webnovel

Salah Paham

Bab 24

POV Arfan

Aku mengendarai mobilku dengan perasan tak menentu. Kejadian tadi membuatku merasa malu. Bagaimana tidak, jika saja Intan tidak mengingatkan aku kalau dia bisa berdiri sendiri, mungkin saat itu aku akan menciumnya.

Pesona Intan sangatlah kuat, rasa dahaga akan cinta semenjak ditinggalkan oleh Mia kembali mencuat. Padahal selama ini aku sudah bisa mengendalikan hasratku yang satu itu.

Entah mengapa perasaan itu hadir begitu saja saat kami berdekatan. Aku setengah mati menolaknya, karena aku tak ingin menodai cintaku dengan Mia. Bagiku, memikirkan wanita lain sama saja dengan melupakan Mia. Cinta pertama sekaligus terkahir bagiku. Namun, bagaimana aku meredakan hasrat yang sedang bergejolak di dalam tubuhku saat ini?

"Arrgghhh!" seruku tak sadar jika ada Aleysa di sampingku.

"Papa kenapa?" tanya Aleysa.

"Ah, tidak apa, Sayang. Ehm, kota sudah sampai," jawabku dengan lega.

Kami sudah sampai di kediaman Pak Danu, salah seorang klienku. Suasana rumahnya sudah sangat ramai dengan tamu terutama anak-anak yang berlarian hilir mudik di halaman rumahnya.

"Ayo, kita turun!" ajakku karena Aleysa masih duduk terdiam di dalam mobil.

Matanya menatap pada para tetamu yang sedang mengobrol di halaman rumah Pak Danu yang luas itu.

"Kita pulang aja, deh, Pa," ucap Aleysa lirih.

Aku pun menghela napas kemudian berjalan memutari mobil ke samping Aleysa. Lalu kubuka pintu mobil dan Aleysa pun langsung mendekat padaku.

"Aleysa kenapa? Tadi kayaknya senang-senang aja waktu mau berangkat?" tanyaku sambil memeluknya.

Aleysa menggeleng, pelukannya semakin erat kurasakan.

"Kenapa?" ulangku lagi.

"Nanti om sama Tante di sana tanya-tanya di mana Mama Aleysa lagi. Nanti Aleysa sedih, Pa," jawab Aleysa.

Suaranya seperti orang yang akan menangis. Aku menepuk pundaknya pelan.

"Aleysa, kan, bisa jawab kalau mama sudah ada di surga. Pasti mereka tidak akan bertanya lagi," ucapku.

"Nanti kalau Aleysa mau ambil permen atau kue, minta sama siapa. Papa kan sibuk ngobrol sama teman papa. Harusnya tadi Bu Intan di ajak saja. Jadi Aleysa ada temannya!"

Anak ini, masih saja mengingat permintaannya tadi. Memang Aleysa memaksaku untuk mengajak Intan ikut bersama kami. Namun, aku menolaknya. Selain aku ingin punya waktu berdua saja dengan anakku, aku takut nanti orang-orang salah sangka padaku dan Intan.

Soalnya penampilan Intan bukanlah seperti selayaknya pengasuh Aleysa. Dia begitu rapi dan menarik jika sudah berpenampilan cantik seperti biasanya.

"Papa! Kita pulang saja, ya?" ajak Aleysa lagi.

Aku menggeleng, kemudian menggendong Aleysa turun dari mobil. Kemudian menurunkannya setelah beberapa langkah, wajah Aleysa tampak cemberut.

"Aleysa harus kuat dan tenang menghadapi kenyataan kalau Aleysa sudah tidak punya Mama lagi. Kalau soal makanan, Aleysa bisa meminta tolong sama mbak dan Mas yang berjaga di sana, kan?"

Aku menunjuk pada para petugas katering yang tampak sibuk melayani para tetamu.

Aleysa tak menjawab, tapi aku tahu kalau dia sudah paham. Kami pun melangkah masuk ke dalam halaman rumah Pak Danu di mana pesta ulang tahun anaknya akan dilaksanakan.

***

Brakkk!

Aleysa menutup pintu mobil dengan kencang sampai menimbulkan suara debuman yang cukup keras.

"Aleysa, Sayang jangan ngambek gitu, dong. Aleysa!" seruku memanggilnya.

Aleysa tak peduli dengan panggilanku, dia berlari ke arah pintu kemudian membukanya, tapi tak bisa. Sepertinya Intan mengunci pintu karena hari sudah gelap.

"Ibu! Buka pintunya, Bu!" seru Intan sambil mengetuknya kencang.

Aleysa tak bisa menggapai bel yang letaknya cukup tinggi untuknya.

Aku pun turun dari mobil bermaksud membukakan pintu untuknya karena aku juga membawa kunci cadangan. Namun, pintu sudah terbuka. Intan yang melihat Aleysa masuk tanpa memberi salam pun merasa heran.

"Intan, kamu kenapa? Kok gak kasih salam?" tanya Intan.

Aleysa berhenti berjalan kemudian berbalik memandang pada Intan.

"Assalamualaikum," ucapnya masih sambil cemberut.

"Waalaikumsalam, gitu dong. Walaupun hati sedang marah, mengucap salam gak boleh lupa. Biar semua setan dan jin yang mengikuti di belakang gak bisa ikut masuk."

Intan berkata seraya berjalan mendekati Aleysa. Kemudian berjongkok untuk menyamakan tingginya dengan anakku itu. Aku hanya mengawasi dari luar pintu, Aleysa tampak melirikku kemudian merangkulkan kedua tangannya ke pundak Intan.

Intan tampak tersenyum kemudian mengecup pipi Aleysa seraya membisikkan sesuatu. Aleysa pun mengangguk kemudian tersenyum, Intan berdiri lalu mereka berdua pun melangkah masuk ke dalam kamarnya Aleysa.

Aku pun menarik napas lega karena Intan berhasil membuat Aleysa tersenyum. Kasihan Aleysa, Bu Poppy, salah seorang klienku sungguh keterlaluan.

Aku tahu dia hanya bercanda saat berkata kalau dia ingin jadi Mama barunya Aleysa. Namun, Aleysa mana tahu hal itu. Baginya semua perkataan yang didengarnya adalah sesuatu yang akan terjadi.

Aku masih ingat bagaimana merah padamnya wajah Aleysa saat itu.

***

"Selamat sore menjalang malam, Pak Arfan. Wah, ini pasti Aleysa, ya? Kamu sudah besar, ya, sekarang," sapa Bu Poppy yang baru saja datang setelah acara tiup lilin berakhir.

"Iya, Bu. Oh, ya, Ibu datang dengan siapa? Sendirian saja?" tanyaku berbasa-basi.

Aku tahu kalau Bu Poppy belum menikah apa lagi punya anak di usianya yang sudah masuk 30 tahun.

"Ah, Pak Arfan bisa saja. Bapak, kan, tahu status saya. Anak siapa yang mau saya bawa. Ehm, kecuali kalau Aleysa mau jadi anak saya," jawab seraya membelai pipi Aleysa yang sejak tadi hanya berdiri dalam diamnya di sampingku.

Aleysa tampak mengerutkan kening mendengar ucapan Bu Poppy. Mungkin dia sedang mencerna maksudnya dan yang sungguh tak kusangka kemudian adalah Aleysa menepis tangan Bu Poppy dengan kasar juga melepaskan tanganku lalu mundur dua langkah.

Wajahnya memerah dengan mata berkaca-kaca.

"Papa mau nikah sama ibu itu, Aleysa gak mau, ya, Pa!" sentaknya kemudian.

"Aleysa, Bu Poppy hanya bercanda. Tidak betulan, kok. Ayo minta maaf sama Bu Poppy," ucapku lembut.

"Gak mau! Papa jahat, Aleysa mau pulang sekarang!" seru Aleysa kemudian berlari ke arah parkiran mobilku.

***

Suara petir menggelegar di luar rumah menyadarkan ku dari lamunan, sepertinya hujan akan turun sebentar lagi.

Aku pun bergegas menutup pintu depan lalu menguncinya. Kemudian beranjak ke kamar untuk membersihkan diri.

Saat melewati kamar Aleysa aku mendengar dia sedang berbincang dengan Intan. Iseng aku berhenti untuk menguping pembicaraan mereka.

Rupanya Aleysa sedang menceritakan tentang kejadian di pesta ulang tahun tadi. Dia masih kesal dan marah padaku. Dia juga menganggap ucapan Bu Poppy tadi serius.

"Gak mungkinlah, Sayang. Papa kamu kan cinta banget dengan mama kamu. Mana mungkin dia mau menikah dengan Bu Poppy itu." Aku mendengar Intan berbicara.

"Pokoknya Aleysa gak mau ada orang lain yang gantinya Mama Mia!"

Papa juga gak mau menggantikan Mama kami dengan wanita lain, Aleysa.

Bersambung.