1 Kesempatan Kedua

*Ugh*

"Di mana ini?"

Mencoba untuk bangun aku merasakan pandanganku buram, aku tidak bisa mengingat apa yang sedang terjadi. Kepalaku rasanya sakit sekali, rasanya benar-benar akan meledak. Tunggu... bukankah seharusnya aku sedang menghadapi iblis? Tidak, tidak, bukan itu, aku... aku... sedang dalam perjalanan pulang bersama kakak lalu gerombolan binatang buas menyerang? Tunggu, siapa aku? Aku Noah ya aku Noah!

*Praang*

"Narai anakku!"

Sebuah bayangan melintas di depanku. Saat aku hendak menyerang, aku merasakan pelukan hangat. Merasakan pelukanya aku merasa sedikit aneh di hatiku, rasanya hangat tapi juga terasa sedikit asing. Perasaan ini tidak pernah aku lupakan, bahkan jika aku mati aku tidak akan pernah melupakannya.

Bukan, aku Narai, Narai Lloyd, dan aku juga Noah. Menurunkan tanganku aku memejamkan mataku menikmati pelukan hangat Ibuku. Perasaan ini terasa seperti baru bagiku.

"Nak, bagaimana keadaanmu? Apakah ada yang sakit?" Melepaskan pelukannya, Ibuku memeriksa tubuhku. Melihatnya memeriksa setiap inci tubuhku dalam keadaan khawatir aku merasa lega sekaligus benci.

"Tidak apa-apa Bu, aku baik-baik saja. Lihat." Untuk meyakinkan Ibuku aku mencoba berdiri meskipun sedikit sulit.

"Hati-hati, jangan berdiri dulu." Melihat tindakanku, Ibuku khawatir dan mencoba menopangku, "ayo berbaring dulu, jangan mencoba bergerak, istirahatkan tubuhmu."

"Baik Bu." Merasa Ibu semakin khawatir, aku memutuskan untuk menurutinya. Saat itu juga aku melihat dua orang yang masuk dengan tergesa-gesa.

"Bagaimana keadaan Narai? Sudahkah dia bangun. Apakah dia baik-baik saja." Melihat kekhawatiran Ayah dan Kakakku, aku merasa sedikit hangat di hatiku. Jadi seperti ini rasanya memiliki keluarga.

Lloyd adalah keluargaku saat ini, sebuah keluarga bangsawan yang terletak di timur Ibukota Sihir sekitar setengah bulan perjalanan. Kepala keluarga saat ini Ayahku, Etan Lloyd, dia berumur 40 tahunan dan istrinya yaitu Ibuku, Sarah Lloyd yang berumur 30 tahunan dan sebelumnya berasal dari keluarga Foster. Mereka memiliki tiga orang putra, Aaron Lloyd, Kakak tertuaku yang sekarang berada di Akademi Sihir. Kakak keduaku Arne Lloyd, yang lima tahun lebih tua dariku, dan terakhir aku Narai Lloyd usiaku baru enam tahun.

"Ayah, kakak tenang. Aku baik-baik saja." Saat keduanya akan mengerumuniku, aku membalas dengan tergesa-gesa.

"Benarkah?" Merasa tidak yakin ayah dan kakak bertanya lagi.

"Iya."

"Kalian berdua! Lihat perilaku kalian, bagaimana jika Narai terluka." Menyaksikan tindakan mereka, Ibu berjaga-jaga di sampingku dan menunjuk, "dan kau! Lihat seberapa tuanya kamu, berperilaku lah seperti orang dewasa."

"Baik." Melihat mereka ditegur. Ayah dan Kakak menyusutkan leher mereka, tidak berani mengambil langkah maju.

"Ini tidak seperti ibu tidak melakukannya juga." Berdiri di belakang Ayah, Kakak bergumam pelan menyalahkan ketidakadilan ini.

"Arne Lloyd." Mendengar suara Kakak, Ibu melototi Kakak, "kamu bocah nakal, di sini aku bertanya-tanya mengapa kamu tidak mengintrospeksi dirimu sendiri tapi malah berani membantah ibumu ini, huh..!? Sepertinya hukumanmu belum cukup ya?"

"Tapi Bu.."

"Tiga bulan! Tiga bulan kamu akan ditahan rumah, tidak diizinkan untuk keluar dari kediaman. Dan latihanmu akan ditambah tiga kali lipat." Mendengar Kakak menyerukan keluhannya, Ibu memutuskan menambah hukumannya.

"Ayah..." Tidak bisa keluar dari penambahan hukuman, Kakak melihat Ayah dengan tatapan memohon.

"Ehem." Berbatuk kecil, Ayah mencoba mendamaikan suasana, "sayang, kita sedang di kamar Narai. Kita bisa menyelesaikan urusan lain di luar."

"Hmph! Anggap dirimu beruntung anak nakal." Mendengus, Ibu memelototi Kakak untuk terakhir kalinya.

"Fiuh..." Kakak berhenti berbicara saat Ibu melototinya.

"Jadi bagaimana keadaanmu? Apakah kamu merasakan sakit di tubuhmu?" Ayah memeriksa tubuhku, "sepertinya tidak ada keanehan."

"Ya aku baik-baik saja, hanya sedikit pusing." Aku bangkit, mencoba untuk duduk.

"Baguslah." Merenung sejenak, Ayah memandang Kakak, "jadi binatang apa itu, bagaimana bisa kamu membiarkan adikmu terluka?"

Memandang Kakak, Ibu juga bertanya-tanya, tidak mungkin Kakak pulang dalam keadaan terluka sambil menggendongku yang tidak sadarkan diri jika itu hanya binatang buas biasa.

"Yah itu hanya serigala api tapi sedikit besar." Menundukkan kepalanya, Kakak menjawab.

"Serigala api?" Ayah bergumam, "apakah serigala api itu memiliki perbedaan lain selain sedikit besar, seperti warna misalnya?"

"Sayang." Ibu memandang Ayah dengan tatapan khawatir.

Menggelengkan kepalanya, Ayah melihat Kakak lagi.

"Yah itu sedikit gelap mungkin..." Berpikir untuk mengingatnya, Kakak menjawab dengan ragu.

"Kamu yakin?" Ayah melihat matanya dalam-dalam.

"Iya."

"Aya..."

"Naraiii!"

Saat aku ingin bicara sebuah suara menggangguku, dan melihat ke sumber suara ternyata itu Kakak tertuaku.

"Haaah, haah, haah. Apakah kamu baik-baik saja Adik kecil? Apakah kamu terluka? Apakah kamu merasa sakit?" Mendekatiku dan melemparkan pertanyaan berturut-turut, Kakak Aaron mengulurkan tangannya sembari memeriksaku.

"Ehem."

Kaget dengan suara batuk, Kakak Aaron mulai tenang dan menyadari situasi di ruangan.

"Ayah, Ibu." Sapa Kakak Aaron, dan dia juga tidak lupa melototi Kakak Arne.

Ayah menganggukkan kepalanya sebagai jawaban, "kamu datang lebih cepat dari dugaanku."

"Aku langsung bergegas kemari setelah mendengar beritanya."

"Begitu." Menepuk pundaknya, Ayah bertanya, "bagaimana perjalananmu?"

"Ayah." Kakak Aaron menatap Ayah mengisyaratkan dengan pandangannya.

Mengangguk, Ayah memandangku, "Narai, istirahat dulu. Jangan pergi kemana-mana."

Menganggukkan kepalaku sebagai jawaban, aku mengantar mereka dengan pandanganku. Saat Kakak Arne melihat mereka pergi dia mendekatiku dan berbisik, "Adik, kamu harus cepat sembuh. Nanti aku akan membelikan apapun yang kamu inginkan."

"Sungguh?"

Menepuk dadanya, "pernahkah Kakakmu ini menipumu?"

"Pedang, aku ingin pedang."

"Baik, kalo begitu..."

"Arne!" Teriakan ibu terdengar.

Sedikit takut, Kakak Arne berlari keluar, "Kakak akan pergi dulu, kamu harus cepat sembuh. Oke."

"Haaah, akhirnya tenang." Melihat ke cermin di samping tempat tidur aku melihat bayangan seorang anak dengan rambut abu-abunya yang jarang terlihat. Itu adalah ciri khas utama dari keluarga Lloyd, rambut abu-abu.

"Kata-katanya benar, aku terlahir kembali. Tapi ini mengambil lima tahun lebih agar ingatanku kembali." Merenung sejenak, "sistem cek statusku."

*Ding*

Sebuah suara terdengar jelas di kepalaku, aku tidak bisa menggambarkannya dengan kata-kata. Kemudian sesuatu muncul dalam penglihatanku.

[Nama: Narai Lloyd

Judul: Terlahir Kembali

Level: 1

HP: 8

MP: 5

STR: 2

DEF: 2

AGI: 3

___

Skill: Tidak ada.]

"Mmm jadi ini layar status." Mengusap dagu, aku melihat layar transparan yang muncul di depanku. "Sistem, apakah ini status pada kebanyakan orang?"

*Ding* [Menjawab Host, tidak cukup data.] Suara itu terdengar lagi, kupikir dengan kerasnya suara itu orang-orang di luar akan dengar. Kurasa hanya aku yang bisa mendengarnya.

"Mmm, bagaimana cara untuk menambahkannya."

*Ding* [Menjawab Host, segala bentuk tindakan ataupun observasi akan diubah menjadi data.]

"Hah!?" Terkejut, aku kembali bertanya, "bukankah tidak ada bedanya jika aku memiliki sistem atau tidak. Juga apa-apaan suara Ding itu."

*Ding* [Menjawab Host, sistem hanyalah alat bantu bukan gudang harta. Dan Ding adalah efek suara sistem agar terkesan menarik.]

Tertegun, aku melongo sejenak dan bersumpah dalam kepalaku, 'sialan sepertinya aku ditipu orang tua itu.'

Menggelengkan kepala, aku memandang jendela dan bergumam, "setidaknya aku memiliki kesempatan kedua."

Berdiri, aku melangkah ke jendela. Dan seolah-olah menjawab makianku, suara sistem terdengar.

*Ding* [Selamat, Host telah mempelajari Skill Melangkah]

"Apa-apaan!"

avataravatar
Next chapter