2 Putus!

"Kamu kenapa jadi enggak sopan begini sih."

"Buat apa aku sopan sama laki-laki yang sudah menghancurkan masa depan perempuan dan menyakiti perempuan lainnya?" dengan sorot mata tajamnya Leandra menatap Adrian.

"What! Apaan sih Lea sayang. Jelas terlihat kalau dalam video itu bukan aku, hei come on sadar."

"Kita putus!"

"Enggak," seraya memegang lengan Leandra.

"Aku enggak mau punya pacar tukang selingkuh, baru pacaran saja kamu berani selingkuh apalagi nanti."

"Oh jadi ini tujuan kamu ke sini, hanya ingin bertanya masalah itu dan marah-marah enggak jelas? Atau mau aku carikan laki-laki juga agar kita seimbang."

"Sudah gila kamu Adrian, pokoknya jangan pernah hubungi aku lagi, dan satu lagi semoga persalinan selingkuhan kamu lancar ya."

Segera Leandra pergi dan menepiskan tangan Adrian. Ia segera masuk ke dalam mobil Alcie dan memintanya pergi dari kampus tersebut.

Alcie hanya memperhatikan Leandra dahulu yang sedang menangis bercampur emosi. Ia mencari waktu yang tepat untuk bertanya pada sahabatnya.

"Are you okay, Lea?"

"Huh," terdengar berat hembusan napas Leandra.

"Enggak apa-apa, menangis dulu sampai lega."

"Aku masih enggak menyangka kalau Adrian setega itu Ci, selama ini dia laki-laki baik yang selalu mendengarkan segala keluh kesahku, selalu buat ketawa tetapi kenapa begini."

Leandra masih terus menangis dan berkali-kali ia mengusap air mata yang terus mengalir di pipinya.

"Ci," panggil Leandra.

"Iya, kenapa?"

"Apa yang aku lakukan ini sudah benar 'kan?"

"Iya, kamu sudah mengakhiri hubungan yang enggak sehat sama Adrian itu bagus banget, karena sekali laki-laki selingkuh bisa jadi itu bukan hal pertama ataupun akan diulang kembali sama dia."

"Tetapi rasanya kok sakit banget ya, Ci."

"Iya namanya sakit hati enggak akan bisa dipungkiri, Lea. Sekarang bawa tenang dulu."

Leandra hanya mengangguk-anggukkan kepalanya perlahan seraya menatap jalanan yang ramai oleh kendaraan.

Sekitar 10 menit kemudian Alcie berhenti pada sebuah tempat.

"Kenapa berhenti?"

"Turun dulu deh, kita sudah lama enggak ke sini."

Tempat tersebut berupa taman yang cukup sejuk dan memiliki keindahan alam yang layak untuk dilihat. Sudah hampir 6 bulan lamanya mereka tidak ke tempat tersebut karena sibuk akan ujian nasional.

Mereka duduk setelah membeli minuman yang dijual di sekitar tempat tersebut.

"Masalahku mungkin masih akan bertambah setelah ini, Ci."

"Di rumah?"

"Iya."

"Tetapi setidaknya 'kan yang satu ini terselesaikan. Eh kayaknya rumah Renza sekitar sini ya, telepon saja bagaimana?"

"Boleh, Ci."

Renza adalah sahabat Leandra dan Alcie yang juga sejak kecil. Biasanya mereka pulang sekolah bersama akan tetapi, untuk kali ini ia ada kegiatan dan tidak sekolah pula.

"Bagaimana?" tanya Leandra pada Alcie yang sudah menelepon Renza.

"Sebentar lagi mungkin ke sini."

Memang benar 10 menit kemudian Renza tiba pada tempat tersebut.

"Weiss, kalian ngapain di sini?"

"Menenangkan diri," jawab Alcie.

"Sudah putus?" tanya Renza.

"Parah banget kamu Ren, iya sudah putus tahu," jawab Leandra dengan menggerutu.

Renza sedikit tertawa.

"Enggak begitu Lea, bagus saja kalau kamu sudah putus sama Adrian itu. Karena memang itu anak kalau enggak ditegur bakalan begitu terus."

"Kamu dari mana sih? Kagak sekolah."

"Iya nih kegiatan apaan coba, orang itu belajar sebentar lagi mau UN."

"Ya elah, izin sekolah juga karena sekolah yang menginzinkan."

Leandra mengernyitkan dahinya.

"Leonal kagak bilang apa?" tanya Renza pada Leandra.

Leonal adik laki-laki dari Leandra yang berteman baik dengan Renza, apalagi mereka memiliki hobi yang sama dan tergabung dalam satu tim yang sama.

"Enggak bilang apa-apa."

"Kami itu ada kegiatan basket di sekolah lain, makanya izin."

"Ya ampun demi basket kamu izin, lagian nih kamu sudah mau lulus ngapain masih ikut juga?"

"Kayak kamu enggak saja Lea, kalian berdua itu sama saja sibuk dengan kegiatan sekolah. Aku dong anak baik yang selalu rajin belajar."

Alcie memuji dirinya sendiri.

"Pinter kagak?" tanya Renza sengaaj mengejek.

"Ya enggak juga sih, tetapi lumayan. Walaupun enggak sepintar otak Lea."

Leandra tertawa karena tingkah kedua sahabatnya. Sebenarnya tujuan Alcie menghubungi Renza bukan karena rumahnya dekat dengan tempat tersebut. Akan tetapi, karena mereka harus menghibur Leandra yang sedang patah hati.

Karena hari semakin sore maka mereka pergi dari taman tersebut. Akhirnya Leandra pulang bersama Alcie.

Keadaan di rumah Leandra begitu sepi tidak ada satu orangpun, semua anggota keluarganya membawa satu kunci rumah karena memang orang tuanya yang selalu bepergian menyangkut bisnisnya. Oleh karena itu baik Leandra ataupun Leonal tidak akan kaget lagi dengan keadaan rumah yang sepi.

"Kak!" pekik Leonal setelah Leandra membuka pintu.

"Buset kenapa harus teriak sih, ada apa?"

"Masak gih, aku lapar."

"Ibu ke mana?"

"Biasa mereka ada urusan di kantornya, dan enggak ada masakan apapun di rumah."

"Kenapa enggak masak sendiri saja sih Leonal, kakak capek!"

Leonal mengernyitkan dahinya tidak mengerti pada kakaknya. karena biasanya Leandra selalu mau memasakkan untuknya.

"Habis nangis?"

"Menurut anda?" ucap Leandra seraya berlalu dari hadapan Leonal.

Leonal mengamati kakaknya sampai masuk ke dalam kamarnya. Baik Leandra ataupun Leonal mereka bisa memasak semuanya. Akhirnya Leonal memasak karena ia lapar, sebenarnya jika membeli bisa saja tetapi mereka lebih senang jika memasak sendiri.

1 jam lamanya Leonal berdiam diri di dapur sampai masakannya selesai.

Tok! Tok! Tok!

"Apaan?" tanya Leandra dari dalam kamarnya.

"Keluar kamar sekarang."

Leandra masih berdiam diri tidak membukakan pintunya.

"Buka pintu kak, nanti sakit menyusahkan aku."

Leandra membuka pintunya dengan wajah yang lusuh.

"Apa sih?"

"Nih makan," seraya memberikan sepiring masakannya.

"Widih masak."

"Kalau nungguin orang yang lagi galau yang ada kelaparan."

Setelah memberikan sepiring makanan pada Leandra, Leonal kembali ke ruang tengah. Ia makan malam sekaligus menonton televisi. Tidak lama kemudian Leandra menyusul Leonal.

"Ibu kapan pulang?"

"Enggak tahu."

"Enggak kamu tanya gitu?"

"Enggak."

"Sumpah kamu kayak kulkas saja sih Leonal, enggak kebayang sama pacar kamu bagaimana," ucap Leandra seraya melahap makanan yang sudah diberikan oleh Leonal.

"Sok tahu, eh urusan kakak sudah kelar sama si itu?"

"Si itu? Adrian?"

"Yoi."

"Sudah tadi siang kakak putuskan. Kok kamu tahu?"

"Intinya aku tahu apa masalahnya tetapi enggak mau ikut campur."

Leandra tampak menitikkan air matanya kembali.

"Dih nangis lagi."

Leandra menghela napasnya dan menghilangkan air matanya di pipi.

"Sudahlah kak, enggak pantas kakak menangisi laki-laki seperti Adrian."

"Kesal saja, dan sebenarnya masih enggak nyangka. Bisa-bisanya dia berbuat seperti itu. Padahal selama ini dia baik banget."

"Yaelah kak, baik mah semua orang juga bisa. Apalagi berbuat jahat."

"Iya, maaf ya."

"Untuk?"

"Waktu itu juga kamu bilang suruh hati-hati sama Adrian 'kan? Tetapi enggak dengar jadinya sakit hati begini."

"Bagus dong kak, untuk pengalaman."

Leandra memandangi adiknya yang selalu mudah ketika berkomentar, ia tidak pernah bersusah payah untuk mengutarakan sesuatu hal.

"Sudah paling benar tindakan kakak itu, jangan sampai Ayah dan Ibu tahu kakak nangis, kakak tahu sendiri 'kan?"

"Iya, paham."

avataravatar
Next chapter