webnovel

last hint, first chaos

Hari senin sore Emily membawa Jessika ke rumah untuk pertama kalinya. Mereka akan mengerjakan tugas bersama.

"Bu, ini Jessika. Sahabat aku."

"Halo, Jessika. Duh, cantik banget, sih."

Tersipu malu. "Hai, Tante. Hihi, makasih."

"Kita naik dulu, ya, Bu."

Erik masih tinggal di sana karena orang tuanya belum kembali.

Jessika menyapa. "Hai, Bang Edward."

"Halo, Jess." jawab Ed saat berpapasan di lantai dua. Jessika salah tingkah saat melihat Edward dengan versi cool-nya.

"Emily, abangmu cakep banget, ya, wangi lagi."

"Alah, ... paling habis mandi. Ayo masuk!"

*****

Pukul 21.15 Jessika turun dan pamit pulang.

"Kenapa nggak nginep aja, Jess?"

"Maaf tante ... tapi mamah saya di rumah sendirian. Ayah ada dinas mendadak jadi nggak bisa pulang."

"Oalah, ya, sudah ... Tante panggilkan supir, ya?"

"Nggak usah Tante, makasih. Ada yang jemput, kok."

"Siapa?"

"Pacarnya!" jawab Emily.

"Oh, ya? Hati-hati, ya, Nak."

"Iya tante, Mari."

Emily mengantar Jessika ke depan gerbang. Tak lama datang seseorang dengan motor trail menjemputnya. Ed memperhatikan mereka dari balkon kamarnya dan nampak tak asing dengan perawakan pria itu. Saat membuka helm, dia melambai pada Ed. Ternyata Aldi. Ed melambai balik dengan sedikit terkejut mendapati mereka berpacaran. Jessika adalah anak tunggal dan orang tua mereka mengelola bisnis properti.

Selama Edward belum tidur, dia selalu membuka tirai kamarnya. Ed sering melihat Rama keluar masuk lewat pintu belakang. Namun, malam itu Rama tampil beda dengan setelan hitamnya, dia membawa semacam topeng tradisional. Ed menyusulnya dengan pakaian yang sama.

Rama sadar tengah di buntuti dan meminta Edward kembali. "Ed, kali ini kamu nggak bisa ikut. Aku akan bertemu boss besar yang pernah kuceritakan sebelumnya. Ini akan berbahaya, banyak pengedar lain juga," tegas Rama.

Ed mengerti dan kembali ke rumah.

*****

Rama menuju sebuah hotel terbengkalai yang tampak sepi dan menyeramkan dari luar. Ia tak sadar jika Erik mengikutinya.

"Kok, kayak ada buntuti ya?" Rama mempercepat langkahnya dengan tidak menoleh ke arah mana pun.

Erik mengelilingi tempat itu untuk mencari celah dan menyusup masuk.

"Rama mau apa, sih? Seram gini. Tapi penasaran," gumamnya.

Dia menemukan satu pintu masuk ke lantai bawah. Tanpa rasa takut Erik masuk dan bisa melihat apa yang terjadi di sana.

Banyak sekali orang berpakaian hitam dengan tudung dan topeng kulit. Sulit untuk membedakan siapa saja mereka. Namun, ada dua orang yang memakai pakaian dan topeng yang berbeda. Orang itu seperti tak asing bagi Erik.

"Ini acara apa? Rama ikut sekte penyembah setan?" gumamnya lagi.

Lampu meredup dan acara 'aneh' itu di mulai.

"Selamat malam semuanya! Terima kasih atas kehadiran ketua, wakil ketua, penasihat, ketua divisi penjualan, ketua divisi keamanan, ketua divisi laboratorium peracikan, mata-mata, dan divisi pengawas anak Elang yang telah hadir untuk acara ini. Tak akan panjang lebar, saya akan buka acara ini secara resmi."

Gemuruh orang-orang bertepuk tangan membuat Erik merinding dengan apa yang ia saksikan. Mereka adalah Kartel Narkoba yang ayah Aldi incar bertahun-tahun lamanya. Jumlah mereka begitu banyak, layaknya rumor yang beredar. Ia tak percaya jika Rama yang ramah dan bijaksana adalah bagian dari mereka.

Pembawa acara mempersilahkan ketua umum organisasi untuk memberikan sambutan. Saat mendengarkan mereka berpidato, Erik merasa tidak asing dengan suara wanita bertopi pantai dan bertopeng yang mereka sebut 'Madam' itu.

"Kok, suaranya nggak asing?"

Setelah memberi sambutan, mereka semua membuka topengnya.

"Dalam hitungan ketiga, ya ... satu ... dua ... tiga."

Bak tersambar petir, Erik tak percaya jika itu adalah ibunya dan pria yang di sampingnya adalah ayahnya.

"Mamah? Papah?!"

Dengan terengah-engah kaget dan berlinang air mata, dia pergi berlari menjauh dari tempat itu. Erik menangis dan berteriak di dinginnya malam.

"Aargh! Fuck!"

Tiba-tiba seseorang datang membungkam dan menyeretnya kasar.

"Bdwdiuqvd ... kau siapa, Anjing! Lepasin aku!" bentaknya.

Orang itu berpakaian sama seperti mereka, Erik ketakutan hingga pria itu membuka maskernya...,

*****

Suasana Kantor Polsek tengah siaga.

"Kamu yakin mereka di sana?"

"Yakin, Pak."

"Baik. Kami akan bergegas ke sana dan ketika kami bunyikan ponsel. Kau harus segera pergi, paham?"

"Siap, laksanakan."

Kapolsek menutup telepon itu dan semua tim bergegas.

"Semua tim bergerak sesuai arahan!" seru pak Yudi.

*****

"Sstt! Ini aku, Erik. Kamu tenang dulu!"

Erik terkejut melihat dia adalah Edward. Ia tak berhenti menangis melihat kebenaran yang memilukan.

"Ed, orang tuaku, Ed...," ucapnya dengan penuh pasrah.

"Gue udah lihat semuanya," jawabnya datar.

Erik tak percaya ayah dan ibunya adalah orang yang selama ini Aldi sering katakan. Dia merasa sangat malu dan hina menyadari kenyataan ia terlahir dan besar dari keluarga penjahat. Uang yang mereka berikan, fasilitas dan semua hal yang mereka dapatkan tak semuanya berasal dari pekerjaan mereka.

"Jaket sialan!" Edward melepas jaket dan membuangnya, ia memaki jaket itu karena membawanya pada petunjuk terakhir awal kekacauan. Erik hanya melamun, mencoba sadar apakah ini mimpi atau kenyataan.

"Bentar lagi bakal ada keributan. Kita harus cabut sekarang!" ajak Ed.

"Ada apa?"

"Ayo, cabut!" titah Ed.

*****

Tiba dirumah, Aldi menunggu mereka di halaman rumah di atas motornya.

"Edward, Erik!" sapa Aldi.

"Kalian dari mana, Nak? Ini Aldi menunggu dari tadi."

"Anu bu ... tadi kita habis...,"

"Jogging!" sahut Erik.

"Jam segini?

"Iya, hehe."

"Oh ... ya sudah atuh hayu di dalam ngobrolnya."

"Iya, Bu."

Bu Lastri meminta Bi Suryani untuk membuatkan minuman.

"Di, ada apa?" tanya Edward.

"Ed, Rik! Barusan ayahku telepon pas mau pulang. Dia bilang mereka bakal operasi besar-besaran Kartel Narkoba malam ini. Mata-mata Polsek bilang kalo mereka tengah mengadakan semacam acara perkumpulan gitu. Aku di larang dulu pulang dan di suruh mampir ke hotel atau rumah temen. Jadi aku balik lagi ke sini," celotehnya.

Erik bertanya dengan terbata-bata. "Se,seriusan? Mata-mata? Ayahmu kasih tau info penting serinci itu?"

"Iya! Emang kenapa?"

"Nggak."

"Jadi gue boleh nginep, kan?" tanya Aldi polos.

"Boleh. Kau mau sekamar denganku atau Erik? Soalnya kamar lain belum di bersihkan."

"Aku sama si Erik aja."

"Oke."

Bi Suryani datang menyuguhkan minuman hangat dan cemilan.

"Silahkan di minum teh nya."

"Terima kasih, ibu Rama."

"Sama-sama. Kalo butuh apa-apa panggil saja, ya! Atau telepon! Oke?"

"Siap! Bu maaf, Rama di mana, ya?"

"Sudah tidur, Nak. Kalo nggak kerja paruh waktu, Rama suka tidur lebih awal ... pintunya sudah di kunci dari jam delapan."

"Oh, begitu, ya, Bu...,"

Bi Suryani mengangguk seraya kembali ke kamarnya.

Dini hari, pikirannya terganggu dengan hal yang di katakan Aldi tadi. Ia turun membawa kunci cadangan kamar Rama. Edward ingin memeriksa keberadaan Rama, tapi nampaknya dia sudah tertidur pulas.

"Dasar pengedar cerdik," gumam Edward.

*****

Berita semalam tersebar ke pelosok negeri. Nama keluarga Erik tersorot dan banyak anak SMA UTAMA yang merisaknya di sosial media. Bahkan, di sekolah pun mereka tak segan mengatainya Erik nge-Fly anak sabu-sabu. Teman-teman Erik tak terima, terutama Ed.

"Rik, kau nggak marah sama sekali? Lihat berandal-berandal itu!" ucap Edward seraya menepuk-nepuk bahunya.

Erik hanya tersenyum kikuk dengan tatapan mata yang kosong.

*****

"Rama, amu nggak terima Erik di risak kaya gitu! Kamu bisa, kan, retas akun medsos orang-orang itu dan sebar aib mereka sendiri?!"

"Bisa, Ed. Tapi resikonya aku nggak tanggung."

"Cepat lakukan aja, jangan banyak bacot!"

Rama menuruti permintaan Edward karena versi inilah yang dia inginkan. Sikap Edward berubah menjadi kasar dan liar, dia tak ingin gagal lagi melindungi temannya.

*****

"Nak Eriko, mohon maaf, ibu tidak bisa membantumu untuk membuat anak-anak lain bungkam, karena kami tidak memiliki wewenang resmi untuk menghentikan mereka. Ibu berharap kamu sabar dan tabah menghadapi semua cobaan ini. Kami memutuskan untuk memindahkanmu ke sekolah lain dengan berbagai pertimbangan. Ibu merasa sangat tega, tapi ini adalah keputusan yang tepat untuk kami dan untuk kamu, Eriko. Apakah aku berkenan untuk dipindahkan?"

Erik yang tak percaya dengan perkataan guru konseling itu hanya bisa menangis tersedu-sedu pada bahu Edward. Hanya Edward teman satu-satunya yang ia miliki dalam situasi ini.

"Tolong beri Eriko waktu, Bu. Kami akan segera kembali dengan membawa keputusan. Kami pamit," ucap Edward.

Mereka pergi meninggalkan ruang konseling dengan mengabaikan surat persetujuan yang menunggu ditanda tangani.

"Makasih banyak, Ed. Aku benar-benar nggak berdaya menghadapi mereka," ucap Erik seraya mengusap air matanya.

Di toilet, Edward dan Erik tengah berbincang mengenai rencana mereka untuk membungkam para perundung itu. Edward menceritakan semua rencananya untuk membalas dendam.

"Itu Ideku, bagaimana menurutmu?"

Erik terdiam seraya memaikan keran wastafel.

"Aku nggak yakin, Ed. Lebih baik aku pindah aja, aku udah nggak punya tempat untuk pulang."

"Hus, kata siapa? Rumahku juga rumahmu."

"Sebaiknya jangan kau lakukan, Ed. Aku hanya perlu menunggu waktu yang pas untuk membungkam mereka...," pungkasnya seraya mencuci muka.

*****

Beberapa minggu berlalu, warga sekolah masih merisak dan menuduh jika Erik adalah si pengedar yang selalu di gosipkan. Bahkan, Klub nya sepi, tak ada satu anggota pun yang berlatih. Sebagian dari mereka mengundurkan diri. Erik meradang, rasa sabarnya di ambang batas.

"Erik Nge-Fly... bagi sabu-sabu, dong. Aku mumet nih, belajar, harga teman bisa, lah," celoteh seorang siswa.

Erik mencoba menahan amarahnya, tapi anak itu terus mengikuti dan mengatainya dari belakang. Hingga kesabarannya pun hilang.

"Berisik, anjing!"

Bugh!

Crrt.

Erik meninju dan mendorong siswa itu hingga jatuh dari lantai dua koridor. Orang yang melihat kejadian itu menjerit histeris. Siswa itu terjatuh dengan tengkurap, membuat taman yang hijau berselimut darah.

Semua siswa berkumpul mengerumuni anak yang terjatuh tadi. Mereka segera memanggil ambulans untuk segera membawanya ke rumah sakit.

"Ya Tuhan, ini ulah siapa?" tanya kepala sekolah.

Seseorang membisikkan sesuatu padanya.

"Cari Eriko, sekarang juga!"

Para satpam dan guru bergegas mencari-cari Erik yang tiba-tiba menghilang dari lingkungan sekolah.

Erik pergi berlari menggenggam tangan Edward menuju gerbang belakang sekolah. Dengan terengah-engah Edward menghempaskan lengannya dan membentak Erik. Ia takut keadaan akan semakin parah.

"Erik, apa yang kamu lakukan? Itu di luar batas!" bentak Edward.

"Aku nggak tahan lagi sama topeng ini, Ed. Sampai ketemu nanti!"

Edward kewalahan karena suasana makin kacau. Erik kabur naik taksi dengan melambai sembari membelakanginya.

"Pak, jalan! jangan hiraukan anak itu."

"Erik! Jangan pergi!"

Rama, Aldi, dan Fitri berusaha mengatakan pada pihak sekolah apa yang sebenarnya terjadi. Mereka menjelaskan jika Erik memang anak dari pemimpin Kartel. Namun, dia tak pernah tahu hingga kejadian ini membukakan semua rasa curiga terhadap orang tuanya.

Pihak sekolah tak memberi toleransi karena ini akan semakin merusak reputasi sekolah. Sudah cukup kasus narkoba di sekolah, sudah cukup kasus bunuh diri, penusukan, dan siswa yang hilang berminggu-minggu. Fitri selaku anak wakil kepala sekolah bidang kesiswaan meminta ibunya untuk mempertimbangkan keputusannya. Namun, ia malah di semprot dengan perkataan pedas.

"Kamu ini nggak tahu diri! Udah tau teman kamu berengsek semua! Masih aja di bela! Udah sana keluar, ibu capek! Kita ngobrol di rumah aja," ucap Bu Titin lantang.

Fitri keluar dari ruangan ibunya dengan penuh amarah. Kini mereka tak percaya pada siapa pun di sekolah ini.

Fitri meminta Aldi untuk berbicara pada ayahnya mengenai kasus siswa jatuh tadi. "Di, kamu bisa bicara sama bapakmu, kan, jangan usut masalah ini? Sumpah, aku nggak paham kenapa semuanya kacau gini."

Aldi menegaskan tragedi ini akan sulit di tutupi karena terlalu banyak saksi mata meskipun ia merasa iba pada apa yang menimpa Erik.

Ia bertubi-tubi mendapat tekanan batin. Ingin rasanya Aldi menolongnya dengan segala cara. Namun, sangat tidak mungkin untuk menutup mulut banyak saksi mata saat kejadian itu. Mereka semua diam dengan sejuta kebingungan. Sementara Edward, dia pergi menyusul Erik yang akhirnya kehilangan jejak.

"Ah, sial! Kamu mau kemana, sih, Rik?"

Menyadari suasana makin rumit dan berbahaya, Edward memutuskan untuk lebih memperhatikan keluarganya, terutama Emily. Dia meminta adiknya tetap di rumah dan hiatus dari media sosial. Edward khawatir orang jahat masuk ke keluarganya. Dia menjadi sangat sensitif terhadap orang lain dan sering mengubungi Fitri untuk tetap bersikap was-was. Edward kembali sakit dengan dua sisi diri layaknya beberapa tahun yang lalu.

*****

Tahun ajaran baru di mulai. Kini Edison berada di semester genap. Entah dia harus merasa senang atau sedih karena waktu begitu cepat berlalu dan meninggalkan banyak sekali cerita di dalamnya. Penampilannya terlihat semakin berantakan. Dia ingin mengekspresikan rasa sakitnya yang di sebabkan lingkungan terkutuk ini.

"Huft, here we go again, Emily!"

"Yash!" sahutnya.

Sekolah kembali tenang dan normal. Kini hanya tinggal Edward dan Fitri saja. Aldi di perintahkan ayahnya untuk tidak bergaul dengan teman-teman anak bandar itu. Mereka mengerti dan mulai menjaga jarak.

"Fit, kau bisa janji nggak akan menjauh dariku?" Ed mengacungkan jari kelingkingnya.

"Apa, sih, Ed? Kayak bocah banget," celotehnya.

"Udah, sini tanganmu." Ed mengaitkan kedua jari kelingking mereka seraya tersenyum dengan penuh ketulusan.

"Janji?"

"Janji!" sahut Fitri.

*****

Fitri membuat rencana untuk mencari akar dari permasalahan ini dan siapa dalang di balik semua panggung ini. Ed yang mendengarnya hanya diam alih-alih menyimpan rahasia jika Abdul dan Rama adalah bagian dari mereka. Terkadang, Ed menaruh banyak prasangka buruk pada Rama karena dia selalu bersikap misterius jika sedang 'bekerja'. Tapi, Rama adalah orang yang baik baginya.

Sekolah kembali kondusif tapi Edward semakin kacau. Wali kelas mereka mengumumkan akan ada kemah tahunan untuk semua angkatan.

"Gile, Anjing! Sekolah lagi kacau gini juga tetep aja ada kemah," cemooh Edward.

Sontak semua warga kelas meliriknya.

"Iya, Edison, ada yang ingin di sampaikan?" tanya wali kelas.

"Tidak, Bu. Terima kasih," sahutnya.

"Ed, kamu kenapa sih?""

"Nggak. Fit, kau ikut?"

"Terserah kamu, sih."

"Weh, si Amel kemana memang?"

"Oh, iya gue lupa kabri kalo dia pindah sekolah."

"Pergi gitu aja?" Ed terheran.

"Bapaknya di pindah dinas, katanya."

"Bukannya mereka kemarin bangun rumah dan syukuran karena bertujuan buat menetap? Aneh banget."

Bugh!

"Kamu kenapa, sih, suuzan banget? Aku bisa aja padahal."

"Ya ... aneh aja gitu dia pergi saat semua masalah udah reda."

"Hah?"

Edward menghela nafas panjang.

"Skip! Tuh, dengerkan ibu ngomong."

Fitri mendengkus kesal.

Sebenarnya, Ed tak berniat mengikuti kemah itu karena tak ada lagi dua sahabat yang membuatnya nyaman, hanya tersisa Fitri. Dia juga tak bisa berhenti memikirkan kemana perginya Erik selama ini. Anak itu hilang bak di telan bumi. Ed menjadi kasar dan berpedoman pada apa yang orang katakan selama ini. Dia menjadi angkuh, liar, tak berpikir panjang, dan ceroboh.

Saat kelas ribut mendiskusikan perkemahan, Emily menghampirinya ke kelas, membuat anak-anak ramai meliriknya.

"Bang! Ikut kemah, ya! Temani aku."

"Iya," jawabnya dengan melirik tajam adiknya.

"Kalian, kok, kayak mau berantem, sih?" ujar Amir

"Judes amat Ed sama adik sendiri juga!"

"Bukan urusanmu," tegas Edward.

Emily pergi meninggalkan kelas.

*****