1 Kepedihan Dalam Hidup

"Aku sungguh mencintaimu, Ken Dedes. Tetaplah bersamaku, aku akan pastikan Tunggul Ametung tidak akan bisa membuatmu menderita lagi." Pria gagah di depanku memeluk erat tubuhku seolah tidak ingin melepas kepergianku yang harus kembali menjadi istri Tunggul Ametung.

"Cut! Yak! Akting kalian luar biasa," ucap Bu Widya sambil berjalan ke arahku. Wanita bertubuh langsing dan berambut pendek itu memelukku erat sambil terus melontarkan pujian soal keserasian antara aku dan Dewa yang memerankan tokoh Ken Arok.

Ya, ini adalah latihan untuk pementasan drama. Bukan pementasan biasa, tetapi akan ada hadiah bagi pementasan terbaik. Hadiahnya cukup besar, dua puluh lima juta untuk pementasan terbaik.

Sebagai hadiah karena latihan hari ini berjalan dengan sangat baik, Bu Widya mengajak aku dan teman-teman yang lain untuk makan siang di warteg favorit wanita itu.

Sorak gembira terdengar dari beberapa temanku, mereka tampak sangat antusias dengan ajakan guru yang selalu melatih kemampuan akting.

Saat bersiap untuk pulang, dering ponsel menggangguku. Rupanya dari Tante Gina. Mau apa tanteku ini menelepon? Biasanya tidak pernah.

Kuterima panggilan dari wanita yang merupakan adik ayahku itu. Tanganku gemetaran, dada terasa sesak dan waktu seolah berhenti saat Tante Gina mengatakan alasannya meneleponku. Aku merasa tidak kuat berdiri, air mata mengalir bersamaan dengan kesedihan yang kurasakan.

"Sekar!" Teriak keras dari Dewa saat aku jatuh, yang aku rasakan saat ini dunia terasa gelap. Tidak ada cahaya yang menerangi jalanku. "Sekar, ada apa?" Dewa terus menggoyangkan tubuhku yang terasa sangat lemas dan sama sekali tidak ada daya untuk berdiri.

Aku memeluk pria yang tidak lain adalah kekasihku itu. Aku memeluknya sangat erat. Berusaha mengatakan apa yang terjadi. Namun mulut seperti terkunci dan air mata saja yang keluar.

"Sekar, katakan ada apa? Lihatlah, teman-temanmu yang lain mengkhawatirkan dirimu," kata Bu Widya sambil mengusap air mataku.

"A-ayahku meninggal."

Semua orang tampak sedih seperti aku. Mereka berusaha menguatkan aku yang sekarang menjadi gadis yatim piatu. Aku tidak pernah membayangkan Ayah akan pergi seperti ini. Walau sakit-sakitan, tetapi Ayah terlihat sehat, bahkan saat aku akan berangkat kuliah pagi tadi, Ayah masih tersenyum menunjukan kesehatannya yang berangsur membaik.

"Sekar, ayo berdiri. Aku antar kau pulang." Dewa membantuku berdiri, menghapus air mata dan menuntunku ke mobil untuk mengantarkanku pulang.

Sepanjang jalan, aku hanya bisa menangisi kepergian Ayah. Aku merasa duniaku tidak akan sama lagi mulai saat ini. Ayah adalah orang yang paling menyemangatiku setelah Ibu pergi untuk selamanya tujuh tahun lalu. Ayah yang selalu ada di sampingku, menghapus air mata jika aku merasa sedih dan Ayah juga selalu menghibur setiap aku terlihat sedih.

Sekarang, siapa lagi yang akan melakukan semua hal itu?

***

Pemakaman Ayah diurus oleh Tante Gina. Aku tidak bisa melakukan apapun kecuali duduk sambil memeluk foto Ayah karena kakiku terasa sangat lemas, bahkan kata beberapa orang aku sempat pingsan beberapa kali.

Aku sendiri tidak menyadari hal itu, hanya saja rasanya hidupku sangat berat sekarang. Tidak ada lagi tempat mencurahkan semua hal yang terjadi.

"Sekar, pemakaman sudah selesai dan ...." Tante Gina menghentikan ucapannya. Aku menatap fokus adik Ayah itu. Aku mencoba mendengarkan apa yang akan Tante Gina ucapkan. "Sekar," lanjutnya. Wanita itu menatapku. Namun, kali ini aku merasa tatapannya sangat tidak ramah padaku.

Apa sebenarnya yang akan Tante Gina ucapkan? Kenapa hatiku mendadak cemas?

"Sekar, tante tahu ini masih dalam suasana berkabung. Ayahmu saja baru dimakamkan, tapi tante rasa sudah terlalu lama tante diam." Tante Gina mencari sesuatu dalam tasnya. Ia sangat fokus mencari, sepertinya barang itu sangat penting.

Mata Tante Gina fokus pada dua lembar kertas yang ia temukan. Gurat senyum membuatku bertanya-tanya dalam hati apa yang sebenarnya akan dibahas oleh Tante Gina.

"Ini salinan surat wasiat dari kakekmu. Baca dan pahami." Tante Gina memberikan dua lembar kertas yang menjadi fokus wanita itu tadi.

Kubaca dengan seksama, isinya adalah pembagian hak tentang rumah yang aku tempati ini. Di dalam surat wasiat tertera dengan jelas bahwa Kakek hanya memiliki rumah ini sebagai warisan dan pembagian hak atas rumah ini sebesar tujuh puluh persen dan tiga puluh persen. Tujuh puluh untuk Ayah dan tiga puluh untuk Tante Gina.

"Maksudnya apa ini, Tante?" Pertanyaanku memunculkan senyum lagi di wajah Tante Gina.

"Sudah jelas, kan? Ada tiga puluh persen bagian tante. Tante sedang butuh uang, jadi tante minta hak tante. Terserah, mau jual rumah ini, atau kamu mau cari uang untuk mengganti hak tante di rumah ini."

Seketika rasanya hatiku remuk untuk kesekian kali. Hari pemakaman belum berganti, tetapi Tante Gina sudah membicarakan soal haknya yang selama ini dikelola oleh Ayah. Aku tidak mengerti apa yang sebenarnya dipikirkan oleh tanteku itu. Dia adalah seorang adik tetapi sama sekali tidak terlihat kesedihan di wajahnya saat kehilangan kakaknya.

"Tante ... maaf, tapi boleh beri aku waktu. Setidaknya sampai akhir bulan, mungkin aku bisa dapat pinjaman." Aku mencoba memohon dengan kata, tidak ada hal lain yang bisa dilakukan kecuali mencari pinjaman. Namun, hal itupun butuh waktu.

"Akhir bulan terlalu lama, Sekar. Tante sangat membutuhkan uang itu. Begini, tante kasih waktu empat hari. Untuk saat ini tante butuh dua puluh lima juta. Jadi, carikan uang itu. Tante akan kembali lagi ke sini empat hari lagi."

Belum sempat berucap apa-apa lagi, Tante Gina berlalu pergi seolah tidak peduli dengan perasaanku. Aku sedang berduka, tetapi kenapa Tante Gina seolah tidak peduli dengan hal itu. Bukankah dia juga keluargaku? Lalu kenapa dia bersikap tidak peduli seperti itu, bahkan dia memintaku mencari uang padahal aku masih berduka.

Air mataku berlinang, sangat erat aku memeluk foto Ayah. Aku tidak tahu harus berbicara dengan siapa lagi. Aku harus cari uang kemana? Meminjam di bank pun butuh proses.

Saat memikirkan dua puluh lima juta, terbesit tentang pementasan kisah Ken Dedes dan Ken Arok. Aku baru ingat bahwa hadiah pementasan terbaik adalah dua puluh lima juta. Acara itu berlangsung lusa, jika aku memenangkannya, maka aku bisa meminta teman-teman meminjamkan bagian mereka. Ya, uang itu bisa aku berikan pada Tante Gina.

Aku akan pergi ke kampus besok. Aku akan berlatih, walau masih berduka, aku harus tetap lakukan agar pementasanku menjadi pemenang.

"Ayah, tolong beri aku kekuatan agar tidak berlarut-larut dalam kesedihan. Aku akan menuntaskan hak Tante Gina, jadi Ayah tidak perlu cemas." Aku mengusap foto Ayah, senyumnya masih teringat. Aku berjanji pada diriku sendiri untuk menjadi gadis yang lebih kuat lagi.

***

Hari ini aku bersiap pergi ke kampus, mungkin akan terlihat aneh karena aku masih dalam suasana berkabung, hanya saja tidak ada pilihan lain selain berangkat untuk latihan karena hari pementasan hanya tinggal dua hari.

Baru beberapa langkah keluar dari rumah, Bu Wiryo-tetanggaku sudah menghadang. Wanita paruh baya itu tersenyum saat menatapku.

"Sekar mau kemana?" tanyanya ramah.

"Mau berangkat kuliah, Bu."

"Loh, kok sudah berangkat. Memang sudah kuat, yakin nggak pingsan lagi. Kamu itu pingsan tiga kali loh kemarin."

"Kuat kok, Bu. Lagi pula ada tugas penting yang nggak bisa ditinggal. Jadi, harus berangkat."

"Yo wis, hati-hati ya."

Aku melemparkan senyum pada Bu Wiryo sambil berjalan. Aku beruntung punya tentangga baik seperti istri Pak Wiryo itu. Ya, aku akui beliau itu baik walau kadang suka bergosip.

Saat sampai di kampus, aku berlari ke aula. Beruntung bertemu dengan Bu Widya di depan aula. Namun, anehnya ekspresi Bu Widya terlihat seperti orang kebingungan saat melihatku.

"Sekar, kok kamu sudah berangkat. Kamu kan masih berkabung, pulang dan istirahatlah saja, kamu pasti lelah," ucapnya sambil mengusap pundak kiriku.

"Tidak apa-apa, Bu. Aku bisa mengatasinya, mari latihan."

"Eh, Sekar." Bu Widya menghentikanku masuk ke aula. Entah kenapa aku mulai cemas. "Kamu tidak perlu latihan lagi," lanjut Bu Widya.

Aku tidak mengerti apa maksud Bu Widya. Wanita di depanku ini tidak langsung pada pembicaraan inti. Apa yang sebenarnya terjadi?

"Sekar ... sebenarnya ... posisi Ken Dedes sudah ibu ganti. Valery yang menggantikanmu untuk memerankan tokoh itu." Ucapan Bu Widya seketika membuatku lemas. Seperti ada yang hilang dalam diriku.

Bu Widya meraih tanganku dan terus mengatakan kata maaf. Wanita itu tampak sedih, tetapi aku rasa tidak ada yang lebih sedih dari aku. Harapanku pupus seketika, padahal hanya pementasan itu satu-satunya jalan mendapat uang dengan cepat.

Apa yang harus kulakukan sekarang? Apa aku harus menjual rumah itu?

"Tapi, Bu. Kenapa harus diganti? Aku sudah sangat siap memerankan tokoh Ken Dedes. Bisakan aku ikut bermain lagi?" Aku mencoba memohon, entah bagaimana hasilnya nanti, tetapi aku berusaha.

"Maaf, Sekar. Ibu pikir kamu nggak akan datang lagi karena masih dalam suasana berkabung, jadi ... ibu pikir mengganti dirimu dengan Valery adalah keputusan terbaik. Sekali lagi maaf, Sekar." Rasanya kata-kata Bu Widya seolah tembok besar yang sudah tidak bisa kulalui.

Apa sekarang aku harus menyerah?

"Baiklah, Bu. Aku pamit." Langkahku terasa sangat berat. Namun, aku harus tetap pergi.

Sambil terus melangkah, aku mencoba memikirkan cara lain mendapatkan uang selain menggadaikan atau menjual rumah, tapi rasanya sangat sulit menemukan solusinya.

Saat sampai di tempat parkir, aku tidak sengaja melihat Dewa sedang merapikan rambut Valery. Muncul perasaan cemburu dan amarah dalam hati. Di saat aku sedang berduka karena kehilangan Ayah, Dewa malah seolah tidak peduli dengan apa yang sedang terjadi padaku, bahkan ia sama sekali tidak datang saat pemakaman Ayah.

Ingin sekali kutampar pria itu saat ia meraih tangan Valery lalu menciumnya. Aku merasa sangat bodoh saat ini, aku tidak habis pikir dengan diri sendiri, bagaimana bisa selama ini mencintai pria seperti Dewa.

Aku berdeham untuk membuat mereka menyadari keberadaanku. Dewa terlihat terkejut, tetapi tidak dengan Valery yang bersikap biasa saja seolah apa yang dia lakukan tidak salah.

"Sekar, kamu sudah berangkat kuliah?" Dewa menghampiriku seolah ia lupa apa yang ia lakukan beberapa detik lalu.

Sekarang pria itu bersikap sebagai kekasih yang baik padaku. Dia menanyakan kabar dan keadaanku sekaligus meminta maaf karena tidak bisa datang ke pemakaman Ayah, alasannya karena dia harus berlatih dan latihan itu tidak bisa ditinggalkan.

Saat Dewa akan meraih tanganku, sengaja aku menghindar dan lebih memilih melangkah menghampiri Valery berdiri diam tanpa kata.

"Valery, selamat, kamu berhasil merebut semuanya dariku," ucapku sambil meminta jabat tangan.

Sebenarnya dalam hati aku ingin menampar, mencaci dan mengumpat segala hal di depannya. Namun, aku sadar, hal itu hanya akan membuatku malu di depan banyak orang.

Valery sama sekali tidak merespon apapun, dia seperti patung sambil terus menatapku tanpa kata. Berbeda dengan Dewa yang terus menerus meminta maaf atas perbuatannya yang telah mengkhianatiku.

Hatiku semakin sakit jika terus berada dalam situasi ini, lebih baik pergi dan membiarkan mereka. Aku tidak mau terlihat sebagai gadis nelangsa.

"Sekar, tunggu dulu." Dewa meraih tanganku, pria itu tidak membiarkan aku pergi dan terus memohon maaf. Bahkan telingaku rasanya panas karena terus mendengar ucapan Dewa.

"Cukup! Aku tidak mau mendengar apapun lagi." Aku memaksa Dewa melepaskan diriku.

Mendengar ucapanku, Dewa membiarkan aku pergi. Baguslah, dia mau melepasku. Tidak ada gunanya menangisi pria tukang selingkuh sepertinya. Walau sakit, aku harus tetap tegar.

Aku terus berjalan tanpa tujuan, entah kemana kaki ini melangkah. Sekarang aku benar-benar sendirian. Tidak ada yang menemani atau hanya sekadar menanyakan keadaanku. Mengapa hidupku sangat pedih?

Tidak terasa, aku melangkah sampai di sini, di atas jembatan yang terdapat sungai di bawahnya. Terlihat sangat tenang sungai itu. Jika aku masuk ke sungai ... apa aku bisa tenang seperti sungai itu?

Melihatnya saja sudah merasa tenang, jika masuk ke sungai pasti aku lebih tenang lagi. Aku tidak akan merasakan kepedihan dalam hidup lagi.

"Mbak!" teriak seseorang. Seorang pria menarikku menjauh dari pinggir jembatan. "Mbak udah gila, ya?" lanjutnya.

"Siapa yang gila?"

"Ya, Mbak. Ngapain di pinggir jembatan? Mau bunuh diri, kan?"

"Bukan urusan kamu!" Aku kembali berjalan ke pinggir jembatan untuk melanjutkan apa yang tadi aku lakukan.

"Mbak, jangan bunuh diri, Mbak. Jangan!" Pria itu kembali berusaha menarikku menjauh. Namun, kali ini aku memberontak.

Aku tidak mau ada orang yang mencampuri hidupku lagi karena pada akhirnya orang itu akan menyakitiku. Aku terus memberontak, memaksa pria itu untuk melepaskan aku.

Pria itu sangat kuat, tetapi aku terus berusaha memberontak hingga akhirnya aku benar-benar terjatuh ke sungai. Seketika dunia gelap dan udara terasa dingin. Sangat tenang dan sejuk.

"Mbak!" Samar-samar aku mendengar suara pria itu. Dia terus berteriak hingga hilang tidak terdengar lagi.

avataravatar
Next chapter