1 Namanya Fara

"Dokter, enggak adakah jalan lain selain menjalani operasi untuk penyakitku ini."

"Hmmm.. satu-satunya cara supaya kamu tetap sehat untuk selamanya yah hanya dengan cara ini Fara." Aku menatap wajah pasienku, Fara. Aku tahu ia belum bisa memutuskan.

"Bagaimana Fara? Jika kamu belum siap kami bisa menunggu. Sampai kamu benar-benar siap." Fara terdiam, aku dapat melihat wajah sayu dan tak ada harapan. Beberapa asisten dan perawat berdiri disamping kanan kiriku. Aku melihat ke luar ruangan, masih ramai pengunjung Rumah Sakit.

"Baiklah Dokter, aku siap. Kapan operasi akan dilakukan?" Fara menatapku tajam seakan ia pasrah dengan hidupnya.

"Kamu enggak mau diskusi dulu sama kedua orang tua kamu." Tanyaku padanya.

"Aku yakin Dokter, aku yakin Dokter dapat membantuku menyembuhkan penyakitku."

"Fara, aku hanya seorang Dokter. Bukan Tuhan, aku hanya bisa membantu kamu mengangkat penyakit dalam tubuhmu untuk semuanya kita serahkan pada Tuhan." Fara tersenyum, entah kenapa aku begitu bahagia melihat pasienku yang satu ini jika ia tersenyum.

Fara adalah pasien penderita kelenjar Hyperthyroid. Sudah hampir tiga bulan aku menanganinya. Dan ketika ia datang pertama kali ke rumah sakit ini. Saat itu ia sangat tertekan dan terlihat sangat ketakutan. Ia menceritakan padaku bahwa ia sudah hampir enam tahun menderita penyakit ini. Namun ia tak pernah berani datang ke rumah sakit untuk memeriksakan kembali penyakitnya, Fara menceritakan bagaimana ia sangat takut ketika beberapa dokter menyarankan kepadanya untuk segera mengangkat penyakitnya tiga tahun yang lalu.

"Dokter." suara panggilan suster Maria mengagetkanku. Fara dan suster Maria tersenyum bersamaan ketika mereka mendapati aku tengah melamun, ku benarkan kacamataku walau sebenarnya masih tertata rapi di wajahku, aku tersenyum dengam wajah malu.

"Ya Suster.."

"Ada dua pasien lagi untuk hari ini."

"Baiklah, suster kau tunggu sebentar aku masih diskusi perihal jadwal operasi untuk Fara." Suster Maria mengangguk, karena ia pun telah sangat mengenal Fara. Suster Maria kembali keluar dengan menutup pintu tak rapat masih ada celah, sengaja.

"Baiklah, kamu benar-benar siap." Tanyaku lagi meyakinkannya.

"Aku siap Dokter. Kapan kira-kira jadwal operasiku berlangsung."

"Hmmmm ... tunggu sebentar." Aku membuka laci.

"Dokter." salah seorang perawat mendekat ia keluar dari ruang sebelah yang hanya terhalang dengan kain gorden, pasienku yang satu tengah dioperasi kecil oleh dua orang suster dan dokter muda, luka akibat terjatuh dari motor dan harus dijahit bagian pelipis matanya. Aku menulis beberapa resep untuknya dan suster tersenyum kepadaku ketika aku jelaskan kepadanya, ia mengangguk paham.

"Terima kasih dokter." Katanya sambil melirik Fara yang masih duduk dihadapanku dengan menunduk dan wajahnya tanpa ekspresi. Aku seakan merasakan apa yang sedang Fara rasakan, tapi mengapa aku bersikap seperti ini. Bukankah wajar para pasien selalu nampak gelisah seperti ini ketika ia harus menjalani operasi. Dan aku sendiri bingung dengan apa yang tengah aku lakukan, aku menjadi sangat empati kepadanya. Aku mengambil buku catatan medis milikku di laci, dan kubuka beberapa jadwal operasi bulan ini.

"Baiklah Fara, tanggal dua puluh November kalau kamu siap, aku enggak ada jadwal hari itu. Tapi apa kamu enggak keberatan karena hari itu dua hari menjelang hari Raya Idul Adha loh." Tanyaku padanya.

Fara memalingkan wajahnya ke arah kalender panjang yang tergantung di dinding sebelah kiri. Ia mengamati lama lalu menoleh kepadaku, mengangguk tegas.

"Itu berarti minggu depan Dokter." Tanyanya lagi meyakinkan.

Aku mengangguk, ia tersenyum dengan anggukan lebih mempertegas bahwa ia benar-benar siap.

"Dokter.."

"Yah."

"Ada yang ingin aku tanyakan."

"Mengenai hal apa?"

"Itu, hmmm ... Dokter." Fara memainkan jari-jarinya menunduk dan mengangkat kepalanya lagi.

"Dok, ada satu permintaan dari aku kalau nanti operasi." Fara menggantungkan kalimatnya.

"Apa?" aku memajukan tubuhku melihat dengan jelas wajahnya.

"Dokter, boleh engggak kalau nanti saat aku masuk ruang operasi aku masih mengenakan jilbabku dan ketika aku enggak sadarkan diri Dokter boleh membukanya." Fara menatap dengan penuh emosi.

DEG!!!

Aku terkejut mendengar permintaannya. Bukankah Fara sendiri tahu bahwa rumah sakit ini jelas-jelas bukan rumah sakit umum biasa dan ia telah dengan sadar mendaftarkan diri ke rumah sakit ini dengan penuh pertimbangan yang sangat.

Aku tahu sulit baginya ketika ia mungkin telah berpikir keras untuk hal ini, Fara mengidap penyakit kelenjar hyperthyroid di leher bagian depan tepat sebelah kanannya dan ia mengenakan jilbab, aku tahu apa yang sedang ia pikirkan ia tak ingin semua mata memandang dan melihat dirinya dalam keadaan sadar.

Aku sendiri awalnya heran mengapa ia memilih untuk masuk ke rumah sakit ini. Namun aku tak boleh banyak tahu tentang pasien, karena aku dan Fara hanya sebatas hubungan pasien dan dokter, tak lebih. Bukan urusanku untuk mengetahui apa alasan Fara masuk ke tempat ini yang sebenarnya kontras dengan kehidupannya saat ini.

"Baiklah, untuk itu aku akan mengusahakannya." Jawabku tersenyum.

Fara tersenyum lebar, dan lagi aku seakan tak bisa menyembunyikan rasa ini dalam hatiku. Apa yang sedang aku rasakan bukan ini gila. Bagaimana jika .... Aaaahhhhh aku tak ingin memikirkannya.

"Ok Dok, apa yang harus aku lakukan selanjutnya, udah selesai khan diskusi jadwalnya." Mata itu berbinar, senyum yang selalu aku tunggu setiap minggu di ruangan ini.

"Kamu nanti ikut bersama suster Maria untuk memeriksa darah dan lain sebagainya. Jangan khawatir Fara, ini hanya prosedur medik agar kami bisa melihat kesehatan seluruh tubuhmu apa kamu benar-benar bisa melakukan operasi mingggu depan."

"Ohhh..." hanya itu yang keluar dari bibirnya.

"Suster ..." aku memanggil salah satu suster di ruang sebelah.

"Yah Dokter"

"Bisa kamu panggil Suster Maria sebentar."

"Baik Dokter."

"Terima Kasih Suster?"

"Angel."

"Yah Suster Angel." Aku malu ketika Suster Angel menatapku dengan wajah tidak menyenangkan karena hampir setiap hari aku lupa dengan namanya yang aku ingat hanya Suster Maria, Fara menertawakanku. Aku meringis menatapnya. Tak lama Suster Maria menyembul dari pintu.

"Ada apa Dokter mencari saya."

"Oh ya, Suster tolong kau bantu saudari Fara, ia akan mejalani operasi minggu depan dua puluh November." Suster Maria menatap Fara, dan tersenyum.

"Baiklah Dokter, mana berkasnya?"

"Ini." Kuserahkan semua berkas rekaman medik Fara selama tiga bulan menjalani rawat jalan di sini. Suster Maria merapikan map yang aku berikan kepadanya.

"Mari Fara, ikut dengan saya."

"Terima kasih dokter." Fara berdiri dengan wajah sumringah, baru kali ini aku mendapati pasien sebahagia itu ketika akan menjalani operasi besar. Aku tersenyum kepadanya ia dan Suster Maria pergi menghilang dibalik pintu. Aku menghembuskan nafasku panjang, selalu saja seperti ini setiap kali aku bertemu dengan Fara. Aku sendiri masih belum bisa menjawab mengapa aku merasa ingin sekali melindungi dan membuatnya bahagia.

Kelenjar Hyperthyroid bukanlah penyakit ringan, penyakit ini merupakan penyakit yang banyak di alami hampir tujuh puluh lima persen wanita di Indonesia dan kemungkinan untuk kesembuhan secara total pun sangat minim.

Aku tak bisa berbuat apa-apa, banyak kasus yang sudah aku tanganin selama aku menjadi dokter ahli bedah selama ini. Fara, mengapa harus dia. Usianya masih muda dua puluh dua tahun dan tak seharusnya ia menderita penyakit ini.

Bukankah kebanyakan yang datang berobat kepadaku rata-rata mereka berusia di atas empat puluh tahun, Fara … mengapa harus dia. Aku selalu mengingat wajah manisnya, gadis berjilbab aku tahu sesuatu yang tak mungkin. Dan profesiku sebagai dokter harus bisa menjaga tingkah lakuku di sini, di rumah sakit ini.

Ada apa dengan diriku?

***

"Dokter Adam."

Suara kencang memanggilku, saat aku menoleh sosok yang aku kenal seorang dokter muda bernama Clara tengah berlari kecil mendekat ke arahku. Aku menyunggingkan senyum kepadanya, ia sangat pintar dan berambisi dengan profesinya. Cantik dengan kaki jenjang dan tubuh berisi, dokter Clara seorang Khatolik taat. Ia sangat baik dan memiliki kesabaran yang lebih dibandingkan para dokter muda seangkatannya.

Clara berasal dari Yogyakarta, dialek jawa yang kental dalam dirinya selalu membuat orang yang jika mendengarnya akan tersenyum karena tak sesuai dengan wajah cantik dan penampilannya yang modis bak artis. Rambut panjang wajah oriental, kaki jenjang selalu bernampilan menarik namun jika bersuara, dialek jawa yang medhok orang akan heran mendengarnya.

"Dokter."

Ia masih tersengal-sengal, napasnya kembang kempis.

"Ada apa Dokter Clara." Tanyaku padanya.

Telapak tangannya diangkat, wajahnya merah, suara napasnya terdengar kencang, sambil memegang perutnya ia sedikit merunduk.

"Dokter."

Panggilnya lagi, ia berusaha berdiri tegak, medengakkan kepalanya lalu merapikan rambut dan pakaiannya. Aku menahan senyum melihat tingkahnya.

"Aku dengar, Dokter mau ada operasi minggu depan ya." Suaranya masih terbata-bata.

"Iya." Jawabku

"Dokter, boleh aku daftar sebagai asisten Dokter Adam untuk operasi nanti."

"Dokter Clara ingin bergabung?" tanyaku, ia mengangguk cepat, lebih cepat dari saat ia berlari tadi.

Aku tahu ia sangat senang sekali untuk selalu berkerjasama denganku dalam urusan bedah operasi. Aku berpura-pura, berpikir sejenak sengaja membuatnya resah menunggu jawabanku. Meliriknya, ia tengah berdoa memohon dengan tubuhnya membelakangiku dan menghadap ke sebuah mimbar patung Tuhan Yesus di tengah taman rumah sakit. Membuatku ingin tertawa lepas, tapi berusaha kutahan.

"Baiklah." Kataku pada akhirnya. Clara membalikkan tubuhnnya dengan wajah harap-harap cemas, kedua tangannya masih tertangkup di dada.

"Akan aku pikirkan, dan nanti aku hubungi. OK." Lanjutku, dan ekpresi wajah itu berubah, semakin resah.

Dia masih mematung saat aku beranjak pergi dan pada akhirnya aku tertawa.

"Dokter ... Dokter ..." ia berusaha mengejarku, Dokter Clara bukan seseorang yang mudah menyerah jika menginginkan sesuatu.

Aku tak menghiraukannya dan terus berjalan menelusuri lorong rumah sakit masih tersenyum, aku tahu ia tak akan bisa menyusulku karena ia memakai hak tinggi dan semakin lama tak kudengar suara langkah kakinya. Sesekali aku suka membuat dokter muda resah dan biarkan mereka lebih gigih berusaha.

Pagi ini koridor rumah sakit sedikit lengang saat aku berjalan dengan masih mengenakan jas putih membawa buku tentang gizi menuju gedung sebelah rumah sakit. Kampus mahasiswa kedokteran yang kebetulan terletak hanya beberapa blok dari rumah sakit. Rumah Sakit Kristen dengan Universitas Kedokteran adalah tempat yang aku pilih sebagai ladang amal ilmu yang aku miliki.

Aku sengaja memilih tempat ini, karena letaknya tak jauh dari rumahku dan aku bisa sekaligus mengajar para mahasiswa calon dokter di tempat ini. Sebagai dokter, aku harus bisa membantu para pasien di rumah sakit namun aku pun ingin ilmu yang kumiliki dapat aku share dengan yang lain.

Betapa aku sangat menyukai pelayanan ini. Dari kecil aku dibesarkan oleh kedua orang tuaku yang sangat religius. Aku tak pernah sekalipun membuat kedua orang tuaku kecewa.

Aku tumbuh menjadi sosok pemuda yang selalu jadi kebanggaan ayah dan ibuku. Dari sekolah dasar hingga aku kuliah aku selalu menjadi nomor satu dan mendapatkan beasiswa ketika masuk perguruan tinggi kedokteran di salah satu universitas ternama di Jakarta. Putraku Stanleys Adam Siahaan, itu yang selalu ayahku ucapkan dengan bangga kepada para kerabat, teman, dan sahabat ayah.

"Selamat pagi semua." Aku memasuki ruang kelas tingkat satu, para calon dokter telah duduk manis di meja masing-masing, tanpa aku beri komando mereka bergegas berdoa dengan cara mereka masing-masing. Aku menundukkan wajahku sesaat, ini adalah rutinitas pagi sebelum melakukan aktifitas kami selalu berdoa.

Tanpa banyak bicara aku mulai mata kuliah hari ini dengan hanya memperkenalkan tentang betapa pentingnya kesehatan sebagai pembuka mata kuliah ilmu gizi. Aku tak ingin di hari pertama mereka stres dengan mata kuliahku maka sengaja aku memilih topik ini di awal pengajaranku hari ini.

Berjalan dengan tenang karena wajah-wajah mereka tak nampak menegangkan. Aku teringat saa aku belajar di tingkat pertama di universitasku dulu, dengan pengalamanku yang tak menyenangkan aku ingin membuat sebuah kelas yang menyenangkan untuk mereka.

Mengajar dengan hati aku yakin mereka akan menerima dengan hati pula. Tak perlu terlalu kaku dan formal tapi tetap elegan, begitulah prinsipku selama aku mengajar. Dua jam berlalu, mungkin karena hari pertama, masih belum begitu ramai, kentara mereka masih terlihat sendiri-sendiri.

Aku tersenyum melihat mereka tampak bingung, karena belum mengenal satu sama lainnya. Setelah selesai aku bergegas keluar kelas masih ada jadwal lain yang menungguku di gedung sebelah.

Dan perasaan ini terasa mengGanggu, padahal tadi baik-baik saja.

Aku sedikit gugup.

[1] Hormonn Thyroid lebih tinggi dari daripada orang biasa (Kelebihan yodium)

avataravatar
Next chapter