1 REDCON 1 - A New Assignment

"Gah!"

Aku segera terbangun dari tidur, mencoba untuk duduk sambil memegangi kepalaku.

Sial, mimpi buruk lagi? Bisakah satu malam saja tanpa mimpi buruk?!

Lalu dimana ini?

Aku merasakan telinga berdengung keras, seperti suara dengungan mesin pesawat terdengar dari dalam kabin. Aku mengucek mataku perlahan dan menatap sekeliling. Aku mengatur napas sejenak, mengelap keningku yang basah oleh keringat dingin lalu mengingat-ingat apa yang terjadi beberapa jam yang lalu.

Ah iya! Aku saat ini berada di dalam kabin sebuah pesawat angkut, terduduk di atas bangku sambil memeluk tas ransel berat berisi berbagai peralatan dan kebutuhan pribadiku.

Berada di dalam pesawat ini cukup dingin rasanya apalagi hanya aku saja yang berada di kabin. Seragam loreng Tipe 3-ku yang terbuat dari katun dan vinylon tak cukup untuk menahan rasa dingin.

Aku sempat mencoba tidur, tapi tidak berhasil. Kenapa? Karena si pilot kampret ini menyetel musik keras-keras.

Some folks are born made to wave the flag

Ooh, they're red, white and blue

And when the band plays "Hail to the chief"

Ooh, they point the cannon at you, Lord

It ain't me, it ain't me, I ain't no senator's son, son

It ain't me, it ain't me; I ain't no fortunate one, no

Aku cukup suka lagu rock era Perang Vietnam, itu mungkin salah satu genre yang paling aku sukai. Namun, jika diputar saat ingin tidur tetap saja membuat jengkel.

Selain itu, banyak pikiran yang membuatku sulit untuk tidur kembali. Pesawat hilang, senjata pemusnah masal, Joint Task Force, dan eksplorasi dunia lain.

Aku mengingat-ingat kembali penjelasan yang terjadi 6 bulan yang lalu, tepat seminggu setelah aku kembali dari Irak....

---------------------------------------

"Letnan, apa kamu tahu apa yang ada di dalam pesawat itu?"

"Tidak, pak!"

Jawab aku sambil duduk tegap, menatap salah satu dari 2 pria yang duduk di seberang meja rapat di depanku. Sosok pria paruh baya berperawakan tegap dan tinggi. Ia mengenakan seragam Flecktarn Type III, sama dengan yang aku kenakan saat ini. Perbedaannya hanya terdapat pada lambang pangkat yang terukir di bagian kerah.

Kolonel Hideo Suzuki. Ia merupakan komandan dari Special Forces Group, unit satuan khusus di bawah JGSDF atau Pasukan Bela Diri Darat Jepang. Unit satuan khusus paling elit di rantai komando JSDF. Unit tempat aku dan mendiang ayahku mengabdi.

Kedua bola mata coklat itu menatapku tajam, sebelum memberi jawaban yang mengejutkan. "Pesawat itu berisi rudal balistik antar benua berhulu ledak nuklir dan senjata kimia yang berhasil direbut pasukan khusus NATO dari fasilitas militer Korea Utara."

Mendengar hal itu, aku hanya bisa menahan diriku dari mengeluarkan ekspresi tertegun, memasang wajah datar.

Untuk informasi, kemarin siang pada 1232 jam Waktu Standar Jepang, ATC kehilangan kontak dengan sebuah pesawat kargo C-5 Galaxy yang dioperasikan oleh JASDF, Pasukan Bela Diri Udara Jepang. Penyebab pastinya belum diketahui dan masih dalam penyelidikan. Dan juga, ada laporan dari BMKG bahwa sempat terjadi badai magnet dan gerhana matahari di bagian Samudera Pasifik Utara.

Para atasan menganggap penyebab hilangnya pesawat itu adalah, karena pesawat itu ter-teleport ke dunia lain. Aku awalnya menganggap ini mungkin hanya candaan jelek, tapi 1 April masih jauh. Aku juga berpikir mungkin bapak Menteri atau siapapun Jendral menulis surat perintah sambil mabuk dan sehabis membaca Novel Ringan sampah ber-genre Isekai. Namun, ekspresi wajah Kolonel Suzuki tidak mengatakan demikian dan bahkan, mereka sampai menunjukan beberapa bukti keberadaan dunia itu. Membuatku semakin tidak percaya akan hal ini.

Tepat di meja di depanku, tergeletak beberapa laporan tentang komposisi gas yang membentuk atmosfer dunia itu -Nitrogen, Oksigen, dan Argon, serta satu gas tidak dikenal, yang menurut para ilmuwan tidak beracun- dan foto daratan dunia itu yang diambil dari drone -yang tampak terlihat mirip dengan bumi, hanya saja lebih hijau dan asri.

"Jika kita dapat mendapatkan senjata pemusnah massal itu, kita memiliki bukti bahwa Korea Utara berbahaya sehingga kita dapat mengubah isi Pasal 9 Konstitusi Jepang untuk meningkatkan kekuatan Pasukan Beladiri. Selain itu, anggota kita juga berada di pesawat. Tidak mungkin kita membiarkan mereka menghilang begitu saja."

Jadi begitu ya. Tujuan utama pemerintah hanya lah mengambil kembali pesawat itu. Hanya kami, para prajurit yang berpikir untuk mencari anggota, tidak, saudara kami yang hilang.

Pria asing berkacamata yang duduk di sebelah Kolonel Suzuki menyambung perkataannya.

"Belum lagi, kami juga menemukan semacam pemukiman disana. Atmosfernya juga memungkinkan ada kehidupan. Tapi kami tidak tahu kalau penduduk asli disana bersahabat atau tidak, jadi kami tidak akan mengambil resiko dengan mengirim orang sipil kesana."

Michael Matters. Direktur dan pendiri perusahaan militer swasta CROWS atau 'Conventional warfare, Recon Operation, and Weapon Specialist'. Perusahaan yang saat ini disewa oleh pemerintah Amerika -Mungkin CIA atau NSA, pikirku- untuk membantu menuntaskan misteri hilangnya pesawat itu.

Aku mengangguk perlahan. Aku mencoba tetap fokus pada percakapan, walaupun pikiranku terus menerka-nerka siapa orang ini dengan penasaran. Di balik rambut hitam pendek belah samping yang tampak polos dan setelan baju kantoran rapi yang ia kenakan, aku bisa melihat tatapan misterius di balik kacamata itu....

Tidak penting. Masalah kontra-intelijen dan pengecekan latar belakang orang ini, sudah ada yang mengatur, bukan tugasku. Aku melempar rasa penasaran itu keluar jendela dan bertanya.

"Bagaimana cara saya bisa kesana?"

"Kamu akan diterjunkan melalui pesawat Super Hercules yang sudah diimprovisasi pada ketinggian di atas tiga puluh lima ribu kaki. Sebuah kotak sebesar meja juga akan diterjunkan bersamamu. Kotak itu berisi barang yang akan kamu butuhkan seperti senjata, amunisi, makanan, pakaian, bahan medis, dan perlengkapan lainnya."

Kolonel Suzuki mengambil jeda sejenak sebelum melanjutkan.

"Misi utamamu adalah menemukan pesawat itu dan mengamankannya. Misi keduamu adalah mencari apakah ada survivor di pesawat itu dan memberi kami informasi tentang lingkungan di sana termasuk tanda kehidupan."

Aku membuka berkas file yang diberikan Michael dan mencari-cari informasi tentang pesawat itu. Kargo yang dibawanya...meriam howitzer, mortar, senjata buatan soviet dan cina seperti seri Kalashnikova, masker gas, baju CBRN , dan beberapa peluru mortar berbagai jenis.

Seluruh senjata yang dibawa pesawat itu mungkin dapat menghapus satu negara dunia ketiga dari peta. Bahaya jika tangan yang salah menemukannya duluan.

"Bagaimana cara saya menemukan pesawatnya?"

Kolonel memperlihatkan tiga jarinya.

"Ada 3 cara. Pertama, Flight Recorder pesawat itu ditempeli beacon. Kamu akan dilengkapi dengan sensor yang bukan hanya bisa mendeteksi detak jantung tapi juga bisa mendeteksi beacon itu. Sayangnya, benda itu masih prototipe dan tak bisa berfungsi sepenuhnya. Yang kedua, kamu diperbolehkan untuk bertanya pada warga lokal, jika memang ada orang disana. Tetapi, kamu tak boleh memberitahu siapa kamu, dengan siapa kamu bekerja, atau apa tujuanmu. Dan yang terakhir, kami akan membantu memberikan kalian informasi dari satelit intai, jika kami dapat."

Kolonel Suzuki bersedekap dan bersandar ke kursinya.

"Tentu saja, kamu tak akan ditugaskan sendirian. Kamu akan bekerjasama dengan dua operator lain dari DEVGRU Amerika Serikat dan SAS Inggris. Dengan kata lain, ini adalah operasi gabungan SFGp, DEVGRU, dan SAS."

Jadi aku akan bekerjasama dengan Linggis dan Mamarika? Hmm, baiklah.

"Tapi sayangnya, kami tak dapat mengirimkan bala bantuan apapun pada kalian karena kami belum menemukan cara untuk pergi ke sana tanpa bantuan gerhana matahari. Alasan lain karena operasi ini sangat rahasia, dan mengirimkan ranpur dan bantuan udara dapat membeberkan kerahasiaan. Jadi jika sesuatu terjadi, itu masalah kalian."

"Jadi berapa lama saya harus berada disana?"

"Kurasa beberapa bulan, atau mungkin setahun. Waktunya belum bisa kami perkirakan. Dan kalian hanya bisa menghubungi kami saat kami menghubungimu duluan."

Untuk terakhir kalinya, beliau bertanya.

"Ada yang kurang jelas?"

"Tidak pak!"

"Bagus." Kata Kolonel sambil tersenyum. "Kamu akan dilatih sampai seminggu sebelum gerhana matahari yang akan terjadi setahun kemudian. Kamu akan dikirim ke Airport Homey di Area Terbatas 4808N, Nevada untuk transportasi."

Mereka berdua berdiri dari kursi.

"Baiklah, kamu boleh pergi."

"Siap!"

Aku berdiri tegap dan memberi hormat pada mereka. Setelah mereka menurunkan tangan mereka, aku menunduk sesaat.

"Permisi!"

Aku perlahan berjalan keluar ruangan dengan langkah baris-berbaris.

-----------------------------------------------

"Telolet! Telolet! Ohayou morning, LT! Kita sudah sampai!"

Teriakan si pilot sialan itu membangunkan aku dari lamunan. Anjing. Bisakah dia teriak lebih keras supaya gendang telingaku hancur sekalian?!

Aku menutup Novel Ringan yang dari tadi terbuka di pangkuanku -Entah aku sudah membacanya atau belum- dan memasukannya .

Setelah pesawat mendarat sempurna dan berhenti di depan hangar, aku melangkah keluar pesawat.

Welcome to Restricted Area 4808 North, Nevada, United States of good old America, Government Property Class...yaah, cukup sebut saja Area 51, tempat mereka menyembunyikan Alien dan UFO yang jatuh beberapa tahun yang lalu. Entah itu benar atau tidak, aku ke sini hanya untuk transportasi, bukan untuk membuktikan teori conspirashit. Aku juga terlalu pintar untuk mempercayai hal itu. Bukan bermaksud sombong, tapi kakakku yang otaku sableng juga tidak percaya akan hal itu.

Aku melihat ke sekelilingku ada banyak tentara Amerika berjalan ke sana kemari. Beberapa di antara mereka menatapku saat lewat. Mungkin karena seragam loreng berwarna hijau yang aku kenakan, jauh berbeda dari seragam loreng gurun berwarna coklat yang mereka kenakan. Aku mungkin terlihat seperti semut merah yang nyasar di antara kawanan semut hitam.

Aku sempat ingin bertanya pada mereka dimana barak pasukan, sebelum seseorang memanggilku dari belakang.

"Hajime?"

Aku yakin itu orang Amerika dengan logat Texas, tapi bagaimana dia tahu nama depanku. Aku mengenal beberapa orang Amerika...tunggu dulu, jangan-jangan...

"Nate?"

Yang aku lihat adalah wajah seorang campuran kulit putih dan arab dengan rambut pirang dan sepasang mata safir. Seragam loreng gurun digital AOR1 yang ia kenakan berkibas ditiup angin beberapa kali. Ia tertegun menatapku sebelum menyeringai dan mendekapku erat.

"Hahahaha! Muh dawg! Lama nggak ketemu."

Ia lalu melepas pelukannya dan membolak-balikkan tubuhku.

"Kamu baik-baik saja? Masih utuh? Nggak ada lubang baru atau-"

"Tenang, aku baik-baik saja, kyōdai."

Nathaniel Pitts, si orang Amerika ini adalah teman masa kecilku semenjak SMP. Dulu dia sempat pindah ke Jepang saat ayahnya yang juga dari AL bertugas di Tokyo. Dia memang agak kasar, ceriwis, dan juga seorang Wibu. Walaupun begitu dia sangat pandai dan pintar bergaul. Aku pernah bertugas dengannya di Luminia saat ia masih di SEAL Team 4. Aku sedikit tak percaya dia bisa masuk DEVGRU. Pasalnya walau tidak sesableng kakakku -yang entah bagaimana bisa diterima di Harvard dan lulus cum laude-, ia berbicara dan berlagak seperti orang idiot.

"Kamu sama sekali nggak berubah selama 4 tahun!" Dengan wajah ceria Nate memerhatikan Patch di ranselku. "Kamu masih memakainya? Sidewinder memang punya selera yang bagus, ya?"

Setelah ia berkomentar, Nate menunduk sesaat mendeham menahan kesedihan. Aku menepuk pundaknya berkali-kali.

"Oh ya, Komandan kita sudah menunggu, ayo!" Ajak pemuda berambut pirang itu sambil merangkulku dari sebelah tangan.

Aku mengikuti dia berjalan ke arah barak.

"Dan jangan lupa, panggil aku 'Muse'! Okay?"

Hah, sudah kuduga dia tak akan mengganti nama sandinya. Dasar weeaboo. Sebenarnya aku sudah lupa dari mana aku mengenal istilah-istilah ejekan untuk 'otaku' di luar negeri. Entah itu dari situs-situs seperti 4chan, reddit, 9gag, atau mungkin dari pergaulan dengan pasukan asing saat aku masih di Luminia atau Timur Tengah. Sebagai anggota pasukan khusus yang pernah bertugas hampir di seluruh belahan dunia memberiku cukup banyak wawasan, baik dan buruk.

Setelah beberapa menit berjalan akhirnya kami sampai di barak. Yang namanya barak pasti penuh orang dan sesak. Lorong bangunan benar-benar tanpa dekorasi, hanya ada dinding polos berwarna abu-abu. Pintu-pintu kamar banyak yang sudah terkikis dimakan rayap. Pemandangan di sini membuat stress. Setidaknya Muse bilang kami mendapat ranjang tunggal, daripada para Marinir yang ditumpuk-tumpuk seperti sarden kukus.

Muse mengetuk pintu kamar yang akan kutinggali dan membukanya. Aku menatap kamar yang jauh dari kata megah. Barang-barang berserakan di atas dua dari tiga ranjang, termasuk manga H-doujin yang kutebak milik Muse. Satu-satunya sumber penyejuk hanyalah AC tua yang sudah karatan dan bocor.

"Hei Kapten, aku menemukan si Jap."

Seseorang yang berada di kamar itu berhenti mengasah pisaunya dan memerhatikan aku baik-baik dengan sepasang mata marun tersebut. Pria itu memakai seragam multicam tentara Kerajaan Inggris lengkap dengan baret coklat yang menutup rambut merahnya.

"Kau...Letnan Hajime 'Wand' Shinohara?"

"Iya pak!"

Ia tertawa kecil lalu mengulurkan tangannya.

"Kapten Isaac Brandon, Special Air Service, panggil aku Blade. Nice to meet you, Lieutenant."

Aku menjabat tangannya.

"It's a pleasure to meet you too, sir."

Setelah aku memperkenalkan diri, ia menyuruh kami untuk mendekati.

"Dunia tempat kita mendarat adalah dunia yang sangat asing. Aku tidak tahu apa yang akan menunggu kita di sana, jadi tingkatkan kewaspadaan kalian. Selain itu, ada juga kemungkinan kita akan terpisah karena berbagai hal. Jadi, kita akan membuat countersign yang akan berubah setiap saat."

Setelah kami mencatat countersign yang ia sebutkan, Blade menepuk tangannya.

"Cukup sekian untuk sekarang, beristirahatlah anak-anak."

Setelah briefing singkat itu, aku merapikan barang-barangku dan berbaring di atas kasur untuk sekedar istirahat.

avataravatar
Next chapter