webnovel

Wanita Imut

Karena gertakan dari wanita itu, Hilmi terkejut dan tersadar dari haluannya.

Nadira memang terlihat cantik dan imut, pipinya merah seperti daging buah jambu biji, bibirnya yang mungil dibalut lipstik berwarna pink pudar, pakaian yang dia kenakan pun sangat rapi, terlihat berwibawa dan mempesona.

Dengan penampilan luar Nadira yang seperti itu, tak heran jika Hilmi sudah tertarik padanya meskipun baru pertama kali melihatnya.

Namun karena sikap Nadira yang tegas, membuat Hilmi yang terpesona menjadi tak berkutik, jantungnya pun berdegup sangat kencang karena berada di antara rasa jatuh cinta dan takut diterkam predator.

Baru saja Hilmi duduk, Nadira langsung menanyakan tujuan laki-laki tersebut yang datang ke ruangannya.

"Ada apa datang ke ruangan saya?" tanya Nadira dengan nada bicara yang tegas sambil menatap laptop dengan serius.

"Ini ... hm, anu ...," jawab Hilmi yang masih terganggu oleh detak jantungnya yang terus-menerus meneror dirinya.

"Anu, anu ... saya kasih waktu 30 detik buat atur napas kamu." Dengan lihai Nadira menyetel 'timer' dari gawainya, dan menaruhnya ke atas meja tepat di depan Hilmi.

Hilmi pun tak sanggup lagi menelan air liur yang sedari tadi sudah habis ditelannya. Dengan mengingat masa-masa di sekolah dasar tentang pemanasan sebelum olahraga, dia pun mengatur napasnya agar lebih santuy.

Tuttt ... tuttt!

Mendengar 'timer-nya' sudah berbunyi, Nadira tetap saja fokus pada laptopnya. Sementara, Hilmi bingung ingin mematikan 'timer' itu atau mendiamkannya sampai Nadira sendiri yang bergerak.

Suara 'timer' dari gawai Nadira tak kunjung berhenti. Ruangan yang sunyi itu berubah menjadi riuh karenanya. Ingin mematikannya, namun Hilmi takut dikira tak sopan menyentuh barang milik atasannya itu. Tapi, jika didiamkan, Nadira pasti terganggu dengan bisingnya.

Nadira yang melihat respon Hilmi, langsung menegurnya.

"Kenapa didiemin aja?" tanya Nadira dengan sedikit kesal sambil menaikkan alis matanya yang sebelah kanan. "Gak ada inisiatif buat matiin?"

DUARR!!

Hilmi yang baru saja mengatur napasnya agar bisa lebih tenang, dibuat sesak lagi ketika Nadira berkata seperti itu dengan tegasnya.

Dengan sigap, Hilmi langsung mematikan 'timer' itu walaupun tangannya harus merasakan getaran yang terjadi di luar kendalinya.

Setelah 'timer' itu berhenti berbunyi, suasana kembali hening. Nadira memalingkan fokusnya, menatap bola mata Hilmi, membuat Hilmi semakin canggung.

Tatapan Nadira yang begitu serius dan tajam, membuat Hilmi yang awalnya jatuh cinta, menjadi jatuh ke dasar jurang.

Nadira mengambil kembali gawai-nya yang berada di atas meja dekat Hilmi.

"Waktu sudah habis, silakan jawab pertanyaan saya," ucap Nadira yang tentu saja sedang fokus mengerjakan pekerjaannya di laptop berwarna merah itu.

Tak mau ditindas lagi, Hilmi dengan cepat mengatur napasnya kembali.

"Saya ke sini ... disuruh pak bos," jawab Hilmi sambil tersenyum paksa.

Nadira menatap bola matanya Hilmi, dan lagi-lagi membuat Hilmi seakan-akan tengah dilirik oleh seorang 'sikopet'.

"Untuk?"

Hilmi menatap kosong ke arah meja. "Untuk ...." Terasa sangat sulit bagi Hilmi mengatakan sesuatu di tengah kondisi horor seperti ini.

Hilmi menatap kembali ke arah Nadira. "Katanya, Mbak Nadira yang akan mengarahkan saya dan menjelaskan tugas-tugas saya di sini," jelas Hilmi.

"Oh ...." Nadira tampak masih sibuk dengan pekerjaannya.

Suasana menjadi hening.

Tak peduli Nadira yang tak kunjung menjelaskan tentang tugas Hilmi di toko donat ini, dia malah sibuk memandang wajah Nadira yang begitu menggemaskan ketika sedang serius.

Sampai akhirnya Nadira tersadar jika sedang ada orang yang menunggu di depannya.

"Oh, ya ampun. Dari tadi saya diemin kamu, kamu gak ada niat buat ngingetin saya gitu?" kata Nadira yang heran dengan respon Hilmi yang hanya diam saja.

"Eh ... iya, Mbak. Abisnya ... Mbak keliatannya sibuk banget, jadi saya gak tega, takut ganggu, hehe ...," balas Hilmi dengan jawaban yang tentunya sangat berbanding terbalik dengan kenyataan.

Pasalnya, bukan karena takut mengganggu Nadira, tapi memang dianya saja yang betah berlama-lama memandang wajah imut wanita itu. Istilahnya ya, mencari-cari kesempatan dalam kepikunan.

"Ya udah, ya udah ... kamu ngambil bagian apa di toko ini?" tanya Nadira yang otaknya mulai asam urat.

"Pelayan, Mbak ...," jawab Hilmi.

"Ya ampun, pelayan doang?"

"I–iya, Mbak."

"Ya udah, ambil peralatannya di sana." Nadira menunjuk ke arah lemari sebelah kanannya.

Hilmi pun beranjak dari tempat duduknya dan membuka lemari itu, melihat berbagai macam peralatan kebersihan. Saking banyaknya, Hilmi bingung harus mengambil yang mana.

"Ini ... ambil apa aja ya, Mbak?" tanya Hilmi kepada Nadira yang masih fokus dengan pekerjaannya.

"Kain pel, sapu, serbet, pembersih kaca, sama sabun pembersihnya."

"Oh ...," sahut Hilmi yang seketika tersadar, "tunggu, Mbak. Memangnya pelayan juga ngepel lantai, ya?"

Nadira menepuk keningnya. "Kalo gitu ... serbet, nampan, sabun buat bersihin meja, sama ... ya terserah kamu ajalah, butuh apa tinggal ambil di situ," jelas Nadira lagi yang nampaknya mulai stres dengan Hilmi ditambah lagi pekerjaannya yang belum selesai.

"Oh ... oke siap, Mbak."

Hilmi pun melihat-lihat lagi segala macam barang yang ada di lemari itu. Sampai bergumam dalam hatinya, ruangan Nadira yang sepertinya bukan ruangan seorang asisten owner dari toko donat ini, melainkan gudang penyimpanan serigala berbulu domba.

Dengan santai tanpa beban, Hilmi mencari-cari barang yang kemungkinan akan dibutuhkannya nanti untuk melayani para pelanggan yang terhormat.

Hilmi memilih barang-barang yang dia butuhkan dan mengambilnya. Melihat kumpulan tas besar yang terlipat rapi, Hilmi berpikir, mungkin saja itu sudah disiapkan untuk membawa keperluan barang yang banyak.

Setelah memasukkan semuanya ke dalam tas Hilmi kemudian laporan dengan Nadira.

"Mbak, kalo udah ... gimana ya ini?" tanya Hilmi polos.

"Ngamen sana di luar. Ya kerja dong, gitu aja ditanyain," jawab Nadira tanpa melirik ke arah Hilmi.

"Oh, hehe ... oke, Mbak." Hilmi pun berjalan ke arah pintu luar.

Seketika, niat jahil Nadira muncul ketika berada di ambang stres yang luar biasa. Ya, Nadira selalu menjahili karyawan-karyawan di sini sebagai pelipur penat karena pekerjaannya yang luar biasa rumit. Bahkan, kerumitannya itu mungkin saja mampu menggoncangkan dunia dan seisinya.

"Eh, tunggu ...," ucap Nadira membuat langkah Hilmi berhenti seketika.

Hilmi pun berbalik arah dan mendekati Nadira.

"Iya, Mbak? Kenapa ya? Saya salah ya bawa barang-barang sebanyak ini? Atau ... tasnya gak boleh saya bawa?" sahut Hilmi yang agak khawatir.

"Enggak ...," jawab Nadira dengan wajah yang tidak meyakinkan, "kamu mau langsung kerja?"

Mendengar pertanyaan Nadira, Hilmi pun langsung menjawab, "Iya, Mbak. Tadi udah disuruh pak bos. Katanya, hari ini saya langsung kerja."

"Emangnya udah yakin kerjaan kamu bagus?"

Belum sempat Hilmi menjawab, Nadira langsung melanjutkan kata-katanya.

"Bersihin meja saya dulu! Enak aja main kerja-kerja, kalo kerjaan kamu gak beres gimana? Saya yang bakalan ditendang sama pak bos." Pandai sekali dia menyembunyikan rencana jahilnya itu dengan wajah seriusnya.

"Emang iya, Mbak? Harus latihan dulu?" tanya Hilmi polos.

"Ber–si–hin!"

Next chapter