1 Buku 1 (Keong Mas), Bab 1

Dewi Chandrakirana terbangun dari tidurnya. Kepalanya sedikit pusing karena mimpi aneh semalam.

Dia melihat ibunya mati. Ayahnya yang sangat baik menikah lagi. Ibu tirinya melahirkan seorang putri yang lebih cantik darinya.

Akan tetapi, sang ayah rupanya tetap menjodohkan Dewi Chandrakirana dengan Raden lnu Kertapati.

Saudari tirinya, Dewi Ajeng, merasa iri dan cemburu. Di matanya, Dewi Chandrakirana sama sekali tidak pantas bersanding dengan Raden lnu Kertapati.

Dia lalu memfitnah Dewi Chandrakirana supaya diasingkan dari kerajaan.

Tak hanya itu, Dewi Ajeng juga mengutus penyihir untuk mengutuk Dewi Chandrakirana menjadi Keong Mas.

Sungguh nasib yang malang. Padahal, Dewi Chandrakirana selama ini selalu bersikap baik.

Rasanya sangat tidak adil kalau kisah hidupnya berujung tragis.

Dewi Chandrakirana yang baru bangun itu menatap langit-langit kamarnya sambil berpikir.

Jika apa yang dimimpikannya merupakan kenyataan, siapa yang patut disalahkan atas hal ini?

"Tentu saja Sang Penulis!" jawab sebuah suara.

"Ya, ya, benar. Sang Penulis adalah orang yang telah dan akan membuatmu menderita!" sahut suara lainnya.

Dewi Chandrakirana terkejut dengan hadirnya suara asing di kamarnya.

Dia mencari sumber suara itu dan menemukan dua boneka kayu yang sedang melayang. Satu berwarna hitam, sedangkan satunya berwarna putih.

"K-kalian berdua ini apa?" Dewi Chandrakirana berusaha mempertahankan ketenangannya. "Kemudian, siapa yang kalian maksud dengan Sang Penul--"

Kata-kata Dewi Chandrakirana terhenti. Detak jantungnya berdegup kencang. Berbagai ingatan yang asing tapi juga familier menyeruak masuk ke dalam kepalanya.

Di sana dia melihat seorang gadis yang sedang menulis. Terdapat tulisan "Keong Mas" di bagian judul cerita. Dewi Chandrakirana yakin bahwa gadis itu adalah Sang Penulis.

Dia melanjutkan pengamatannya. Sang Penulis terus menulis tanpa henti. Apa yang ditulisnya sama persis dengan alur kehidupan Dewi Chandrakirana.

Ibunya mati. Ayahnya menikah lagi. Dia punya saudara tiri. Bertunangan dengan Raden lnu Kertapati.

Akan tetapi, ketika sampai di bagian tengah--di mana Dewi Chandrakirana dikutuk menjadi Keong Mas--, Sang Penulis berhenti.

Dewi Chandrakirana terkejut. Dia mendekatkan dirinya ke Sang Penulis untuk mencari alasan kenapa gadis itu berhenti.

Untuk sesaat Dewi Chandrakirana berpikir kalau Sang Penulis hanya ingin beristirahat.

Akan tetapi, dia salah.

Sang Penulis sudah mati.

Mata Dewi Chandrakirana membelalak. Tubuhnya bergetar melihat kenyataan di hadapannya.

Mau menerima atau tidak, akhir buruk lah yang menanti dirinya di penghujung cerita.

Menjadi Keong Mas, dibuang ke laut, dan terombang-ambing diterjang ombak.

Tak lama kemudian, Dewi Chandrakirana kembali tersadar. Dua boneka kayu melayang itu masih berada di hadapannya.

"Hahahahaha!"

"Hahahahaha!"

"Sepertinya dia baru memahami situasinya!"

"Benar-benar gadis yang malang!"

"Tidak peduli apa yang dilakukannya, dia tetap tidak tertolong!"

"Padahal gadis itu sudah bertingkah baik sepanjang hidupnya, tapi..., hahahahaha!!!"

"Hahahahaha!"

Dewi Chandrakirana hanya bisa terdiam saat mendengar kata-kata menyakitkan mereka.

Meski begitu, tidak ada yang bisa dia lakukan. Kisah hidupnya tidak akan pernah berubah.

Sang Penulis sudah mati.

Cuma Sang Penulis yang bisa mengubah alur hidupnya.

Cuma Sang Penulis yang bisa menolongnya.

Kalau saja Sang Penulis masih hidup, tentu dia tidak akan membiarkan akhir kisah Dewi Chandrakirana begitu saja.

Sang Penulis pasti akan memberinya akhir bahagia. Misalnya begini.

Ketika Dewi Chandrakirana dikutuk menjadi Keong Mas dan dilempar ke laut, akan terjadi keajaiban bertubi-tubi.

Pertama ombak akan mengantar Dewi Chandrakirana kembali ke daratan. Dia lalu dirawat oleh seorang wanita tua yang kebetulan sedang mencari ikan di pantai.

Suatu hari, si wanita tua mengetahui kebenaran di balik kutukan Dewi Chandrakirana.

Si wanita tua lalu menganggap Dewi Chandrakirana sebagai anaknya sendiri.

Beberapa bulan kemudian, si wanita tua bertemu dengan Raden lnu Kertapati.

Raden lnu Kertapati mengaku sedang mencari gadis bernama Dewi Chandrakirana. Karena si wanita tua mengenal nama tersebut, hanya perlu waktu sebentar untuk mereka bertemu.

Akibatnya, kutukan yang membelenggu Dewi Chandrakirana langsung menghilang. Ada satu pantangan dari kutukan tersebut: bertemunya Raden lnu Kertapati dan Dewi Chandrakirana.

Beberapa tahun kemudian, mereka berdua menikah.

Dewi Chandrakirana dan Raden lnu Kertapati hidup bahagia selamanya.

Selagi membayangkan itu, sebuah senyuman muncul di bibir Dewi Chandrakirana.

Tidak salah lagi. Bayangannya tersebut pasti akan menjadi nyata jika Sang Penulis masih hidup.

Akan tetapi, sekarang Sang Penulis sudah mati.

Kalau begitu, hal yang perlu dilakukannya cuma satu.

Dewi Chandrakirana menatap boneka kayu melayang di depannya.

"Hei, bisakah aku menghidupkan kembali Sang Penulis?"

Dua boneka di hadapannya sontak tertawa keras. Mereka tampak puas dengan pertanyaan Dewi Chandrakirana.

"Hahahahahahahahahaha!"

"Hahahahahahahahahaha!"

"Bisa, bisa! Masalah itu bisa diatur!"

"Tapi hei, bayarannya tidaklah murah!"

"Benar, benar. Kamu harus ... hahahahaha!"

"Hahahahaha!"

Tatapan Dewi Chandrakirana menajam. "Harus ....?"

"Hahahaha, kamu harus ...."

Seberkas cahaya muncul di antara Dewi Chandrakirana dan boneka kayu melayang.

Warnanya berubah-ubah, mulai dari putih, merah, hijau, biru, ungu, dan kemudian hitam.

Cahaya hitam tersebut awalnya berbentuk abstrak. Namun, perlahan-lahan mulai berubah menjadi sebuah senapan.

"Apa itu?" tanya Dewi Chandrakirana sambil meraih benda tersebut.

"Hahahahaha! Itu adalah Saiga-12! Sebuah senapan! Dengan itu kamu bisa menembakkan peluru hingga 600 butir per menit!"

"Aku tidak mengerti. Maksudku, untuk apa benda ini?"

Boneka hitam terbahak mendengar pertanyaan Dewi Chandrakirana. Dia kemudian mengambil senapan itu dan mengarahkannya ke kepala boneka putih.

Bang!!!

Kepala boneka putih berhamburan ke lantai.

"Hahahahaha! Itulah cara menggunakan senapan!"

"Hahahaha, tapi hei, jangan mengarahkannya padaku! Kalau begini kesan imutku akan berkurang!"

"Hahahahaha! Sejak awal kesan imutmu sudah nol! Jadi itu tidak akan bisa berkurang lebih jauh lagi!"

"Hahahaha! Awas kamu, ya!'

"Hahahaha!"

Dewi Chandrakirana takjub dengan demonstrasi boneka melayang itu. Namun, dia menangkap maksud perkataan mereka.

Untuk dapat menghidupkan kembali Sang Penulis, dia harus memberikan tumbal.

Dan sepertinya tumbal itu tidak sedikit. Dengan Saiga-12 dia yakin bisa membunuh semua orang di istana hanya dalam hitungan menit.

Meski begitu, Dewi Chandrakirana tidak punya pilihan lain. Kebahagiaannya dipertaruhkan di sini.

Sudah cukup baginya bertingkah sebagai "Putri yang Baik Hati". Semua itu tidak akan berarti jika Sang Penulis mati.

Dengan begitu, bersama senapan di tangannya, Dewi Chandrakirana melangkah ke luar kamar.

avataravatar