1 DT. 1

Lihatlah dia! Berdiri di depan sana, dengan gaya sok kalemnya.

Sebuah bolpoin dia gunakan untuk menunjuk papan, dengan suara diketuk-ketuk. Membuatku ingin merebut benda itu, lalu melemparkan ke wajahnya. Tepat, mengenai hidung bangirnya.

Setiap suara yang terlontar dari mulutnya, ingin sekali menyumpalnya dengan tisu lalu menoyorkan kepalanya. Seraya berucap, "Dasar! Dosen sok pinter, sok cool, sok baik, sok spesial, sok--"

"Alena?"

Aku terkesiap. "Ya, Pak."

"Ada yang kurang kamu mengerti?"

"Tidak. Saya mengerti."

Lelaki berkaca mata itu malah berjalan mendekatiku. Suara derap sepatu mendominasi ruang kelas seiring detak jantung yang bertalu tak menentu. Dia berhenti, tepat di sampingku. Mencondongkan separuh tubuhnya, lalu berbisik, "Jangan terus menatapku seperti itu, aku bisa mati berdiri."

Terdengar suara deheman dari berbagai arah.

"Kita jomlo nih, Pak. Jangan bikin baper berjamaah, dong!" celetuk seorang mahasiswa.

Ger, semua yang berada di kelas tertawa. Lalu dia? Tersenyum dengan satu sudut bibir yang terangkat. "Baiklah, maaf. Kita lanjutkan pembahasannya," ucapnya santai setelah berjalan menjauhiku.

Aku menatapnya dengan wajah memberenggut. Oh, no! Wajah es balok itu ....

Dasar, dosen tengil!

***

"Alena!" Jihan menepuk lenganku yang masih sibuk membereskan buku ke dalam tas.

"Hmm, apa?" Aku bertanya malas.

"Jadi enggak?" bisiknya.

"Ya, jadilah. Tapi lo jangan berisik, entar--"

"Alena!"

Aku terenyak. Jihan menggigit bibirnya.

"Jihan, belum pulang?" Sosok itu semakin mendekat.

"Belum, Pak." Jihan meringis, menggaruk leher.

"Lalu kamu. Kenapa belum keluar dari kelas?" Kini dia beralih menatapku.

"Belum, masih beres-beres." Dengan gaya malas aku menjawab.

"Aku tunggu di mobil," ucapnya sambil berbalik, tapi sedetik kemudian dia berputar lagi. "Oya, Jihan. Jangan diajak ke mana-mana dulu, Alena masih dalam masa hukuman," lanjutnya dengan raut tenang.

Ya, ampun! Apa maunya dia?

"Galak amat," tukas Jihan selepas lelaki berkemeja biru muda itu menghilang di balik pintu.

"Baru tau?" sungutku kesal.

"Hih, amit-amit, deh! Ganteng sih ganteng, kalau galak gitu, ogah gue!" Jihan bergidik.

Ah, dia menertawakan nasibku.

***

"Nyebelin banget, sih!" Aku duduk di jok mobil dengan kesal.

Lelaki di sampingku bergeming, masih fokus dengan buku tebal di tangannya.

Lihat, bahkan dia tak rela melewatkan waktu yang terbuang percuma hanya untuk menungguku. Aku menggerutu, memasang sabuk pengaman.

"Emang pada mau ke mana?" tanyanya tak acuh sambil menyimpan buku di dashboard lalu menyalakan mesin mobil.

"Bioskop!" ketusku.

"Hukuman kamu belum beres, jangan salahkan aku kalau hukumannya bertambah." Dia menatapku, bisa kulihat dari ekor mata.

"Enggak adil!" Aku berkata setengah teriak.

"Adil. Salah sendiri membantah perintahku," sahutnya santai sambil memakai sabuk pengaman.

Ugh, ingin rasanya aku jambak rambut hitam yang berkilau itu. Lalu memutar kepalanya 360°, dan menjongklokannya ke bawah hingga lehernya itu menekuk tajam.

Namun, semua berakhir hanya dalam khayalan. Nyatanya, tak ada kuasa sedikit pun untuk melawannya.

Karena dia, Zayid Arsyad Sabdika ; umur dua puluh delapan tahun, berwajah tampan, tinggi 188 cm, dengan berat tubuh yang pas dan proporsional. Secara keseluruhan tampilannya itu memang ... ah, sudahlah. Sepertinya para Dewi Yunani di ujung sana pun akan menatap takjub suamiku ini.

Suami? Ya, dia suamiku. Kami adalah pengantin baru, terhitung dua bulan lalu.

Kamu ingin tahu, bagaimana bisa dosen menyebalkan ini menjadi suamiku?

Semua berawal dari hari itu.

Aku berlari sekuat tenaga menyusuri lorong kampus.

Bahaya ini! Gawat! Tak hentinya aku merutuk.

Benar saja, pintu sudah tertutup rapat saat aku sampai di depan kelas. Kuketuk segera.

"Masuk!"

Tak menunda waktu, kubuka pintu dan menutupnya cepat. Lalu mengayunkan kaki menghampiri meja dosen. Tentu saja dengan kepala agak menunduk, karena aku yakin sedang menjadi pusat perhatian.

"Maaf, Pak. Saya--" Aku terpaku, saat melihat ternyata dosen yang duduk di hadapanku, bukanlah Pak Adit ; dosen berumur setengah abad dengan kepala plontos dan tubuh gendut.

Dia ....

"Kenapa terlambat?" Suara tegasnya, berbeda jauh dengan wajah teduhnya.

Tampan sekali, Ya Tuhan.

"Ta-tadi, angkotnya ...," ucapku grogi.

"Kempes?" tebaknya dengan mimik datar.

"Iya, Pak."

"Alena Callisia Raharja. Itu namamu?"

"I-iya, Pak."

"Ini sudah yang ketiga kalinya, kamu kesiangan di jam kuliah Pak Adit. Benar?" Matanya menatap lurus padaku.

"Saya, enggak hitung, Pak." Aku meringis.

"Baiklah, karena ini adalah hari pertama saya mengajar, saya beri kelonggaran. Tapi lain kali, jika kesiangan lagi, kamu harus menerima konsekuensinya. Sekarang kamu duduk, kita lanjutkan pembahasan materi," ujarnya, lalu menunjuk ke arah kursi dengan dagu.

"Baik, Pak. Terima kasih." Aku mengangguk lemah, sekaligus bernapas lega.

Selamat!

***

"Alena!" Jihan memanggilku selepas jam kuliah selesai.

"Apa?"

"Gimana?"

"Apanya?"

"Pak Zay."

"Pak Zay apa?" Aku masih memberi ekspresi tak mengerti. Sementara Jihan sudah menampakkan raut kesal.

"Dosen tadi." Jihan menunjuk ke arah pintu dengan lirikan mata.

"Emang kenapa dia?" Kini aku bertanya lebih serius.

"Dosen baru, pengganti Pak Adit!" Jihan yang sudah tampak memendam kekesalan bangkit dari duduknya.

"Oh, dia baru?" Aku mendongkak menatapnya.

"Iya." Dia tersenyum. "Eh, kenalan yuk, sama dia?"

"Ogah! Dosen muka datar kayak gitu, mati rasa gue sama dia!"

"Eh, enggak boleh gitu. Kualat loh!" Telunjuk Jihan berada di depan hidungku.

"Kualat apa?"

"Kualat nanti lo bakalan suka sama dia." Jihan tertawa.

"Iih, jijay gue." Segera aku berdiri dan menarik lengannya. "Kantin kuy, laper!"

***

"Astaga! Gue kesiangan lagi." Aku menepuk kening, melihat pintu kelas tertutup rapat.

Baru saja akan kuketuk, pintu malah terbuka. Pak Zay berdiri di hadapanku.

"Maaf, Pak, saya--"

"Empat kali," selanya dengan suara tegas tapi terkesan datar.

Aku menghela napas berat. "Itu, Pak. Tadi--"

"Apa lagi? Ban bocor, ban kempes, macet, menolong nenek yang menyeberang, atau ... sakit perut saat akan berangkat?"

Oh, My God! Dia bahkan sudah tahu semua alasan yang pernah aku berikan pada dosen lainnya.

"Saya izinkan kamu masuk."

Aku tersenyum lega.

"Tapi nanti setelah jam kuliah beres, kamu harus ikut ke ruangan saya," lanjutnya.

Senyumku memudar.

Benar saja. Setelah mata kuliah selesai, dia memintaku mengikutinya.

"Masuk!" ucapnya setelah membuka pintu.

Aku berdiri di ambang pintu, menatap ruangan berukuran 4x4 meter yang di setiap sisinya adalah rak dipenuhi buku-buku tebal.

"Alena, masuk dan duduklah!" perintahnya lagi.

"Ba-baik, Pak."

Beberapa menit hanya ada keheningan di antara kami. Pak Zay membuka sebuah buku besar juga tebal, tampak mencari-cari sesuatu.

"Alena Callisia Raharja. Nama yang bagus," pujinya.

Aku tersenyum kecut.

"Semester empat jurusan Hukum. Setiap semester selalu mendapat nilai rata-rata D, bahkan harus mengulang beberapa mata kuliah." Pak Zay menutup buku itu. Lalu menyandarkan punggungnya. "Kenapa?"

Aku tertegun. Apa maksudnya dengan pertanyaan 'kenapa'?

Sebuah gelengan kepala kuberikan.

"Baiklah, kita persingkat saja pembahasannya," ucapnya, lalu menyandarkan punggungnya. "Kamu dalam pengawasanku mulai hari ini." Satu telunjuk itu mengarah padaku.

"Maksudnya?" Aku menautkan alis.

"Pak Rio sepertinya terlalu sibuk, untuk mengurus satu mahasiswi sepertimu."

"Tapi dia dosen pembimbing saya."

"Ya, dan mulai tadi pagi dia menyerahkan tanggung jawab atas dirimu, pada saya. Sepenuhnya." Dia sengaja menekan kata terakhirnya.

Apa? Aku melebarkan mata.

"Terkejut?" Dia melipat kedua tangan di dada. "Saya juga. Untuk itu mulai sekarang saya harap kamu bisa mengubah kebiasaanmu yang sering datang terlambat, bahkan membolos di beberapa mata kuliah. Mengerti?" paparnya dengan nada yang terdengar sangat menyebalkan bagiku.

Aku mengangguk lemah.

Dasar, dosen menyebalkan!

Sejak saat itu, dia seperti hantu bagiku. Menakutkan.

Setiap hampir berpapasan dengannya, segera aku memutar tubuh. Berbalik arah demi menghindarinya.

Pernah saat duduk di perpustakaan, dia seperti sengaja masuk. Memilih buku, dan membacanya di depanku. Satu meja!

Cepat aku pergi, membawa tugasku dan mengerjakannya di kantin.

Dia itu seperti fobia. Seperti brokoli yang selalu membuatku bergidik ngeri.

Anehnya, entah kenapa seolah takdir malah memberi banyak kesempatan agar aku bisa beradu pandang dengannya.

Seperti sore itu. Ketika hujan turun dengan lebat, dan aku berdiri di halte menunggu kendaraan umum lewat.

Sial! Kenapa tadi aku melarang Kak Alfa saat akan menjemputku? Hanya demi gengsi. Berlagak menjadi adik yang tangguh dan mandiri.

Aku mengedarkan pandangan. Senja hampir hilang. Lampu-lampu jalanan mulai menyala, lalu lalang manusia pun sudah berkurang.

Hujan dan gelap. Aku mendesah pasrah. Mau sampai rumah jam berapa ini?

Di tengah kegalauan, terdengar suara klakson. Aku berharap itu Kak Alfa yang merasa cemas dan bersikeras menjemputku, tapi saat mobil berhenti lalu seseorang menghampiriku. Ternyata ....

"Alena!" panggilnya sambil berlari kecil dengan kedua tangan menutupi kepala.

Aku anggukan kepala hormat saat dia sudah berdiri di hadapanku.

"Pulang?"

Aku mengangguk.

"Mau barengan?"

Aku menggeleng.

"Kenapa?"

"Saya naik angkot saja, Pak."

"Mau nunggu sampai kapan? Aku dengar dari pengguna jalan kalau di perempatan sana ada pohon besar tumbang, tak ada satu mobil pun yang bisa lewat."

Aku melebarkan mata pertanda kaget atas informasi yang dia berikan.

"Lagi pula sekarang sudah Magrib, bentar lagi malam," imbuhnya sambil menatap jam tangan di lengan kirinya.

Aku menengokkan kepala ke kanan dan kiri. Benar, gelap hampir datang. Ditambah hujan membuat suasana menjadi lebih horor.

"Baiklah, kalau memang tidak merepotkan," ucapku pelan sambil menggaruk kepala, gugup.

Pak Zay mundur, membukakan pintu untukku. Kusempatkan berterima kasih sebelum naik, yang dibalas anggukan kecilnya.

Dia pun naik, memakai sabuk pengaman lalu melajukan mobil.

Sepanjang jalan aku melamun. Antara percaya dan tak percaya.

Ya ampun, Alena. Ini pelanggaran. Kamu menyalahi kode etik sebagai mahasiswi pembenci dosen killer ... eh, tidak. Pak Zay tidak killer, hanya saja kadang dia terlihat lebih garang dari biasa. Tentu saja, aku tak menampik pesonanya. Terbukti beberapa kali aku sempat memergoki Pak Zay sedang mengobrol bersama mahasiswi-mahasiswi hits di kampus : cantik, seksi, berprestasi. Tak jarang dari mereka ada yang memberi hadiah--info ini aku dapat dari Jihan. Dia memang penggosip handal.

Lalu sekarang, kenapa bisa aku yang duduk di mobilnya?

"Alena."

"Y-ya, Pak."

"Biasanya pergi ke kampus sama siapa?"

"Kadang diantar Papa, Kakak, atau naik angkot."

"Oh."

"Tapi belakangan ini lebih sering naik angkot, makanya kesiangan terus."

Pak Zay tersenyum sambil menggelengkan kepala.

Huh, dia pasti mengejekku!

Alih-alih menghilangkan rasa malu, juga kesal. Aku fokus menatap jalanan, takut jika belokan menuju rumah terlewat. Baru saja aku akan memintanya berhenti, mobil malah berbelok.

"Ke sini, 'kan?"

Aku menoleh. "Iya, Pak."

Tak lama mobil berhenti, tepat di rumah bernomor tujuh puluh lima.

Lagi-lagi aku terheran. Kenapa dia bisa tahu?

Sekali lagi aku mengucapkan terima kasih sebelum turun, yang dibalasnya dengan sebuah senyum.

Senyum yang menurutku, tak pernah aku lihat sebelumnya.

*****

--bersambung--

avataravatar
Next chapter