webnovel

Chapter 1 B

"Ayah? Bukannya lo manggil ayah lo dengan sebutan Abi? Siapa ayah yang lo maksud?"

Bagaikan terkena dejavu, Shabrina langsung terdiam setelah mendengar lontaran dari Nania.  Ia harus memutar otaknya agar bisa terlihat tenang dan Nania tidak curiga.

"It...  itu papa Zola. Aku memanggil papa Zola dengan sebutan ayah karena sudah terbiasa dari kecil. Kamu tahukan kalau papa Zola itu adik dari Alexander Hopkins dan Zola adalah sahabat aku masa kecil? mereka sudah menganggap aku seperti keluarganya sendiri."

Mau tak mau aku harus berbohong. Aku tak mungkin mengatakan apa yang sebenarnya karena belum waktunya. Masih banyak urusan yang harus aku urus dulu. Lagi pula tidak semuanya aku berbohong, aku memang sudah dianggap keluarga hopkins sebagai salah satu anggota keluarganya.

Satu fakta yang tak pernah mereka tahu, sebenarnya Alexander Hopkins bukanlah seorang mafia. Rumor itu sudah mencemari nama baiknya. Pada kenyataanya Alexander merupakan seorang intel yang membantu pihak kepolisian. Tidak lebih. Akan tetapi, rumor di luaran sana sudah menghancurkan faktanya menjadi pendapat. Alexander terkenal dengan sebutan seorang mafia yang bengis dan juga seorang pembunuh dari ratusan orang yang tak bersalah. Padahal kenyataannya tidak, Alexander adalah orang baik. Alexander adalah penganut agama yang taat meskipun dengan putrinya sendiri berbeda keyakinan. Putrinya beragama islam sedangkan Alexander sendiri penganut agama katolik. 

Mereka saling  menghormati perbedaan. Bahkan, Alexander selalu menyuruh putrinya untuk sholat. Alexander rela bangun subuh hanya untuk membangunkan sang putri agar putrinya bisa melaksanakan sholat tepat waktu melalui sambungan telepon karena 

mereka tak tinggal satu rumah. Masih banyak musuh Alexander yang ingin membunuh sang putri, tak ada pilihan lain mereka pun harus pisah rumah.

Dan seperti yang Nania tahu, aku tinggal bersama orang tua angkat ku di sebuah rumah sederhana yang terbuat dari anyaman bilik bambu tapi orang-orangnya taat akan agama. Rumah yang di dalamnya terasa seperti di dalam surga. Terasa sangat nyaman dan membuatku bahagia selama aku tinggal di sana selama 21 tahun ini.

Dua puluh satu tahun aku mengganti namaku. Dua puluh satu tahun aku harus berjauhan dengan orangtuaku dan saat bertemu kembali pun aku tak bisa lagi bersama-sama dengan mereka.

Gabriella Geraldine Hopkins putri kandung dari Alexander Hopkins dan Ellena George yang sudah berganti nama menjadi Sabrina Nawfa Azzahra. Nama yang diberikan orangtua angkat ku,  nama yang telah menyamarkan keberadaan dari musuh keluarga Hopkins yang terkenal ganas dan sebuah nama yang memiliki arti yang membuatku terpukau.

 

Ya, aku adalah putri Alexander yang dikabarkan menghilang selama 21 tahun. Putri Alexander yang telah menghebohkan dunia dan jagad maya. Putri Alexander yang telah membuat para wartawan mencari-cari bukti perihalku. Apakah benar putri semata wayang keluarga Alexander Hopkins telah ditemukan? Apa dia tumbuh baik? Apa dia akan secantik ibunya yang memiliki keturunan negara gingseng? Begitulah prakiraan orang-orang mengenai berita yang seolah sedang menutupi kasus pembunuhan yang dilakukan anggota dewan.

Dan sekarang pertanyaannya adalah, bagaimana bisa aku tinggal bersama sopir pribadi ayah? Bagaimana kronologinya aku bisa ditemukan di teras rumah orangtua angkatku? Dan bagaimana bisa aku berpisah dengan kedua orangtuaku?  

"Sepertinya tidak asing, papa Zola. Oh Adudu, Boboiboy," Ucap Nania Heboh sambil mempraktekkan serial kartun dari negara tetangga itu.

"Bukan Nania, Zola Zovia. Artis yang dikabarkan sedang dekat dengan Pandu Lintang Angkasa Biru."

"What? Zola Zovia? Lo berteman dengan dia? Seriously?  Demi apa? Berarti lo juga kenal dong sama Pandu Lintang Angkasa Biru? Secara mereka itu kan berteman sejak kecil," Berondong pertanyaan muncul begitu saja dari mulut Nania tentunya dengan kehebohannya yang luar biasa. Mengalahkan suara mesin pembuat kaleng. Heboh, bising, dan sangat memekakkan telinga.

Pertanyaannya siapa sih yang tidak kenal dengan Pandu Lintang Angkasa Biru? Seperti Alexander, Pandu pun dituduh sebagai seorang Mafia. Padahal kenyataannya tidak, mereka berdua sama-sama seorang Intel untuk menaklukkan para penjahat. Akan tetapi netizen lebih ajaib dalam memutar balikkan fakta. Netizen banyak yang  menyelewengkan kebenaran, membolak-balikkan fakta tanpa mau bertanggung jawab, yang benar menjadi salah dan yang salah mereka benar-benarkan. Membuat masyarakat resah akan kebenaran, membuat mereka bingung hendak memilih yang mana.

Untung saja paras Pandu mampu membantu menghilangkan rumor itu. Ya meskipun hanya sedikit. Parasnya yang tampan membuat kaum hawa sesak napas dan menginginkan Pandu menjadi calon imamnya. Padahal Pandu sama seperti Alexander, penganut agama Katolik. Dan calon imam di sini maksudnya itu seperti apa? Tak mungkinkan jika imam sholat? Jelas beda keyakinan, kecuali yang seagama dengannya.

"Iya, dia teman masa kecil aku. Untuk Pandu aku juga kenal tapi hanya sekilas. Beberapa kali juga aku sempat liat dia ada di rumah keluarga Hopkins. Aku sering bertemu Zola di sana sekaligus ingin bertemu Abi. Kalau kamu tidak lupa juga, papa Zola adalah adik kandung Alexander Hopkins."

Kali ini aku tidak sepenuhnya berbohong. Pandu emang beberapa kali ada di rumah Ayah. Entah untuk apa yang jelas aku tidak mau tahu. Sudah cukup untuk aku mengenalnya lebih. Aku tak mau lagi berurusan dengan laki-laki itu. Masa lalu yang menyakitkan itu telah merubah semuanya. Dia telah menghancurkan kehidupanku meskipun kehidupanku yang sekarang sudah mulai membaik. Ya mulai membaik, bukan baik.

"Yaudah yuk, itu busnya sudah datang!" ajakku heboh pada Nania dan menarik tangannya untuk menaiki bus berwarna biru langit itu. Sedikit berlari karena takut ketinggalan, padahal bus itu masih menunggu penumpang dan baru saja tiba di Halte. Dan sebenarnya itu hanya alibiku, karena setiao berada di Halte Nania selalu berucap yang aneh-aneh. Seperti saat ini.

"Pelan-pelan, sopir busnya udah liat kita kok. Lagian lo dari dulu selalu tak pernah berubah. Selalu saja takut ketinggalan."

Aku hanya terkekeh, tak peduli apa yang dikatakan Nania. Emang apa salahnya jika aku takut ketinggalan bus? Kalau kalian mau tahu, aku pernah tertinggal bus ke Ekaterina, bahkan dulu aku harus tidur di Halte karena aku tak tahu arah kemana jalan pulang karena aku masih baru tinggal di Jakarta dan tinggal di perumahan Ekaterina.

Duduk dibangku dekat jendela itu yang sering aku lakukan. Alasannya hanya satu, agar aku bisa terkena angin sepoi-sepoi yang keluar dari jendela. Aku sangat tidak kuat dengan panasnya kendaraan umum. Untuk itu aku memililih duduk di bangku dekat jendela. 

Aku lebih suka naik kendaraan umum, apalagi naik mobil angkutan perkotaan berwarna biru dan hijau jika di Bogor. Mobil yang menjadi julukan kota itu. Kota yang memiliki seribu kenangan masa kecilku.

"Mau minum nggak?" Tanya Nania sambil mengasongkan air mineral ke arahku. Tentunya baru saja ia beli dari tukang dagang asongan.

"Enggak, aku shaum," tolakku halus sambil memperlihatkan gigi ginsulku. 

"Shaum? Tadi lo makan apa di Resto?"

"Makan Chicken Katsu satu, burger satu, Mango pudding satu, es krim oreo satu, baklava satu, sama oreo milkshake satu."

"Itu yang dinamakan shaum?"

"Tadi aku lupa, bukannya kalau lupa tidak membatalkan puasa dan boleh dilanjutkan? " ucapku sambil terkekeh. Membuat Nania kesal adalah hobiku. Rasanya hampa jika aku tak membuatnya kesal, seperti ada yang kosong. Tapi beruntung, semenjak aku bersahabat dengan Nania, ia tak pernah sedikitpun marah. 

Aku bersahabat dengan dia, bermula saat aku duduk dibangku kelas dua belas. Ialah satu-satunya orang yang aku punya disaat orang-orang menjauhiku. Disaat orang-orang mengucilkanku karena pakaian yang aku kenakan serba lebar.

"Iya, tapi kamu itu lupa yang diniatkan."

Bibirnya yang sedikit maju karena mencebik, dan itu rempleks membuatku tertawa terbahak-bahak. Tak sadarkah ia kalau aku sudah sampai? Untuk apa minum? Toh rumahku sudah ada di depan mata karena letaknya dipinggur jalan. Rumah pertama di perumahan Ekaterina dan kalau pun aku ingin minum aku tinggal masuk ke dalam rumah.

"Liat, itu di depan rumahku. Kalau pun aku mau minum, aku tinggal masuk ke dalam." Ucapku sambil berdiri dan bersiap untuk turun, "Yaudah aku duluan, kamu hati-hati."

"Oh iya gue luba, lo juga hati-hati. Awas ketemu jalan berlubang dan kalau jatuh bangun sendiri jangan minta dibangunkan pangeran,"

Aku mengangguk lalu tersenyum, perkataan Nania benar-benar membuat terhibur. Selanjutnya aku melangkahkan kaki turun dari bus. Dan sekarang aku sudah berada di depan rumah dengan senyum yang mengembang. Aku melangkahkan kaki dengan semangat empat lima karena ada sepasang kekasih yang aku rindukan di dalam. Aku bisa tahu karena ada mobil mewah yang terparkir di depan rumah. Tidak, lebih tepatnya rumah keluarga angkatku.

"Ayah, bunda..."

...