webnovel

Dongeng Fisika Kuantum (Ind)

"Pedang, ilmu sihir, dan fisika kuantum..." Makoto melompat ke masa lalu untuk menghentikan Perang Dunia IV. Di sana, ia membasmi goblin, bertemu para ksatria gadis, memusnahkan monster mitologi, menemukan listrik, dan mengembangkan kerajaan sihir di tengah dunia phantasy. Ia bertarung melawan kesengsaraan dan makhluk kegelapan, selagi mencoba mengerti dari rasa sakit yang ia lalui. /Kenapa aku berada di sini?/ | Update setiap Sabtu pukul 21.00 |

Maulana_Laser · Sci-fi
Not enough ratings
7 Chs

Chapter 3 - Desa Xenophobia

Halo semuanya, author~ di sini XD

Ada plothole antara ch.2 dan ch.3.

Hutan di ch.2 gugur sementara hutan di ch.3 hijau.

Mereka agak ngerepotin, jadi bakal kutinggalin XD

Maap yaaXD

Aku harap kalian senang membaca~ XD

>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>

"Aku punya kejutan untukmu~"

Elis tersenyum jail disaat dia menutup mataku dengan kain hitam.

"What- apa yang terjadi? Aku kira kita tadi sedang istirahat di pinggir pohon- hey, hey!"

Elisia menarikku menuju <suatu tempat> selagi menutup mataku. Kami sedang duduk di sekitar api unggung tadi. Tak kusangka perjalanan menuju desa akan memakan begitu lama. Berapa lama waktu yang diperlukan untuk matahari terbenam di sini? Entahlah, aku sudah kehilangan indera pengukur waktuku disini. Aku sudah berjalan di sini terlalu lama. Gadis ini menyeretku sekarang. Aku hanya bisa mempersepsi cahaya yang menembus di antara celah – celah super kecil kain ini. Di mana ini? Mungkin desanya ada di sekitar sini, atau..

Dia membuka mataku, "Tada~! Selama datang di Snowburn Village!"

Aku silau oleh cahaya yang tiba – tiba menusukku. Tapi sesaat kemudian, aku terpukau. Di hadapanku berdiri sebuah desa kecil yang imut. Kabut – kabut berasap keluar dari perumahan warga. Atmosfer terlihat berkilau.

Perumahan – perumahan di sini kecil, hampir terasa imut. Sekumpulan rumah pedesaan bergaya Eropa yang berjejer satu sama lainnya, berhadapan membentuk garis. Mereka jauh dari kata raksasa, tidak seperti megalopolis yang biasa kujelajahi di era masa depan. Ukuran kecil desa ini sebenarnya membuatnya nyaman. Aku punya ketakutan terhadap bangunan raksasa. Atau mungkin paranoia, bahwa suatu hari bangunan – bangunan itu akan jatuh menimpa kami…

Snowburn, itulah nama desa lucu ini. Mendengarnya aku sudah bisa merasakan kehangatannya. Dinginnya es yang jatuh, dan panasnya kayu bakar di tengah perapian. Sebuah desa yang bersahabat di tengah hutan yang dingin dan keras. Rumah – rumah di sini sedikit mengeluarkan nyala oranye yang lembut, kontras dengan atmosfer hijau-coklat yang kudapatkan dari hutan di sekitarku.

Aku kaget, Elis menarikku ke dalam desa. Dia melebarkan tangannya, menunjukkanku seluruh area. Dia berlari bersemangat menunjukkan daftar tempat – tempat keren yang ada di desa. Gadis itu meloncat – loncat di dalam bayanganku, itu pasti yang akan dilakukannya kalau saja dia 5 tahun lebih kanak kanak. Penginapan, took kue, warung makan, dia menunjukkan padaku mereka semua seperti salesman sabun menawarkan barangnya. Aku berjalan mendekat ke dalam desa. Bersama setiap penjelasannya, aku mungkin sudah beberapa langkah lebih dekat..

Menjadi bagian dari desa ini?

Perasaan suka mengalir ke dalam diriku.

"Nenek!"

Ada banyak nenek yang berjalan di tengah desa. Elis meraih kepada salah satu dari nenek – nenek itu.

"Nenek, nenek! Di mana adik perempuanku?"

"Owh~ dia ada di sana.. bermain pedang kayu dengan para orc…" Si nenek menunjuk ke sisi lain desa. Ada rombongan ribut di sana.

Orc!!?

Di sana, berdirilah seorang anak kecil dengan pedang kayunya. Pakaiannya terlihat seperti mainan. Dia memakai selimut sebagai jubah di pundaknya. Dia menodongkan pedang kayunya ke hadapan para orc. Di hadapannya, berdiri 4 orang orc. Tinggi, gendut, dan berotot. Menjulang seperti gunung…

"Kau orc jahat! Kamu tidak seharusnya datang ke sini! Pergi!"

"T-tenang Ojou-chan. Kami hanya datang ke sini untuk memetik beri."

(Ojou-chan: Panggilan untuk puteri kecil)

Orc – orc ini gendut dan hijau. Ada 4 dari mereka. Yang satu adalah ketua mereka, dialah yang paling berotot. Sementara tiga yang lain adalah anak buahnya, atau temannya. Mereka membawa banyak kantong pinggang, mungkin mereka pengumpul makanan.

Si ketua berdiri tinggi memegang sebuah daging paha babi hutan besar. Orc – orc ini kemungkinan berdiri setinggi 2,5 meter. Tubuh mereka sangatlah tinggi, mereka hampir terasa seperti puncak gunung. Aku membayangkan salju berputar di kepala mereka. Puncak es salju yang dingin…

Tapi si anak kecil terlihat seperti tikus dibandingkan mereka.

Dia kelihatan unyu'/

"Kamu pasti ingin membunuh kami kan? Kamu pasti ingin membunuh kami kan!? Aku akan membunuh kalian semua!?" Anak itu menarik pedang kayunya.

"Sabar Ojou-chan, kau akan menyakiti seseorang dengan pedang kayu itu. Kami hanya ma- Ow, hey hey, geli! Hentikan!"

Si anak sibuk mengayunkan pedangnya. "Mati! Mati!"

"Hentikan kayu itu! Itu menggelikan!"

Si orc terbahak – bahak ketika pedang kayu anak kecil itu bolak – balik memukul perutnya. Pedang itu menggelitiknya. Si orc cekikikan sampai menangis. Pedang itu memantul bolak - balik. Tiga teman orc di sampingnya mengangguk - angguk dengan bijak.

"Mmmh, keinginan untuk membunuh…" Ucap orc pertama.

"Sangat terhormat." Jawab orc ketiga.

"Keinginan untuk membantai…" Ucap orc kedua.

"Sangat terhormat." Jawab orc ketiga.

"Mmmh, mmmh." Mereka bertiga mengangguk.

Mereka bertiga mengangguk – angguk dalam khidmat, seakan mereka telah menemukan pencerahan. Elisia seketika berlari menghentikan adik kecilnya.

"Revy! Hentikan!"

"Sang penyelamat cahaya telah datang…"

Elis menghentikan bocah berengsek kecil itu dari memukuli perut orc di hadapannya. Anak kecil itu memberontak persis seperti anak kampret sekarang. Elisia menunduk kepada para orc, meminta maaf selagi menjewer telinga Revy.

"Aku minta maaf! Aku minta maaf Tuan Orc! Kami harap insiden ini tidak merusak hubungan di antara dua desa kita!

"Jangan khawatir, Ojou-chan. Adikmu tidak bermaksud buruk. Kami tahu dia anak baik." Dia menyengir pada Elis, menunjukkan gigi – gigi besarnya. "Kita akan selalu kawan. Kedua desa kita akan selalu menjadi aliansi abadi, selamanya dan selamanya! Benar kan, kawan – kawan!?"

"Yaa!!!"

Si ketua orc mengangkat lengannya, dan ketiga temannya mengikut dari belakang. Otot bisep mereka bergoyang di sana.

"Wow.. itu sangat luar biasa!" Elis berteriak dengan mata bersinar.

Aku melihat ke arah Elis. Dia mungkin berpura – pura bersemangat, tapi aku bisa merasakan ketidaksukaan pada dirinya. Aku melihat tatapannya. Para orc adalah orang – orang yang benar – benar baik, dan menjaga hubungan dengan mereka penting untuk menjaga kedamaian. Tetapi di balak mata itu, tersembunyi rasa kebencian untuk melepaskan pembunuhan pada mereka semua.

Tapi keinginan itu tetap tersembunyi di balik matanya. Dia tahu bahwa para orc benar – benar orang – orang baik, tidak peduli apapun yang mereka lakukan di masa lampau.

Dia menatap pada mereka. Tatapan itu dingin… tatapan sedingin kematian…

"Aaaaa, terima kasih banyak Mr.Orc! Terima kasih banyak atas pengertianmu! Aku tahu kalian benar – benar makhluk yang baik! Aku harap hubungan desa kita akan selalu baik selalu!" Elis menunduk lagi dan lagi.

"Hahaha! Jangan khawatir, Ojou-chan. Lagipula, kami punya pertemuan penting yang perlu kami hadiri sekarang.

Si orc menunduk ke telinga Elis, sedikit gugup=gugup.

"Apa kau… kebetulan tahu di mana si nenek tinggal? Dia bilang dia akan membuatkan kami pai hari ini."

Seorang nenek tak kukenal menusuk – nusuk punggung dia. Sang orc berbalik. Si nenek tersenyum menunjukkan pai nya. Mereka semua bersorak sorai. Orc – orc itu membantu nenek memetik beri di kebunnya tadi. Sebagai bayaran karena sudah memetik beri, si nenek pun memberikan kepada mereka beberapa berinya dan pai lezat buatannya. Asli dari oven. Para orc itu menunduk – nunduk mencium tangan si nenek seperti itu nenek mereka sendiri.

Mereka meninggalkan desa dengan melambaikan tangan.

"Nenek! Kami sudah mencarimu sejak tadi!"

Ucap Elis ke nenek itu. Revy sudah berlari memeluk kaki si nenek tanpa kulihat.

"Oh, Elis~ Kau tidak bilang kau akan pulang membawa mempelai. Siapa laki – laki tampan ini? Aku belum pernah melihatnya di sini sebelumnya…" Si nenek tersenyum padaku.

"Mempelai?!" Aku dan Elis terkesiap.

Aku menahan malu, selagi si Elis panik memanas menjelaskan kondisinya. Selagi aku menutup mukaku, aku melihat sebuah kandang kuda di pojok ujung desa dari balik jari - jariku. Aku membuka wajah. Aku memanggil si nenek.

"Nenek, bolehkah aku tidur di kandang kuda itu?"

Keributan di sana seketika terhenti. Mereka memiringkan kepalanya padaku.

"Kandang kuda?"

***

Jerami!

Aku pun mendaratkan tubuhku di tumpukan surgawi itu. Ahhh, jerami… kekasihku…

Untuk beberapa alasan, aku sangat menyukai kandang kuda ini ketika melihatnya. Rasa nostalgia yang tak terjelaskan muncul padaku ketika aku melihatnya. Jerami, dan alam terbuka. Aaah, sempurna.

Aku sempat harus menjelaskan ke nenek kenapa aku ingin tidur di kandang kuda ini. Dia kebingungan, dan keanehan. Tapi melihat perasaanku, dia tak masalah. Aku berbaring di kasur jerami ini, kuda di sampingku adem memakan makanan buburnya. Kamar kami dipisahkan oleh pagar kayu.

Elisia sempat datang tadi, menawarkan agar aku di kamar sebelah dengannya. Dia bahkan membawa sekumpulan snack jaman pertengahan yang tak kukenal. Wajah tersenyum itu kurasa sudah putus asa. Aku sedih ketika menyadari aku harus menolaknya. Aku kini berangan – angan, bagaimana rasanya tinggal bersama seorang gadis? Itu pasti luar biasa.. Tapi aku harus menolaknya.

Aku memutuskan untuk tidur. Ketika aku baru saja akan tidur, sebuah siluet bergerak di ujung penglihatan peripheral-ku. Aku mengintip. Apa ini? Seorang anak kecil merengut dari balik tempat masuk. Pedang kayu menggantung darinya.

Oh, tentu saja.

"Penyusup…" Dia bergumam. Matanya menatap tajam seperti menatap seorang satanis.

Anak dengan xenophobia yang parah, Revy. Entah dia belajar dari mana rasa takut ini, tapi dia mencoba mengusir pergi setiap pengunjung yang datang ke desa. Semua makhluk itu kelihatan mengancam baginya. Seakan mereka semua setan…

Dia menggenggam pegangan pedangnya. Aku melenguhkan napas. Aku meraih ke dalam tasku, dan membawa keluar sebuah rubik.

Ini kubus rubik. Aku memutar tengahnya.

Rubik itu kini terbang dengan setiap bagian baloknya berputar dengan sendirinya. Si anak terkesiap. Di tengah kandang gelap itu, kubus rubik itu berputar seperti bintang menyilaukan di tengah angkasa. Dua turbin kecil keluar dari ujung masing – masing sisinya. Ini adalah kubus paling imut yang pernah ada. Si kuda tercekik melihat kubus itu berputar. Setiap balok memegang lampu yang pergi mati hidup mati dan hidup.

Kubus itu melayang. Mata Revy berkilau. Kaki kecil Revy berlari meraih rubik itu. Dia memeluk kubus itu seperti itu peliharaannya sendiri. Kemudian dia melempar rubik itu naik turun naik dan turun. Si kubus perlahan turun setiap kali dia melemparkannya ke atas. Si kecil mengeluarkan ekspresi kebahagiaan. Pedang kayu itu sudah jatuh di belakang sana.

Aku tersenyum. Tanganku meraihnya.

Tapi dia seketika menyembunyikan mainannya dariku.

Okay, sekarang aku kelihatan seperti penculik yang mau mencuri mainan anak kecil. Dia melindungi kubusnya dalam rengutan bocahnya.

Itu mainanku, kau tahu?

Mulutnya manyun seperti bebek. Dia perlahan membuka mulutnya.

"Na… namaku Revy.. penyusup.."

Ucapnya merengut. Dia menjauhkan mukanya padaku, menunduk ke bawah. Aku membayangkan kucing ketika aku melihat rengutannya. Aku tidak bisa menahan ini. Semengesalkan apapun dia, keimutan anak anaknya tetap keluar. Dia merengut sekarang. Dia malu, atau mungkin sedikit takut mengatakan itu?

Aku harus menghargai usahanya. Tersenyum adalah apa yang paling tidak bisa kukatakan.

"Namaku Makoto. Senang bertemu denganmu, Revy."

Aku tersenyum padanya.

"Ma… koto…?"

Matanya yang tertunduk terbuka lebar ketika dia mendengar nama asingku. Dia melihat ke arahku, menggumam sambil mencoba memahami nama itu. Aku rasa dia tertarik. Aku menawarkannya jabat tangan. Tapi dia langsung berteriak melihatnya.

"P-Penyusup Jahat!"

Dia mengayunkan pedang kayunya ke kepalaku. Gadis itu segera berlari keluar.

"Kau penyusup jahat! Aku akan mengambil kotak ini s-sebagai bukti kejahatan! Aku akan membawanya ke balai desa dan menunjukkan ke semua penduduk desa betapa jahatnya kau! Kau akan lihat, kau akan lihat!"

Gadis kecil itu berlari kandang. Dia berlari membawa keluar kubus bercahayaku menuju desa.

"Kau akan lihat!!" Teriaknya sambil menjauh.

Huuh..

Aku memegangi kepalaku. Entah berapa IQ-ku yang berkurang karena pukulan tadi. Aku segera berbaring di atas jerami nikmatku. Aku menutup mata. Aku sudah meninggalkan kehidupan perang. Desa damai ini akan menungguku di hari – hari esoknya.

Aku belum mempelajari budaya pedesaan ini, aku juga belum mempelajari mekanisme dunia ini. Apa yang membuat dunia ini berbeda, dan bagaimana dunia ini bekerja? Pedang, sihir, monster magis.. aku belum mengenal mereka sama sekali. Di tengah dunia tanpa teknologi kemajuan, aku tidak punya arah ke mana aku harus mengarah. Hanya beberapa gadget di lenganku ini yang bisa membantuku sementara. Aku harus segera membuat beberapa teman.

Atau mungkin segera menguasai dunia.

Bergerak di dunia yang tak kukenal, aku mulai membuat rencana. Aku menutup mata, dan mulai menyiapkan rencana ekstrem 10 tahun ke depan berlebihan yang sama sekali tak kubutuhkan..

Neuron kepalaku mulai sakit lagi. Apa yang akan menungguku di hari esok?