webnovel

DOSA TERINDAH

Pernahkah kau berpikir, bagaimana sebuah dosa bisa kau sebut suatu keindahan di dalam hidup kita? Kau akan memahaminya ketika CINTA mulai berbicara.

Michella91 · Teen
Not enough ratings
420 Chs

Pengakuan yang konyol II

Ayah dan kakak Khanza tampak terkejut saat makan malam tiba, karena melihat begitu banyak menu makanan serata buah-buahan untuk penutup makan malam.

"Wah, makan besar nih. Ada acara?" komentar ayah Khanza sembari menggosok-gosok kedua telapak tangannya lalu kemudian duduk manis.

"Za, elu yang bantuin masak ibu hari ini kan?" tanya Arumi, kakak Khanza.

"Iya dong, sekali-kali bantuin ibu di dapur. Tidak seperti kakak, enak makan aja."

"Heh, anak kecil. Kakak kan kerja, sift pagi. Kebetulan lembur jadi tidak bisa membantu di dapur, memangnya selama ini kamu makan masakan ibu saja?" balas kakaknya lagi dengan kesal.

"Hey, sudah. Kalian ini, bisa tidak jangan selalu berdebat. Pergi saja ke kamar, jangan makan malam disini."

"Kakak sih, duluan." Balas Khanza lagi.

"Adik duluan bu, Arumi kan kerja. Gantian dong di dapur, sesekali bantuin kan."

"Sudah. Kalian anak gadis, semua harus jago di dapur. Agar kelak bisa masak enak untuk suami kalian." ucap ayah Khanza menyela. Seketika semua diam menurut dengan anggukan.

*****

Setelah makan malam usai, kakak Khanza duduk di ruang TV seperti biasa. Sementara Khanza langsung masuk kamar dan hendak mengaktifkan kembali nomor ponselnya. Ia berpikir mungkin pak Gibran sedang mengirim pesan beruntun tentunya.

Tok tok tok...

"Za, ibu masuk ya?"

Terdengar suara ibu Khanza dari luar kamarnya. Dengan cepat Khanza mengurungkan niatnya untuk tetap menonaktifkan ponselnya lagi, lantas membuka pintu kamarnya yang sudah ia kunci tadi.

"Apakah sudah mau tidur jam segini?" Tanya ibu nya setelah memasuki kamar.

"Belum, bu. Khanza cuma ingin bermalas-malasan saja di kasur." jawab Khanza sembari duduk di sisi ranjangnya. Ibunya masih diam tanpa bicara banyak lagi, melihat sekeliling kamar Khanza.

"Ada apa, bu?" tanya Khanza lagi, dalam hatinya sedikit gelisah. Dia menduga jika kali ini sang ibu akan menanyakan tentang pak Gibran.

"Emh... Za. Pak Gibran itu sudah punya istri belum?"

"E,eh...?" Khanza terhentak.

Hah, sudah ku duga. Ibu akan menanyakan hal ini padaku, aaarght... Sial, pak Gibran sudah menyulitkanku.

"Jadi.. Dia sudah memiliki istri? Apakah juga memiliki anak? Hah, sayang sekali." ujar ibu Khanza kemudian. Meski dia belum mendengar jawaban Khanza, tapi dia sudah bisa membaca ekspresi puterinya.

"Aku belum menjawabnya, bu."

"Ibu sudah bisa membacanya dari ekspresimu itu."

"Haha, ya. Dia memang sudah memiliki istri dan anak, bu." ujar Khanza berpura-pura dengan tingkah konyolnya. Dia berusaha menyembunyikan debaran hatinya yang sesak, setiap menyadari pak Gibran, kekasih gelapnya saat ini. Sudah memiliki anak dan istri.

"Jawab ibu, apakah kalian dekat?"

"Cih, hahaha. Per-tanyaan apa itu, bu?" Khanza kembali salah tingkah.

"Ibu hanya bertanya. Kau cukup menjawab pertanyaan ibu saja."

Khanza terdiam ketika sang ibu menatapnya tajam, Khanza mengatupkan rapat kedua bibirnya. Hatinya semakin berdegub kencang, ia kehabisan kata untuk terus berpura-pura dengan tingkah konyolnya.

"Za..." panggil ibunya lagi, membuat Khanza menarik nafasnya dalam-dalam.

"Iya, bu. Ka,kami... Kami dekat, karena dia... Dia sangat baik pada Khanza." jawab Khanza dengan suara parau.

Tampak ibu Khanza menghela nafas panjang setelah mendengar jawaban puterinya itu, kali ini ibu Khanza yangs seolah sudah kehabisan kata.

"Bu, tolong jangan marah."

"Nak, tidurlah. Jangan pikirkan pertanyaan ibu barusan, kau besok harus pergi kesekolah." ujar ibu Khanza sembari beranjak berdiri, mengusap lembut kepala Khanza.

"Bu, aku jatuh cinta pada pak Gibran. Begitupun sebaliknya, apakah aku termasuk orang yang merusak rumah tangganya?"

Langkah kaki ibunya terhenti setelah melewatinya hampir sampai di depan pintu kamar Khanza.

"Fokus saja pada sekolah mu, jangan banyak berpikir. Ini sudah malam, jangan sampai nilaimu turun hanya karena masalah ini. Selama ini kau mendapat prestasi bagus, jangan sampai lengah dan mengecewakan kami." ujar ibu Khanza kembali.

Kini, Khanza menitikkan air mata mendengar jawaban ibunya. Seakan dia mendapat pesan dalam dari ibu nya, untuk memutuskan hubungannya dengan pak Gibran. Itu sulit, sangat sulit jika harus dipilih. Pikir Khanza dalam hati.

Khanza menangis tersedu kemudian, dia urungkan niatnya kembali untuk mengaktifkan ponselnya dan mengirim pesan singkat pada pak Gibran.

Sementara di tempat lain, ibu Khanza berdiri menatap langit malam di sisi jendelanya yang sengaja ia buka. Sedang ayah Khanza sudah tertidur lelap karena dia begitu lelah bekerja seharian.

"Hah, Tuhan ku. Apakah kau sedang menghukumku? Hubungan yang saat ini ku jalani, mengapa membuat puteriku mengalami hal yang sama? Ini tidak adil. Khanza terlalu kecil, dia kebanggan kami."