benderang semakin terlihat di luar maupun di dalam sebuah kerajaan yang diam membisu.

Menelisik semakin ke dalam, beberapa prajurit terlihat sedang berjaga di tempatnya masing-masing. Mereka semua tidak ada yang menyadari suara isak tangis dari kamar yang penuh ukiran cantik di pintunya itu. Begitu mata jeli memandang, terlihat seorang pria yang sudah tua terbaring lemah dengan napas yang terputus-putus.

"Kakek... hik hik hik," kata seorang gadis kecil memanggil pria tua yang hanya bisa menahan kesakitan dalam ajalnya.

"Putri, jangan menangis, Yang Mulia Raja akan sedih jika mendengarnya," kata seorang wanita yang duduk bersimpuh di samping anak itu.

"Istriku, cepatlah bawalah Sri Andini ke luar..." Seorang pria bertubuh tegap berkata dengan raut wajah yang tegang. Ambar Sari selaku bibi gadis kecil yang masih menangis itu menatap suaminya dan sang ayah secara bergantian. Wanita itu terdiam menatap tidak mengerti kepada Arta yang menjadi panglima perang kerajaan ini.

"Ke luar cepat, bawa dia tanpa menoleh sedikit pun ke belakang. Pergi jauh dari kerajaan ini, selamatkan diri kalian. Yang Mulia Raja sekarang...pasti sudah..."

Wanita itu menatap tidak percaya kepada ayahnya yang diam kaku di pembaringan. Air matanya pun tiada terasa ikut meleleh menuruni pipinya. "Tidak, bagaimana bisa saya meninggalkan kerajaan ini dan Anda?" kata sang istri menahan rasa sedih karena kemungkinan ada bahaya yang akan mendekati kerajaan ini.

"Tidak ada waktu, dan aku tidak bisa membiarkan Yang Mulia Raja seperti ini..." Arta berusaha memberikan pemahaman di nada suaranya yang mulai gusar kepada sang istri.

Telinga tajam yang dimiliki Ambar Sari bisa mendengar suara di luar sana yang mulai bergerak cepat. Tanpa terasa dia memeluk tubuh Andini yang masih menangisi kakeknya yang sudah tiada. Arta yang sudah menyadari ada sesuatu yang didengar istrinya pun bisa mengerti keadaan yang semakin genting. "Kalian berdua, dengarkan aku." Arta mendekati istri dan keponakannya. Kedua orang itu menatap Arta dengan perasaan takut dan sedih, "jaga dirimu dan keponakanmu, anggap dia seperti anakmu sendiri nantinya..." Mata Arta menatap Ambar Sari dan melirik Sri Andini yang masih tersedu.

Pria ini menelan ludah paksa untuk membiarkan istrinya pergi meninggalkannya. "Aku akan segera menyusulmu setelah berhasil menahan mereka. Jadilah orang biasa nantinya, sembunyikan jati diri kalian." Arta memeluk cepat dua orang yang disayanginya itu. Dia pun dengan segera membawa mereka ke sebuah jalan rahasia yang berada di kamar raja ini.

"Pergilah, ingat, jangan pernah mengungkapkan jati diri kalian. Lupakan yang di sini, hiduplah sebagai orang biasa." Mata pria itu menatap nanar, dia berusaha menahan kesedihan melihat kedua orang yang disayanginya akan pergi jauh darinya.

Ambar Sari mulai menangis sambil tidak rela melepaskan jemari suaminya yang terasa dingin. Andini yang masih kecil tidak mengerti ia akan dibawa kemana oleh bibinya.

"Kakek, Paman," teriak si kecil melihat sebuah dinding batu mulai tertutup dan memisahkan ia kepada dua pria itu.

Ambar Sari yang merasa berat hati dengan segera menarik cepat lengan mungil itu agar mereka pergi dari sini. "Bibi, Paman dan Kakek masih di sana."

Tangisan itu membuat Ambar tidak kuat mendengarnya. Dengan segera ia meraup anak tujuh tahun itu ke dalam gendongannya dengan berlari cepat. Seperti pesan suaminya, Ambar berlari tanpa melihat ke belakang lagi. Lama berlari mereka berdua memasuki sebuah hutan dengan napas yang terengah. Keringat dingin membasahi wajah cantik Ambar Sari yang terus menggandeng lengan keponakannya itu. Si Andini kecil yang tidak bisa mengimbangi larinya sudah berkali-kali terjatuh.

"Andini," Ambar berteriak kecil saat keponakannya hampir terperosok ke bawah. Si kecil yang berpegangan pada akar pohon itu sekuat tenaga berpegangan agar tak jatuh.

"Anakku." Ambar menarik kedua tangan Andini dengan perasaan yang takut kehilangan. Dengan sekuat tenaga ditarik tubuh keponakannya itu naik ke atas.

"Tidak apa-apa, Sayang??" tanya Ambar begitu Andini sudah berada dalam pelukkannya.

"Iya, Bibi," jawab Andini merasa ketakutan. Ia berusaha menahan sakit untuk menenangkan sang bibi yang panik sekali terhadap dirinya.

"Kita harus pergi sedikit lagi, yah?" Ambar menyemangati si kecil yang terlihat kepayahan.

"Iya." Meski Andini kurang tahu yang terjadi kepada mereka. Namun ia sedikit paham jika di kerajaannya itu ada sesuatu yang membahayakan nyawa mereka berdua.

Entah sudah berapa lama mereka berlari, keadaan yang begitu gelap membuat mata susah memandang sekitar. Ambar yang merasa ini sudah jauh dari kerajaannya diam sebentar untuk melihat Andini yang sudah begitu lelah.

"Kita istirahat di sini..." katanya melihat sekitar yang dipenuhi pepohonan yang tinggi dan besar. Jika dalam kondisi aman, tempat ini pasti akan terasa menyeramkan.

Kedua perempuan itu saling berpelukkan. Ambar yang tahu Andini sudah sangat lelah menyandarkan tubuh mereka berdua pada sebuah pohon yang terlihat begitu besarnya.

"Apa yang harus kami lakukan?" bisik Ambar dengan air mata yang jatuh membasahi kedua pipinya.

Ia teringat suaminya dan mendiang ayahnya. Raja yang baru wafat itu tidak memiliki seorang putra mahkota dari seorang ratu. Bahkan raja Jempati hanya memiliki dua anak dari ratunya. Yaitu dia dan ibu dari Sri Andini yang sudah meninggal dunia karena habis melahirkan.

Pastilah para selir ayahnya itu berkomplot dengan para pemberontak. Agar tahta istana bisa diberikan kepada keturunan mereka. Bahkan dalam hati Ambar mengutuk mereka semua itu, agar tidak mendapatkan ketenangan seumur hidupnya. Dia sendiri menikah hampir satu tahun lamanya, namun belum dikaruniai seorang anak. Dan sekarang yang tersisa hanya mereka berdua.

"Aduh malangnya..." bisik Ambar mengingat nasib mereka berdua.

"Bibi tidak tidur??" tanya Andini mendengar isak tangis dari Ambar yang sekarang sedang terburu menghapus air matanya.

"Ah iya, maaf bibi mengganggumu." Jemari Ambar mengelus rambut Andini penuh kasih sayang.

"Bibi, apa kita melakukan kesalahan? Sampai harus pergi meninggalkan kerajaan?" Gadis kecil itu mengutarakan pemikiran yang terlintas di benaknya.

Ambar yang mendengar hal itu terdiam sesaat. "Tidak, Anakku...kita tidak berbuat salah. Tapi karena keserakahan seseorang kita harus begini."

Andini diam mencoba memahami maksudnya, namun hasilnya ia tetap kurang mengerti. "Kapan kita akan kembali?"

Ambar hanya diam mendengar pertanyaan keponakannya, tangannya membawa Andini ke dalam pelukan semakin erat. Dia hanya bisa mengelus punggung keponakannya dalam perasaan sedih yang semakin menjadi.

"Sayang, jangan pernah menunjukkan bahwa kita anggota kerajaan. Jangan pernah menggunakan kekuatan kita."

Andini memeluk tubuh bibinya yang gemetar karena ketakutan. Sudah dipastikan seluruh penjaga istana akan mencari mereka. Bukan tanpa alasan kenapa raja sekarang bisa menjadi seorang penguasa yang ditakuti serta disegani. Karena klan mereka memiliki darah yang berbeda.

Dalam setiap kerajaan pasti ada suatu kekuatan yang melindunginya. Dan kerajaan jempati sudah dilindungi turun temurun oleh klan weishu, klan mereka. Seorang yang memiliki kekuatan dengan membuat takut musuh yang akan menyerang. Sebuah kekuatan yang di luar nalar manusia biasa.

Mereka akan pergi jauh dari kerajaan ini. Ambar bersumpah tidak mau kembali ke tempat yang seperti neraka itu. Lebih baik dia mati jika harus ke sana lagi.

Menjelang pagi, mereka berdua pergi menyebrangi sungai untuk ke desa sebelah. Ambar maupun Andini sudah melepas semua atribut kerajaan mereka agar orang sekitar tidak merasa curiga. Biarlah mereka hidup susah, daripada harus dihantui ketakutan di sekitar orang yang haus akan kekuasaan.

avataravatar