webnovel

jolt of souls

Setelah memarkir mobil, Edward menyusuri koridor dengan tergesa-gesa. Orang lain terus menatapnya risi hingga Willy dan Erik datang membuatnya lega. Willy bercanda ingin segera pergi ke rumah Edward untuk belajar bersama alih-alih ingin bertemu Emily.

"Ed, ajak kita ke rumahmu, dong! Main gitu, mabar."

"Dih, bilang aja kau mau ketemu sama Emily, dasar kampret!" ejek Erik.

"Fitri sama Amel mana, ya? Tumben belum pada dateng."

Nampak dua siswi berlari menyusuri koridor.

"Guys, guys, guys, guys, kalian tau, nggak?"

"Apa?" sahut mereka bersamaan.

Huft

"Bentar, nafas dulu."

"Apa, sih, Fit? Jangan bikin orang penasaran," tegas Willy

"Itu ... kelas kita bakal kedatengan murid baru."

"Ya, terus?"

"Anaknya ganteng! Aku liat tadi di gerbang."

"Dih, kirain apa," jawab mereka dengan nada datar.

Mengingat ibunya adalah guru Fisika yang juga menjabat sebagai wakil kepala sekolah bidang kesiswaan, Fitri selalu tahu tentang kabar hangat di sekolah, bahkan sebelum di publikasi.

"Yuk, ke kelas!" ajak Fitri dengan terengah-engah.

Bel berdering, guru tak kunjung datang, mereka mengira akan ada jam kosong. Rupanya, apa yang Fitri katakan benar. Wali kelas datang dengan murid baru. Ia baru saja pindah ke ibu kota setelah ibunya pindah untuk urusan pekerjaan.

"Ada kutu buku baru, nih."

Aldi mengirimi Edward pesan seraya menoleh dari kursinya. Ia hanya membala dengan stiker tertawa.

Bu Guru datang bersama seorang siswa dengan rambut poni yang menutupi dahinya.

"Selamat pagi semuanya. Hari ini, kita kedatangan murid baru. Ayo, nak, perkenalkan dirimu," ujar bu Ainun.

"Halo semuanya! Perkenalkan, namaku Robert Ramadian Putra Khoir, panggil aja Rama. Nice to meet you!"

"Hai Rama! you, too!" sahut semua murid.

Selesai berkenalan dan menceritakan sedikit tentang dirinya, Rama duduk di kursi belakang dekat dengan Willy dan Erik. Sementara Edward duduk di tengah dekat dengan Aldi dan Fitri. Kelas itu kini berisi genap tiga puluh enam murid.

*****

Suasana kantin siang itu sangat ramai membuat Edward semakin tidak nyaman berlama-lama sejak kejadian hari lalu.

"Orang-orang kenapa, sih?" tanya Ed ketus.

Fitri, Willy dan Erik hanya menggelengkan kepala seraya memakan Nasi Kucing. Mereka tak bisa berkata apa pun karena Edward sendiri tak mengingat hal yang ia sendiri lakukan.

*****

Sepulang sekolah, Amel mengundang Ed, Will, Fitri, dan Erik ke rumahnya. Ia berkata ayahnya ingin mereka hadir dalam acara house farming rumah baru mereka. Keluarga Amel memang bukan asli kota ini, mereka pindah dari daerah lain beberapa tahun yang lalu.

Setelah menyampaikan pesan ayahnya, ia pergi begitu saja karena harus berbelanja.

"Kalian dateng, kan?" tanya Fitri

"Ya!" jawab mereka serentak.

Anak-anak itu berpisah di ujung lorong menuju rumah masing-masing.

Edward berjalan menuju parkiran seraya memakai kacamata hitam yang ia simpan di ranselnya. Nampak seorang gadis sudah menunggunya untuk pulang bersama.

"How was your day?"

Dalam heningnya pikiran, Emily bertanya mengenai keadaan kakaknya pasca mengamuk di kantin beberapa hari yang lalu. Edward hanya melirik Emily dengan senyuman yang penuh ketidakberdayaan.

*****

Dari balkon kamar, Edward dapat mengamati apa yang di lakukan Rama di taman belakang. Ia tampak sibuk memainkan dua ponsel. Sedikit aneh memang, kenapa seorang anak sekolah harus punya dua ponsel sekaligus, mengingat satu ponsel saja sudah merepotkan. Sadar tengah di awasi, Rama beranjak ke sudut yang tak terjangkau oleh jendela balkon tadi.

"Sial," batin Edward.

*****

Hari minggu sore, Edward ingat jika dirinya mendapat undangan dari keluarga Amel. Edward pergi ke rumah Amel yang jaraknya lumayan dekat dengan sekolah. Ia tak sempat pamit pada siapa pun mengingat orang lain tengah sibuk dan dia sendiri tengah terburu-buru.

"Sebaiknys kukabari Emily saja," gumam Edward seraya memakai jaket.

Vrom vrom vrom!

Edward melaju kencang menuju lokasi rumah baru Amel.

*****

Tiba di rumah Amel, teman yang lain sudah datang.

"Ed, kok, telat, sih? Untung acaranya belum mulai," celoteh Fitri

"Aku habis keliling cari parkiran," bisik Ed.

Acara berlangsung dengan khidmat.

Setelah acara selesai, mereka berkenalan dengan orang tua Amel. Ayahnya sudah kenal dengan Edward karena Amel sering membahasanya.

"Halo, Pak. Saya Edward."

"Oh, ini, toh, Edward. Salam kenal, ya, Nak. Amel sering cerita soal kamu."

"Iya, Pak. Salam kenal."

"Ayo semuanya silahkan di cicipi makanannya!" ucap ayah Amel.

"Terima kasih, pak."

Setelah lama bercanda gurau sembari menikmati makanan, Ed membawa mereka pulang bersama karena hari mulai malam.

Di perjalanan, Erik mengungkapkan bahwa Amel dan keluarganya sangat baik, ingin rasanya dia memilikinya. Willy terbahak-bahak mendengarnya. Sedangkan, Fitri bercerita bahwa dia terpesona pada Rama dalam pandangan pertama. Dan Willy, ia ingin dekat dengan Alisya, sahabat Emily. Mereka bertanya apa yang Edward inginkan. Dia menjawab,

"Konser Taylor Swift."

"Hahaha,"

semua orang tertawa di ikuti dengan keheningan dalam hitungan detik.

"Guys, sekarang, kan, masih sore belum malem-malem amat ... Bagaimana kalo kita mampir dulu? Ya, having fun, lah!"

"Maksudmu?"

"Ke Sayap Emas, yuk!"

"What?! Are you kidding me? No," sahut Fitri.

"Ayo!" jawab Erik penuh semangat.

"Hell, nah!" bantah Fitri.

"Kamu ikut, kan, Edison?" tanya Willy.

Edward mengangguk.

"Wah, Ed! parah, ya, kamu mau aja di ajak dua berandal ini! Aku, sih, ogah! Pokoknya terserah kalian mau kemana asal antarkan dulu aku pulang. Titik!" Fitri kesal.

"Siap tuan putri!" ejek Willy.

Mereka mengantar Fitri pulang.

Meskipun tengah bermuka masam, Fitri membentak mereka alih-alih peduli.

"Jangan pada mabuk! Besok sekolah," bentaknya seraya menurup gerbang rumah.

*****

Sayap Emas terlihat sepi saat itu, mungkin karena malam senin. Willy mengenal salah satu pelayan di sana yang merupakan salah satu alumni klub basket. Will bertujuan untuk memperkenalkannya pada Ed seraya mengajaknya untuk bersenang-senang.

"Sepi ya, Wil," ujar Erik.

"Iya, bro. Kita ke bang Idrus aja, lah."

"Bang Idrus, siapa?" tanya Ed polos.

Mereka duduk di meja bar. Tampak seorang pria besar tengah menyajikan minuman pada seorang pelanggan.

"Eh, William, Eriko! Tumben dateng malam senin," sapa Idrus.

"Nggak apa-apa, lah. Lagian kalo pas rame kita nggak bisa ngobrol," jawab Willy seraya mengeluarkan bungkus rokok.

"Lah, ini siapa, Wil? Cakep bener. Baru kulihat batang hidungnya."

Ed memperkenalkan diri."Halo, Bang ... aku Edward...,"

"Edward, kan? Haha udah tahu, kok. Masa aku nggak kenal sama yang buat klub basket rame lagi."

"Hehe ... makasih, Bang," jawabnya dengan tersipu malu.

Mengulurkan tangan. "Aku Idrus. Jangan canggung, ya."

Ed mengangguk.

"Tolong buatkan kami minuman spesial dong, Bro. Buat perkenalan, lah, sama kawan baru kita." Willy menepuk pundak Ed.

"Iya, Bang. Dia juga masuk klub ku... aku harus berterima kasih juga."

"Oke, deh, tunggu, ya...," jawab Idrus.

Willy menawarkan bungkus rokok

pada Edward yang tengah celingak-celinguk melihat suasana.

"Thanks, Wil."

Edward merokok dengan santai, seperti perokok aktif. Erik mengikik alih-alih heran menyikapi sikap temannya ini yang sangat amat tak bisa di tebak.

"Bang, aku mau Vodka aja," ucap Ed.

"Kau besok sekolah, Edward," sahut Willy.

"Bisa bolos."

Erik berbisik. "Wil, kamu kasih apa ni bocah?"

Willy menunjukan bungkus rokoknya pada Erik.

"Bangsat, gila kau!"

"Santai, Rik. Chill ... liat tuh anak, baru berapa kenyot aja udah kayak begitu. Kamu nggak pernah, kan, lihat dia kayak gini?"

"Iya, sih."

Erik pun ikut merokok dengan bungkusan yang dia bawa sendiri. Idrus hanya tersenyum kecil melihat anak-anak naif itu bersikap seperti orang dewasa.

Hari kian malam dan tempat itu semakin ramai. Bukan bar yang sepi, tapi belum cukup malam untuk tempat itu ramai seperti biasanya.

Willy dan Erik masih bisa menahan kesadarannya. Mereka hanya duduk melihat temannya living his live. Edward terlihat tengah berjingkrak bersama orang asing yang bahkan dengan mudah ia goda di tengah banyak orang.

"Wil, liat si Edward!"

"Hahaha. That's my bestie!"

"Kamu yakin dia nggak apa-apa?"

"Santai, lah. Setelah dia meledak random kaya kemarin, aku tahu dia punya banyak unek-unek tapi nggak bisa di lampiaskan kemana-mana. Aku peduli sama dia, Rik. Tuh lihat! Sebenarnya dia anak normal kayak kita, bahkan dia lebih sempurna."

"Apaan sih, Anjir. Kau puji-puji dia layaknya pacar aja."

"Hahaha ... jangan bilang kau cemburu?"

"Ew ... fruity!" semprot Erik.

Edward pergi menuju toilet dengan setengah sadar, ia merasa kantung kemihnya sudah sangat penuh. Saat tengah membasuh muka di wastafel, seorang gadis keluar dari bilik toilet dengan mengibaskan rambut hitamnya. Ia ingat dia adalah sosok gadis yang membuatnya salah tingkah dalam pandangan pertama.

"Angel, ya?" tanya Edward tanpa menatapnya.

"Iya, aku tak pernah mengira kau akan datang ke tempat seperti ini, Angelo," jawabnya seraya memoles bibir tipis itu dengan balutan warna merah muda di hadapan cermin.

"Aku hanya pergi mengantar teman-temanku...," pungkasnya.

"Oh, begitu...," sahut Angel tanpa menatapnya.

Tiba-tiba, seorang wanita tua menggoda Edward dan nyaris mencium pipinya.

"Hi, tampan, mau tante service ngga?"

Wanita tua itu meraba-raba tubuh Edward.

"Heh, dia punya gue! Sembarangan banget, cari yang lain sana!" bentak Angel seraya menjambak rambut palsu wanita jadi-jadian itu.

"Maaf, ya, kakak...," jawabnya genit.

Edward membelalak mendapati situasi yang sangat membuatnya tidak nyaman. Ia menoleh pada Angel yang tampak biasa saja menghadapi situasi seperti itu.

"Maaf, ya ... kalo aku nggak kaya gitu, pasti wanita berbatang itu sudah membawamu," ucapnya.

"T, tidak apa-apa. Makasih banyak, Angel."

Angel menunjukan kode untuk menambahkan kontak pada Edward, sontak ia meraih ponselnya dan memindai kode itu.

"Kalo ada apa-apa, hubungi aku, ya ... Aku di 12 Bahasa 1. See you...," pungkas Angel seraya meninggalkan ruangan wastafel.

Jantung Edward berdebar kencang setelah menghadapi dua wanita yang sangat bertolak belakang. Ia tak henti berdecak kagum pada sifat Angel padanya.

Sadar ia terlalu lama berada di toilet, Edward bergegas kembali menuju teman-temannya. Mereka tampak tengah bercanda gurau dengan Idrus yang terlihat tak sesibuk tadi.

"Dari mana, Ed?"

"Kebelet, Bang."

"Kau ngga di godain sama wanita tua itu, kan?"

"Ng, ngga, kok, aman."

"Syukurlah, dia soalnya tiap malem di sini terus dan suka banget cari mangsa baru. Cukup risi memang, tapi sebetulnya dia orang baik, kok," ujar Idrus.

Edward hanya manggut-manggut sembari meneguk minumannya yang akhirnya membuatnta benar benar mabuk.

Waktu menunjukan pukul 02.35, Willy dan Erik membawa Edward pulang.

"Bang, Thanks, ya! Nanti kubayar!"

"Udah di bayar kok! Tuh, tadi si Edward kasih kartu kreditnya. Katanya bayar tiga kali lipat aja, hitung-hitung sedekah."

"Lah ... kocak, nih, anak. Oke, deh, kita pamit, ya!"

Willy dan Erik terlihat segar karena mereka tak minum banyak.

"Edward, sadar woi! Kamu nggak bisa pulang kayak begini."

"Aku nggak apa-apa, Rik. Kamu aja yang nyetir, aku agak pusing."

"Agak pusing dari mana? Kau jalan aja bikin kita susah," ledeknya.

"Fuck you!" semprot Edward.

"Hahaha. Udah, aku yang nyetir aja," balas Willy.

Riuh angin kota membuat Willy sadar sepenuhnya, sementara Erik masih sedikit pengar.

"Ini anak mau kita apakan? Kalo aku jadi pemeran antagonis kayak di film-film, udah pasti kubuang ini bocah terus bawa mobil sama dompetnya."

"Good Idea!" jawab Erik.

"Kau jangan pura pura teler, Asu!"

"Hahaha. Kita antar dia pulang aja. Entar ke rumahku dulu ambil motor, ya kali ada angkot jam segini."

"Oke." Willy menancap gas.

"Mobil impianku enak banget!" teriak Willy seraya mengebut di sepinya jalanan.

"Pelan-pelan, bangsat!" sahut Erik seraya berpegangan erat.

Tiba di rumah Erik, ia segera turun dan bergegas mengambil motor. Erik sudah terbiasa sendiri mengingat orang tuanya terlalu sibuk dengan pekerjaan mereka. Willy membawa Edward pulang di ikuti Erik di belakang.

"Ed, rumahmu di mana?! Tolol banget aku mau antar pulang tapi kamu nggak pernah kasih tau kita di mana rumahmu!"

Edward terlihat sadar dan segar. "Sampai sini aja, Wil. Aku bisa balik sendiri. Kamu balik sana! Minggir dulu coba."

"Lah ... kok udah sadar lagi?" gerutu Willy seraya menepi ke pinggir jalan.

"Terus aku harus tetap molor, gitu?"

Willy heran. "Ya ... nggak juga, sih. Bagus malah!Serius kamu bisa nyetir sendiri? Masih jauh, nggak?"

"Bisa. Udah deket, kok. Udah sana balik lagi aja, kasihan Erik kedinginan."

"Terus kamu nggak kasian padaku?" Willy turun dari mobil.

"Nggak," jawab Ed.

Erik menggigil kedinginan. "Kenapa berhenti di sini? Dingin, cok! Ayo gas lagi!"

"Aku bisa balik sendiri. Kamu antr Willy aja!" titah Edward.

"Kamu nggak apa-apa, kan? Nggak kesambet?"

"Kagak! Udah sana pulang, beso–nanti pagi kita harus sekolah!"

"Kan, kau ajak bolos."

"Apaan, sih. Udah sana pergi!"

Willy dan Erik saling menatap heran dengan sikap Edward yang makin tak bisa di baca. "Ya udah, see you in another world, bestie!" canda Willy.

Edward hanya melambaikan tangannya dengan berusaha sadar sepenuhnya.

Mereka bergegas pulang.

Huft.

Setelah mengirup udara dingin dini hari, Edward mulai sadar dan memeriksa jam.

"Fuck! Emily pasti mencariku," batin Edward.

Edward membali naik ke mobilnya dan bergegas pulang dalam keadaan setengah melayang.

*****

Saat hendak memasuki gerbang utama kompleks perumahan, Edward terlihat agak panik melihat pak satpam yang menghadangnya.

"Selamat pagi. Edward? Dari mana jam segini baru pulang?"

"A, anu, pak ... saya habis menginap di rumah teman," jawabnya dengan sedikit melantur.

Melihat keadaan Edward yang masih belum sepenuhnya sadar, pak satpam memintanya bergegas.

"Ya, sudah, cepat masuk ke rumah, ya. Perlu saya antar?"

"T, tidak usah, pak. Terima kasih," pungkasnya.

Suasana rumah tampak sepi, tentu saja orang-orang masih tertidur.

"Ah, aman," batin Edward lega.

Edward naik tangga perhalan. Tiba-tiba seseorang menepuk pundaknya.

"Hei, dari mana? Kau gila, ya, tadi aku harus berbohong kalo kamu menginap di tempat temanmu. Paman dan adikmu khawatir setengah mati."

"R, Rama ... Iya aku habis dari tempat Amel tadi. Sorry aku lupa ajak."

"Santai. Kamu nggak apa-apa?"

Rama bisa melihat Edward tengah teler.

"Bilang aja aku sakit. Kasih tahu Emily juga, ya. Aku naik dulu."

"O, oke."

"Dasar orang kaya," Rama bergumam.

*****

"Disini aja, Rik. Kita nggak bisa bawa motor ke gang, entar bising."

"Tapi, kan, jauh?"

"Udah santai. Makasih, ya! Hati-hati di jalannya, teman baikku."

Memakai helm. "Dih, anjing, geli! Ya, udah see you lusa. Awas aja kalo sekolah."

"Beres!" pungkas Willy.

Setelah turun, Willy menyusuri gang sepi menuju rumahnya dengan tergesa. Dia merasa ada seseorang yang membuntutinya hingga ia harus berlari. Orang itu terus mengikutinya hingga berlari menyusulnya.

Bugh!

Willy panik dan terjatuh ke parit.

"Siapa kamu? Kenapa kau terus mengikutiku?!"

"Hei, cabul! Udah puas memperkosa anak orang?"

Srrt srrt srtt

Argh...!

Pria bertudung hitam itu menusuk Willy dengan dua tusukan, membuat darahnya mengalir di parit bersama dengan air yang mengalir. Dia menyuntikkan sebuah zat pada tubuh Willy dan meninggalkannyay terkapar di sana. Willy menyalak seraya memegang perutnya erat. Hingga beberapa menit kemudian dia terkapar tak sadarkan diri.

*****

Waktu kian pagi ditandai adzan subuh berkumandang. Orang orang bergegas menuju surau untuk salat berjamaah.

"Astagfirullahaladzim!"

Dengan siap, seorang pria turun dan memeriksa keadaan Willy. Ia spontan menekan vena jugularisnya.

Deg, deg, deg.

Suara detak jantungnya kian melemah.

"Tolong! Tolong! Tolong!"

Ustadz Kamal berteriak pada warga sekitar dari bawah parit setelah melihat seorang remaja terkapar dengan luka tusuk dan dan kubangan darah.

Warga kampung itu di gegerkan dengan kejadian ini hingga kabar itu menembus dinding rumah Willy.

*****

Ponsel Edward berdering kencang.

"Kenapa, Rik?" suara Edward masih terdengar berat.

"Willy, Ed, Willy! Dia di rumah sakit. Ada orang asing menikam perutnya tadi pagi. Aku nggak kuat dengar kabar dari tetehnya. Kamu cepat ke sini!" ucap Erik gemetar.

"Ada apa ini, Tuhan...,"

Waktu menunjukan pukul 10.05, Edward bergegas tanpa sepatah kata.

Tiba di rumah sakit, Willy dinyatakan kritis. Dokter mengatakan dia di tikam di bagian perut dan paha. Dalam tubuhnya juga terdeteksi ada narkoba. Fitri dan Amel menangis, begitu pun dengan Erik.

"Ini semua salahku! Seharusnya aku mengantarnya sampai rumah!" Erik mengumpat pada dirinya sendiri.

"Ini kecelakaan, Rik! Kamu nggak bisa salahkan diri sendiri!" jawab Fitri terisak tangis.

"Harus aku luruskan!" gerutu Edward seraya pergi dengan amarah yang membara.

Edward pergi ke kantor polisi untuk melaporkan kasus penyerangan ini dan memberikan saksi jika Willy bukanlah pemakai narkoba, dia atlet Basket.

"Saya jamin seratus persen teman saya bukan pengguna, Pak. Dia murni korban kejahatan."

Ed menjelaskan. "Beberapa jam sebelum kejadian, kami pergi bersama dan semuanya baik-baik saja, Pak. Tolong tindak lanjuti kasus ini atau saya yang akan lapor balik karena bapak menganggap ini hanya perihal kenakalan remaja!"

"Baik, Edison. Kami paham. Kami akan segera tindak lanjuti kasus ini."

"Terima kasih. Saya pamit."

"Tunggu sebentar, apakah semalam kalian mabuk? Nampaknya kamu sekarang masih belum sepenuhnya sadar. Kami mendapat laporan kalau William semalam tengah dalam kondisi mabuk dan memakai narkoba."

Edward mematung, dia tak bisa menutupi fakta jika mereka memang mabuk malam tadi.

"B, benar, Pak. Tapi saya bersumpah kita tidak menggunakan narkoba," tegasnya.

Polisi menerima laporan dan kesaksian Ed dengan serius. Mereka akan segera menghubungi Edward setelah investigasi.

"Ini, minumlah," ujar seorang polisi dengan tatapan yang ramah.

"A, apa ini, Pak?" tanya Edward seraya menyipitkan matanya memeriksa tulisan pada minuman itu.

"Terima kasih, Pak, saya pamit, selamat bekerja," pungkas Edward rengkuh sembari membalikkan badan meninggalkan ruangan.

Di dalam mobil, Edward segera meminum obat pengar yang polisi tadi berikan.

Glek glek glek.

Edward kembali melaju ke rumah sakit.

*****

"Pak Karim, bisa ke ruangan saya sebentar?"

"Siap!" jawabnya.

Pak Yudi menutup pintu rapat-rapat dan memastikan tak ada seorang pun yang menguping.

"Apa yang terjadi dengannya?"

"Anu, pak ... sepertinya akan ada masalah besar."

"Apa maksudmu? Kalian tidak bisa menjaganya?"

"Bukan itu, Pak. Ada satu bedebah kecil yang menyulut api peperangan. Sepertinya mulai saat ini kita harus waspada akan bangkitnya sosok elang yang lama terkubur," bisik Karim.

Yudi mangguk-mangguk sembari menggigit bibir bawahnya. Dia khawatir kasus penusukan ini akan menyulut masalah yang sudah lama terkubur.

"Ya, sudah. Silahkan kembali bertugas," pungkasnya.

*****